Langit jingga mulai terukir dari kejauhan sana. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, sedangkan Polisi Joshi masih terus melajukan mobilnya entah ke mana tujuannya.
Tangisku kini telah reda, digantikan dengan kebingungan juga sedikit khawatir dengan tujuan sang polisi muda itu hendak membawaku ke mana.Selama perjalanan tidak terdengar sepatah kata pun dari bibir Polisi Joshi. Dia bergeming, dengan pandangan terus fokus ke jalan raya. Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini."Kau mau membawaku ke mana?" Lagi, aku menanyakan hal itu. Posisiku kini sudah terlalu jauh dari rumah. Jauh juga dari Mamah.Polisi Joshi masih tetap sama, dia tidak ada niat menjawab pertanyaanku. Membuat aku mulai dilanda spekulasi yang bukan-bukan tentang polisi itu. Biar bagaimanapun juga, dia masih orang asing bagiku yang belum kuketahui sifat dan sikapnya. Bagaimana jika dia membawaku ke kota atau ke luar negeri dan ...."Kalau kamu tidak terus jawab,Suasana hening seketika. Pandangan ini terus bertaut dengan tatapan elang Polisi Joshi. Pria itu hanya menatapku tegas setelah melemparkan pilihan sulit tadi kepadaku. Baik memilih yang pertama atau kedua pun, sama saja aku seperti melemparkan kotoran ke wajah Mamah. Bagaimana nantinya jika Mamah siuman dan mendapati putrinya berada di tahanan dengan kasus melenyapkan sahabat sendiri? Ini sama saja jika Mamah mengetahui putrinya berbuat zina. Sama-sama akan mengoyak perasaannya. Dia pasti akan kecewa dan terluka. "Kenapa kau sekejam itu jadi manusia?" Suaraku parau juga lemah. Polisi Joshi membuang muka. "Semua orang pasti punya keinginan di dalam hidupnya. Begitu pun juga dengan saya." Dia berucap sambil memandang langit yang mulai gelap. Aku terus menatapnya lekat dengan mata basah. "Tapi ....""Jika keinginan terbesarmu ingin ibumu selamat, maka keinginan terbesar saya ialah, naik jabatan. Selama ini tidak pernah ada satu pun kasus
Pandanganku kosong menatap langit-langit kamar. Pikiran ini tak henti-hentinya berusaha mencari bagaimana caranya menemukan si pelaku itu. "Tolong beri aku waktu untuk mencari pelaku tersebut.""Saya beri kamu waktu selama satu minggu." Ucapan Polisi Joshi terngiang-ngiang di telinga. Setelah mengucapkan hal itu tadi, dia memutuskan membawaku pulang ke rumah. Ya, dia membebaskanku. Namun, hanya dalam waktu satu minggu. Setelah itu aku akan benar-benar menerima tuduhan yang ia berikan. Menjadi pelenyap sadis Alina dengan motif cemburu buta pada suaminya. Sangat omong kosong. Dari mana Polisi Joshi berspekulasi bahwa aku bisa membunuh Alina hanya karena motif cemburu buta pada Fadli? Apa tampangku seperti kriminal? Polisi Joshi orang baru di daerah sini, dia warga pindahan dari Jakarta. Yang jadi pertanyaan, dari mana dia dapat informasi semua hal tentang aku, Alina, juga Fadli? Dia bahkan tahu tentang aku yang sempat dekat dengan Fadli
"Mau apa kamu kemari? Hah!" Mata wanita itu memelotot marah. Pintu gerbang yang berbentuk kerangkeng itu lekas didorongnya ke arah kanan dengan kasar. Lantas, dia membanting ember yang digunakannya untuk menampung air keruh yang sekarang isinya sudah berpindah ke tubuhku. Aku memindai tampilan diri yang tidak ubahnya bagai anak bebek bermandikan lumpur. Tega sekali wanita tua itu, begitu besar kebenciannya kepadaku sampai-sampai tanpa segan menyiramkan air comberan ke tubuh ini. Sontak saja bau tidak sedap menguar dari badanku. "Pergi kamu!" Bu Sarti mengacungkan jari telunjuknya. "Tidak sudi saya lihat pemandangan depan rumahku ada seorang pembunuh seperti kamu!" tukas Bu Sarti geram. Matanya berkilat penuh kemarahan. "Bu, apa yang kamu lakukan. Liat, kasihan Tania." Pak Arto datang dan tampak menyesali apa yang diperbuat istrinya. "Buat apa Bapak prihatin sama pembunuh seperti dia? Ingat Pak, anak kita Alina meninggal itu gara-gara
