Wanita dengan rambut yang asal digulung itu melayangkan tatapan berkilat penuh amarah ketika melihatku datang di kepolisian. Dengan dijaga dua polisi dikedua sisinya, Bu Sarti tetap berusaha hendak mencengkeramku.
"Buat apa kamu kemari, hah?!" Dia menggebrak meja. "Kamu sengaja kemari mau lihat penderitaan saya?" Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol."Pertama-tama, aku ingin minta maaf, kalau selama ini tanpa sadar sudah menyakiti hati Alina dan membuat Ibu membenciku. Biar bagaimanapun, Anda ibunya Alina, sahabatku. Aku tidak ingin keb---""Banyak omong kamu!" Belum sempat menyelesaikan kalimat, Bu Sarti menggapai rambutku yang tertutup jilbab merah ini. Menjambaknya kuat."Saya tidak akan pernah memaafkanmu, sampai kapan pun! Kamu tidak pantas bahagia setelah menghancurkan hidup anak saya!" Jambakannya makin kuat, walau ada dua polisi yang berusaha menahannya.Aku meringis kesakitan. "Sumpah, Bu, aku benar-benar nggak pernah tauAku melayangkan tatapan tajam pada Polisi Joshi, tidak lupa kedua tangan ini sontak menyilang di depan dada. Sang polisi malah merangkak mendekat dengan tatapan yang terlihat buas. "Jangan kurang ajar, Polisi Joshi!" ucapku penuh penekanan. Senyum smirk malah tercipta di bibir tipisnya. Dia terusan maju mendekat, bahkan sebentar lagi wajahnya menyentuh wajahku. "Angkat sendiri atau saya yang angkat? Hmm." Tatapannya bikin aku merinding. "Menjauh ...." Ucapanku tercekat ketika lengan kekar Polisi Joshi terulur mendekat ke arahku. "Mamaahh!""Mamahmu tidak ada di sini."Sontak aku menutup mata dengan debar jantung yang menggila. Bahkan, aku sampai menahan napas. Beberapa menit telah berlalu, aku masih setia menutup mata di tepi ranjang sambil menyilangkan tangan di dada. Tiba-tiba aku merasakan kening ini mendapat sentilan kecil yang langsung membuatku membulatkan mata. "Kamu mikirin apa?" Polisi Joshi terta
Mendengar tawaran yang aneh itu, sontak aku membuang muka yang memanas. Menarik napas dalam-dalam, menetralisir degup jantung yang mulai berkejaran. 'Aneh, aku yang melihat, aku pula yang malu. Giliran dia yang lihat, aku juga yang malu. Nggak adil!' Batinku menggerutu. "Kalau masih mau menikmati, nikmati saja. Tidak usah pura-pura memalingkan muka seperti itu." Polisi Joshi malah mengangkat tubuh ini dan memutarnya. "Lepas! Apa-apan, sih, Polisi? Lepasin, aku mau mandi." Aku memukul dada bidangnya. "Ya sudah, kalau begitu kita mandi berdua saja." Dia langsung membopong tubuh ini menuju ke kamar mandi. Langsung menceburkannya ke dalam bathtub. "Polisiiii!" Aku memekik kesal. Namun, langsung membeku ketika melihat kakinya ikutan dimasukkan ke dalam bathtub. "Mau ngapain? Kamu, 'kan, tadi sudah mandi. Keluar!" Aku mendorongnya. "Tadi saya mandinya kurang bersih. Jadi, bagaimana jika kamu membantu saya." Wajahnya tam
Tubuh malaikat tak bersayapku itu aku bersihkan. Memastikan dia tetap segar dan bersih walaupun belum juga membuka matanya. Aku telah mengatakan pada Mamah, jika sekarang putrinya ini telah menikah dengan polisi menyebalkan itu. Namun, dia hanya merespons datar dan dingin. Entahlah, Mamah menerima polisi menyebalkan itu sebagai menantunya atau tidak? "Mamah kapan siuman? Mamah harus segera sadar, Mamah harus beri restu untuk pernikahanku ini. Mamah harus liat cucu---" Aku menggantung kalimat, lantas mengigit lidah. Sejauh itu pikiranku. Padahal, aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan ini pada Polisi Joshi. Mau melanjutkan pernikahan ini atau tidak. Masih ragu dengan perasaan polisi itu. Apakah semua kata-kata mutiara yang terlontar dari bibirnya pagi tadi, adalah sebuah kejujuran atau hanya sekadar bualan? Aku masih belum sepenuhnya memercayai dia. Aku masih ragu. **Langkah ini aku ayunkan melewati rumah orang tuanya Alina. Di taman de
Joshi Pratama, seorang petugas kepolisian dengan dua bintang itu sedang dilanda kasmaran pada sang istri. Siapa sangka, gadis yang selalu dia duga sebagai kriminal itu, malah berhasil mencuri hatinya. Seorang Joshi Pratama yang terkenal tidak punya belas kasih pada orang lain, selalu melakukan segala cara demi keinginannya. Hanya satu yang dia pedulikan, kedudukan tinggi dalam kariernya di dalam kepolisian. Pagi ini, dia terburu-buru keluar rumah. Menuju ke sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk istrinya, Tania Azahira. Dia berencana untuk memberikan Tania sebuah cincin dan melamarnya kembali. Mengingat pernikahan mereka terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tidak ada lamaran, tidak ada pertunangan, juga tidak ada resepsi. Joshi berencana ingin menikah ulang dengan Tania di KUA, lalu menjalankan resepsi pernikahan yang meriah. "Ini cocok untuk Tania." Sebuah cincin sederhana, tetapi begitu mahal dengan tiga butir berlian kecil di atasnya, menjadi pili
