Siasat Abi."Tangan ini ...," batinku menerka saat tangan kokoh dengan jam tangan yang sudah tidak asing lagi bagiku, melingkar di pundakku."Pak Abimana," kata Raya mengejutkan."Abi?" sentakku kaget bukan kepalang."Jangan menyentuhnya, dia milikku," celetuknya.Kata-kata pamungkas yang selalu keluar dari mulut Abi, membuatku terperangah. Tak hanya aku, semua yang mendengar pasti juga akan terkejut dan terperangah. Terlihat jelas, semua yang ada di depanku saat ini menunjukkan ekspresi kaget, dengan mata dan mulut membulat yang membulat sempurna. Termasuk Nadia dan Vany.Dengan cepat aku menjauhkan tangan itu dari pundakku, dan membalikkan badanku.Deg ... tak jauh berbeda dengan mereka, mataku pun membulat sempurna. Saat kulihat Abi berdiri di hadapanku bersama Meta."Apa perlu ditindak, Pak?" tanya Meta setengah berbisik."Jangan ... jangan buat rusuh acara orang," jawab Abi dengan suara pelan, namun masih terdengar jelas di telingaku.Sekarang, dia beralih menatapku."Apa? ada ap
POV ABIKuberikan cincin pada mereka lalu aku berkata. "Berpikirlah seribu kali jika ingin menjatuhkan Bella. Karena bisa saja kamu yang justru akan jatuh," ucapku pada calon mempelai wanita. Setelah aku melihat kejadian di depan tadi, aku semakin tidak ingin meninggalkan Bella sendirian di Bandung.Pertemuanku dengan Kyai Khalil terpaksa aku batalkan hari ini. Waktuku tidak banyak, tidak mungkin aku membiarkan Bella datang ke acara Raka sendirian. Dan pilihanku ternyata tidak salah. Jika aku tidak datang, mungkin sudah ada laki- laki lain yang menolong Bella tadi. Syukurlah, aku datang tepat waktu sehingga aku masih bisa disebut satu- satunya lelaki untuk Bella.Usai menyerahkan cincin, akupun kembali turun, bergegas menemui Bella."Pak Abi," sapa seorang laki- laki padaku. Akupun menghentikan langkah sejenak. "Ya,""Saya, Cristian Hutabarat, pimpinan redaksi 5Star," ucapnya mengulurkan tangan."Oh ... ya, Pak Cristian. Masyaallah, akhirnya bisa ketemu, ya," kataku ramah dan men
Lupakan Bella!"Kakakmu?" tanya Bella saat melihat mobil Adip."Sudah, masuklah!" seruku membuka pintu belakang mobil dan membimbing Bella untuk masuk. Aku tidak akan membiarkan Adip menyentuh Bella sedikitpun, bahkan aku tidak akan membiarkannya menemui Bella.Setelahnya menutup pintu belakang, aku mengetuk pintu bagian depan dan Meta langsung membuka kaca. "Met, antar Bela pulang. Saya akan menyusul nanti.""Tapi, Pak ....""Sudah, lakukan saja," selaku."Baik, Pak.""Bi," panggil Bella saat aku hendak meninggalkan mobil.Akupun kembali membungkukkan badan dan melihat ke arah Bella yang sedang duduk di belakang."Kenapa, Bell?" tanyaku."Aku ... akan menunggumu di rumah, berjanjilah kalau kamu akan baik-baik saja," ucapnya ragu namun terlihat tulus. Aku tak menjawab, hanya mengangguk pelan."Hati-hati, Met!" usirku halus, aku tak mau Bella berlama-lama disini Karena Adip sudah terlihat keluar dari mobil dan menuju kemari.Meta menyalakan mesin dan melajukan mobil dengan cepat, sepert
