"Mau apa kamu kemari? Hah!" Mata wanita itu memelotot marah.
Pintu gerbang yang berbentuk kerangkeng itu lekas didorongnya ke arah kanan dengan kasar. Lantas, dia membanting ember yang digunakannya untuk menampung air keruh yang sekarang isinya sudah berpindah ke tubuhku.Aku memindai tampilan diri yang tidak ubahnya bagai anak bebek bermandikan lumpur. Tega sekali wanita tua itu, begitu besar kebenciannya kepadaku sampai-sampai tanpa segan menyiramkan air comberan ke tubuh ini. Sontak saja bau tidak sedap menguar dari badanku."Pergi kamu!" Bu Sarti mengacungkan jari telunjuknya. "Tidak sudi saya lihat pemandangan depan rumahku ada seorang pembunuh seperti kamu!" tukas Bu Sarti geram. Matanya berkilat penuh kemarahan."Bu, apa yang kamu lakukan. Liat, kasihan Tania." Pak Arto datang dan tampak menyesali apa yang diperbuat istrinya."Buat apa Bapak prihatin sama pembunuh seperti dia? Ingat Pak, anak kita Alina meninggal itu gara-garaAku mempercepat langkah dengan tatapan waspada ke pagar beton itu. Ketika sampai di balik beton tersebut, alisku mengernyit si baju hitam itu tengah mengayunkan kaki setengah berlari dari tempat ia berdiri tadi. Walaupun hanya melihat punggung sang pria saja tanpa melihat wajahnya, tetapi aku tahu siapa pria itu. "Fadli?" gumamku kebingungan. Kenapa dia memata-matain aku? "Kenapa Tania?" Sardin tiba-tiba datang dan menepuk pundakku. Membuat diri ini terlonjak kaget. "Apa, sih?" sungutku tanpa sadar, kesal dengan pria bertubuh sedikit kurus itu. "Maaf, jika aku membuatmu kaget.""Hmm, tidak masalah." Segera aku mengubah ekspresi wajah yang tadinya kesal, menjadi tersenyum tipis. Kasihan, melihat raut bersalah di wajah Sardin. "Ya, sudah. Aku pamit pulang dulu," ucapku lantas berlalu pergi tanpa mendengar jawaban dari sang pemuda. "Buat apa Fadli memata-mataiku tadi?" Sepanjang perjalanan, aku tidak henti-hentin
Baru saja sekitar tiga langkah menjauh dari rumah Fadli, terdengar suara sang pria memanggil namaku dengan dingin. Sontak saja aku menghentikan langkah dengan tubuh terpaku selama beberapa saat. Aku mengigit bibir, gugup langsung melandaku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Fadli berjalan mendekat ke arahku. Seketika aku menunduk sambil menggenggam erat jemari tangan yang mulai dingin. Setakut itu aku. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nia?" Dia bertanya kembali seraya menghadapku. "A-aku ... aku dari rumah Mbah Aji," jawabku gugup. Tidak berani menatap mata Fadli yang seolah-olah mengulitiku hidup-hidup dengan tatapannya itu. "Kamu tidak pandai berbohong, Nia." Fadli tampak menyeringai tipis. Membuatku makin ketakutan, apakah dia mengetahui kelakuanku di rumahnya tadi. "Pakaianmu kenapa kotor begini?" Lagi-lagi Fadli bertanya seraya memindai penampilanku. Teringat, aku belum juga mengganti pakaian yang tersiram air
