Bab 05. Konfrontasi.
Sudah dua bulan ini Shizi belajar ilmu pengobatan dari Tabib Fan, seorang pria paruh baya yang bijaksana. Setiap hari, ia bangun sebelum fajar, menyeberangi sungai, dan mendaki bukit yang dipenuhi tanaman herbal. Dengan cermat, ia memetik tumbuhan yang dibutuhkan, membayangkan manfaatnya saat meracik obat nanti. Setibanya di rumah, ia mengeringkan tanaman tersebut dengan teliti, lalu meraciknya sesuai dengan instruksi Tabib Fan yang sabar dalam membimbing. Di sisi lain, perhatian Shizi juga tertuju pada ibunya yang sedang sakit. Di bawah sinar lampu temaram, Shizi menekuni setiap gerakan Tabib Fan dalam mengganti perban. Tangannya mulai terampil meniru gerakan lembut itu, mempraktikkan teknik akupuntur dan pemijatan yang dipelajarinya. Dalam ruangan beraroma herbal, ia menekuni pelajaran tentang titik-titik saraf dan anatomi tubuh manusia. Tidak hanya mengobati manusia, Shizi juga belajar cara menangani hewan yang sakit. "Dari setiap praktik, kau akan belajar lebih dari sekadar ilmu pengobatan, Shizi," ujar Tabib Fan penuh arti, sambil mengamati Shizi yang sibuk meramu obat dari tumbuhan yang telah Shizi petik. Dengan penuh ketekunan, Shizi mempelajari setiap ilmu yang diberikan. Setiap hari, usai berpraktik dengan sang tabib, ia terus belajar sendiri. Kepercayaannya bahwa setiap ilmu berharga memberinya kekuatan untuk terus berkembang, bukan hanya sebagai tabib tapi juga sebagai manusia yang lebih peka dan penuh empati. Shizi mengacak rambutnya yang kusut, matanya terpaku pada lembar-lembar catatan di depannya, serius mengamati setiap detail reaksi yang tercatat. Obat-obatan itu tak hanya diracik tapi juga dipertanyakan, dieksperimenkan pada dirinya sendiri. Desir hawa dingin menyelinap masuk ke gudang, memperkeruh suasana tegang yang ada. Tabib Fan melangkah masuk, kepalanya mengintip dari balik pintu yang setengah terbuka. “Kau masih terjaga? Cahaya ini mengundang,” katanya, suaranya menggema ringan. Shizi terkejut, mengangkat wajah, berusaha menyembunyikan kecemasan. “T-Tuan…” gumamnya, suara serak karena keterkejutan. “Shizi, aku telah membaca tulisanmu,” lanjut Tabib Fan, seraya menunjuk buku besar yang tergeletak. “Kau telah membuat temuan menarik, mengetahui adanya kesamaan dan kemiripan nama di antara tanaman obat.” “Ya, Tuan,” Shizi menjawab, sedikit lebih percaya diri.“Beberapa memang memiliki khasiat yang serupa, meskipun berbeda nama.” Tabib Fan tersenyum, serius namun ada kelembutan dalam sorot matanya. “Yang penting untuk diingat, Shizi, di dunia pengobatan, ada kalanya politik dan kekuasaan bermain di antara kita. Itu bisa menjadi tembok besar yang harus kau hadapi,” pesannya, suara tenang namun sarat dengan peringatan. “Pembaruan dalam metode pengobatan seringkali terhalang oleh pemikiran konservatif dari para tabib sepuh yang masih berpegang teguh pada pengobatan tradisional berdasarkan warisan leluhur.” "Oleh karena itu, aku ingatkan kau untuk selalu berhati-hati dalam bertindak. Berikan dasar dan bukti yang kuat ketika kau menghadapi permasalahan yang berbenturan dengan tabib lain, terutama yang memiliki jabatan tinggi!" seru Tabib Fan dengan tegas. Shizi yang mendengarkan mengerti maksud dari tuan sekaligus gurunya itu. Struktur kerajaan dan orang-orang ortodoks di dalamnya, dalam beberapa hal, menghambat perkembangan pengobatan itu sendiri. "Pesan tuan akan selalu aku ingat," jawab