Aku tersenyum geli mendengar ucapannya. Bagaiman mungkin orang seperti dia bisa punya rasa cinta."Ha ha ha ... kamu mau asetku yang mana, Dip?" tanyaku tanpa basa-basi."Aku serius, aku sudah bertemu dengannya di Cafe, sekitar dua tahun yang lalu."Deg ... Jadi, benar mereka sudah bertemu sebelumnya? Dan wajah Adip? Wajah yang kulihat saat ini berbeda dengan Adip sebelumnya. Sebadung-badungnya Adip, aku belum pernah mendengar atau melihat dia dengan wanita. Bisa dibilang kalau masalah wanita, akulah yang lebih banyak menimbulkan asumsi dan gosip."Sudah ku bilang, Bella milikku yang tidak bisa aku berikan padamu. Lupakan Bella!" Kutinggalkan Adip, ia mematung, dan tak melawan sedikitpun. Terlihat aneh memang, Namun itulah kenyataannya."Kita akan bersaing sehat, Bi, untuk masalah ini," teriaknya, kuhentikan sejenak langkahku."Nggak perlu, Dip. Aku dan Bella sudah mengurus persyaratan rujuk. Jadi, lebih baik kamu mencari wanita lain!" jawabku tanpa menoleh."Tapi, semua akan berubah
POV BELLARasa tak rela menyeruak saat Abi berkata akan menetap dan tinggal di Luar negeri. Mungkin ragaku mengijinkan, namun hatiku sebaliknya. Perang batin pun ku alami, hingga akhirnya, hatikulah pemenangnya. Setelah aku menelisik lebih dalam lagi, aku baru menyadari bahwa, cinta itu ada, hanya saja aku enggan mengakuinya karena aku telah dibutakan oleh kebencian pada Abi yang justru menyiksa diriku sendiri.Aku tak mau kehilangan, aku tak mau lagi kejadian yang terjadi terhadapku dan Kak Raka kembali terulang. Aku yang tidak pernah berani mengungkapkan perasaan, akhirnya jatuh dalam ketidak pastian.Malam ini aku putuskan untuk mencobanya lagi. Meski akan sulit namun aku akan berusaha. Abi, tidak ada yang bertanggung jawab padaku sebesar tanggung jawab Abi terhadapku. Dia mampu berkata untuk aku segera menikah dengan Kak Raka demi tanggung jawabnya padaku. Aku tahu kala mengatakan itu hatinya menangis meski raganya terlihat kuat. Rasa ini aku sadari saat Abi meninggalkanku di
POV ABIAmarahku membuncah saat kulihat Bella mengerjakan sesuatu yang kurasa itu bukan bagian dari tugasnya sebagai seorang editor majalah. Rambut semrawut dan barang yang cukup berat bagi seorang wanita, dibawanya sendiri, tanpa ada yang membantu.Melihat ketidak adilan yang terjadi di kantor ini membuat kesabaranku habis. Dari mulai satpam yang berulah, pun tidak ramah dan sekarang Bella, calon istriku sendiri diperlakukan dengan tidak wajar. Kuputuskan untuk mengadakan rapat dadakan. Perombakan sangat diperlukan jika tidak ingin jatuh bangkrut.Semua terlihat sudah berkumpul di ruanganku. Kami duduk di sofa yang ada di dalam ruangan. Mereka cukup pintar dalam mengambil hatiku. Ruangan yang diberikan kepadaku cukup luas dan lengkap."Kalian tau siapa saya?" tanyaku sebelum masuk ke pokok masalah."Kami tau, Bapak adalah Pak Abimana, penanam modal terbesar sekaligus pemegang saham lebih dari 50%," jawab seseorang padaku."Di perusahaan ini ada, kan? Job Desc? Dari saya pertama kesi
Siapakah Anwar?"Apa ... apa maksudmu, Bi?" tanya Bella dengan nada suara yang masih seperti biasanya dan sedikit tersenyum, mungkin dia mengira bahwa aku sedang mengerjai dirinya seperti biasa."Sayang, maaf ... maaf kalau aku baru mengatakannya sekarang.""Kamu jangan bercanda, Bi." "Aku serius, Bell." Bella mulai menarik tangannya dari genggamanku. Dan jantungku mulai berdegup, rasa takut akan kehilangan kembali menyeruak saat melihat respon Bella untuk pertama kalinya."Maaf ya, Sayang ...." Ucapku masih dengan suara pelan, menatapnya yang kini mulai enggan menatapku namun tampak tersenyum kecut. "Sayang ....""Siapa yang tega melakukan itu, Bi?" ucap Bella dengan suara yang mulai bergetar."Apa salah Papaku? Kenapa dia tega melakukan itu, Abi!" sambungnya lagi, mecengkeram jasku dan menggoncang kasar tubuhku."Bell, awalnya aku mengira itu adalah rekan Bisnisku namun nyatanya aku salah.""Lalu, kenapa kamu merahasiakannya dariku? Aku anaknya! kenapa, Bi?" katanya meninggikan su