Polisi Joshi yang tidak siap menerima serangan tiba-tiba dariku, membuat dia kehilangan keseimbangan. Dia terjatuh dengan aku menindih tubuhnya. "Maaf, maaf!"Masih dalam kondisi gelap, aku segera bangkit dari tubuh Polisi Joshi. Namun, jilbabku malah tertarik lagi kepadanya. "Lepaskan aku! Kenapa kau menarik jilbabku?" sungutku marah, berusaha bangkit dari Polisi Joshi. "Diamlah, jangan bergerak!" sentaknya. Lantas, terasa pergerakan dari Polisi Joshi. Entah dia sedang meraba apa? Kurasakan dia memiringkan badannya sembari tangannya ke sana kemari. Aku khawatir dia salah pegang. "Apa yang kau lakukan, Polisi Joshi?" bisikku kesal. Pandangan hanya menampilkan kegelapan. Aku tidak bisa melihat wajah polisi itu. Tidak lama kemudian, cahaya muncul dari ponsel Polisi Joshi. Aku tertegun saat pandangan kami bertemu dalam jarak yang cukup dekat, sekitar satu jengkal saja. Tatapan elang Polisi Joshi seakan-akan mengunci p
Pandangan ini kosong menatap ke jalanan yang gelap di depan sana. Polisi Joshi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, tidak ada percakapan di antara kami. Setelah memastikan kondisi Mamah masih stabil, tidak ada tulang patah atau yang lainnya, kami memutuskan untuk pulang. Sebenarnya sangat berat untuk aku meninggalkan Mamah sendirian di rumah sakit. Namun, mengingat target Alina yang utama adalah aku bukan Mamah, lebih aman jika aku tidak mendekati Mamah dulu. Takutnya Alina menggunakan tubuh Mamah lagi untuk membunuhku. "Kita sudah sampai." Suara Polisi Joshi membuyarkan lamunanku. Aku tersadar dan langsung menatapnya lekat. Bayangan dia memeluk dan mengusap punggungku tadi terlintas, sontak aku merasakan pipi ini menghangat. Segera aku memutus kontak mata dengannya. "Terima kasih." Setelah mengucapkan hal itu, aku turun dari mobilnya. Polisi Joshi belum juga pergi dari halaman rumahku, dia masih me
Sosok dengan sweater hijau itu langsung berhenti di ambang pagar rumah. Dia tetap membelakangiku. Tangannya terlihat bergoyang-goyang, seperti seseorang yang salah tingkah. "Siapa?" Aku bertanya seraya mendekatkan diri dengan hati-hati kepadanya.Aku mengedarkan pandangan ke sekelilng sekilas, keadaan masih sepi, belum ada tetangga yang keluar di jam-jam subuh begini."Kamu siapa? Ayo, berbalik! Tunjukan wajahmu." Aku makin mendekat, dan ketika pundaknya aku gapai .... "Kamu?" Aku mundur beberapa langkah, ketika mengetahui siapa si sosok sweater hijau itu. "Sardin, ngapain kamu di sini?" Tatapanku menajam. "Aku ...." Sardin mengusap tengkuknya seraya melirik kanan-kiri. "Aku hanya lewat saja tadi, tapi tiba-tiba saja aku seperti melihat seseorang di samping rumahmu. Makanya, aku sempat memeriksanya tadi. Tapi, ternyata tidak ada apa-apa."Aku memerhatikan secara saksama raut wajah Sardin ketika menjawab pertanyaanku. Pria deng
Suara tembakan terdengar dan salah satu dari mereka menggeram kesakitan, sedangkan yang satunya tampak syok karena baru saja menembak seorang polisi. Ya, pemuda yang aku perkirakan usianya baru tujuh belas tahun itu telah melepaskan tembakan pada Polisi Joshi. "Tangkap dia cepat!""Ayo, tangkap dia!"Beberapa orang polisi segera meringkus anak muda itu yang sedang berdiri dengan tatapan syok, sedangkan aku segera menghampiri Polisi Joshi yang sedang merising. "Kau baik-baik saja?" tanyaku panik. "Saya baru saja ditembak, dan kau bertanya baik-baik saja? Oh, astaga!" Polisi Joshi menatapku jengkel sambil menggenggam lengannya yang banjir darah. Tembakan tadi membuat lengan polisi itu bocor. Untung pelurunya mengenai bagian lengan, bukan di perut atau di kepala. Segera aku mengeluarkan sapu tangan dari saku celana. Lantas, mengikat kain tersebut di lengan Polisi Joshi guna menghentikan pendarahan. Tatapan kami bertemu
