Mataku membulat sempurna, jantung ini berdegup kencang menerima serangan mendadak dari Polisi Joshi, belum lagi tatapan tajamnya yang memerah menghujam diri ini.
Sang polisi yang menyadari di bawahnya adalah aku, lantas mengurangi tekanan lengannya pada leherku. Akan tetapi, dia belum juga beranjak dari atasku. Mata kami terus beradu dengan deru napas sang polisi yang begitu cepat. Perlahan, Polisi Joshi malah mendekatkan bibirnya. Aku sontak menutup mata erat sembari membuang muka dengan debaran jantung yang menggila.Satu detik, dua detik, tiga detik, bahkan lima detik sudah terlewati. Akan tetapi, aku tidak merasakan ada pergerakan lagi dari Polisi Joshi. Bibirnya pun tak sampai-sampai pada diri ini.Eh, apa, sih, yang aku pikirkan?Dengan perlahan, aku membuka mata. Terlihat Polisi Joshi masih di atasku sambil menatap wajah ini dengan saksama."Menjauh!" Sontak aku mendorong tubuhnya secara kasar, lalu bangkit untuk duduk."Pak Bagas, kok, mau ketemu sama Pak Arto pake minta diantarin segala?" Aku bertanya sambil menikmati embusan angin yang membelai wajah. Rasanya wajahku begitu lembut dan terasa kenyal setelah melakukan perawatan di salon tadi. Kuku-kukuku juga terlihat tampak cantik dengan olesan cat kuning keemasan dan bertabur sedikit glitter. Rambut yang tertutupi oleh jilbab toska ini juga terasa ringan dan sangat wangi setelah melakukan perawatan tadi. Reva benar-benar sahabat yang baik. Dia memaksaku untuk melakukan semua perawatan yang seperti dia lakukan. Katanya, yang namanya wanita wajib memanjakan diri mereka sendiri dengan perawatan ke salon. Aku memang tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Rasanya sangat menyenangkan bisa melakukan hal tersebut hari ini. "Ya wajarlah, 'kan, dia nggak tau arah." Reva menjawab setelah menyeruput es bobanya. "Aku juga lupa-lupa ingat rumahnya ada di mana. Jadi, daripada ngambil resiko salah jalan, mending aku ajak kamu j
Saat ini waktu telah pukul 18.00, aku baru saja selesai menidurkan Alisa. Balita menggemaskan itu terlihat begitu lelap setelah menghabiskan sepiring nasi goreng. Aku keluar dari kamar Alisa, menuju ke ruang tamu. Namun, tidak ada seorang pun di sini. "Nyari siapa, Neng?" tanya perawat Alisa tadi. "Emm, mereka semua pada ke mana, Bi?""Owh, mereka. Kalau bosnya Neng diajak Pak Arto ke kebun sawit tadi. Terus, kalau teman Neng yang rambutnya pirang itu, diajak sama Nyonya ke kamar," jelas wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu. "Bibi kira-kira tau nggak, mereka ngapain?" tanyaku lagi. "Tadi saat saya ke kamar Nyonya buat nganterin minuman, saya dengar mereka lagi bahas-bahas kosmetik gitu. Penghilang kerutan sama anti penuaan gimana, yah? Lupa saya. Hehe!" Sang Bibi menjelaskan ragu-ragu. "Baiklah, Bi. Makasih infonya."Wanita itu kembali ke dapur setelahh mengangguk-angguk menanggapi perkataanku. Seka
Baru saja aku sampai di ruang tengah, Bu Sarti langsung bertanya dengan suara setengah membentak. Matanya menyipit tajam, memindai diri ini dari ujung kaki sampai kepala. Membuatku salah tingkah, takut sepatu sneakers yang aku kenakan terdapat lumpur atau hal-hal lainnya yang membuat dia mencurigai keberadaanku sebelumnya. "Wahh ... makasih, yah, Neng sudah bantuin Bibi buat nyuapin sama nidurin Non Alisa." Tiba-tiba dari arah jam sembilan, wanita yang ditugaskan mengurus Alisa muncul dan bersuara. "Kalau bukan karena bantuan Neng, pasti Non Alisa masih rewel biasanya jam begini," lanjutnya, lalu menunduk saat bersitatap dengan Bu Sarti. "Lain kali, jangan berikan Alisa sama orang asing. Sekali lagi saya tau kamu ngasi Alisa sama orang asing, saya pecat kamu!" ancam Bu Sarti pada wanita itu. "Baik, Nyonya." Wanita itu hanya menunduk ketakutan. Aku mengembuskan napas lega. Beruntung ada wanita itu yang tiba-tiba datang dan mengucapkan
Wajah Polisi Joshi makin didekatkan pada wajah ini, sontak saja aku mencium bau alkohol dari sang pria. Membuatku memalingkan muka sambil menangis. Mendengar dia yang ikut-ikutan mengataiku sebagai wanita murahan, benar-benar melukai perasaan. Ketika wajah itu hampir mendarat di pipi, aku langsung beralih menggigit bahu Polisi Joshi. Menggigitnya erat, sampai dia mengerang dan melepaskan cekalannya. Aku segera mendorong tubuh sang pria yang mengenakan baju kaus tipis itu dengan kasar. "A-aku tidak pernah menyangka, kalau tanggapanmu padaku juga se-serendah itu." Dada ini bergemuruh hebat. Berusaha mungkin aku menahan tangis. Segera aku merogoh saku celana, mengeluarkan dompet. Kartu ATM yang tadi pagi dia berikan langsung aku keluarkan dengan cepat. "Ambil kembali barang milikmu! Silahkan liat sendiri, uangmu tidak berkurang walau sepersen pun." Kartu tersebut aku lempar ke atas meja, sedangkan Polisi Joshi hanya menatapku datar.