Aku mempercepat langkah dengan tatapan waspada ke pagar beton itu. Ketika sampai di balik beton tersebut, alisku mengernyit si baju hitam itu tengah mengayunkan kaki setengah berlari dari tempat ia berdiri tadi. Walaupun hanya melihat punggung sang pria saja tanpa melihat wajahnya, tetapi aku tahu siapa pria itu. "Fadli?" gumamku kebingungan. Kenapa dia memata-matain aku? "Kenapa Tania?" Sardin tiba-tiba datang dan menepuk pundakku. Membuat diri ini terlonjak kaget. "Apa, sih?" sungutku tanpa sadar, kesal dengan pria bertubuh sedikit kurus itu. "Maaf, jika aku membuatmu kaget.""Hmm, tidak masalah." Segera aku mengubah ekspresi wajah yang tadinya kesal, menjadi tersenyum tipis. Kasihan, melihat raut bersalah di wajah Sardin. "Ya, sudah. Aku pamit pulang dulu," ucapku lantas berlalu pergi tanpa mendengar jawaban dari sang pemuda. "Buat apa Fadli memata-mataiku tadi?" Sepanjang perjalanan, aku tidak henti-hentin
Baru saja sekitar tiga langkah menjauh dari rumah Fadli, terdengar suara sang pria memanggil namaku dengan dingin. Sontak saja aku menghentikan langkah dengan tubuh terpaku selama beberapa saat. Aku mengigit bibir, gugup langsung melandaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Fadli berjalan mendekat ke arahku. Seketika aku menunduk sambil menggenggam erat jemari tangan yang mulai dingin. Setakut itu aku. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nia?" Dia bertanya kembali seraya menghadapku. "A-aku ... aku dari rumah Mbah Aji," jawabku gugup. Tidak berani menatap mata Fadli yang seolah-olah mengulitiku hidup-hidup dengan tatapannya itu. "Kamu tidak pandai berbohong, Nia." Fadli tampak menyeringai tipis. Membuatku makin ketakutan, apakah dia mengetahui kelakuanku di rumahnya tadi. "Pakaianmu kenapa kotor begini?" Lagi-lagi Fadli bertanya seraya memindai penampilanku. Teringat, aku belum juga mengganti pakaian yang tersiram air
Polisi Joshi yang tidak siap menerima serangan tiba-tiba dariku, membuat dia kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh dengan aku menindih tubuhnya. "Maaf, maaf!"Masih dalam kondisi gelap, aku segera bangkit dari tubuh Polisi Joshi. Namun, jilbabku malah tertarik lagi kepadanya. "Lepaskan aku! Kenapa kau menarik jilbabku?" sungutku marah, berusaha bangkit dari Polisi Joshi. "Diamlah, jangan bergerak!" sentaknya. Lantas, terasa pergerakan dari Polisi Joshi. Entah dia sedang meraba apa? Kurasakan dia memiringkan badannya sembari tangannya ke sana kemari. Aku khawatir dia salah pegang. "Apa yang kau lakukan, Polisi Joshi?" bisikku kesal. Pandangan hanya menampilkan kegelapan. Aku tidak bisa melihat wajah polisi itu. Tidak lama kemudian, cahaya muncul dari ponsel Polisi Joshi. Aku tertegun saat pandangan kami bertemu dalam jarak yang cukup dekat, sekitar satu jengkal saja. Tatapan elang Polisi Joshi seakan-akan mengunci p
Pandangan ini kosong menatap ke jalanan yang gelap di depan sana. Polisi Joshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, tidak ada percakapan di antara kami. Setelah memastikan kondisi Mamah masih stabil, tidak ada tulang patah atau yang lainnya, kami memutuskan untuk pulang. Sebenarnya sangat berat untuk aku meninggalkan Mamah sendirian di rumah sakit. Namun, mengingat target Alina yang utama adalah aku bukan Mamah, lebih aman jika aku tidak mendekati Mamah dulu. Takutnya Alina menggunakan tubuh Mamah lagi untuk membunuhku. "Kita sudah sampai." Suara Polisi Joshi membuyarkan lamunanku. Aku tersadar dan langsung menatapnya lekat. Bayangan dia memeluk dan mengusap punggungku tadi terlintas, sontak aku merasakan pipi ini menghangat. Segera aku memutus kontak mata dengannya. "Terima kasih." Setelah mengucapkan hal itu, aku turun dari mobilnya. Polisi Joshi belum juga pergi dari halaman rumahku, dia masih me
Sosok dengan sweater hijau itu langsung berhenti di ambang pagar rumah. Dia tetap membelakangiku. Tangannya terlihat bergoyang-goyang, seperti seseorang yang salah tingkah. "Siapa?" Aku bertanya seraya mendekatkan diri dengan hati-hati kepadanya.Aku mengedarkan pandangan ke sekelilng sekilas, keadaan masih sepi, belum ada tetangga yang keluar di jam-jam subuh begini."Kamu siapa? Ayo, berbalik! Tunjukan wajahmu." Aku makin mendekat, dan ketika pundaknya aku gapai .... "Kamu?" Aku mundur beberapa langkah, ketika mengetahui siapa si sosok sweater hijau itu. "Sardin, ngapain kamu di sini?" Tatapanku menajam. "Aku ...." Sardin mengusap tengkuknya seraya melirik kanan-kiri. "Aku hanya lewat saja tadi, tapi tiba-tiba saja aku seperti melihat seseorang di samping rumahmu. Makanya, aku sempat memeriksanya tadi. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa."Aku memerhatikan secara saksama raut wajah Sardin ketika menjawab pertanyaanku. Pria deng