Entah sudah berapa lamanya Ardhi tertidur karena suntikan bius, saat ia membuka mata, rasanya kebas dan kosong. Ia sudah dipindahkan ke ruang inap yang mewah dan nyaman. Namun, kenyamanan itu tak benar-benar ia rasakan. Tubuhnya kaku. Mulutnya sulit digerakkan. Dan yang membuat keadaan tak lebih baik adalah kenyataan bahwa Ardhi sama sekali tak peduli dengan kondisinya. Di sudut hatinya yang terdalam, ia malah berharap terjadi sesuatu yang parah dan fatal pada tubuhnya akibat tabrakan sialan itu agar ia bisa lepas dari jeratan dunia yang tega memisahkannya dari Sarah.
Kenapa aku masih hidup?
Dalam pandangan matanya yang kosong, Ardhi terus meratap. Mempertanyakan ketidakadilan Tuhan yang membuatnya kesakitan dan merana sendirian.
Kenapa hanya aku yang hidup, Tuhan? Kenapa?
Tak ada jawaban yang benar-benar ia dapatkan karena ia hanya berkutat sendirian dengan pikiran-pikiran itu di kepalanya.
Hari demi hari terlewat dengan
Kecelakaan berujung maut itu benar-benar menimbulkan kerusakan yang parah terhadap kondisi psikis Ardhi. Saat sampai di Singapura, Ardhi sempat menolak perawatan. Ia berontak dengan mengatakan bahwa ia tak butuh dirawat. Selia dengan sabar terus memberikan pengertian kepada Ardhi. Memberi banyak pelukan agar anak laki-laki satu-satunya itu ingat bahwa pelukan Selia adalah tempat ternyaman untuk pulang.Selama masa sulit itu. Entah berapa banyak tangis dan air mata yang terkuras habis. Selia menabahkan hati. Percaya bahwa Ardhi bisa kembali hidup normal.Lama-kelamaan Ardhi pun mulai beradaptasi. Ia mulai menurut saat diajak menemui psikolog. Sulit baginya untuk bercerita tentang apa yang dirasa. Namun, sedikit demi sedikit, Ardhi mulai terbuka. Ia mencurahkan kesakitannya karena kehilangan Sarah dan rasa bersalah yang bercokol karena menjadi satu-satunya yang hidup. Ardhi baru mengetahui satu bulan setelah tinggal di Singapura bahwa supir yang menyetiri mobil menuju ke
Pasca kecelakaan yang mengakibatkan hancurnya mental Ardhi, nama Sarah seolah-olah menjadi kata terlarang di keluarga Prasetyo yang saat itu juga benar-benar terguncang karena kondisi Ardhi yang sempat kritis dan berujung memprihatinkan. Oleh karenanya, hanya kepada Dru dan psikolog−yang menjadi teman baiknya selama beberapa tahun terakhir ini−yang menjadi teman bercerita tentang Sarah saat ia sedang gundah.Maka, pagi ini, Ardhi yang terbangun dengan perasaan kacau karena memimpikan Sarah, diam-diam berniat pergi berkunjung ke rumah keluarga Sarah.Sore harinya, setelah pulang dari tempat kerja−di sebuah perusahaan yang tidak ada relasi dengan perusahaan keluarga−Ardhi berkendara ke rumah Sarah.Tidak, Ardhi tidak langsung turun dan menyapa Gunawan dan istrinya yang tengah duduk santai di teras dan asyik mengobrol. Ardhi bersembunyi di mobil karena tak siap dan tak berani mengusik keseruan dan tawa mereka yang begitu damai. Meski telah b
Ardhi sedang dalam perjalanan bisnis menuju ke Pontianak kala ia−bersama asistennya, Adi−tak sengaja bertemu dengan Gunawan dan istrinya di Bandara Soekarno Hatta. Awalnya Ardhi kira, ia akan kembali mendapat tamparan oleh ibu mertuanya yang tampak lebih tua sejak terakhir kali bertemu, atau malah lebih buruknya diabaikan keberadaannya. Namun, hal itu tidak terjadi. Yang tak disangka Ardhi, Gunawan-lah yang lebih dulu mendatangi dirinya, mengajak bicara seolah tak pernah ada drama pengusiran dan penolakan yang telah lewat beberapa tahun itu.Setelah menanyakan kabar, Gunawan mengatakan bahwa beberapa kali melihat Ardhi di televisi dan merasa bersyukur karena Ardhi tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang sukses, terlepas dari privilege yang ia punya sebagai anak konglomerat.Yang lebih mengejutkannya lagi, Gunawan mempertegas bahwa mau bagaimanapun juga Ardhi akan selalu menjadi menantunya. Mau tak mau, Ardhi kembali diingatkan pada kenyataan bahwa umur pernika
“Kenapa Ayah melakukan ini?” bisik Ardhi lirih.“Kenapa kamu bilang?!” Gunawan menaikkan oktaf suaranya. “Kamu membuat keluarga saya hancur, Ardhi! Kamu yang merebut Sarah dari kami dengan begitu mudahnya dan setelah membuat anakku mati, keluarga tercintamu itu tidak ada yang datang! Sialan!”Perlakuan lembek Ardhi tempo lalu terhadap Gunawan yang merupakan bentuk manifestasi penyesalannya−meski meninggalnya Sarah bukan menjadi kesalahannya−benar-benar berbuah kepahitan. Kepercayaannya terhadap Gunawan diluluhlantakkan dengan mudah. Sikap Gunawan saat ini benar-benar melukai Ardhi hingga tetes darah penghabisan. Ardhi remuk redam.“Sarah nggak akan suka melihat Ayah begini,” ujar Ardhi sembari menguatkan hati. Ia mengepalkan tangannya yang tersimpan di bawah meja kuat-kuat. Menahan gejolak emosi yang berperang di dada.“Lalu apa, Ardhi? Nggak akan ada yang berubah. Semua sudah seperti ini.