Tubuhku tenggelam dalam air kolam yang sangat sejuk. Aku tidak bisa berenang, membuat tangan ini hanya menggapai-gapai udara, sedangkan kaki menendang-nendang mencari pijakkan. Air bebas masuk ke mulut dan hidungku. Belum juga rasa sakit yang menjalar di kening akibat pukulan dari gagang cangkul yang keras tadi. Aku ingin tiada, ini sangat menyiksaku. "Angkat dia, seret ke pondok!"Dalam pandangan yang memburam dan sekilas, kutangkap wajah Bu Sarti melemparkan seringai lebar padaku, sedangkan Sardin turun ke kolam. Mengangkat tubuh ini. "Tidak usah digendong. Seret saja!" perintah Bu Sarti tegas. "Tapi, Mah ....""Turuti perintah Mamah, jangan membantah!" bentak Bu Sarti. "Cepat, sebelum bapakmu pulang dari kondangan. Jangan sampai dia lihat kelakuan kita ini!"Tanpa bicara lagi, Sardin meletakkan tubuhku di tanah. Detik berikutnya, kakiku langsung diseret menuju ke halaman belakang. Membuat punggung juga kepalaku menyapu perm
Untuk menyakinkan diri, masih dengan kondisi menutup mata, tanganku perlahan memanjat meraba ke atas. Kini telapak tanganku menemui sebuah rambut yang langsung membuatku tersentak dengan mata membulat sempurna. Rahang tegas Polisi Joshi langsung memenuhi indra penglihatan ketika aku mendongak. Wajahku kini tepat berasa di dada bidang sang polisi yang hanya mengenakan kaus putih oblong. "As-ta-ga ...," gumamku tercekat. Jantung langsung saja berdebar kencang ketika tahu kami sedang tidur seranjang, bahkan satu selimut berwarna krem. Astaga! Kelopak mata Polisi Joshi masih tertutup, perlahan aku mengakat tangan dari rambutnya. Lantas, beringsut mundur menjauhi badannya. Siapa sangka, sang polisi malah mengulurkan lengan kekarnya itu di pinggangku dan menarik diri ini agar tenggelam lagi dalam dekapannya. "Tidurlah ....""Aww!" Aku meringis kala telapak tangan Polisi Joshi menekan punggungku. Sepertinya punggungku terluka akibat diseret kasar sema
Wanita dengan rambut yang asal digulung itu melayangkan tatapan berkilat penuh amarah ketika melihatku datang di kepolisian. Dengan dijaga dua polisi dikedua sisinya, Bu Sarti tetap berusaha hendak mencengkeramku. "Buat apa kamu kemari, hah?!" Dia menggebrak meja. "Kamu sengaja kemari mau lihat penderitaan saya?" Urat-urat di pelipisnya terlihat menonjol."Pertama-tama, aku ingin minta maaf, kalau selama ini tanpa sadar sudah menyakiti hati Alina dan membuat Ibu membenciku. Biar bagaimanapun, Anda ibunya Alina, sahabatku. Aku tidak ingin keb---""Banyak omong kamu!" Belum sempat menyelesaikan kalimat, Bu Sarti menggapai rambutku yang tertutup jilbab merah ini. Menjambaknya kuat. "Saya tidak akan pernah memaafkanmu, sampai kapan pun! Kamu tidak pantas bahagia setelah menghancurkan hidup anak saya!" Jambakannya makin kuat, walau ada dua polisi yang berusaha menahannya. Aku meringis kesakitan. "Sumpah, Bu, aku benar-benar nggak pernah tau
Aku melayangkan tatapan tajam pada Polisi Joshi, tidak lupa kedua tangan ini sontak menyilang di depan dada. Sang polisi malah merangkak mendekat dengan tatapan yang terlihat buas. "Jangan kurang ajar, Polisi Joshi!" ucapku penuh penekanan. Senyum smirk malah tercipta di bibir tipisnya. Dia terusan maju mendekat, bahkan sebentar lagi wajahnya menyentuh wajahku. "Angkat sendiri atau saya yang angkat? Hmm." Tatapannya bikin aku merinding. "Menjauh ...." Ucapanku tercekat ketika lengan kekar Polisi Joshi terulur mendekat ke arahku. "Mamaahh!""Mamahmu tidak ada di sini."Sontak aku menutup mata dengan debar jantung yang menggila. Bahkan, aku sampai menahan napas. Beberapa menit telah berlalu, aku masih setia menutup mata di tepi ranjang sambil menyilangkan tangan di dada. Tiba-tiba aku merasakan kening ini mendapat sentilan kecil yang langsung membuatku membulatkan mata. "Kamu mikirin apa?" Polisi Joshi terta