TULPA17. Sesuatu yang Tidak DimengertiBrak!Kututup pintu kamar dengan keras. Berhasil membuat Bi Sum mendatangi kamarku dan mengetuk pintu. Bertanya apakah aku baik-baik saja yang langsung kujawab dengan 'Ya' dengan sedikit berteriak karena enggan membuka pintu. Setelahnya, terdengar suara langkah menjauh. Bi Sum meninggalkan pintu kamarku dan tubuhku meluruh di balik pintu kamar. Menenggelamkan kapal di kedua kaki, terisak pelan. Menangisi Kelabu. Menangisi takdirku. Dan menangisi semuanya. Sialnya, menangis dalam diam rupanya begitu menyakitkan bagiku. Bukannya merasa lega, tangisku malah semakin tergugu. Bahkan, napas ini mulai tersendat. Kenapa ... kenapa harus sesesak ini rasanya? "Kau memang cengeng ya?" Seseorang berucap, bersamaan dengan sapuan lembut jari-jemari seseorang yang berada di pucuk kepalaku. Tubuhku menegang sesaat. Sebelum akhirnya mendongak, menatap sosok yang kini berjongkok di depanku dengan senyum manisnya. "Hai?"Dia menyapa tenang. Seakan-akan sepert
TULPA18. Pesona Kelabu"Ra.""Kak."Aku menghela napas panjang. Rai sejak tadi mencoba mengajakku berbicara tapi suasana hatiku masih belum cukup baik untuk membuka suara. Kulepas genggaman sendok dan garpu, membuat dia benda yang terbuat dari alumunium itu berkeluntang di atas piring. Menimbulkan suara yang cukup keras. Setelahnya aku bangkit dengan cepat, suara gesekan kaki kursi dengan lantai terdengar. "Aku selesai," ucapku malas langsung berbalik meninggalkan Rai yang terdiam. Setengah hari ini aku memang dengan sengaja mendiami sepupuku itu. Bukan karena aku kesal kepadanya tetapi karena aku belum siap untuk mengobrol dengannya. Aku takut lepas kendali dan malah semakin memperburuk situasi. Kututup pintu kamar dan langsung duduk di kursi belajar. Membuka buku diary-ku yang sudah lama tidak kusentuh. Tanganku berhenti bergerak, membalik lembaran-lembaran buku diary-ku ketika melihat coretan asing di sana. Bibirku berkedut, tidak tahan membentuk garis melengkung. Coretan kasar
19. PenjagaAku mengernyit, ketika mendapati Rai sudah duduk manis di ruang tamuku dengan mama. Sepertinya mereka habis terlibat obrolan serius, terlihat dari ekspresi keduanya yang langsung berubah ketika menyadari kedatanganku. Ada apa? Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku? "Lo lama banget sih, Ra. Gue sampek lumutan nungguin lo." Rai menggerutu, sedangkan aku hanya mengedikkan bahu acuh. "Lagian ngapain kamu ke sini?" Aku melangkah, memperkecil jarak. Mendekati sang mama untuk segera pamit pergi ke sekolah. Mama tersenyum, menyambutku. Mamaku baru saja pulang kemarin siang dengan Kelam. Seperti yang dijanjikan cowok itu, Kelam menjemput dan mengantar mamaku dengan selamat. "Jemput lo lah! Disuruh cowok lo," ketus Rai berhasil mengalihkan atensiku ke arahnya. Sepupuku itu menggeser tubuhku, turut menyalimi mamaku. Kunaikkan satu alisku, memangnya Kelam tidak akan menjemputku? Kalau tidak bisa kenapa dia tidak mengabariku? "Woi buruan malah bengong!" Aku terkejut, mendapa