POV BELLAKenyataan memang pahit namun harus dihadapi tidak bisa dihindari. Pak Anwar, aku tahu siapa dia. Dialah penyebab traumaku dalam gelap, dia adalah sahabat Papaku, dulu, sebelum semua berubah karena sebuah konflik yang rumit.Ingin marah pada Abi, namun apa gunanya. Marah tidak akan mengembalikan Papa. Justru akan memperburuk hubunganku dengan Abi. Sekarang aku harus bisa bersikap lebih dewasa, menilai semua tidak berdasarkan egoku sendiri, aku harus belajar lebih bijaksana. Mungkin Papa memang pergi dengan cara yang berbeda namun bukan berarti Papa akan masih bersamaku saat ini, kan? Karena umur sudah ditetapkan olehNya. Entah bagaimana dan dengan jalan seperti apa. Kita tidak bisa menambah atau menguranginya.Sesaat aku merasa melambung saat Abi menceritakan setiap detail perasaannya padaku, namun hatiku tetap merasa sakit, saat nama Tari disebut kembali. Suara kenikmatan itu terus menghantuiku."Bi, aku masih sakit, saat ingat kamu dan Tari melakukannya ...."celetukku."
POV BellaDi sini aku sendiri, menahan sakit dan bertaruh nyawa melahirkan buah cintaku dengan Abi. Di sana entah apa yang terjadi, apakah Abi sudah mengucap ijab kabul kembali dengan Tari atau sedang bertaruh nyawa berjuang untuk melepaskan diri. Sakitnya melahirkan bercampur dengan sakit hati yang semakin dalam saat kuingat kata talak dari Abimana, kata itu terus terngiang di telinga ini. Tak percaya, bahwa sekarang aku bukan lagi istri dari Abimana, pria hebat dengan sejuta pesona. Dia akan kembali pada wanita itu. Wanita yang begitu terobsesi dan tak mau melepaskan apa yang sudah menjadi milik orang.Lukaku bertambah saat kulihat Papa Hayuda yang juga mengalami luka, Asri yang terus menemani dengan setia. Juga ikut merasakan pedihnya hatiku, menangis di luar sana. Pak Nardi yang terluka cukup parah karena sempat menghadapi mereka sendirian juga sedang dirawat di sini atas permintaan Papa dan permohonan Papa pada kedua laki-laki itu."Dokter, apa perlu operasi? Kenapa anak saya be
POV AdipPapa menghubungi melalui pesan dari nomor yang tidak aku ketahui saat aku sedang mempersiapkan berkas rapat nanti siang bersama Meta. Papa mengatakan, bahwa Abi dan keluarganya sedang dalam bahaya. Bahkan sekarang Bella sedang bertaruh nyawa sendirian, melahirkan tanpa Abi, karena Abi sedang ditawan oleh Tari. Begitu panjang pesan yang yang Papa kirimkan, termasuk kondisi yang ada di dalam rumah Abi ia gambarkan. Aku tau, Papa sedang menyuruhku untuk bertindak tanpa ada kesalahan. Seketika aku pun bangkit dari tempat duduk.[Papa ingin kedua putra Papa kembali dengan selamat.] Pesan Papa yang terakhir membuatku semakin terenyuh. "Ada apa, Pak?" tanya Meta yang duduk menata berkas untuk rapat."Aku harus pergi, Met. Kamu ke rumah sakit. Bella mau lahiran dan Abi sedang ditawan Tari di rumahnya." "Apa?" Meta pun beranjak dan terlihat begitu terkejut.Kuberikan ponsel agar Meta membacanya sendiri. Ia pun meraihnya lalu membaca pesan Papa."Aku akan mencari bantuan.""Saya akan
