Joshi Pratama, seorang petugas kepolisian dengan dua bintang itu sedang dilanda kasmaran pada sang istri. Siapa sangka, gadis yang selalu dia duga sebagai kriminal itu, malah berhasil mencuri hatinya. Seorang Joshi Pratama yang terkenal tidak punya belas kasih pada orang lain, selalu melakukan segala cara demi keinginannya. Hanya satu yang dia pedulikan, kedudukan tinggi dalam kariernya di dalam kepolisian.
Pagi ini, dia terburu-buru keluar rumah. Menuju ke sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk istrinya, Tania Azahira. Dia berencana untuk memberikan Tania sebuah cincin dan melamarnya kembali. Mengingat pernikahan mereka terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tidak ada lamaran, tidak ada pertunangan, juga tidak ada resepsi. Joshi berencana ingin menikah ulang dengan Tania di KUA, lalu menjalankan resepsi pernikahan yang meriah."Ini cocok untuk Tania." Sebuah cincin sederhana, tetapi begitu mahal dengan tiga butir berlian kecil di atasnya, menjadi piliSambaran kilat, raungan petir, derasnya hujan, serta angin yang kencang di luar sana, mewakili hancurnya perasaan Tania malam ini. Siapa sangka, pria yang diharapkan akan menjadi pelindungnya tersebut, malah tiba-tiba menjelma sebagai sosok monster mengerikan di mata Tania. "Lepas, Polisi Joshi! Lepas!" teriak Tania mendartakan gigitan pada bahu Joshi. Namun, gigitan keras dari Tania itu tidak berpengaruh apa pun pada Joshi yang sudah dirasuki nafsu setan. Joshi malah menahan kedua pergelangan tangan Tania. Lantas, memulai aksinya. Baju kaus panjang yang Tania kenakan, Joshi robek dengan sekali tarikan kasar. Sontak Tania menutupi dadanya dengan kedua tangan. Menatap Joshi dengan sangat memelas juga ketakutan, berharap ada rasa kasihan di hati pria yang mulai dia percayai itu. "Ku-kumohon, ja-ngan lakukan hal i-itu padaku ...." Suara lirih Tania hanya ditanggapi raut penuh nafsu Joshi. "Kamu itu istri saya. Jadi, kamu berhak memberi saya hak sebagai suami." Tangan Joshi membelai r
Wanita dengan rambut dikucir itu, mondar-mandir di ruang UGD. Wanita yang bernama Karin tersebut, sangat cemas memikirkan seseorang yang baru saja menjadi korban tabrakannya. Sesekali dia menggigit kuku-kukunya, guna menghilangkan kecemasan. Niat hati ingin menemui sang kakak di tengah badai, malah membuat dia tidak sengaja menabrak seseorang. "Karin, bagaimana keadaanmu?" Sang kakak datang dengan tergopoh. Sekitar setengah jam yang lalu, Karin sudah menelepon kakaknya itu. Mengatakan hal buruk yang sedang menimpanya. "Aku baik-baik saja, Kak. Tapi, wanita itu ... dia terluka parah." Karin menerangkan dengan raut cemas. "Aku takut dipenjara, Kak. Aku benar-benar nggak sengaja nabrak dia.""Ok, ok, kamu tenang dulu. Kita tunggu saja bagaimana keterangan dokter nantinya."Tidak lama kemudian, beberapa perawat keluar sambil membawa brankar yang berisi seorang pasien dengan balutan perban di kening juga di lengan. "Ta-nia ...!" Sang kakak
Kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan, membuat Tania tidak bisa berpikir dengan jernih. Dia bukan saja pergi menjauh dari Joshi, tetapi juga pada ibunda tercintanya. Hari itu juga, Tania pergi jauh dari desanya. Dia mengikuti Karin, pergi ke Panti Al-Ikhlas. Panti tersebut hanya diurus beberapa seorang wanita. Tidak ada satu pun pria yang jadi pengurus panti itu. Jadi, psikis Tania aman berada di sana. Panti yang dibangun di pinggiran kota itu, memiliki sekitar ratusan anak. Karin sendiri di sana hanya sebagai pelatih karate bagi anak-anak manis tersebut. Menurutnya, selain belajar ilmu agama, anak-anak panti juga wajib belajar ilmu bela diri. Membela diri sendiri itu perlu, jika ada orang yang kurang ajar. "Mbak, kamarnya di sana, yah!" Seorang ibu pengurus panti, mengajak Tania keliling panti, lalu menunjukkan kamar untuknya. Tidak ada jawaban dari bibir tipis itu, sedangkan Karin memilih menuntut Tania masuk. Sebelumnya, Karin sudah minta iz