Aku kehilangan keseimbangan juga orang tersebut, membuat kami berdua terjatuh dengan aku yang menindih tubuhnya. Aish! Pandangan kami bertaut beberapa saat, aku tidak bisa mengalihkan tatapan pada siapa yang sedang berada di bawahku. Merasa kaget, lagi-lagi tubuh ini menimpa dirinya. "Kamu?!" sentaknya seraya mendorong tubuhku menjauh. "Benar-benar cewek agresif!" dengkus pria itu seraya meringis memegang lengannya yang tertembak tadi pagi. Ya, pria itu adalah Polisi Joshi. "Maaf, maaf ...." Aku hendak membantunya bangun, tetapi dia malah menepis tanganku. "Kenapa kamu selalu mengambil kesempatan dengan terjatuh di atas saya? Kau menyukaiku? Hm." Polisi Joshi berujar pelan seraya mengikis jarak, aku impulsif mundur. "Tidak! Kau sendiri ngapain di sini? Bukannya kau lagi sakit? Ini pasar malam bukannya rumah sakit," ucapku cepat seraya melirik kiri kanan. Merasa gugup dengan sikap Polisi Joshi yang terus mengayunkan kaki mendekat deng
Gerimis mulai turun, orang-orang berlarian mencari tempat untuk berteduh. Angin pun berembus kencang, menerbangkan daun-daun kering ke sana kemari. "Bagaimana, masih mau pulang sendiri?" tanya Polisi Joshi di depan sana. Aku segera memutuskan berlari ke mobilnya sembari memayungi kepala dengan telapak tangan. Halah! Percuma. Sesampainya di dalam mobil Polisi Joshi juga aku harus tetap memayungi kepala dari titik-titik air hujan yang turun membasahi bumi, sebab mobil jeep Polisi Joshi ini tidak memiliki atap. Polisi Joshi langsung mengemudikan mobilnya dengan cepat, menembus rintik hujan yang mulai deras. Namun, saat melewati jalan raya yang sangat sepi, Polisi Joshi tiba-tiba menginjak rem mendadak. Hampir saja kepala membentur dashboard mobil, jika dia tidak sigap mengulurkan tangannya, melindungi kening ini dari dashboard. "Kenapa kamu mengerem mendadak?" tanyaku kesal seraya mengusap wajah yang mulai dibanjiri air hujan.
Joshi melajukan mobilnya dengan kencang. Di kirinya, terdapat Pak Arto yang sedang mendiamkan Alisa. Sementara di belakang, terdapat Tania yang terbaring dengan mata terbuka, tetapi tidak terlihat adanya sorot kehidupan di mata indah itu. Tania seperti mayat hidup. Sesekali Joshi menoleh ke belakang, memeriksa keadaan istrinya. Memanggil-manggil 'Tania', agar istrinya itu sadar. Namun, Tania masih terdiam membisu. "Gelang yang dikenakan oleh Tania harus dihancurkan. Gelang itu diisi kekuatan hitam oleh Sarti agar mengikat Tania.""Saya akan minta tolong pada Mbah Aji." Jawaban Joshi membuat Pak Arto mengangguk. Tak butuh waktu lama, mobil jeep Joshi sudah sampai di depan rumah Mbah Aji. Sementara Bu Rania yang mendengar mobil menantunya, langsung membuat dia beranjak dari tempat tidurnya. Dia memang tidak bisa tidur sejak tadi. "Apa yang terjadi pada Tania?" Bu Rania panik melihat Joshi yang menggendong Tania masuk ke rumah Mbah Aji.