POV ABIAku sungguh merasa kecolongan, tak pernah ada di benakku akan seperti ini. Kukira semua akan baik-baik saja. Kacau, pikiranku sungguh kacau seolah tak bisa berputar saat kulihat Bella menahan sakit yang teramat. Melihat air mata yang juga tumpah di mana-mana, Asri, Pak Nardi, Papa, dan juga Bella yang menangis melihat keadaan Bella. Membuatku semakin kacau. Di saat aku melihat anak dan istriku dalam bahaya, Tari justru terus mendesak. Hal yang konyol dia minta. Talakku pada Bella yang tengah mengandung buah hati kami.Perlahan aku melangkah, gontai, air mataku pun tumpah. Kuraih jemari Bella yang juga terisak. Mengatakan talak bukanlah sebuah permainan terlebih pada wanita yang teramat aku sayang.Namun, memikirkan keselamatan dua orang yang begitu aku kasihi adalah yang utama. Sebagai seorang kepala keluarga aku harus bisa berkorban demi keselamatan mereka.Berat namun akhirnya kata itu terucap juga. Kutitipkan Bella dan anakku pada Papa, saat ini hanya Papa yang bisa aku a
"Jangan mimpi kamu, Tari. Selamanya Bella akan tetap menjadi istriku," tolak Abi mentah-mentah.Tari terbahak, sepertinya dia sudah tidak waras. Dendamnya begitu besar pada kami sehingga perbuatannya sudah tidak bisa di jangkau oleh logika."Apa kamu pikir setelah apa yang kalian lakukan padaku aku akan diam begitu saja, Mas?! Kamu sudah merenggut semuanya, bahkan perusahaan Papa bangkrut karenamu!""Perusahaan kalian bangkrut karena memang sudah seharusnya! Karena barang curian tidak akan pernah bertahan lama jika pemiliknya sudah mengetahui. Aku harap kamu ingat dengan ide yang kau curi di Batam, atau kamu sudah hilang ingatan?! Satu lagi, jangan panggil Mas padaku, jijik aku mendengarnya!" kata Abi lantang. "Apa karena istri kamu itu tidak bisa memanggil kamu dengan sebutan itu?" "Diam kamu, Tari!" Mereka terus berdebat mengeluarkan semua kata-kata kasar. Hingga aku merasa ada yang keluar dan basah."Abi!" teriakku saat kulihat cairan keluar. Asri dan Papa yang masih melihat ket
"Tari?!" lirihku. "Pak Nardi?!" Aku tersentak saat kulihat Pak Nardi sudah terikat dan terluka, mulutnya pun sudah ditutup oleh lakban. Tampak Pak Nardi memberi isyarat pada kami untuk berlari. Karena sepertinya Tari datang dengan niat tidak baik.Cepat aku dan Asri menutup pintu namun ditahan oleh laki-laki yang menemani Tari. Laki-laki bertubuh besar dan jumlahnya pun banyak.Mereka mendorong kami, beruntung aku hanya terhuyung tak sampai terjatuh karena Asri dengan cepat meraih tanganku."Apa maumu?" tanyaku. Mereka mendesak masuk ke dalam."Siapa, Bell?" Papa pun datang menghampiri setelah mendengar keributan."Tari?" Tak kalah sepertiku, Papa pun terlihat begitu kaget. Dua orang menyergap Papa yang berlari ke arah kami, bersamaan dengan itu dua orang mencekal kedua tanganku dan tangan Asri. "Apa-apaan ini, Tari?" berontak Papa memaksa untuk lepas dari kedua pria bertubuh kekar itu. Namun mereka mencengkeram tangan Papa lebih kuat. "Tenang, calon Papa mertua."Deg! Calon m
Di luar rencana sebelumnya yang hanya beberapa hari di Batam ternyata sampai sekarang Abi belum juga pulang. Ya, sudah hampir dua minggu Abi di Batam, rencananya besok baru akan pulang. Meski Abi selalu menghubungi lewat pesan atau video call, tetap saja hatiku hampa tanpa kehadirannya. Setiap malam biasanya dia memijat kaki yang semakin hari semakin terasa mudah sekali lelah. Sekarang Asri yang melakukannya, namun tak bisa setiap hari karena aku kasihan jika Asri harus melakukannya setiap hari.Tak jarang pula Abi berbicara pada anaknya walau hanya melalui ponsel, untuk sekedar menasehatinya untuk tidak nakal dan menjaga Mamanya."Sudah, Sri. Kamu istirahat sudah malam," kataku pada Asri yang tengah memijat kakiku saat kulihat benda pipih persegi panjang yang aku letakkan di atas nakas sebelahku itu berpendar. "Jangan lupa diminum susunya, Mbak. Nanti kalau Mas Abi telepon Asri biar bisa bilang sudah, Mas," kata Asri. Aku terkekeh, pasti mereka sering berhubungan melalui ponsel dan