20. KericuhanAku mengernyit, mendapati segerombolan murid kelas lain yang berlarian menuju ke kelasku. Seketika pemikiran buruk menghantui pikiranku. Apakah terjadi sesuatu? Teringat akan keberadaan Rai yang kutinggal sejenak karena aku harus melakukan tugas dari guru untuk membantunya membawakan tumpukan kertas ulangan tadi, membuatku mengkhawatirkannya juga. Walau Rai adalah tipe cewek bar-bar berkedok genit, tetap saja aku merasa khawatir dengannya. Jangan-jangan Rai mendapatkan bully dari murid lain? Tidak ada yang tahu bukan? Mengingat dia sering membelaku selama ini, mungkin saja mereka juga mulai berani mengganggu saudariku itu. Tidak! Jangan sampai! Langkahku bergerak, tergesa-gesa. Degup jantungku berdetak tidak karuan. Terlebih ketika jarak kelasku semakin dekat. Benar saja, kelasku sudah ramai dengan murid-murid kelas lain. Bersusah payah aku mencoba menerobos lautan manusia itu. Tidak peduli tubuh kecilku sesekali terdorong bahkan hampir saja terjerembab karena suasana
21. Sikap Aneh sang Mama"Ra, psst Ra bangun."Aku melenguh, merasa terganggu dengan suara yang terus memanggilku dan menyuruhku untuk segera terbangun dari alam mimpi. Kedua mataku menyipit, terasa begitu berat untuk kembali membuka lebar kelopak mata. Mulut terbuka lebar–menguap. Mengerjap sekali lagi, memastikan objek di depanku yang masih terlihat kabur. Sebuah tangan kekar membungkam mulutku yang siap menjerit karena terkejut. Kedua bola mataku membola, begitu lebar. Tubuhku menegang, mendapati Kelabu yang duduk di sampingku. Dia menaikkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bibirnya, memberi kode agar aku tidak berteriak. Reflek aku mengangguk cepat. Bekapan tangannya melonggar sebelum akhirnya menjauh dari mulutku. Hening, kami saling pandang, mencoba merekam jelas sosok satu sama lain. Kelabu masih sama, hanya saja wajahnya cukup pucat. Tubuhnya pun mengurus, apakah dia sakit? Rambutnya sudah mulai memanjang lagi. Padahal terakhir kami bertemu, dia masih cukup baik walau k
22. SayangTuhan sepertinya sedang berbaik hati kepadaku. Satu minggu ke depan, Kelam tidak akan menemanimu di sekolah seperti biasa. Karena keributan yang dia lakukan kemarin, membuatnya mendapatkan skorsing selama satu minggu. Tetapi, sosok Kelabu kini menggantikan Kelam. Seperti sekarang ini, Kelabu tampak tampan dengan memakai seragam yang sama denganku. Entah mengapa melihatnya yang berpenampilan seperti itu, membuatku teringat masa-masa di mana pertama kami bertemu. Pertemuan yang terdengar lucu sekaligus misterius. Aku bahkan yakin seratus persen jika aku menceritakannya kepada mama, mama akan menganggapku hanya berhalusinasi saja. [Ra, aku antar ya?] Pesan itu masih belum kubalas hingga dua menit yang lalu. Padahal biasanya pesan yang dikirimkan oleh Kelam akan kubalas kurang dari satu menit. Tetapi, sepertinya tidak berlaku pada saat ini. Aku termangu, mencoba menimbangkan tindakan yang kupilih. Jika aku mengiyakan tawaran Kelam, maka dia akan bertemu dengan Kelabu. Kutat
23. Bicara Sama Siapa?"Kamu tahu ga?""Enggak.""Dengerin dulu, Ra!" Aku terkekeh pelan. Ternyata melihat raut wajah kesal dan masam Kelabu membuatku terhibur. Wajah tertekuknya membuatku gemas. Terlebih ketika melihatnya berlari mundur di depanku, membuatku ingin sekali mencubitnya, tetapi karena posisinya yang kini berlari mundur membuatku berpikir dua kali. Bagaimana jika dia terkejut dan malah terjatuh? Tidak, itu sangat berbahaya. "Aku gapapa disuruh lari berapa puteran asal sama kamu, pasti ga bakal capek.".Aku mendengus pelan, mendengar penuturannya. Lima putaran telah selesai kami lakukan. Kupelankan laju lariku, begitu pula dengan Kelabu. Langkahku bergerak pelan menuju ke bawah pohon mangga yang cukup rindang. Cuaca pagi ini sangat terik, membuatku harus menyipit jika mendongak menatap langit biru di atas sana. Kusandarkan punggungku ke batang pohon. Menyipit, mencoba menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan pagi ini. Tetapi, sosok tampan malah menggantikannya. Wajah Kel