Terdengar suara seseorang memasuki pekarangan rumah. Joshi dan Pak Arto yang sedang berada di samping rumah menjadi terpatung mendengar suara Bu Sarti yang terbatuk-batuk di depan sana. Joshi segera berlari ke arah belakang rumah, sedangkan Pak Arto mengejar. Namun, kedua orang itu tidak mengeluarkan suara apa pun. Entahlah, mungkin takut didengar oleh wanita iblis itu. Sesampainya di depan pondok yang menguarkan bau kemenyan yang begitu tajam, Pak Arto menahan lengan Joshi. "Pak Joshi, tolong selamatkan cucu saya juga. Istri saya itu sudah dibutakan oleh dendam, dia sudah tidak punya belas kasih walau pada cucunya sendiri." Sorot penuh harap terpancar di mata tua Pak Arto. Joshi hanya mengangguk samar, dia juga tidak yakin kemampuannya sejauh apa. Dia hanya akan berusaha melakukan yang terbaik demi Tania dan calon bayi mereka. Kemungkinan juga sekarang, dia harus berusaha menyelamatkan balita yang begitu dicintai Tania itu. Ya, Joshi juga harus berusah
Joshi melajukan mobilnya, meninggalkan suara Dinda yang menjerit lemah di belakang sana. Entah apa yang telah diperbuat oleh Bu Sarti pada wanita masa lalunya itu, Joshi berusaha agar tidak peduli, walaupun hatinya merasa sesak akan hal itu. Bukan karena masih mencintainya, tetapi karena kemanusiaan. Namun, biar bagaimanapun juga, Joshi harus berusaha menyelamatkan Tania. Dengan kecepatan kilat, mobil jeep Joshi sampai di depan rumah. Dia langsung turun dan berhadapan dengan Mbah Aji. Terlihat pria tua itu sedang berbincang-bincang dengan mertuanya. Joshi turun dari mobil, hanya ingin memastikan Tania sudah datang atau belum. "Kamu dari mana saja? Tania sudah ketemu?" Wajah Bu Rania makin terlihat cemas. Joshi menggeleng, lalu menceritakan tentang apa yang ditemuinya barusan. Bahwa Bu Sarti masih hidup dan kemungkinan besar wanita itulah yang menjadi penyebab hilangnya Tania. Jelas hal itu membuat Bu Rania syok, tidak percaya dengan yang didengarnya.
Dalam kondisi pandangan yang sedikit memburam, Joshi terperangah menangkap sesosok wajah yang dia pikir telah meninggal dunia. Bu Sarti. Walau wajah wanita itu ada bekas luka yang lumayan besar, tetapi Joshi tahu betul, dia adalah Bu Sarti. Rasa takut langsung menjalar ke tubuh petugas kepolisian itu. Bukan takut dengan dirinya, tetapi takut dengan keselamatan nyawa istri dan calon bayinya. Joshi hendak bangkit bangun dari sofa yang terasa menyesakkan itu, tetapi tubuhnya seolah-olah terkunci oleh sesuatu. Di saat pria itu tadi menatap ke dalam mata sang mantan, Dinda sengaja memerangkap Joshi dengan sebuah mantra yang diajarkan Bu Sarti untuk menjerat pria tersebut. Alhasil, Joshi mau mengikuti langkah Dinda walau terpaksa, dan melupakan misinya yang sedang mencari Tania. Sekarang, petugas kepolisian itu terjebak. "Jangan apa-apakan dia! Aku sudah nggak menginginkan dia lagi." Sambil memegang tubuhnya yang kesakitan akibat berbenturan dengan dinding, Dinda berse
Lelah mencari Tania dengan berlari ke sana kemari, Joshi berinisiatif mencari Tania menggunakan mobil jeep-nya. "Tania belum ditemukan, Nak Joshi?" Ketika mendengar suara mobil jeep menantunya berderu, Bu Rania keluar rumah. Raut khawatir terlihat jelas di wajah tua itu. "Iya, Mah. Saya cari dulu." Joshi menancap gas. "Pergi ke mana anak itu? Cepat sekali hilangnya." Bu Rania meremas punggung tangan sendiri, cemas. Ketika hendak masuk kembali ke rumah, dari kejauhan, Mbah Aji baru saja datang dengan diantar oleh seseorang. Sepertinya pria tua itu baru saja selesai menolong orang. Segera Bu Rania menghampiri pria tua tersebut. "Ada apa, Nak?" tanya Mbah Aji yang melihat jelas raut kecemasan pada Bu Rania. "Tania, Mbah. Dia tiba-tiba saja hilang. Perasaan dia baru saja keluar rumah, tapi tiba-tiba dia menghilang entah kemana." Pandangan wanita itu celingukan ke sama kemari. Menatap tajam pada kegelapan, berharap ada putrinya
Segera petugas kepolisian itu bangkit berdiri dari lantai. Pintu kamar mereka yang terbuka setengah, membuat Joshi yakin bahwa istrinya pergi keluar. Indra penglihatan Joshi tidak menangkap siapa pun di luar kamar, baik istri ataupun ibu mertuanya. Mendadak rumah sederhana itu sunyi, bahkan sangat sunyi sampai Joshi bisa mendengar detak jantungnya sendiri. "Tania!" Joshi mencoba memanggil nama istrinya, tetapi hanya disahuti oleh gema ruangan. Joshi mencoba mengetuk pintu kamar ibu mertuanya. "Mah, apa Tania ada di dalam?" Ucapan Joshi tidak juga mendapat sahutan dari dalam kamar tersebut. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu, dan ternyata kosong. Ibu mertuanya juga tidak ada di dalam rumah. Joshi makin panik, dia mengayunkan langkah menuju keluar rumah. Sementara langit malam yang penuh gerimis langsung menyambut Joshi di luar rumah. Hati pria itu kalut, memikirkan di mana sang istrinya berada. Ditambah dengan mertuanya yang juga ikut menghilang.
