Wajah Polisi Joshi makin didekatkan pada wajah ini, sontak saja aku mencium bau alkohol dari sang pria.
Membuatku memalingkan muka sambil menangis. Mendengar dia yang ikut-ikutan mengataiku sebagai wanita murahan, benar-benar melukai perasaan.Ketika wajah itu hampir mendarat di pipi, aku langsung beralih menggigit bahu Polisi Joshi. Menggigitnya erat, sampai dia mengerang dan melepaskan cekalannya. Aku segera mendorong tubuh sang pria yang mengenakan baju kaus tipis itu dengan kasar."A-aku tidak pernah menyangka, kalau tanggapanmu padaku juga se-serendah itu." Dada ini bergemuruh hebat. Berusaha mungkin aku menahan tangis.Segera aku merogoh saku celana, mengeluarkan dompet. Kartu ATM yang tadi pagi dia berikan langsung aku keluarkan dengan cepat."Ambil kembali barang milikmu! Silahkan liat sendiri, uangmu tidak berkurang walau sepersen pun." Kartu tersebut aku lempar ke atas meja, sedangkan Polisi Joshi hanya menatapku datar.Tubuhku tenggelam dalam air kolam yang sangat sejuk. Aku tidak bisa berenang, membuat tangan ini hanya menggapai-gapai udara, sedangkan kaki menendang-nendang mencari pijakkan. Air bebas masuk ke mulut dan hidungku. Belum juga rasa sakit yang menjalar di kening akibat pukulan dari gagang cangkul yang keras tadi. Aku ingin tiada, ini sangat menyiksaku. "Angkat dia, seret ke pondok!"Dalam pandangan yang memburam dan sekilas, kutangkap wajah Bu Sarti melemparkan seringai lebar padaku, sedangkan Sardin turun ke kolam. Mengangkat tubuh ini. "Tidak usah digendong. Seret saja!" perintah Bu Sarti tegas. "Tapi, Mah ....""Turuti perintah Mamah, jangan membantah!" bentak Bu Sarti. "Cepat, sebelum bapakmu pulang dari kondangan. Jangan sampai dia lihat kelakuan kita ini!"Tanpa bicara lagi, Sardin meletakkan tubuhku di tanah. Detik berikutnya, kakiku langsung diseret menuju ke halaman belakang. Membuat punggung juga kepalaku menyapu perm
Untuk menyakinkan diri, masih dengan kondisi menutup mata, tanganku perlahan memanjat meraba ke atas. Kini telapak tanganku menemui sebuah rambut yang langsung membuatku tersentak dengan mata membulat sempurna. Rahang tegas Polisi Joshi langsung memenuhi indra penglihatan ketika aku mendongak. Wajahku kini tepat berasa di dada bidang sang polisi yang hanya mengenakan kaus putih oblong. "As-ta-ga ...," gumamku tercekat. Jantung langsung saja berdebar kencang ketika tahu kami sedang tidur seranjang, bahkan satu selimut berwarna krem. Astaga! Kelopak mata Polisi Joshi masih tertutup, perlahan aku mengakat tangan dari rambutnya. Lantas, beringsut mundur menjauhi badannya. Siapa sangka, sang polisi malah mengulurkan lengan kekarnya itu di pinggangku dan menarik diri ini agar tenggelam lagi dalam dekapannya. "Tidurlah ....""Aww!" Aku meringis kala telapak tangan Polisi Joshi menekan punggungku. Sepertinya punggungku terluka akibat diseret kasar sema
Wanita dengan rambut yang asal digulung itu melayangkan tatapan berkilat penuh amarah ketika melihatku datang di kepolisian. Dengan dijaga dua polisi dikedua sisinya, Bu Sarti tetap berusaha hendak mencengkeramku. "Buat apa kamu kemari, hah?!" Dia menggebrak meja. "Kamu sengaja kemari mau lihat penderitaan saya?" Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol."Pertama-tama, aku ingin minta maaf, kalau selama ini tanpa sadar sudah menyakiti hati Alina dan membuat Ibu membenciku. Biar bagaimanapun, Anda ibunya Alina, sahabatku. Aku tidak ingin keb---""Banyak omong kamu!" Belum sempat menyelesaikan kalimat, Bu Sarti menggapai rambutku yang tertutup jilbab merah ini. Menjambaknya kuat. "Saya tidak akan pernah memaafkanmu, sampai kapan pun! Kamu tidak pantas bahagia setelah menghancurkan hidup anak saya!" Jambakannya makin kuat, walau ada dua polisi yang berusaha menahannya. Aku meringis kesakitan. "Sumpah, Bu, aku benar-benar nggak pernah tau
Aku melayangkan tatapan tajam pada Polisi Joshi, tidak lupa kedua tangan ini sontak menyilang di depan dada. Sang polisi malah merangkak mendekat dengan tatapan yang terlihat buas. "Jangan kurang ajar, Polisi Joshi!" ucapku penuh penekanan. Senyum smirk malah tercipta di bibir tipisnya. Dia terusan maju mendekat, bahkan sebentar lagi wajahnya menyentuh wajahku. "Angkat sendiri atau saya yang angkat? Hmm." Tatapannya bikin aku merinding. "Menjauh ...." Ucapanku tercekat ketika lengan kekar Polisi Joshi terulur mendekat ke arahku. "Mamaahh!""Mamahmu tidak ada di sini."Sontak aku menutup mata dengan debar jantung yang menggila. Bahkan, aku sampai menahan napas. Beberapa menit telah berlalu, aku masih setia menutup mata di tepi ranjang sambil menyilangkan tangan di dada. Tiba-tiba aku merasakan kening ini mendapat sentilan kecil yang langsung membuatku membulatkan mata. "Kamu mikirin apa?" Polisi Joshi terta