Sambaran kilat, raungan petir, derasnya hujan, serta angin yang kencang di luar sana, mewakili hancurnya perasaan Tania malam ini. Siapa sangka, pria yang diharapkan akan menjadi pelindungnya tersebut, malah tiba-tiba menjelma sebagai sosok monster mengerikan di mata Tania. "Lepas, Polisi Joshi! Lepas!" teriak Tania mendartakan gigitan pada bahu Joshi. Namun, gigitan keras dari Tania itu tidak berpengaruh apa pun pada Joshi yang sudah dirasuki nafsu setan. Joshi malah menahan kedua pergelangan tangan Tania. Lantas, memulai aksinya. Baju kaus panjang yang Tania kenakan, Joshi robek dengan sekali tarikan kasar. Sontak Tania menutupi dadanya dengan kedua tangan. Menatap Joshi dengan sangat memelas juga ketakutan, berharap ada rasa kasihan di hati pria yang mulai dia percayai itu. "Ku-kumohon, ja-ngan lakukan hal i-itu padaku ...." Suara lirih Tania hanya ditanggapi raut penuh nafsu Joshi. "Kamu itu istri saya. Jadi, kamu berhak memberi saya hak sebagai suami." Tangan Joshi membelai r
Wanita dengan rambut dikucir itu, mondar-mandir di ruang UGD. Wanita yang bernama Karin tersebut, sangat cemas memikirkan seseorang yang baru saja menjadi korban tabrakannya. Sesekali dia menggigit kuku-kukunya, guna menghilangkan kecemasan. Niat hati ingin menemui sang kakak di tengah badai, malah membuat dia tidak sengaja menabrak seseorang. "Karin, bagaimana keadaanmu?" Sang kakak datang dengan tergopoh. Sekitar setengah jam yang lalu, Karin sudah menelepon kakaknya itu. Mengatakan hal buruk yang sedang menimpanya. "Aku baik-baik saja, Kak. Tapi, wanita itu ... dia terluka parah." Karin menerangkan dengan raut cemas. "Aku takut dipenjara, Kak. Aku benar-benar nggak sengaja nabrak dia.""Ok, ok, kamu tenang dulu. Kita tunggu saja bagaimana keterangan dokter nantinya."Tidak lama kemudian, beberapa perawat keluar sambil membawa brankar yang berisi seorang pasien dengan balutan perban di kening juga di lengan. "Ta-nia ...!" Sang kakak
Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan, membuat Tania tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia bukan saja pergi menjauh dari Joshi, tetapi juga pada ibunda tercintanya. Hari itu juga, Tania pergi jauh dari desanya. Dia mengikuti Karin, pergi ke Panti Al-Ikhlas. Panti tersebut hanya diurus beberapa seorang wanita. Tidak ada satu pun pria yang jadi pengurus panti itu. Jadi, psikis Tania aman berada di sana. Panti yang dibangun di pinggiran kota itu, memiliki sekitar ratusan anak. Karin sendiri di sana hanya sebagai pelatih karate bagi anak-anak manis tersebut. Menurutnya, selain belajar ilmu agama, anak-anak panti juga wajib belajar ilmu bela diri. Membela diri sendiri itu perlu, jika ada orang yang kurang ajar. "Mbak, kamarnya di sana, yah!" Seorang ibu pengurus panti, mengajak Tania keliling panti, lalu menunjukkan kamar untuknya. Tidak ada jawaban dari bibir tipis itu, sedangkan Karin memilih menuntut Tania masuk. Sebelumnya, Karin sudah minta iz
Seketika pikiran Joshi terbayang pada malam kejadian itu juga beberapa malam sebelumnya. Joshi ingat betul wajah itu. Kalau tidak salah, dialah pria yang pernah mengantar Tania pulang ke rumah. Sekarang, Joshi kembali membaca nama papan kafe tersebut. 'Kamu kerja di mana?''Kafe Kenanga.'Kembali bayangan Joshi mengingat saat Tania pulang kerja malam itu. Ya, kafe ini tempat kerja Tania kemarin. Begitulah yang ada di pikiran Joshi. Dia juga mengingat, beberapa kali Tania diantar pulang oleh bosnya. Tidak salah lagi, pria tadi adalah mantan bos Tania. "Tunggu!" Joshi membalikan badan, mengejar Bagas yang hendak menuju mobil. "Tunggu!" seru Joshi lagi. Bagas yang hendak memasukan badannya ke mobil, diuurungkan kala melihat Joshi mendekat ke arahnya dengan tergopoh."Anda memanggil saya ....""Katakan, di mana Tania?!" Joshi langsung bertanya to the point. Tidak lupa dia memelintir tangan Bagas ke belakang. Bag