Joshi segera menahan tangan tua Mbah Aji, muncul rasa takut yang menggelayuti hatinya. Jangan sampai calon anak mereka dibunuh oleh sosok yang sedang mengendalikan raga istrinya. Namun, Mbah Aji malah melepaskan cekalan tangan Joshi pada tangannya. "Jangan takut dengan mereka. Harusnya mereka yang takut dengan kita. Manusia lebih tinggi kedudukannya daripada setan." Ucapan lembut Mbah Aji sedikit mengurangi kecemasan Joshi. Dia melepaskan tangannya dari tangan tua Mbah Aji. Mundur menjauh sedikit darinya, lalu kembali melantunkan ayat suci Al-Quran sambil menatap dengan hati nelangsa pada Tania. Istrinya terlihat begitu kepanasan dan kesakitan saat ini. "Sakiiiiitt! Hentikan, Pria Tua!" Suara Tania berat, seperti suara pria. "Allah Akbar!"Tubuh Tania perlahan melemas seiring dengan tepisan tangan Mbah Aji ke arahnya. Melihat Tania yang sudah pingsan, gegas Joshi memangku istrinya itu. Sementara Mbah Aji meminta Bu Rania untuk mengamb
Terpaksa Joshi melayangkan tamparan pada Tania. Namun, sebelum tubuh istrinya itu jatuh membentur lantai, segera Joshi tahan. Memeluknya dengan perasaan bersalah. Pisau masih Tania genggam dengan erat walau sudah kehilangan kesadaran. Joshi membuka kepalan tangan istrinya dengan paksa, lalu mengeluarkan pisau tersebut. Melemparkannya menjauh. "Tania, bangun, Tania!" Pipi tembem istrinya, Joshi tepuk-tepuk pelan. Namun, tidak ada respon. Tania telah kehilangan kesadaran. "Ayo, Nak Joshi, angkat bawa ke kamar." Bu Rania berucap setelah degup ketakutan berhasil dia netralkan. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut menyerang wanita tua itu, ketika melihat putri dan menantunya saling adu tarik benda tajam. Segera Joshi mengangkat tubuh istrinya tersebut dengan perasaan cemas. Apa-apaan ini, sebelumnya dia menggendong ibu mertuanya yang pingsan, lalu sekarang istrinya juga. Apa yang sebenarnya terjadi di keluarganya, pikiran itu terngiang-ngiang di kepala Joshi. P
Joshi langsung menggendong Bu Rania, membawanya ke kamar. Membaringkan tubuh yang tampak pucat itu di ranjang. Sementara Tania panik sambil mencari-cari minyak kayu putih. Segera dia mengoleskan minyak tersebut ke telapak kaki, tangan, juga ceruk leher ibunya. "Mamah kenapa, sih?" ucap Tania resah sambil mendekatkan botol minyak kayu putih itu ke hidung Bu Rania. Sementara Joshi sendiri, memeriksa seluruh rumah. Mencari-cari apakah ada barang yang hilang atau tidak. Dia menduga kemungkinan mertuanya itu pingsan sebab adanya maling, mengingat pintu rumah tadi yang tidak terkunci. Joshi yang sudah memeriksa seluruh rumah dan tidak menemukan apa pun, beralih ke ruang tamu, tempat di mana mertuanya tadi tergeletak. Namun, dia malah melihat sang mantan di teras. Dinda masih belum pergi dari sekitaran rumah mereka. Mendengar Tania yang berteriak tadi, membuat Dinda penasaran apa yang terjadi. Dia menguping di luar rumah, sampai ketahuan oleh Joshi.