Mendengar tawaran yang aneh itu, sontak aku membuang muka yang memanas. Menarik napas dalam-dalam, menetralisir degup jantung yang mulai berkejaran. 'Aneh, aku yang melihat, aku pula yang malu. Giliran dia yang lihat, aku juga yang malu. Nggak adil!' Batinku menggerutu. "Kalau masih mau menikmati, nikmati saja. Tidak usah pura-pura memalingkan muka seperti itu." Polisi Joshi malah mengangkat tubuh ini dan memutarnya. "Lepas! Apa-apan, sih, Polisi? Lepasin, aku mau mandi." Aku memukul dada bidangnya. "Ya sudah, kalau begitu kita mandi berdua saja." Dia langsung membopong tubuh ini menuju ke kamar mandi. Langsung menceburkannya ke dalam bathtub. "Polisiiii!" Aku memekik kesal. Namun, langsung membeku ketika melihat kakinya ikutan dimasukkan ke dalam bathtub. "Mau ngapain? Kamu, 'kan, tadi sudah mandi. Keluar!" Aku mendorongnya. "Tadi saya mandinya kurang bersih. Jadi, bagaimana jika kamu membantu saya." Wajahnya tam
Tubuh malaikat tak bersayapku itu aku bersihkan. Memastikan dia tetap segar dan bersih walaupun belum juga membuka matanya. Aku telah mengatakan pada Mamah, jika sekarang putrinya ini telah menikah dengan polisi menyebalkan itu. Namun, dia hanya merespons datar dan dingin. Entahlah, Mamah menerima polisi menyebalkan itu sebagai menantunya atau tidak? "Mamah kapan siuman? Mamah harus segera sadar, Mamah harus beri restu untuk pernikahanku ini. Mamah harus liat cucu---" Aku menggantung kalimat, lantas mengigit lidah. Sejauh itu pikiranku. Padahal, aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan ini pada Polisi Joshi. Mau melanjutkan pernikahan ini atau tidak. Masih ragu dengan perasaan polisi itu. Apakah semua kata-kata mutiara yang terlontar dari bibirnya pagi tadi, adalah sebuah kejujuran atau hanya sekadar bualan? Aku masih belum sepenuhnya memercayai dia. Aku masih ragu. **Langkah ini aku ayunkan melewati rumah orang tuanya Alina. Di taman de
Joshi Pratama, seorang petugas kepolisian dengan dua bintang itu sedang dilanda kasmaran pada sang istri. Siapa sangka, gadis yang selalu dia duga sebagai kriminal itu, malah berhasil mencuri hatinya. Seorang Joshi Pratama yang terkenal tidak punya belas kasih pada orang lain, selalu melakukan segala cara demi keinginannya. Hanya satu yang dia pedulikan, kedudukan tinggi dalam kariernya di dalam kepolisian. Pagi ini, dia terburu-buru keluar rumah. Menuju ke sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk istrinya, Tania Azahira. Dia berencana untuk memberikan Tania sebuah cincin dan melamarnya kembali. Mengingat pernikahan mereka terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tidak ada lamaran, tidak ada pertunangan, juga tidak ada resepsi. Joshi berencana ingin menikah ulang dengan Tania di KUA, lalu menjalankan resepsi pernikahan yang meriah. "Ini cocok untuk Tania." Sebuah cincin sederhana, tetapi begitu mahal dengan tiga butir berlian kecil di atasnya, menjadi pili
Sambaran kilat, raungan petir, derasnya hujan, serta angin yang kencang di luar sana, mewakili hancurnya perasaan Tania malam ini. Siapa sangka, pria yang diharapkan akan menjadi pelindungnya tersebut, malah tiba-tiba menjelma sebagai sosok monster mengerikan di mata Tania. "Lepas, Polisi Joshi! Lepas!" teriak Tania mendartakan gigitan pada bahu Joshi. Namun, gigitan keras dari Tania itu tidak berpengaruh apa pun pada Joshi yang sudah dirasuki nafsu setan. Joshi malah menahan kedua pergelangan tangan Tania. Lantas, memulai aksinya. Baju kaus panjang yang Tania kenakan, Joshi robek dengan sekali tarikan kasar. Sontak Tania menutupi dadanya dengan kedua tangan. Menatap Joshi dengan sangat memelas juga ketakutan, berharap ada rasa kasihan di hati pria yang mulai dia percayai itu. "Ku-kumohon, ja-ngan lakukan hal i-itu padaku ...." Suara lirih Tania hanya ditanggapi raut penuh nafsu Joshi. "Kamu itu istri saya. Jadi, kamu berhak memberi saya hak sebagai suami." Tangan Joshi membelai r
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.