Baru saja aku sampai di ruang tengah, Bu Sarti langsung bertanya dengan suara setengah membentak. Matanya menyipit tajam, memindai diri ini dari ujung kaki sampai kepala. Membuatku salah tingkah, takut sepatu sneakers yang aku kenakan terdapat lumpur atau hal-hal lainnya yang membuat dia mencurigai keberadaanku sebelumnya.
"Wahh ... makasih, yah, Neng sudah bantuin Bibi buat nyuapin sama nidurin Non Alisa." Tiba-tiba dari arah jam sembilan, wanita yang ditugaskan mengurus Alisa muncul dan bersuara."Kalau bukan karena bantuan Neng, pasti Non Alisa masih rewel biasanya jam begini," lanjutnya, lalu menunduk saat bersitatap dengan Bu Sarti."Lain kali, jangan berikan Alisa sama orang asing. Sekali lagi saya tau kamu ngasi Alisa sama orang asing, saya pecat kamu!" ancam Bu Sarti pada wanita itu."Baik, Nyonya." Wanita itu hanya menunduk ketakutan.Aku mengembuskan napas lega. Beruntung ada wanita itu yang tiba-tiba datang dan mengucapkanWajah Polisi Joshi makin didekatkan pada wajah ini, sontak saja aku mencium bau alkohol dari sang pria. Membuatku memalingkan muka sambil menangis. Mendengar dia yang ikut-ikutan mengataiku sebagai wanita murahan, benar-benar melukai perasaan. Ketika wajah itu hampir mendarat di pipi, aku langsung beralih menggigit bahu Polisi Joshi. Menggigitnya erat, sampai dia mengerang dan melepaskan cekalannya. Aku segera mendorong tubuh sang pria yang mengenakan baju kaus tipis itu dengan kasar. "A-aku tidak pernah menyangka, kalau tanggapanmu padaku juga se-serendah itu." Dada ini bergemuruh hebat. Berusaha mungkin aku menahan tangis. Segera aku merogoh saku celana, mengeluarkan dompet. Kartu ATM yang tadi pagi dia berikan langsung aku keluarkan dengan cepat. "Ambil kembali barang milikmu! Silahkan liat sendiri, uangmu tidak berkurang walau sepersen pun." Kartu tersebut aku lempar ke atas meja, sedangkan Polisi Joshi hanya menatapku datar.
Tubuhku tenggelam dalam air kolam yang sangat sejuk. Aku tidak bisa berenang, membuat tangan ini hanya menggapai-gapai udara, sedangkan kaki menendang-nendang mencari pijakkan. Air bebas masuk ke mulut dan hidungku. Belum juga rasa sakit yang menjalar di kening akibat pukulan dari gagang cangkul yang keras tadi. Aku ingin tiada, ini sangat menyiksaku. "Angkat dia, seret ke pondok!"Dalam pandangan yang memburam dan sekilas, kutangkap wajah Bu Sarti melemparkan seringai lebar padaku, sedangkan Sardin turun ke kolam. Mengangkat tubuh ini. "Tidak usah digendong. Seret saja!" perintah Bu Sarti tegas. "Tapi, Mah ....""Turuti perintah Mamah, jangan membantah!" bentak Bu Sarti. "Cepat, sebelum bapakmu pulang dari kondangan. Jangan sampai dia lihat kelakuan kita ini!"Tanpa bicara lagi, Sardin meletakkan tubuhku di tanah. Detik berikutnya, kakiku langsung diseret menuju ke halaman belakang. Membuat punggung juga kepalaku menyapu perm
Untuk menyakinkan diri, masih dengan kondisi menutup mata, tanganku perlahan memanjat meraba ke atas. Kini telapak tanganku menemui sebuah rambut yang langsung membuatku tersentak dengan mata membulat sempurna. Rahang tegas Polisi Joshi langsung memenuhi indra penglihatan ketika aku mendongak. Wajahku kini tepat berasa di dada bidang sang polisi yang hanya mengenakan kaus putih oblong. "As-ta-ga ...," gumamku tercekat. Jantung langsung saja berdebar kencang ketika tahu kami sedang tidur seranjang, bahkan satu selimut berwarna krem. Astaga! Kelopak mata Polisi Joshi masih tertutup, perlahan aku mengakat tangan dari rambutnya. Lantas, beringsut mundur menjauhi badannya. Siapa sangka, sang polisi malah mengulurkan lengan kekarnya itu di pinggangku dan menarik diri ini agar tenggelam lagi dalam dekapannya. "Tidurlah ....""Aww!" Aku meringis kala telapak tangan Polisi Joshi menekan punggungku. Sepertinya punggungku terluka akibat diseret kasar sema