Shizi dengan tulus. "Cukup untuk hari ini, sekarang beristirahatlah!” "Kita kehabisan banyak bahan obat, esok hari kau perlu menginap di bukit untuk mengumpulkan tanaman obat, mengingat pasokan dari ibukota terlambat," ujar Tabib Fan dengan tegas. "Baik, Tuan!" jawab Shizi. Sebelum fajar, Shizi memulai perjalanannya ke bukit, menyeberangi sungai dengan rakit kayu yang sudah tidak asing baginya. Udara pagi menyegarkan wajahnya saat dia mengayuh rakit dengan mantap. Setibanya di seberang, dengan keranjang rotan tergantung di bahunya, dia mulai berlari menaiki bukit. Napasnya terengah-engah, namun determinasinya untuk menjaga kebugaran tetap kuat. Kehidupan sehari-harinya yang dulu dipenuhi dengan mengangkut air dan berbagai pekerjaan berat di klan Song, kini tergantikan oleh rutinitas fisik ini. Tak lama kemudian, Shizi mencapai area di mana tumbuhan obat tumbuh melimpah. Dengan tangannya yang cekatan, Shizi memetik tanaman demi tanaman, memilih yang terbaik untuk mengisi keranjang rotannya. Gerakannya lincah dan penuh keterampilan. Di tengah kesibukannya, matanya masih sempat menerawang keindahan alam di sekitarnya, memandang pohon dan semak yang mungkin menyimpan kekayaan alam yang belum tergali. Dalam waktu singkat, keranjang di punggungnya sudah terisi setengah. Semangat yang membara dan hati yang ikhlas membantunya merasa pekerjaannya ringan. Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar. "Siiiing, Jleb!" Sebuah anak panah melintas cepat hanya beberapa inci dari kepalanya dan menancap di batang pohon di sampingnya. Shizi terkesiap, matanya membulat ketakutan, dan jantungnya berdegup kencang, memompa adrenalin. Dengan sigap, dia memutar badannya, siap mencari dan menghadapi sumber bahaya yang tiba-tiba itu. Ketika pandangan Shizi bertemu dengan sosok pemuda di kejauhan, Song Ong, yang menyeringai sambil memegang busur, amarah dan ketakutan bercampur dalam dadanya. "Song Ong!" teriaknya dengan suara yang terbata-bata, penuh ketidakpercayaan. "Akhirnya aku menemukanmu. Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?" Ekspresi sombong terukir di wajah Song Ong, matanya berkilauan kepuasan saat ia mendekat dengan langkah mantap. Sementara itu, Shizi berusaha keras mengendalikan ketegangan yang melanda tubuh dan pikirannya, sadar bahwa nyawanya hampir berakhir beberapa detik yang lalu. "Tangkap dia!" seru Song Ong dengan suara lantang kepada para pengikutnya, dan segera belasan orang itu berlari menuju Shizi. Melihat situasi demikian, Shizi spontan berbalik dan berlari ke arah puncak bukit untuk menghindari pengejarnya. Kejar-kejaran pun terjadi, Shizi berlari zigzag di antara pepohonan, membuat para pengejarnya kerepotan. Berlari menaiki bukit tentu menguras tenaga dan stamina, apalagi dengan gerakan lincah Shizi yang membuat mereka kesulitan mengejar, apalagi menangkapnya. Song Ong menunjukkan wajah geram saat melihat anak buahnya kesulitan menangkap Shizi. Sebagian dari mereka bertabrakan hingga jatuh berguling menuruni lereng bukit. Sementara yang lainnya tampak kehabisan nafas karena kelelahan. Mereka semua terkejut dengan kecepatan dan ketangkasan Shizi, tidak percaya bahwa pemuda kurus yang biasa mereka kerjai ternyata mampu bertindak demikian. Kesal memenuhi dada Song Ong ketika melihat Shizi yang berhasil mengelak. Ia mencengkeram busur, tarikan napasnya terdengar kasar saat ia mengarahkan anak panah