Tak pernah Ardhi sangka bahwa hubungannya dengan Sarah akan cukup langgeng. Ardhi yang tak pernah betah berpacaran dengan seorang gadis lebih dari tiga bulan itu memecahkan rekor. Hubungannya dengan Sarah sudah berjalan lebih dari enam bulan. Enam bulan jatuh bangun, penuh tawa, drama, dan tangis. Namun, tak pernah ada kata putus. Pertengkaran-pertengkaran dengan Sarah tak pernah berlangsung lama. Tak pernah mereka ribut atau saling mendiamkan lebih dari satu hari.
Ardhi sendiri pun merasa takjub dan terkadang heran sendiri. Tak percaya bahwa dirinya bisa bertahan dengan Sarah hingga sejauh ini. Ardhi sama sekali tak merasa bosan atau jenuh. Padahal, biasanya baru berjalan beberapa minggu saja rasanya sudah ingin buru-buru berganti pacar. Bersama Sarah, Ardhi tak pernah terpikir sampai ke sana. Karena bersama Sarah selalu terasa menyenangkan meski terkadang gadis itu bisa sangat cerewet dan menyebalkan. Mungkin, begitulah para remaja yang dimabuk cinta. Segala hal yang dilaku
Ardhi tahu bahwa apa yang diucapkan oleh Sarah itu benar adanya. Mereka berdua belum sepenuhnya mengenal dunia. Akan ada banyak hal yang terjadi ke depannya. Dan yang tak bisa dikesampingkan adalah kenyataan bahwa perasaan seseorang bisa saja berubah. Namun, entah kenapa Ardhi tak rela kalau suatu hari nanti salah satu dari mereka lebih dulu berkata lelah dan ingin menyerah, lalu pergi menuju hati yang lain. Ardhi yang belum genap berusia 18 tahun itu menginginkan selamanya bersama Sarah. Hanya Sarah. Persetan dengan pernyataan orang-orang tentang kecil kemungkinan seseorang bisa bertahan dengan cinta monyetnya di masa-masa remaja. Sebagian besar hanya bertahan sebentar. Sebagian lagi bisa bertahan cukup lama, namun akhirnya pisah setelah menghabiskan bertahun-tahun bersama. Dan sebagian lagi—dengan persentase terkecil—bisa bertahan hingga menikah, beranak, dan punya anak cucu. Ardhi tidak tahu, ia dan Sarah akan masuk di bagian yang mana. Yang jelas, untuk saat ini Ardhi ha
Ujian praktik selesai di hari Kamis dengan mulus. Sekolah mengumumkan bahwa hari Jumat dan Sabtu siswa dan siswi kelas 12 mendapatkan jatah libur. Hari Senin, mereka sudah haru kembali berurusan dengan jadwal yang lebih padat sekaligus les, masih berlanjut belajar tiada henti di rumah masing-masing. Maka, sepulang dari sekolah di hari Kamis−yang masih cukup pagi−sepasang kekasih yang sedang kasmaran itu menyusun rencana liburan mereka. Rencananya, Ardhi, Sarah, dan rombongannya−teman-teman dekat Ardhi yang berjumlah empat orang dan pacarnya masing-masing, dan juga termasuk cewek-cewek grupies-nya Ardhi yang berjumlah lima orang, akan berangkat ke Bandung di Jumat sore dengan menggunakan empat mobil yang masing-masing disetiri oleh supir pribadi keluarga Ardhi. “Aku masih nggak nyangka dibolehin pergi ayahku,” ujar Sarah dengan senyum melekat di wajah. Gadis itu tak berhenti tersenyum sejak berangkat ke sekolah pagi tadi. Senyumnya semakin lebar saat Sarah ber
Ardhi sama sekali tak bisa tenang. Setelah pulang dari tempat tongkrongannya bersama Dru dan teman-temannya yang lain, Ardhi sempat mampir ke rumah Sarah. Namun, ia disambut oleh rumah yang kosong. Menurut tetangga sebelah yang sore itu sedang menyapu halaman, satu keluarga itu sedang keluar. Katanya mau makan malam bersama di luar. Pada akhirnya, Ardhi pulang ke rumah dengan asumsi-asumsi yang memenuhi kepala hingga mau pecah. Mengesalkan sekali rasanya saat ia benar-benar tak bisa berpikir dengan benar karena sibuk memikirkan nasib hubungannya dengan Sarah yang sedang tak baik-baik saja. Sekali lagi, Ardhi masih tidak tahu apa yang membuat Sarah menjauh. Ardhi tak bisa tidur hingga subuh. Benar-benar sial! Berurusan dengan cinta sangat tidak mengenakkan karena bawaannya resah dan gelisah. Begitu rutuk Ardhi semalaman, Keesokan harinya saat jam istirahat pertama, Ardhi tak buang-buang waktu dan langsung menghampiri Sarah yang saat itu baru