Wanita dengan rambut yang asal digulung itu melayangkan tatapan berkilat penuh amarah ketika melihatku datang di kepolisian. Dengan dijaga dua polisi dikedua sisinya, Bu Sarti tetap berusaha hendak mencengkeramku. "Buat apa kamu kemari, hah?!" Dia menggebrak meja. "Kamu sengaja kemari mau lihat penderitaan saya?" Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol."Pertama-tama, aku ingin minta maaf, kalau selama ini tanpa sadar sudah menyakiti hati Alina dan membuat Ibu membenciku. Biar bagaimanapun, Anda ibunya Alina, sahabatku. Aku tidak ingin keb---""Banyak omong kamu!" Belum sempat menyelesaikan kalimat, Bu Sarti menggapai rambutku yang tertutup jilbab merah ini. Menjambaknya kuat. "Saya tidak akan pernah memaafkanmu, sampai kapan pun! Kamu tidak pantas bahagia setelah menghancurkan hidup anak saya!" Jambakannya makin kuat, walau ada dua polisi yang berusaha menahannya. Aku meringis kesakitan. "Sumpah, Bu, aku benar-benar nggak pernah tau
Aku melayangkan tatapan tajam pada Polisi Joshi, tidak lupa kedua tangan ini sontak menyilang di depan dada. Sang polisi malah merangkak mendekat dengan tatapan yang terlihat buas. "Jangan kurang ajar, Polisi Joshi!" ucapku penuh penekanan. Senyum smirk malah tercipta di bibir tipisnya. Dia terusan maju mendekat, bahkan sebentar lagi wajahnya menyentuh wajahku. "Angkat sendiri atau saya yang angkat? Hmm." Tatapannya bikin aku merinding. "Menjauh ...." Ucapanku tercekat ketika lengan kekar Polisi Joshi terulur mendekat ke arahku. "Mamaahh!""Mamahmu tidak ada di sini."Sontak aku menutup mata dengan debar jantung yang menggila. Bahkan, aku sampai menahan napas. Beberapa menit telah berlalu, aku masih setia menutup mata di tepi ranjang sambil menyilangkan tangan di dada. Tiba-tiba aku merasakan kening ini mendapat sentilan kecil yang langsung membuatku membulatkan mata. "Kamu mikirin apa?" Polisi Joshi terta
Mendengar tawaran yang aneh itu, sontak aku membuang muka yang memanas. Menarik napas dalam-dalam, menetralisir degup jantung yang mulai berkejaran. 'Aneh, aku yang melihat, aku pula yang malu. Giliran dia yang lihat, aku juga yang malu. Nggak adil!' Batinku menggerutu. "Kalau masih mau menikmati, nikmati saja. Tidak usah pura-pura memalingkan muka seperti itu." Polisi Joshi malah mengangkat tubuh ini dan memutarnya. "Lepas! Apa-apan, sih, Polisi? Lepasin, aku mau mandi." Aku memukul dada bidangnya. "Ya sudah, kalau begitu kita mandi berdua saja." Dia langsung membopong tubuh ini menuju ke kamar mandi. Langsung menceburkannya ke dalam bathtub. "Polisiiii!" Aku memekik kesal. Namun, langsung membeku ketika melihat kakinya ikutan dimasukkan ke dalam bathtub. "Mau ngapain? Kamu, 'kan, tadi sudah mandi. Keluar!" Aku mendorongnya. "Tadi saya mandinya kurang bersih. Jadi, bagaimana jika kamu membantu saya." Wajahnya tam
Tubuh malaikat tak bersayapku itu aku bersihkan. Memastikan dia tetap segar dan bersih walaupun belum juga membuka matanya. Aku telah mengatakan pada Mamah, jika sekarang putrinya ini telah menikah dengan polisi menyebalkan itu. Namun, dia hanya merespons datar dan dingin. Entahlah, Mamah menerima polisi menyebalkan itu sebagai menantunya atau tidak? "Mamah kapan siuman? Mamah harus segera sadar, Mamah harus beri restu untuk pernikahanku ini. Mamah harus liat cucu---" Aku menggantung kalimat, lantas mengigit lidah. Sejauh itu pikiranku. Padahal, aku sendiri belum tahu bagaimana perasaan ini pada Polisi Joshi. Mau melanjutkan pernikahan ini atau tidak. Masih ragu dengan perasaan polisi itu. Apakah semua kata-kata mutiara yang terlontar dari bibirnya pagi tadi, adalah sebuah kejujuran atau hanya sekadar bualan? Aku masih belum sepenuhnya memercayai dia. Aku masih ragu. **Langkah ini aku ayunkan melewati rumah orang tuanya Alina. Di taman de
Joshi Pratama, seorang petugas kepolisian dengan dua bintang itu sedang dilanda kasmaran pada sang istri. Siapa sangka, gadis yang selalu dia duga sebagai kriminal itu, malah berhasil mencuri hatinya. Seorang Joshi Pratama yang terkenal tidak punya belas kasih pada orang lain, selalu melakukan segala cara demi keinginannya. Hanya satu yang dia pedulikan, kedudukan tinggi dalam kariernya di dalam kepolisian. Pagi ini, dia terburu-buru keluar rumah. Menuju ke sebuah toko perhiasan untuk membeli sebuah cincin untuk istrinya, Tania Azahira. Dia berencana untuk memberikan Tania sebuah cincin dan melamarnya kembali. Mengingat pernikahan mereka terjadi dengan begitu tiba-tiba. Tidak ada lamaran, tidak ada pertunangan, juga tidak ada resepsi. Joshi berencana ingin menikah ulang dengan Tania di KUA, lalu menjalankan resepsi pernikahan yang meriah. "Ini cocok untuk Tania." Sebuah cincin sederhana, tetapi begitu mahal dengan tiga butir berlian kecil di atasnya, menjadi pili