19. PenjagaAku mengernyit, ketika mendapati Rai sudah duduk manis di ruang tamuku dengan mama. Sepertinya mereka habis terlibat obrolan serius, terlihat dari ekspresi keduanya yang langsung berubah ketika menyadari kedatanganku. Ada apa? Apakah ada yang mereka sembunyikan dariku? "Lo lama banget sih, Ra. Gue sampek lumutan nungguin lo." Rai menggerutu, sedangkan aku hanya mengedikkan bahu acuh. "Lagian ngapain kamu ke sini?" Aku melangkah, memperkecil jarak. Mendekati sang mama untuk segera pamit pergi ke sekolah. Mama tersenyum, menyambutku. Mamaku baru saja pulang kemarin siang dengan Kelam. Seperti yang dijanjikan cowok itu, Kelam menjemput dan mengantar mamaku dengan selamat. "Jemput lo lah! Disuruh cowok lo," ketus Rai berhasil mengalihkan atensiku ke arahnya. Sepupuku itu menggeser tubuhku, turut menyalimi mamaku. Kunaikkan satu alisku, memangnya Kelam tidak akan menjemputku? Kalau tidak bisa kenapa dia tidak mengabariku? "Woi buruan malah bengong!" Aku terkejut, mendapa
20. KericuhanAku mengernyit, mendapati segerombolan murid kelas lain yang berlarian menuju ke kelasku. Seketika pemikiran buruk menghantui pikiranku. Apakah terjadi sesuatu? Teringat akan keberadaan Rai yang kutinggal sejenak karena aku harus melakukan tugas dari guru untuk membantunya membawakan tumpukan kertas ulangan tadi, membuatku mengkhawatirkannya juga. Walau Rai adalah tipe cewek bar-bar berkedok genit, tetap saja aku merasa khawatir dengannya. Jangan-jangan Rai mendapatkan bully dari murid lain? Tidak ada yang tahu bukan? Mengingat dia sering membelaku selama ini, mungkin saja mereka juga mulai berani mengganggu saudariku itu. Tidak! Jangan sampai! Langkahku bergerak, tergesa-gesa. Degup jantungku berdetak tidak karuan. Terlebih ketika jarak kelasku semakin dekat. Benar saja, kelasku sudah ramai dengan murid-murid kelas lain. Bersusah payah aku mencoba menerobos lautan manusia itu. Tidak peduli tubuh kecilku sesekali terdorong bahkan hampir saja terjerembab karena suasana
21. Sikap Aneh sang Mama"Ra, psst Ra bangun."Aku melenguh, merasa terganggu dengan suara yang terus memanggilku dan menyuruhku untuk segera terbangun dari alam mimpi. Kedua mataku menyipit, terasa begitu berat untuk kembali membuka lebar kelopak mata. Mulut terbuka lebar–menguap. Mengerjap sekali lagi, memastikan objek di depanku yang masih terlihat kabur. Sebuah tangan kekar membungkam mulutku yang siap menjerit karena terkejut. Kedua bola mataku membola, begitu lebar. Tubuhku menegang, mendapati Kelabu yang duduk di sampingku. Dia menaikkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah bibirnya, memberi kode agar aku tidak berteriak. Reflek aku mengangguk cepat. Bekapan tangannya melonggar sebelum akhirnya menjauh dari mulutku. Hening, kami saling pandang, mencoba merekam jelas sosok satu sama lain. Kelabu masih sama, hanya saja wajahnya cukup pucat. Tubuhnya pun mengurus, apakah dia sakit? Rambutnya sudah mulai memanjang lagi. Padahal terakhir kami bertemu, dia masih cukup baik walau k
22. SayangTuhan sepertinya sedang berbaik hati kepadaku. Satu minggu ke depan, Kelam tidak akan menemanimu di sekolah seperti biasa. Karena keributan yang dia lakukan kemarin, membuatnya mendapatkan skorsing selama satu minggu. Tetapi, sosok Kelabu kini menggantikan Kelam. Seperti sekarang ini, Kelabu tampak tampan dengan memakai seragam yang sama denganku. Entah mengapa melihatnya yang berpenampilan seperti itu, membuatku teringat masa-masa di mana pertama kami bertemu. Pertemuan yang terdengar lucu sekaligus misterius. Aku bahkan yakin seratus persen jika aku menceritakannya kepada mama, mama akan menganggapku hanya berhalusinasi saja. [Ra, aku antar ya?] Pesan itu masih belum kubalas hingga dua menit yang lalu. Padahal biasanya pesan yang dikirimkan oleh Kelam akan kubalas kurang dari satu menit. Tetapi, sepertinya tidak berlaku pada saat ini. Aku termangu, mencoba menimbangkan tindakan yang kupilih. Jika aku mengiyakan tawaran Kelam, maka dia akan bertemu dengan Kelabu. Kutat