Lagi-lagi, Sarah membuat Ardhi dilanda amarah. Ia pikir kemarin-kemarin Sarah memang hanya sedang lelah dan melampiaskannya pada Ardhi. Namun, ternyata masih berlarut hingga hari ini. Entah apa yang sebenarnya telah terjadi. Rahang Ardhi mengeras. Ia menggeram. “Jangan mulai lagi, Sarah. Kamu bilang kemarin nggak akan lagi minta putus.” “Aku serius, Ardhi.” “Kamu pikir aku enggak?! Aku capek denger kamu minta putus terus!” sembur Ardhi dengan ketus. “Makanya itu biar kamu nggak capek, kita putus aja,” sahut Sarah dengan berani. “Nggak gitu cara mainnya, Sarah. Astaga, kamu tuh kenapa, sih?!” Ardhi menggeram kesal dan menatap Sarah dengan tajam. Ia jengkel setengah mati. Namun, kemarahan yang sudah sampai di ubun-ubun itu masih belum diluapkan. “Kasih tahu aku dengan sejujur-jujurnya, kamu kenapa? Kalau misal ada cowok lain yang kamu suka, aku akan mundur teratur dan ngalah, karena aku nggak mau bersaing memperebutkan cewek yang hatinya terbagi
Setelah mengantarkan Sarah sampai ke rumah, Ardhi tak langsung pulang. Ia butuh seseorang yang bisa menjadi ‘tempat sampahnya’ untuk berbagi keluh kesah. Maka, sebelum meninggalkan kawasan kompleks rumah Sarah, Ardhi langsung menghubungi Dru dan mengajak sahabat terdekatnya itu nongkrong di sebuah kafe. Ardhi sampai terlebih dahulu dan sengaja duduk di luar kafe yang memang khusus untuk smoking area. Sembari menunggu kedatangan Dru, Ardhi menghabiskan satu batang rokok. Baru akan menyulut rokok kedua, Dru datang dengan pakaian santai. Berbeda dengan Ardhi yang masih mengenakan seragam OSIS, dengan atasan berbalut jaket kulit berwarna cokelat. “Gue kira lo sama Sarah udah baikan,” ujar Dru begitu ia mendudukkan bokong di kursi. “Emang udah.” Dru mencibir. Ia teringat kegalauan Ardhi karena Sarah sejak sebelum ujian. “Tumben nggak nge-date? Sebagai perayaan kelar ujian gitu, lho, kayak orang-orang? Lah ini lo malah ngajak gue. Orang-or
Waktu itu, Ardhi masih delapan belas tahun saat pulang ke rumah membawa seorang gadis manis untuk kali pertamanya. Di hadapan kedua orang tuanya, ia tak segan menggenggam jari-jemari mungil milik Sarah, dan memperkenalkan gadisnya itu kepada mereka.Ardhi yang menggebu-gebu, menceritakan tentang hubungan mereka. Sementara Sarah yang lugu, hanya duduk canggung di samping Ardhi sembari tertunduk malu.Hingga akhirnya sederet kalimat yang sudah mereka berdua diskusikan itu keluar dari mulut Ardhi. Sebuah pengakuan yang membuat Ardhi ditarik oleh sang ayah hingga tautan tangannya dengan Sarah terlepas. Belum sempat mengelak, ia ditampar oleh sang ayah hingga pipinya memerah, lalu dipukul hingga ujung bibirnya berdarah. Sebuah pengakuan yang membuat sang ibu kehilangan senyum yang tadinya terus terumbar sejak kedatangan Sarah.“ANAK BODOH! Masih belum jera juga setelah kamu kena kasus narkoba dan hampir dikeluarkan dari sekolah karena berteman dengan anak-anak