Seketika pikiran Joshi terbayang pada malam kejadian itu juga beberapa malam sebelumnya. Joshi ingat betul wajah itu. Kalau tidak salah, dialah pria yang pernah mengantar Tania pulang ke rumah. Sekarang, Joshi kembali membaca nama papan kafe tersebut. 'Kamu kerja di mana?''Kafe Kenanga.'Kembali bayangan Joshi mengingat saat Tania pulang kerja malam itu. Ya, kafe ini tempat kerja Tania kemarin. Begitulah yang ada di pikiran Joshi. Dia juga mengingat, beberapa kali Tania diantar pulang oleh bosnya. Tidak salah lagi, pria tadi adalah mantan bos Tania. "Tunggu!" Joshi membalikan badan, mengejar Bagas yang hendak menuju mobil. "Tunggu!" seru Joshi lagi. Bagas yang hendak memasukan badannya ke mobil, diuurungkan kala melihat Joshi mendekat ke arahnya dengan tergopoh."Anda memanggil saya ....""Katakan, di mana Tania?!" Joshi langsung bertanya to the point. Tidak lupa dia memelintir tangan Bagas ke belakang. Bag
Bagas langsung melajukan mobilnya dengan kencang menuju ke Pesantren Al-Ikhlas. Jarak pesantren tersebut lumayan jauh, sekitar tiga jam perjalanan dari Kafe Kenanga. Pikiran Bagas mendadak kacau. Dia teringat dengan polisi yang dipukulinya tadi. Dia tidak menyangka, jika wanita yang ia kagumi suaranya itu sudah menikah. Entah kenapa, hatinya berusaha untuk menyangkal hal tersebut. "Bagaimana kabar Tania sekarang?" Bagas langsung bertanya ketika tiba di panti. Karin yang duduk di teras sambil mengetik ponsel, mendongak kala mendengar suara sang kakak. "Dia baik. Lagi istirahat. Mukanya pucat banget. Sudah beberapa kali saya bilang untuk pergi ke rumah sakit, tapi dia selalu menolak dengan mengatakan baik-baik saja," jelas Karin sembari mengetik ponsel. Saling bertukar pesan dengan pacarnya. "Harusnya kamu bujuk. Kalau dia sampai kenapa-napa, gimana?" Bagas mengembuskan napas gusar. Lantas, mengayunkan kaki masuk ke dalam gedung panti.
Sepasang mata elang itu tampak berkaca-kaca sambil memegang pintu gerbang berbentuk kerangkek yang dicat hijau. Pandangannya memandang jauh ke samping depan sana, menyaksikan sang wanita yang berjilbab kuning saling melempar bola bersama anak-anak. Senyuman yang terpatri di bibir pink alami si wanita, ibarat angin sejuk yang menyapa hatinya, membuat perasaannya menyejuk. Namun, di sisi itu juga ada rasa sesak yang menghimpitnya kala berpikir, masih maukah wanita tersebut memaafkan dirinya. "Bagaimana, mau bertemu dengan dia sekarang?" Bagas yang sedari tadi berdiri sambil bersandar di badan mobilnya, bersuara. Membuat Joshi seketika terhenyak dan sontak menyeka bulir air mata yang sebentar lagi akan meluncur. Joshi tampak diam beberapa saat, hatinya berkecamuk. Ingin menemui Tania sekarang, tetapi dia takut Tania akan menolaknya. "Apa dia akan menerimaku?" Joshi dilanda kebimbangan. Bagas terkekeh singkat melihat ekspresi Joshi yang sedikit me
Melihat ekspresi Tania yang memucat, membuat Joshi kembali dirundung rasa bersalah. Dia kebingungan, hendak menghampiri Tania atau pergi dari hadapannya saja. Orang-orang yang berada di pesantren sontak menjadikan Tania pusat perhatian. Ada yang mengasihani, tetapi ada juga yang menganggapnya aneh karena ketakutan sendiri. "Sudah aku bilang, 'kan, ide yang buruk buat munculin cowok ini di hadapan Tania!" Karin muncul membelah kerumunan. Dia langsung memeluk Tania yang gemetar ketakutan sambil menatap Joshi, sedangkan pria itu hanya memandang Tania sayu. Penuh rasa bersalah. Dadanya terasa dihimpit dua batu besar, hingga membuat dia kesulitan walau hanya menghela napas. "Tania, saya ...." Belum sempat Joshi menyelesaikan kalimatnya, Tania sudah tumbang tidak sadarkan diri. Melihat hal itu, Bagas yang berada di tempat kejadian juga hendak langsung menolong dan menggendong Tania. Namun, dengan sigap dan tegas Joshi melarang hal itu. "Di
Seorang bidan berumur lima puluh tahunan, baru saja keluar dari kamar Tania. Dia baru selesai mengecek kondisi kehamilan Tania. Joshi yang melihat Tania pingsan dengan wajah pucat pasi tadi langsung memanggil bidan terdekat. Rasa khawatir benar-benar mengungkung polisi berparas kaukasoid itu. "Dia sepertinya terlalu emosi seharian ini, sampai-sampai dia tidak bisa mengontrol diri sendiri. Stres juga sangat memperngaruhi kehamilannya. Jangan sampai dia stres lagi, ini bisa berakibat fatal pada kandungnya," terang bidan itu. Joshi hanya menyimak dengan perasaan nelangsa. Itu semua gara-gara dirinya. "Segera tebus obat-obatan dan vitamin ini. Pastikan istri Anda rutin meminum obatnya agar janinnya kuat." Sang bidan memberikan sehelai kertas pada Joshi. Setelah itu, langsung saja Joshi mengantar pulang bidan itu sekalian membeli obat dan vitamin untuk Tania. Joshi berjanji akan menjaga Tania sebaik mungkin. Memastikan Tania dan calon ana