"Bisa aja kamu, Bell," jawab Abi menggaruk tengkuknya, malu.Keluar dari kamar kulihat Papa duduk di sofa membaca majalah, majalah kami yang semakin berkembang pesat meski konsultasi Pak Christian dan Kak Raka secara virtual dengan Abi karena jarak yang jauh. "Papa mau nasi goreng? Sekalian Bella buatin, mau buatin Abi soalnya." tawarku."Memangnya kamu sudah boleh masak sama suamimu yang lebai itu?" tanya Papa, sejauh ini hubungan mereka masih sama, tak ada perubahan. Entah mau sampai kapan, kukira dengan kehamilanku akan membuat keduanya semakin dekat, namun kenyataannya tidak. Pernah aku meminta mereka untuk pergi bersama mencari rujak cingur di Surabaya dengan alasan permintaan bayi. Abi menolak dengan alasan akan basi, aku menjawab dan mengajari untuk beli saat waktu penerbangan sudah dekat, bumbu di pisah. Niat hati ingin mendekatkan mereka dengan menyuruh mencari makanan lebih jauh agar bisa menginap bersama. Aku malah ditertawakan. Abi membaca rencana dan tujuanku. Gagal la
Hari terasa begitu cepat, perut ini pun sudah semakin membesar seiring berjalannya acara tujuh bulanan beberapa waktu lalu. Menurut dokter, usia kandungan sudah menginjak 38 minggu. Tapi di usia kandungan yang semakin membesar, aku harus melepas Abi untuk pergi ke Batam karena suatu hal yang terjadi di proyek Batam dan memerlukan penanganan dari Abi secara langsung.Hayuda pun sudah mulai berangsur stabil. Sedangkan Mama belum juga diketahui ada di mana. "Hai anak papa, jangan nakal ya, besok Papa mau ke Batam dulu. Jagain Mama biar nggak ganjen sama si Dedi itu, ya," sindir Abi yang meletakkan kepalanya di pangkuanku, mengusap dan mengecup perut yang semakin membesar ini tiada henti. Itulah aktifitas Abi selama beberapa bulan ini setiap malam menjelang tidur. Sedang aku mengusap kepalanya."Ih, Abi, siapa yang ganjen, jangan fitnah di depan anak," keluhku, saat ini kami ada di atas ranjang big size kamarku, Abi meninggalkan kamarnya dan tidur di kamarku sejak kami pulang ke Jakart
Beranjak aku berdiri menyamainya. "Sayang, kalau aku lihat kamu terus jadi nggak tega untuk pergi, pengennya deket kamu terus, sayang-sayangan sama kamu," rayuku membelai wajah yang semakin hari semakin memancarkan aura kecantikan dan keibuan itu. Terdengar klise memang, tapi sangat dibutuhkan kalau hanya sekedar untuk merayu ibu hamil, meski aku sendiri kadang suka eneg setiap mendengar rayuanku."Benarkah?" tanyanya memelukku sejenak, Namun tiba-tiba melangkah menuju ke depan meja rias."Sini deh, lihat, perutku sudah mulai membuncit. Pantas saja kamu tidak tertarik lagi," ucapnya di depan kaca. Mengamati bentuk tubuhnya dari berbagai arah, tampaknya dia terganggu saat memelukku dan perut buncit itu bersentuhan dengan perutku terlebih dahulu.Aku pun mendekati dan memeluknya dari belakang, mengusap perut yang sudah mulai terlihat berisi. Terlihat dari pantulan cermin besar yang ada di depan sana wajah masam dari istri kesayangan. "S*eksi, aku suka. Ini yang membuat aku semakin cinta