“Maaf,” lirih Sarah. Air matanya menggenang di pelupuk mata. Tangannya menyentuh ujung bibir Ardhi yang bekas lukanya masih kentara, lalu naik ke pipi Ardhi yang lebam membiru, yang semakin menyakiti hati Sarah. Ardhi tak bercerita padanya kalau mendapat pukulan lain setelah mereka berpisah kemarin.“Bukan salah kamu, Sarah. Aku pantas mendapat pukulan ini,” kata Ardhi dengan suara lembut. Ia menurunkan tangan Sarah dari wajahnya dan membawanya ke dalam genggaman.“Nanti biar aku yang ngomong ke ayah sama ibu, kamu nggak usah ikut.”“Nggak bisa gitu, Sar. Aku udah janji sama diriku sendiri kalau aku nggak akan bikin kamu nanggung semuanya sendiri. Kemarin kamu nemenin aku waktu bicara dengan ayah dan ibuku. Sekarang biar aku juga yang bicara dengan orang tua kamu. Kamu cukup duduk di samping aku, nggak perlu bicara apa-apa. Oke?”Saat ini, keduanya sedang berada di teras rumah Sarah. Ardhi datang untuk bicar
Ardhi tak terlalu ingat kapan terakhir kali ia tersenyum lebar seperti pagi ini. Mendapati Sarah tertidur lelap di sampingnya masih seperti tak nyata. Gelembung kebahagiaan di dadanya itu membesar hingga rasanya sebentar lagi seperti mau meledak.Matanya melirik jam beker di atas nakas. Masih pukul lima pagi. Astaga, Ardhi bahkan sudah tak ingat lagi kapan terakhir kali bangun sepagi ini. Ya, hari paling pagi bagi Ardhi adalah pukul enam. Itu pun dibangunkan paksa oleh Selia karena harus sekolah.Dan pagi ini, Ardhi berhasil bangun tanpa teriakan dan jeweran di telinga hingga merah. Kalau biasanya ia bangun dengan tubuh lemah lunglai karena malamnya begadang main game, pagi ini Ardhi segar bugar. Tidurnya nyenyak sekali semalam.Menit demi menit berlalu. Entah berapa lama Ardhi memandangi wajah damai Sarah dalam tidurnya. Hingga matahari mulai menyapa melalui celah-celah jendela yang tertutup gorden tipis berwarna putih bersih, perlahan Sarah mulai memb
“Ardhi nggak pernah begitu waktu masih sama aku dulu. Dia nggak pernah bersikap begitu dengan siapa pun.” Arunika yang pertama membuka percakapan begitu Ardhi keluar dari ruangan milik laki-laki itu yang menyisakan dirinya bersama Sera. Ia tersenyum getir. “How can people changes a lot? What did you do to him?” “It’s just about time,” Sera menjawab dengan jujur. “And no. I didn’t do anything. Ardhi nggak berubah. Dia hanya nggak mau berusaha menunjukkan jati dirinya yang sesungguhnya karena dia pikir dia bisa menutupi luka di hatinya setelah ditinggal Kak Sarah dengan melakukan itu. Dan dia nggak sadar kalau yang dia lakukan membuat orang lain terluka. Membuat kamu terluka. Yang pada akhirnya juga berbalik melukai dirinya sendiri.” Sera mengendikkan bahu. Ia baru menyadari kalau ini baru kali pertama mereka berdua saling bicara kepada satu sama lain dan rasanya sungguh aneh karena Arunika bicara seolah-olah mereka cukup dekat
Ardhi bersedekap. Meski ada jarak yang memisahkan mereka lebih dari satu meter laki-laki itu tetap terlihat menjulang di hadapan Arunika. Ia sama sekali tidak terintimidasi oleh ucapan sinis Arunika. Laki-laki itu memberikan tatapan serius yang tidak bisa ditolak oleh Arunika.“Dunia nggak berpusat pada hidup kamu aja, Arunika,” ucap Ardhi dengan serius, “You have to accept that fact. Setiap orang punya panggungnya sendiri-sendiri dan sayangnya kamu nggak bisa menyeret aku dan Sera ke panggung sandiwara hidup kamu. Jangan terus memaksakan sesuatu yang nggak bisa kamu lakukan.”Senyum sinis Arunika lenyap. Arunika mengernyit. Mempertahankan ekspresi wajahnya agar tetap teguh, tetapi gagal. Ia melepas topeng sinis sialan itu dan tersenyum sedih. Menunjukkan sisi terlemahnya di depan Ardhi.“Kalau kamu nggak cuci otaknya David, dia nggak akan membuang aku, Berengsek!”Bahkan saat mengumpati Ardhi, ia tidak terdeng