kembali kepada Shizi. "Kau pikir kau bisa lolos?" desisnya seraya membidik. Swiiing. Jleb. Sebuah anak panah berhasil menghujam ke dalam tas rotan Shizi. Shizi terpaku, matanya menatap tajam pada Song Ong yang berdiri tegak, siap untuk serangan selanjutnya. Shizi, dengan nafas terengah mengambil langkah cepat menghindar. Gerakannya lincah serupa kijang, meliuk-liuk melewati pepohonan saat turun ke lereng bukit. Saat beberapa anak buah Song Ong mulai terjengkang kelelahan, Shizi menggunakannya sebagai pelindung, memperkecil resiko terkena anak panah lanjutan yang ditembakkan Song Ong dengan determinasi tinggi. Suara lesatan panah yang menancap pada tubuh disertai teriakan teriakan kesakitan terdengar tak jauh dari posisinya. "Arrggghhhh." Satu dari dua panah yang dilepaskan menancap ke punggung anak buah Song Ong, sementara yang lainnya meleset. Shizi mempercepat langkahnya, berlari menuruni bukit secepat mungkin, memanfaatkan situasi untuk menabrak para pengejar yang menghalangi jalannya. Taktiknya berhasil membuat Song Ong kesulitan melepaskan anak panahnya dengan tepat, sehingga beberapa anak buahnya sendiri menjadi korban serangan tersebut. Brak! Shizi menabrak seorang anak buah Song Ong, membuat orang itu tersungkur dan berguling menuruni bukit. Shizi pun kehilangan keseimbangan dan terjatuh dalam posisi yang serupa. Ia cepat-cepat menahan diri dari jatuh lebih jauh, lalu menoleh ke arah Song Ong yang tampak siap melepaskan anak panah lagi. Menyadari posisinya yang terjepit, Shizi segera membalikkan badan dan meringkuk, menggunakan tas rotan besar di punggungnya sebagai perisai. Jleb! Anak panah yang dilepaskan Song Ong dari busurnya mengenai sasaran, namun kembali anak panah tersebut menancap di tas rotan Shizi. “Bagaimana ia bisa memikirkan hal tersebut?” ujar seorang teman Song Ong yang berdiri di samping kanannya. Song Ong mendidihkan emosi, seraya menggenggam erat busur panahnya. Kedua bola matanya memerah, menunjukkan kemarahannya yang memuncak. Di sekitarnya, para pengikut tuan muda klan Song dan teman-teman Song Ong sendiri yang menyaksikan peristiwa itu terlihat terpukau oleh tindakan Shizi. Beberapa bahkan tanpa sadar mengakui perubahan dalam kemampuan dan kecerdasan Shizi dalam menghadapi situasi itu. Namun, Song Ong dengan keras kepala membantah pikiran-pikiran tersebut. “Dia hanya beruntung! Kali ini, panahku takkan meleset lagi,” teriaknya dengan penuh emosi, suaranya tercekat oleh amarah. Dalam hatinya, Shizi hanyalah seorang anak tak sah yang tak layak mendapat belas kasihan. “Mati saja, kau!” Teriaknya lantang yang tidak dapat menyembunyikan amarah yang bergelora dalam dirinya. Swiiing. Trak Mata semua orang membelalak penuh keheranan saat Shizi, yang sebelumnya terlihat tidak berdaya di balik tas rotannya, tiba-tiba melemparkan beberapa batu sebesar kepalan tangan. Batu-batu itu menyambar anak panah yang ditembakkan oleh Song Ong, mengubah arahnya dan mematahkannya. Song Ong terpaku, tak dapat percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Sementara itu, Shizi segera melepaskan tas rotan yang masih tersangkut di punggungnya dan berguling cepat menuruni bukit. Dengan gerakan lincah, ia sampai di tepian tebing, hanya beberapa langkah dari tempatnya tadi berdiri. Dengan mata yang tajam menatap Song Ong, Shizi tersenyum sinis. Tanpa ragu, ia kemudian melompat dari tebing, terjun ke dalam aliran sungai