Sekuat tenaga aku terus berusaha melawan makhluk yang menguasai tubuh. Namun, makin aku berusaha melawan, makin terasa lemah tubuh ini. Kekuatan yang mengungkung tubuhku ini benar-benar kuat. Aku tidak mampu untuk melawannya. Aku tetap tidak bisa mengendalikan tubuh sendiri.
Di saat sedang berusaha melawan kekuatan mistis yang menguasai tubuh, tiba-tiba kurasakan ada seseorang yang menekan ubun-ubun ini. Sontak saja aku merasakan kesakitan yang teramat dalam. Panas dan menusuk dari ubun-ubun, lalu menjalar ke seluruh tubuh."Arrrggghhh, sakiitt!" jeritku melengking."Alisa!" Fadli datang dan menarik Alisa dari dekapanku.Tanganku hendak merebutnya kembali. Namun, seseorang yang masih menekan ubun-ubunku itu membuat aku kembali menjerit kesakitan, merasakan sensasi panas yang luar biasa dari sana.Entah bagaimana caranya, kurasakan kepalaku ini berputar seratus delapan puluh derajat, hendak melihat seseorang yang sedang menekan kepalaMbah Aji menatap langit-langit rumahnya yang telah usang, kembali terlihat seperti sedang menerawang sesuatu. Mungkin dia sedang mengingat-ingat siapa seseorang yang dia maksud. "Siapa, Mbah?" Aku mendesak, tidak sabar ingin tahu siapa orangnya. Kemungkinan besar orang yang dilihat Mbah Aji adalah orang yang sudah melenyapkan Alina dengan sadis. Mendengar desakanku, Mbah Aji memijit keningnya yang telah berkerut. Dia mengembuskan napas panjang. "Saya tidak ingat siapa," jawabnya terdengar penuh sesal.Mbah Aji terkenal sebagai tetua yang pandai mengobati orang lain dari gangguan hal-hal mistis. Dia hidup sebatang kara di rumah kecilnya dekat dengan rumah Alina. Jika Mbah Aji kebetulan keluar pada malam itu, pasti dia akan melihat siapa si pelaku yang sudah melenyapkan Alina dengan sadis di malam penuh badai tersebut. Namun, orang tua itu terkadang suka pikun. Maklumlah, dia sudah tua. "Apa seseorang yang Mbah liat itu memakai hoodie hitam?" Tid
"Tania! Tania!"Baru saja aku menyelesaikan makan, terdengar suara seseorang yang menyerukan namaku dari luar rumah. Aku yang sedang mencuci piring menghentikan aktivitas dan tergopoh menghampiri dan membukakan pintu untuk orang tersebut. Begitu pintunya terbuka, tangan kurus itu langsung menjambak rambutku yang tertutupi jilbab dengan kasar. "Gara-gara kamu, cucu saya hampir saja meninggal!" ujar Bu Sarti berteriak geram seraya menambah erat jambakannya. "Ahk, sakit, Bu!" Aku mencoba menahan jambakannya. Namun, dia malah mendaratkan tamparan di wajah ini. Sontak saja pipi sebelah kiriku memerih juga memanas saat mendapat tepisan keras itu. "Tidak puas kamu sudah membuat anak saya tiada? Sekarang, kamu mau membunuh cucu saya lagi? Hah!" Lagi-lagi dia mendaratkan tamparan secara berulang-ulang. Bu Sarti seperti kerasukan setan. Aku hanya mampu berusaha menghalau tamparan Bu Sarti tanpa berani melawan. Biar bagaimanapun juga,
Langit jingga mulai terukir dari kejauhan sana. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, sedangkan Polisi Joshi masih terus melajukan mobilnya entah ke mana tujuannya. Tangisku kini telah reda, digantikan dengan kebingungan juga sedikit khawatir dengan tujuan sang polisi muda itu hendak membawaku ke mana. Selama perjalanan tidak terdengar sepatah kata pun dari bibir Polisi Joshi. Dia bergeming, dengan pandangan terus fokus ke jalan raya. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. "Kau mau membawaku ke mana?" Lagi, aku menanyakan hal itu. Posisiku kini sudah terlalu jauh dari rumah. Jauh juga dari Mamah. Polisi Joshi masih tetap sama, dia tidak ada niat menjawab pertanyaanku. Membuat aku mulai dilanda spekulasi yang bukan-bukan tentang polisi itu. Biar bagaimanapun juga, dia masih orang asing bagiku yang belum kuketahui sifat dan sikapnya. Bagaimana jika dia membawaku ke kota atau ke luar negeri dan .... "Kalau kamu tidak terus jawab,