Sebuah kotak kardus cokelat seukuran kotak sepatu di depan pintu apartemennya langsung menyita perhatian Sera saat ia baru kembali dari rumah ibu mertuanya untuk mengambil rendang dan aneka masakan rumahan yang ia buat bersama Selia sejak pagi. Ia sangat yakin kalau saat ia pergi tadi, kotak itu tak ada di sana.Saat Sera membungkuk untuk mengambil kotak itu, Sera langsung tahu bahwa Ardhi bukanlah pengirimnya. Laki-laki kaku itu tidak pernah memberikan sesuatu secara anonim kepadanya. Tidak akan pernah lagi, karena Sera pernah mengancam Ardhi agar tidak bersikap menjadi laki-laki misterius dan penuh rahasia. Selain karena ancaman itu, Ardhi juga lebih suka mempercayakan segala hal kepada asistennya yang paling setia karena ia tak mau repot.Kotak mencurigakan itu ditujukan untuk dirinya. Namanya tertera di pojok kanan atas. Selain itu tak ada informasi lain.Setelah meletakkan barang-barang bawaannya di atas meja dapur, Sera membuka“Astaga, ada-ad
Halo kakak-kakak pembaca. Perkenalkan saya Nafta, penulis cerita TURUN RANJANG. Mohon maaf sekali karena ini bukan update. Setelahmenulis sebanyak 133 bab, saya putuskan untuk membuat pengumuman ini sekaligus untuk menyapa pembaca yang sudah sangat loyal dengan cerita ini. Kisah ini akan saya tutup di bab 136, yang itu artinya tinggal 3 bab lagi menuju tamat. Saya sedih sekaligus lega karena akhirnya bisa menamatkan cerita ini setelah 8 bulan lamanya menuliskan kisah Ardhi dan Sera di GoodNovel. Mungkin beberapa dari kalian merasa kalau belum siap berpisah dengan Ardhi dan Sera, tapi cerita ini memang seharusnya selesai ketika Sera sudah mengetahui rahasia di balik pernikahannya dengan Ardhi. Saya sengaja tambahkan sedikit konflik dengan memunculkan David dan Arunika untuk melengkapi cerita. So, sampai ketemu di 3 bab terakhir yang akan saya upload minggu ini^^ Mohon maaf sekali karena cerita ini tidak akan ada ekstra part. Jadi cerita akan
“Mau sampai kapan kamu nggak bicara sama aku?” ujar Ardhi dengan nada sedikit geram. “You can’t do this to me, Sera. Aku nggak bermaksud menyisihkan kamu dari masalah. I’m just trying to protect you, don’t you get it?”Sera sudah mengabaikan suaminya itu sejak siang hingga menjelang malam hanya karena tidak diizinkan Ardhi untuk bertemu dan bicara secara langsung dengan David saat laki-laki itu tiba-tiba datang berkunjung ke apartemen mereka.Ardhi gemas sekali dengan tingkah Sera yang menurutnya terlalu berlebihan. Sudah Ardhi bilang kalau menghadapi David yang sedang emosi jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghadapi Sera yang marah kepadanya. Sebenarnya aksi kali ini lebih pantas disebut merajuk. Dan hal ini juga seringkali mempersulit dirinya karena Sera selalu sengaja melakukannya. Wanita itu hanya diam, tak menanggapi satu pun ucapan Ardhi hingga laki-laki itu bingung harus bagaimana.“Se