yang deras di bawahnya. Semua orang yang menyaksikan kejadian itu terdiam, terpaku dalam kekaguman dan ketidakpercayaan. Bagaimana mungkin Shizi bisa begitu tenang memberikan senyum ejekan kepada Song Ong sebelum melarikan diri lagi. Byurr! Suara tubuh yang jatuh ke sungai terdengar di telinga mereka. Dari kejauhan, Shizi terlihat terbawa arus deras sungai, namun masih hidup karena ia sempat menoleh ke arah Song Ong dan orang-orang yang berdiri di atas tebing. “ Apa hanya itu kemampuanmu, sungguh mengecewakan!” Teriak Shizi diakhiri dengan memberikan senyum ejekan pada Song Ong. Sontak hal yang ditunjukan Shizi mendapat penilaian berbeda dari orang orang yang bersama Song Ong, dalam hati mereka mengakui keberanian Shizi untuk berseteru melawan Song Ong. Di sisi lain, mata Song Ong memerah, amarahnya memuncak. Dari posisinya, ia mengambil busur, menariknya, dan melepaskan anak panah yang tersisa ke arah Shizi. Namun, anak panah itu meleset, jelas karena jarak dan gerakan Shizi yang menyelam ke dasar sungai, membuat usaha Song Ong sia-sia. Shizi berhasil menghilang tanpa jejak di bawah guyuran hujan lebat yang memicu sungai menggila, membanjiri tepiannya. Song Ong yang dipenuhi amarah, memegang busur di tangannya, lalu dengan geram ia mematahkannya dan membanting pecahannya ke tanah yang becek. "Kalian bodoh!" ujarnya, sambil menatap tajam anak buahnya yang berdiri termangu. "Satu orang saja tidak bisa kalian tangkap, dasar sampah!" Teriakannya memecah kesunyian, diiringi hanya suara derasnya hujan dan aliran sungai. Lalu, matanya menangkap tas rotan yang tergeletak di dekatnya. Ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah, sinar mata yang dingin dan bengis kini terpantul saat dia memandangi benda tersebut. “Hahahahaa!” Song Ong berdiri dengan dada yang membusung, raut wajahnya memancarkan kesombongan. "Aku akan membuatnya mendatangiku sendiri, tunggu saja!" katanya dengan nada tinggi penuh keyakinan. Tatapan matanya kemudian berpindah, menatap tajam pada kaki tangannya yang berbaris di hadapannya. "Kalian semua, telusuri setiap tabib di kota ini! Temukan ibunya, pastikan dia dibawa ke sini!" perintahnya, suaranya bergelora, menggema di antara dinding-dinding tebing.Bab 06. Situasi.Uhuk uhuk!Shizi bangun dari ketidak sadarannya, ia terbatuk dan memuntahkan air yang masuk kedalam paru parunya. Setelah ia bisa bernafas dengan baik ia pun membaringkan tubuhnya untuk menenangkan dirinya.Matanya menatap ke arah atas, tampak batuan tajam menempel di dinding batu yang gelap.Baru setelahnya ia tertegun, ia baru menyadari jika ia berada di sebuah tempat asing.“ Aku berada dimana?” Ujarnya sambil menatap sekelilingnya.Pikirannya kembali pada saat kejadian sebelumnya, ia teringat jika dirinya menyelam ke dasar sungai untuk menghindari terjangan anak panah yang terarah dirinya dimana saat itu air sungai meluap sehingga arus air menjadi deras. Hal itu membuatnya terbawa deras air sungai dan akhirnya kehilangan kesadaran diri karena arus bawah sungai menariknya.Shizi kemudian menatap sekelilingnya, ia meyakini jika dirinya kini berada di dalam sebuah gua kecil, dari sana ia bangkit dari posisinya, dengan penerangan yang sedikit membuatnya tidak bisa meli