Suasana hening seketika. Pandangan ini terus bertaut dengan tatapan elang Polisi Joshi. Pria itu hanya menatapku tegas setelah melemparkan pilihan sulit tadi kepadaku. Baik memilih yang pertama atau kedua pun, sama saja aku seperti melemparkan kotoran ke wajah Mamah. Bagaimana nantinya jika Mamah siuman dan mendapati putrinya berada di tahanan dengan kasus melenyapkan sahabat sendiri? Ini sama saja jika Mamah mengetahui putrinya berbuat zina. Sama-sama akan mengoyak perasaannya. Dia pasti akan kecewa dan terluka. "Kenapa kau sekejam itu jadi manusia?" Suaraku parau juga lemah. Polisi Joshi membuang muka. "Semua orang pasti punya keinginan di dalam hidupnya. Begitu pun juga dengan saya." Dia berucap sambil memandang langit yang mulai gelap. Aku terus menatapnya lekat dengan mata basah. "Tapi ....""Jika keinginan terbesarmu ingin ibumu selamat, maka keinginan terbesar saya ialah, naik jabatan. Selama ini tidak pernah ada satu pun kasus
Pandanganku kosong menatap langit-langit kamar. Pikiran ini tak henti-hentinya berusaha mencari bagaimana caranya menemukan si pelaku itu. "Tolong beri aku waktu untuk mencari pelaku tersebut.""Saya beri kamu waktu selama satu minggu." Ucapan Polisi Joshi terngiang-ngiang di telinga. Setelah mengucapkan hal itu tadi, dia memutuskan membawaku pulang ke rumah. Ya, dia membebaskanku. Namun, hanya dalam waktu satu minggu. Setelah itu aku akan benar-benar menerima tuduhan yang ia berikan. Menjadi pelenyap sadis Alina dengan motif cemburu buta pada suaminya. Sangat omong kosong. Dari mana Polisi Joshi berspekulasi bahwa aku bisa membunuh Alina hanya karena motif cemburu buta pada Fadli? Apa tampangku seperti kriminal? Polisi Joshi orang baru di daerah sini, dia warga pindahan dari Jakarta. Yang jadi pertanyaan, dari mana dia dapat informasi semua hal tentang aku, Alina, juga Fadli? Dia bahkan tahu tentang aku yang sempat dekat dengan Fadli
"Mau apa kamu kemari? Hah!" Mata wanita itu memelotot marah. Pintu gerbang yang berbentuk kerangkeng itu lekas didorongnya ke arah kanan dengan kasar. Lantas, dia membanting ember yang digunakannya untuk menampung air keruh yang sekarang isinya sudah berpindah ke tubuhku. Aku memindai tampilan diri yang tidak ubahnya bagai anak bebek bermandikan lumpur. Tega sekali wanita tua itu, begitu besar kebenciannya kepadaku sampai-sampai tanpa segan menyiramkan air comberan ke tubuh ini. Sontak saja bau tidak sedap menguar dari badanku. "Pergi kamu!" Bu Sarti mengacungkan jari telunjuknya. "Tidak sudi saya lihat pemandangan depan rumahku ada seorang pembunuh seperti kamu!" tukas Bu Sarti geram. Matanya berkilat penuh kemarahan. "Bu, apa yang kamu lakukan. Liat, kasihan Tania." Pak Arto datang dan tampak menyesali apa yang diperbuat istrinya. "Buat apa Bapak prihatin sama pembunuh seperti dia? Ingat Pak, anak kita Alina meninggal itu gara-gara
Aku mempercepat langkah dengan tatapan waspada ke pagar beton itu. Ketika sampai di balik beton tersebut, alisku mengernyit si baju hitam itu tengah mengayunkan kaki setengah berlari dari tempat ia berdiri tadi. Walaupun hanya melihat punggung sang pria saja tanpa melihat wajahnya, tetapi aku tahu siapa pria itu. "Fadli?" gumamku kebingungan. Kenapa dia memata-matain aku? "Kenapa Tania?" Sardin tiba-tiba datang dan menepuk pundakku. Membuat diri ini terlonjak kaget. "Apa, sih?" sungutku tanpa sadar, kesal dengan pria bertubuh sedikit kurus itu. "Maaf, jika aku membuatmu kaget.""Hmm, tidak masalah." Segera aku mengubah ekspresi wajah yang tadinya kesal, menjadi tersenyum tipis. Kasihan, melihat raut bersalah di wajah Sardin. "Ya, sudah. Aku pamit pulang dulu," ucapku lantas berlalu pergi tanpa mendengar jawaban dari sang pemuda. "Buat apa Fadli memata-mataiku tadi?" Sepanjang perjalanan, aku tidak henti-hentin
Baru saja sekitar tiga langkah menjauh dari rumah Fadli, terdengar suara sang pria memanggil namaku dengan dingin. Sontak saja aku menghentikan langkah dengan tubuh terpaku selama beberapa saat. Aku mengigit bibir, gugup langsung melandaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Fadli berjalan mendekat ke arahku. Seketika aku menunduk sambil menggenggam erat jemari tangan yang mulai dingin. Setakut itu aku. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nia?" Dia bertanya kembali seraya menghadapku. "A-aku ... aku dari rumah Mbah Aji," jawabku gugup. Tidak berani menatap mata Fadli yang seolah-olah mengulitiku hidup-hidup dengan tatapannya itu. "Kamu tidak pandai berbohong, Nia." Fadli tampak menyeringai tipis. Membuatku makin ketakutan, apakah dia mengetahui kelakuanku di rumahnya tadi. "Pakaianmu kenapa kotor begini?" Lagi-lagi Fadli bertanya seraya memindai penampilanku. Teringat, aku belum juga mengganti pakaian yang tersiram air