Roda kehidupan berputar. Kebahagiaan dan ketenangan dalam hidup tak bertahan selamanya. Dan itu seringkali terjadi dalam hidup Ardhi dan Sera. Mereka sudah cukup terbiasa untuk bisa menghadapinya dengan kepala dingin saat masalah datang hingga sedikit menyisihkan kebahagiaan dan ketenangan selama satu bulan pasca hari pernikahan. David yang sempat ‘menghilang’ dan tidak muncul di acara keluarga itu kini menunjukkan batang hidung. Tepat satu minggu sebelum rapat direksi, David muncul di depan pintu apartemen Ardhi dan Sera. Dan bukannya langsung membukakan pintu untuk sepupu Ardhi itu, Ardhi dan Sera malah sibuk berdebat. Membiarkan David menunggu di balik pintu. “Kamu udah setuju kalau kita akan bicara dengan mereka. Kita, ardhi. Bukan cuma kamu sendiri.” Sera menantang Ardhi dengan tatapan tajam yang gagal membuat Ardhi terintimidasi. “Aku memang bilang gitu, Sera. Tapi nggak sekarang. Aku nggak tahu David mau bicara soal apa. Aku nggak tahu gimana suasana h
“Keluarga kamu ternyata nggak seburuk yang aku bayangin,” ucap Sera saat keduanya memasuki lift untuk naik ke lantai sebelas. “Maksud kamu?” “Mereka kelihatan tulus waktu ngasih selamat buat kita,” jelas Sera. “Mereka mulai sadar kalau nggak sepantasnya ngata-ngatain kamu dan menyisihkan kamu dari bagian keluarga Prasetyo. Mungkin beberapa orang masih akan meremehkan kamu dan menyebut kamu nggak layak menjadi bagian keluarga Prasetyo. Tapi kan kita nggak bisa memuaskan hati semua orang. So let it be. Lama-lama mereka akan capek sendiri.” Ardhi merangkulkan lengan di bahu Sera dan menariknya mendekat. Ia menciumi puncak kepala Sera berkali-kali. “Kamu juga harus tahu, kalau kamu memang pantas jadi istriku. Cuma kamu, Sera. Jangan lupakan itu.” “Aku nggak akan ada di sini sekarang kalau aku nggak yakin bisa bertahan sama kamu di tengah-tengah rumitnya hubungan keluarga. Aku bisa ngerti kok. Keluargaku juga banyak dramanya. Jadi aku bisa n
Sera pernah bermimpi memiliki pernikahan megah dengan pasangan tampan bak pangeran dalam negeri dongeng yang ceritanya pernah ia baca dan ia tonton kala masih SD. Seiring Sera tumbuh dewasa, khayalan itu perlahan mengabur. Ia mulai bisa berpikir realistis bahwa pangeran tampan berkuda putih yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya itu tidak akan pernah hadir dalam hidupnya. Sampai ia bertemu dengan Ardhi dan terlibat dalam jerat kehidupan pelik yang banyak tangis dan kesedihan, ia pun segera sadar bahwa hidup memang tidak seindah yang diceritakan dalam dongeng. Namun, tidak lantas hidup ini buruk.Sera sudah belajar banyak tentang kehidupan selama hampir satu tahun mengenal Ardhi. Bahagia itu ada dan hadir menjelma cinta dan kasih sayang yang ia dan Ardhi rasakan terhadap satu sama lain. Saling memahami dan saling mengerti satu sama lain adalah bentuk dari usaha mereka mencapai bahagia itu. Hari ini, bisa dibilang merupakan salah satu hari membahagiakan bagi Ser
Entah apa yang akhirnya David katakan kepada Arunika. Wanita itu tak lagi menemui Ardhi. Tak juga mengirimkan pesan ‘aneh’ yang memicu kesalahpahaman. David juga tidak merecoki Ardhi dengan segala tuduhan dan umpatannya yang memuakkan. Ya, sebenarnya beberapa hari yang lalu, Ardhi-lah yang sengaja meminta dengan baik-baik kepada David melalui telepon agar laki-laki itu menahan diri dulu untuk tidak membuat masalah baru dan berhenti menemui wanita yang sempat dikencaninya hanya demi menutupi rasa sakit hatinya karena Arunika. Untungnya, David mau mendengarkannya meski tak benar-benar memberikan respons yang baik. Dan kabar terakhir yang Ardhi dengar dari sepupu-sepupunya yang lain, David sedang ada urusan pekerjaan di Bali dan Arunika ikut serta. Ardhi cukup bersyukur akan hal itu karena ia bisa berfokus pada acara pernikahannya dengan Sera yang tinggal menghitung jam. Saat ini sudah tengah malam. Ia dan Sera ada di kamar Ardhi di rumah orang tuanya. Mereka dipaksa me