Malam terasa begitu panjang.Di dalam kamar, Sera tak lagi menahan tangis. Ia habiskan stok air matanya yang entah kenapa malam itu tak habis-habis meski wajahnya sudah bengkak dan bola matanya memerah.Tak henti-hentinya pula Sera bertanya-tanya kepada Tuhan tentang kejujuran yang baru saja suaminya ceritakan itu, yang meluluhlantakkan pertahanannya hingga habis-habisan.Kenapa takdir begitu kejam?Tak habis pula bagi Sera untuk berandai-andai hingga rasa menyengat dan sakit di dada tak mampu ia abaikan.Kenapa begini?Kenapa ia harus hadir di tengah takdir yang pernah mengikat kakak perempuannya dengan Ardhi−laki-laki yang telah lebih dulu mengucapkan ijab qabulnya bersama Sarah belasan tahun yang lalu. Sera tidak banyak mengingat hari yang berlangsung begitu singkat itu. Yang terbayang di benak Sera adalah sosok Sarah yang masih begitu muda bersanding dengan sosok laki-laki bertubuh kurus tinggi yang samar-samar ia
“Dru, what are you doing here?”Ardhi agak kaget saat mendapati sahabat karibnya yang lebih dari tiga tahun tak pernah kembali ke Indonesia itu kini duduk santai di ruang kerja Ardhi. Ya, selama tiga tahun belakangan, bisnis Dru di Singapura berkembang pesat. Laki-laki itu sibuknya luar biasa hingga tak ada waktu untuk sejenak mengistirahatkan kepala. Maka, biasanya Ardhi yang menyempatkan berkunjung ke Singapura sekaligus menemui psikolog yang juga telah menjadi teman baiknya. Dan mendapati Dru duduk tenang, di hari yang masih begitu pagi seperti ini, tentu makin aneh saja.Dru membalasnya dengan tersenyum sinis. Tidak beranjak dari kursi kebesaran Ardhi di kantornya.“Muka lo makin dilihat makin nggak enak. Sepet banget.” Begitu ucap Dru saat matanya selesai memindai penampilan Ardhi yang pagi ini terlihat agak kacau. Kenapa lagi anak ini? Mungkin begitu isi pikirannya saat ini.“Bukannya lo bilang mau ke Swiss? Ko
Ardhi pulang ke apartemen dengan kepala yang terus terngiang percakapannya dengan Dru tadi pagi. Ardhi tahu, ia juga memikirkan tentang kemungkinan bahwa bisa saja ada mata-mata yang mengintainya, entah yang dikirim ibunya sendiri yang mulai gemas akan tingkah anaknya yang makin tak peduli dengan kehidupan percintaannya atau mungkin juga mata-mata dari saudara-saudaranya yang masih tak terima saat tiba-tiba saja ia diangkat menjadi CEO.Meski selama beberapa bulan ini Ardhi sangat berhati-hati dengan tidak banyak berkeliaran di tempat umum bersama Sera. Bahkan, ia juga telah meminta Adi untuk mengerahkan anak buahnya untuk tidak lengah dalam menjaga Sera dari jauh. Dan sejauh ini tidak ada hal yang mencurigakan.Tetap saja, kekhawatiran itu ada. Terlebih ditambah dengan situasi saat ini, di mana nasib hubungannya dengan Sera sedang tak pasti.Masuk ke apartemen, disambut dengan aroma masakan yang membuat perut Ardhi kembali berbunyi.Baru saja ia meletakk
Sepi. Itu yang didapati Sera saat melewati pekarangan rumah yang ditumbuhi bunga-bunga peninggalan ibunya, lalu memasuki ruang tamu yang masih sebersih dan serapi saat ia dan Ardhi tinggalkan beberapa waktu lalu.Pada akhirnya, Sera pulang masih dengan menyandang istri siri Ardhi karena laki-laki itu tak mau menjatuhkan talak. Ardhi bersikukuh bahwa sebaiknya mereka memang perlu berjarak sejenak. Sebut saja Ardhi egois, nyatanya memang hanya itu pilihan yang Ardhi berikan. Dan karena sudah lelah berdebat, Sera pun menurut saja agar bisa segera terpisah dari Ardhi. Maka, di sinilah Sera sekarang, kembali ke rumah orang tuanya−yang sudah menjadi miliknya meski belum berubah hak kepemilikannya−diantarkan oleh Yuanda. Tentu saja masih atas perintah Ardhi yang bertitah bahwa Yuanda adalah supir Sera, jadi, ke mana pun Sera pergi maka Yuanda juga harus siap mengantar ke mana-mana.Meski sesungguhnya Sera kesal−amat sangat kesal−kepada Ardhi karena mas
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me