24. Kecelakaan"Siapa Kelabu?"Dengan kasar kutepis kedua tangan Iqbal. Mengambil langkah mundur beberapa langkah darinya, memberi jarak. Bibirku mendesis sinis, tidak suka akan tindakan dan pertanyaan Iqbal. Kenapa dia ikut campur dalam urusanku? Bahkan, Kelam saja tidak pernah mengungkit perihal Kelabu. "Dia temanku.""Itu cuma halusinasi lo doang!"Bentakan itu membuatku terlonjak. Kedua mataku memanas. Bukan, bukan karena ucapannya yang mengatakan aku berhalusinasi akan keberadaan Kelabu. Tetapi, karena aku adalah tipe perempuan yang tidak bisa dibentak. Rasa ketidaksukaanku kepada Iqbal semakin besar. Tidak pernah kubayangkan bahwa Iqbal yang selama ini terlihat tenang, kini meledak hanya karena perkara Kelabu. Memangnya tahu apa dia? Dia bahkan tidak mengenal Kelabu. "Sorry." Aku diam. Napasku memburu, emosiku tersulut. Antara marah, sedih, dan terkejut menjadi satu. Pelupuk mataku mulai memburam, siap menumpahkan kristal bening. Aku berdecih pelan, meluapkan emosiku di depa
94. Ending "Maaf, ini calon tunangan ceweknya mana ya?" Tante Oliv yang tengah disibukkan dengan sambungan teleponnya seraya mengatur para maid di mansionnya dibantu oleh Kejora yang sudah datang pagi-pagi buta pun terdiam. Begitu pula dengan Kejora yang berdiri tidak jauh dari wanita paruh baya itu. Terkejut dengan pertanyaan tim perias, pasalnya jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dua jam lagi acara pertunangan putrinya dengan sang kekasihnya-Iqbal akan segera digelar. "Lho emang dia belum nemuin mbaknya?" Tante Oliv melempar pertanyaan yang langsung mendapat gelengan polos dari tim perias. Wanita paruh baya itu tampak menggerutu, samar-samar nama Rai disebut-sebutkan. Wanita itu kesal sekaligus gemas dengan putrinya. Apakah Rai belum kunjung bangun? Padahal beberapa menit yang lalu dia baru saja membangunkan putrinya dan Rai menjawab akan segera turun. Karena itulah dia pikir putrinya itu sudah bangun sejak tadi. "Ra, tante minta tolong bangunkan Rai ya?" Kejora lan
93. Menuju EndingSuara tawa dan drum yang ditabuh begitu kencang meramaikan sebuah lapangan sekolah yang begitu luas di SMA Bakti Sakti. Semua murid bersorak, menyambut kelulusan mereka. Banyak murid berlalu-lalang saling mencoret seragam putih biru mereka. Satu-dua menyalakan bom asap yang penuh warna. Ada juga yang mengabadikan acara tersebut dengan berfoto bersama, seperti yang tengah dilakukan Kelam dan sahabatnya, plus Iqbal yang sudah mereka anggap sebagai anggota ke-enam mereka."Harus kaya gini gayanya?" tanya Kelam menatap sinis Risky, Gelang dan Dion yang menjadi akal untuk berfoto bersama.Sebenarnya tidak masalah untuk fotonya tetapi pose yang dirancang tiga cecunguk itu membuat Kelam jengah. Pasalnya mereka berenam akan melakukan pose membentuk sebuah bintang segi enam dengan tangan mereka yang saling menyentuh sama lain. Menurut Kelam pose mereka terlalu berlebihan, tetapi tiga cecunguk sahabatnya itu menyanggah dengan jawaban yang membuat Kelam semakin muak."Gue mau k