Bab 07. Syarat.Di sebuah kedai yang tak jauh dari tempat pertemuan pertama, Song Ong kini duduk bertiga dengan Wang Suyi dan dan juga Song He. Dari sana Song He menuangkan teh kedalam cangkir Wang Suyi lalu setelahnya ia menuangkan teh pada cangkirnya sendiri dan melewatkan cangkir Song He.Wang Suyi melirik ke arah luar kedai, tampak pasukan klan Song berdiri berjaga dengan tabib Fan dan ibu dari Shizi berada dalam penjagaan mereka dibawah terik matahari yang menyengat.Tanpa perlu dikatakan pun Wang Suyi paham jika posisi tabib Fan dan ibu dari Shizi adalah alat untuk mengancamnya.“ Sudah lama sekali kita tidak berbincang santai seperti ini, apa kau tahu sudah berapa lama itu terjadi?” Tanya Song Ong dengan wajah sumringah.“ Cukup lama.” Jawab Wang Suyi singkat dengan nada lembut.“ Tiga tahun… Tiga tahun lamanya kau mengacuhkanku.” Lanjutnya,” dan itu terjadi semenjak orang rendahan itu bersamamu.” Ujar Song Ong datar diakhiri senyum kecilnya.“ Tuan muda Song Ong, sepertinya ka
Bab 08. Kelelawar dan jalan.Hari demi hari berganti tanpa diketahui, entah berapa lama Shizi menghabiskan waktu di dalam gua tersebut,bagaimana ia tahu karena tidak ada sinar matahari yang bisa masuk kedalam gua sehingga ia tidak bisa memperkirakan waktu yang telah ia lewati.“ Sepertinya sudah cukup lama aku berada di dalam gua bawah tanah ini, mungkin telah lewat dua atau tiga bulan.” Ujarnya sambil memegangi rambut yang terjuntai sampai bahunya.Shizi menghela nafas panjang, di satu sisi ia senang mendapatkan banyak pengetahuan yang ditinggalkan pemilik gua tersebut sebelumnya yang kini telah menjadi tulang belulang, namun di sisi lainnya ia khawatir akan keadaan dirinya yang tidak bisa keluar dari gua bawah air tersebut.Banyak hal telah ia lakukan termasuk menyelam kedalam kolam air kecil yang membawanya masuk kedalam gua tersebut namun dalamnya kolam dan besarnya arus membuatnya sulit mencapai dasar. Yang menjadi harapannya untuk keluar dari tempat tersebut hanyalah melalui l
Bab 09. Lima koin tembaga.Shizi membuka matanya perlahan, dari sana ia langsung bagian kepala belakangnya yang terasa sakit ketika ia terbangun dari ketidak sadarannya.Wajahnya berubah kecut setelah beberapa saat, bagaimana tidak! Kini tangan dan kakinya dalam kondisi terikat tali yang terhubung pada beberapa orang. Gegas ia bangkit dari posisinya lalu menatap sekelilingnya untuk beberapa saat. Dalam duduknya ia bisa melihat jika kini dirinya berada di dalam sebuah kereta kuda bersama dengan beberapa orang asing yang posisinya terikat sama seperti dirinya.‘ Entah ini kesialan atau keberuntungan. Beruntungnya aku ditangkap bukan oleh anak buah Song Ong, sedangkan sialnya berarti aku ditangkap oleh penjual budak.’ Batin Shizi.Yaa, Shizi yakin akan situasinya. Bukan tanpa sebab ia berpikir seperti itu karena kondisi orang orang yang bersama dengan dirinya saat ini memiliki kondisi lusuh dan kurus yang menunjukan jika mereka semua adalah bagian dari kasta rendah.Sudah menjadi hal l
Bab 10. Nyonya Ren.Shizi dimasukan kedalam kereta kuda yang memiliki teralis di sekelilingnya, ia disatukan dengan budak lainnya yang kebanyakan adalah para gadis muda dan anak anak.Dari semua budak yang dibeli oleh Nyonya Ren, hanya dia seorang yang seorang pria, delapan orang sisanya semuanya wanita.Selama perjalanan tidak ada yang berkata, mereka semua diam termenung sambil memikirkan nasibnya masing masing. Begitu juga dengan Shizi, ia merutuk dalam hati karena tidak dibeli oleh bangsawan dan malah jatuh ke tangan mucikari.“ Sebagai nenek tua yang sudah bau tanah ia memiliki mata yang tajam juga, aku tak menyangka dia cukup jeli dan memperhatikan tindakanku.” Batin Shizi.Setelahnya ia berpikir keras untuk mengatur rencana kedepannya, yang ada di pikirannya saat ini adalah rencana untuk melarikan diri dari rumah bordil tersebut.Suara langkah kuda disamping kereta mengalihkan perhatian Shizi, tampak sang nenek tua yang dipanggil Nyonya Ren itu kini menunggangi kuda dan berjal