23. Bicara Sama Siapa?"Kamu tahu ga?""Enggak.""Dengerin dulu, Ra!" Aku terkekeh pelan. Ternyata melihat raut wajah kesal dan masam Kelabu membuatku terhibur. Wajah tertekuknya membuatku gemas. Terlebih ketika melihatnya berlari mundur di depanku, membuatku ingin sekali mencubitnya, tetapi karena posisinya yang kini berlari mundur membuatku berpikir dua kali. Bagaimana jika dia terkejut dan malah terjatuh? Tidak, itu sangat berbahaya. "Aku gapapa disuruh lari berapa puteran asal sama kamu, pasti ga bakal capek.".Aku mendengus pelan, mendengar penuturannya. Lima putaran telah selesai kami lakukan. Kupelankan laju lariku, begitu pula dengan Kelabu. Langkahku bergerak pelan menuju ke bawah pohon mangga yang cukup rindang. Cuaca pagi ini sangat terik, membuatku harus menyipit jika mendongak menatap langit biru di atas sana. Kusandarkan punggungku ke batang pohon. Menyipit, mencoba menikmati keindahan yang Tuhan ciptakan pagi ini. Tetapi, sosok tampan malah menggantikannya. Wajah Kel
24. Kecelakaan"Siapa Kelabu?"Dengan kasar kutepis kedua tangan Iqbal. Mengambil langkah mundur beberapa langkah darinya, memberi jarak. Bibirku mendesis sinis, tidak suka akan tindakan dan pertanyaan Iqbal. Kenapa dia ikut campur dalam urusanku? Bahkan, Kelam saja tidak pernah mengungkit perihal Kelabu. "Dia temanku.""Itu cuma halusinasi lo doang!"Bentakan itu membuatku terlonjak. Kedua mataku memanas. Bukan, bukan karena ucapannya yang mengatakan aku berhalusinasi akan keberadaan Kelabu. Tetapi, karena aku adalah tipe perempuan yang tidak bisa dibentak. Rasa ketidaksukaanku kepada Iqbal semakin besar. Tidak pernah kubayangkan bahwa Iqbal yang selama ini terlihat tenang, kini meledak hanya karena perkara Kelabu. Memangnya tahu apa dia? Dia bahkan tidak mengenal Kelabu. "Sorry." Aku diam. Napasku memburu, emosiku tersulut. Antara marah, sedih, dan terkejut menjadi satu. Pelupuk mataku mulai memburam, siap menumpahkan kristal bening. Aku berdecih pelan, meluapkan emosiku di depa
25. Sang Mimpi"Mau balik ke kelas?" Aku menggeleng cepat, tidak mau kembali ke kelas. Bahkan untuk menginjakkan kaki ke halaman sekolah saja membuatku enggan. Rasanya, masih belum siap jika nanti di sana aku melihat wajah Rai atau Iqbal. Membayangkannya saja membuatku terasa lelah. Untungnya, Kelam tidak memaksaku. Cowok itu hanya mengangguk seraya membiarkan bahu kanannya menjadi tempat sandaran kepalaku. Kupejamkan kedua mataku, mencoba merilekskan benang kusut yang memenuhi kepalaku. Ruangan ini telah sepi sejak Dion, Vino, Risky, dan Gelang memutuskan untuk ke sekolah walau mereka sudah terlambat karena membolos pada jam satu dan kedua pelajaran. Tetapi, sepertinya itu tidak akan menjadi masalah bagi mereka. Oh ayolah, mereka sudah sering melakukan itu sebelumnya. Bahkan juga Kelam. "Kamu percaya sama aku kan?" Aku bertanya pelan, tanpa membuka mata. "Kamu percaya kan kalau Kelabu itu ada. Dia temanku, bahkan dia ada sebelum kalian datang ke hidupanku," lanjutku pelan. Henin
26. Tidak PeduliAku terbangun tepat pada pukul dua pagi. Di mana hampir saja aku juga menjerit karena mendapati wajah Kelabu cukup dekat dengan wajahku. Seakan tahu aku akan tebangun, dia malah tersenyum cerah seraya berucap, "Hai" dengan semangat. Tidak ada ekspresi terkejut. "Sejak kapan di sini?" tanyaku setelah mengatur rasa keterkejutanku. "Sejak kamu tidur," balasnya santai. "Kamu ga ngantuk emang?" tanyaku iseng. Dia menggeleng cepat, membuatku menaikkan satu alis. Baru kali ini aku mendapati manusia yang tahan dengan kantuk. Mengedikkan bahu acuh, kesadaranku kembali pecah. Memikirkan mimpi yang baru saja kualami. Mimpi yang begitu aneh dan sulit kupahami. Sebenarnya mimpi itu sedang mencoba memberitahukan apa? "Sayang.""Hah? Eh?" Reflek aku menoleh menatap Kelabu yang bertopang dagu dengan tangan kanannya. Dia terkekeh mendapati ekspresiku yang mungkin lucu di wajahnya. "Giliran dipanggil sayang aja noleh," ucapnya menggodaku. "Emang daritadi kamu manggil aku?" tanya