92. Bahagia yang SederhanaDua minggu telah berlalu. Dua minggu yang berhasil membuat semua murid SMA Bakti Sakti menjerit karena ujian serta ulangan yang mereka hadapi. Karenanya minggu ini langsung disambut pekikan senang dan hembusan lega dari mereka semua termasuk segerombolan anak yang kini duduk meligkar di atas rooftop sekolah. Sembilan remaja itu terlihat saling melempar sendau gurau satu sama lain. Di tengah lingkaran yang mereka buat sudah tertata banyak beberapa jenis makanan ringan."Ga kerasa ya cuma tinggal hitungan jari kita bakal lulus," celetuk Risky membuat tawa yang semula menemani mereka seketika lenyap tergantikan dengan keheningan. Mereka semua mulai terhanyut dalam pikiran mereka masing-masing, memikirkan jalan mana nantinya yang akan mereka tempuh setelah resmi keluar dari status anak SMA."Kalian mau lanjut ke mana?" Riyan yang bertanya.Ternyata cowok itu tidak sekaku dan segalak yang terlihat dari tampangnya. Cowok itu cukup ramah dengan caranya sendiri wala
91. Kilas Kisah GelangKelam mengerutkan dahi menatap frustasi soal-soal yang tertera di depannya. Begitu panjang dan rumit. Bahkan Kelam bisa membayangkan adanya wajah meledek pada kertas berisikan soal yang kini dia genggam dengan erat. Berdecak pelan, sekilas melirik ke arah teman-temannya berada yang tampaknya juga mengalami gejala stress akut. Terlihat sekali dengan adanya asap yang mengepul keluar dari kepala mereka. Oke, kalimat terakhir tadi hanyalah bayangan imaji yang Kelam ciptakan."Psstt lihatin jawaban Vino di kelas sebelah dong, Tan.""Kelam Putra Arjuna!"Teriakkan menggema itu membuat Kelam seketika mendatarkan kembali wajahnya. Mengangkat wajah menatap lempeng guru pengawas yang rupanya berhasil menangkap basah dirinya tengah berceloteh. Mempertahankan wajah sok coolnya, walau tengah menjadi pusat perhatian murid lainnya, Kelam mencoba tenang."Berbicara dengan siapa kamu?" tanya sang guru pengawas tajam."Tidak ada."Di dalam hati remaja cowok itu merutuki sang guru
90. Belajar Bersama"Ini soalnya pendek tapi kenapa caranya panjang bener dah."Basecamp kali ini telah diramaikan dengan gerutuan dan protessan dari bibir Dion, Risky, Gelang, dan Rai. Sedangkan Vino, Iqbal dan Kejora sudah beralih profesi menjadi mentor belajar mereka. Sebab nilai dan peringkat mereka jauh lebih unggul daripada yang lainnya. Sedangkan Kelam? Cowok itu tampak diam seraya menatap buku LKS yang jarang dia buka. Oh ayolah bahkan dia sentuh saja jarang. Sebenarnya dia ingin mengeluarkan sumpah serapah dengan materi mapel matematika yang tengah dia pelototi itu. Tetapi hanya untuk menjaga image di depan Kejora, cowok itu memilih diam dan seakan-akan mampu menguasai materi tersebut.Walau begitu ada sepasang mata yang tidak bisa dia bohongi. Vino menggeleng pelan melihat tingkah ketuanya itu. Dapat dia tangkap jelas dahi cowok itu yang tampak menegang sesekali mengerut karena menahan kekesalan. Walau begitu dia tidak mau membuat sang sahabatnya itu merasa malu karena kepur
89. BerdamaiDi sinilah Kelam sekarang. Berada di lapangan sekolahnya yang amat luas. Berlari mengelilingi lapangan tersebut ditemani dengan seorang guru laki-laki dengan peluit di bibirnya yang terus bersuara, menyuruh Kelam untuk terus berlari. Kelam berdecak, dia mengusap dahinya dengan kasar. Mentari yang entah bagaimana bisa tiba-tiba bersinar dengan teriknya, padahal tadi pagi jelas-jelas langit kelabu menghiasi. "Sialan, kenapa tiba-tiba jadi panas gini sih," gerutunya seraya mengusap peluhnya yang telah membasahi kaos hitam yang melekat sempurna di tubuhnya. Dia memang sengaja menanggalkan baju seragamnya agar tidak ikut bau keringat nantinya. "Ayo dua putaran lagi!" Kelam semakin kesal ketika seruan dan suara peluit yang terus mengganggu indera pendengarannya. Karena tertangkap basah melamun di jam pelajaran Bu Tuti, dia berakhir dihukum seperti ini. Dan sialnya, ada Pak Joko yang terus mengawasinya sehingga membuatnya tidak bisa kabur dari hukuman. "Bagus. Besok lagi diu