Bab 11. Kebenaran?Shizi mengerjakan tugas yang ada di depan matanya, ia mengerjakan tugas tersebut dibawah perintah Nyonya Ren yang memberikan arahan apa yang perlu dirinya lakukan.Setelah melihat dan mengawasi untuk beberapa waktu, Nyonya Ren pun bangkit dari duduknya dan membiarkan Shizi menyelesaikan pekerjaannya.Apa yang Shizi kerjakan adalah menulis barang masuk dan barang keluar, jumlah uang yang masuk dan keluar serta memindahkan catatan yang ada pada lembaran kertas kedalam buku yang telah disiapkan.Tidak sulit untuknya melakukan pekerjaan tersebut karena dulu ia sering membantu Wang Suyi dan Song He mengerjakan hal yang serupa. Baginya itu lebih mudah dilakukan daripada mencatat tanaman obat beserta klasifikasi dan kegunaannya.Diluar ruangan.“Nyonya, sepertinya kau menaruh minat padanya?” Tanya pengawal pertama pada nyonya Ren.“ Anak muda ini seperti berlian di dalam sungai, belum terasah dengan sempurna.” Jawab nyonya Ren dengan santai.Kedua pengawal saling bertatapa
Bab 12. Yang sebenarnya.Shizi bangkit dari duduknya, ia berdiri sambil menundukan kepalanya di hadapan wanita tersebut.“ Kenapa kau tak menjawab?” Tanyanya datar.Shizi pun segera menjawab.” Maafkan aku nyonya, perkenalkan namaku Shizi, aku budak yang baru dibeli oleh Nyonya Ren dan aku ditugaskan untuk membereskan ruangan ini sekaligus mengurus segala catatan yang ada disini.”Sang wanita tampak terkejut sesaat, raut wajahnya berubah seperti kembali setelah beberapa saat. Ia menatap buku yang dipegangnya untuk sekilas.Sang wanita berdada besar itu kemudian menatap Shizi, menelisik wajahnya. Ada kerutan di keningnya saat melihat wajah pemuda di depannya itu.Sang wanita akan berkata namun satu suara dibelakangnya menghentikannya.“ Xiao’er, kenapa kau berkata dengan nada tinggi, apa ada masalah?” Tanya Nyonya Ren yang datang menghampirinya.“ Nyonya besar, dia ada di ruangan ini dan membaca catatan yang ada disini. Tadi dia mengatakan jika dia adalah budak baru yang diperintahkan n
Bab 13. Catatan.Shizi merenung di kamarnya, setelah sebulan lamanya ia tinggal di rumah bordil dan memahami situasinya ia pun mulai memikirkan untuk memulai rencananya.“ Sepertinya sekarang bisa kujalankan rencanaku untuk mencari uang. Sepertinya hal itu bisa kulakukan sekarang.” Ujarnya dengan penuh keyakinan.Shizi mengambil satu bungkusan yang ada di dalam tumpukan pakaiannya, ia membuka kantong kecil itu dan mengeluarkan isinya.Kini diatas telapak tangannya terhampar belasan koin tembaga yang didapatnya.Uang uang tersebut didapatkan dari hasil membantu para wanita yang ada di dalam rumah bordil, mulai dari membawakan arak, tips dari pelanggan, mengangkat air dan banyak pekerjaan kasar lainnya.“ Dua puluh empat koin tembaga…. Jelas ini sangat kurang jika dipergunakan untuk membeli bahan obat dan bahan lain yang kubutuhkan!” Ujarnya bermonolog.Shizi menghela nafas panjang, ia berpikir keras mencari cara untuk memulai dengan uang yang ia miliki.Setelah berpikir untuk beberapa