88. Dimabuk Cinta"Ra."Kejora menoleh, menunggu ucapan Kelam yang ingin cowok itu ucapkan. Cowok itu mendekat, tanpa aba-aba mendekap tubuh mungil gadis itu. Berhasil membuat sang gadis mati kutu karena gugup. Ditambah lagi debaran keduanya yang semakin keras membuat keduanya sama-sama terhanyut dalam kehangatan. Rona merah menjalar pada kedua pipi Kejora, membuat gadis itu semakin manis di bawah sinar rembulan. "Makasih untuk malam ini," bisik Kelam. Kejora hanya mengangguk kecil, terlalu takut jika dia membuka suara, suaranya tergagap karena gugup. "Besok pagi aku jemput kaya biasa." Lagi-lagi Kejora hanya bisa mengangguk menurut. Kedua mata gadis itu terpejam ketika Kelam memberikan kecupan hangat di dahinya. Sekali lagi getaran itu membuat keduanya semakin terhanyut. Sebelum suara deheman dari seseorang membuat adegan romantis itu seketika hancur. "Bagus ya main nyosor-nyosor anak mama. Sudah siap kamu nikahin putri mama, Kelam?" Kelam menyengir lebar. Kepergok calon mertua
87. DinnerMelihat keadaan kamarnya yang tampak lenggang membuat Kejora termangu di depan pintu kamar. Ingatannya menerawang, kembali mengingat kenangannya dengan Kelabu selama ini. Sosok khayalan yang selama ini menemaninya di saat sepi menyapa. Sosok yang berhasil membuatnya terhanyut ke dalam pesonanya. Sosok yang selama ini nyata dengan kesempurnaan yang dia miliki, bahkan sosok yang selama ini berhasil masuk ke dalam relung hatinya sebelum kedatangan Kelam.Menghela napas panjang. Lekas dihapusnya ingatan itu. Bukan karena dia marah atau bahkan menyesal mengenal sosok Kelabu. Tetapi karena dia teringat akan janjinya kepada sang mama untuk melupakan semuanya. Melupakan semua tindakan bodohnya yang bermain-main dengan imaji. Menggelengkan kepalanya, gegas Kejora menutup pintu kamarnya dan segera turun ke lantai dasar. Dicengkeramnya erat tas selempang yang dia kenakan. Bagaimana pun sekarang dia harus mulai bisa melupakan semua kenangan tersebut. Dia harus ingat akan dunianya sendi
86. Balikan? Kejora dibuat terkejut ketika langkahnya baru saja menginjak keluar kelas tetapi harus mendapati sosok Kelam yang menyandar pada dinding kelasnya. Ditambah lagi dengan tatapan yang mengarah kepadanya membuat Kejora ingin sekali pergi jauh dari sana. Sedangkan sang pelaku malah tersenyum kecil, dengan santainya digenggamnya tangan kiri Kejora dan membawanya menuju ke kantin. Meninggalkan Rai yang melongo, hanya bisa menatap kepergian mereka. Padahal, niat hati dia ingin pergi ke kantin bersama sepupunya tersebut. Jika tahu begini, dia juga meminta dijemput sang kekasih. "Ah resek emang," dengusnya membuat tawa Diana yang memang masih di dalam kelas terdengar. Menertawakan nasib gadis itu. "Diem lo cabe," ketus Rai. Dengan menghentakkan kakinya menahan kesal, dia berlalu menuju ke kantin seorang diri. Kembali kepada Kejora dan Kelam. Kedatangan mereka di kantin langsung menjadi pusat perhatian. Ditambah lagi dengan genggaman tangan Kelam pada tangan Kejora, berhasil men