Xuan Li duduk di sudut ruang pentas, menyaksikan pertunjukan tarian yang memukau. Musik merdu memenuhi ruangan, sementara para penari melayang anggun di atas panggung. Lentera merah dan emas menerangi wajah mereka, menciptakan suasana eksotis. Namun, pikirannya tetap terfokus pada urusan mendesak."Apa yang mereka lakukan begitu lama?" pikirnya, melirik ke arah pintu utama. Ia mulai bosan, jari-jarinya sibuk menghitung pola pada meja kayu di depannya.Tak lama, Xu Ting muncul dari kerumunan dan mendekatinya.“Maaf membuatmu menunggu. Guan Yi sudah setuju untuk bertemu. Ayo, aku akan mengantarmu,” ucapnya pelan namun tegas.Xuan Li berdiri tanpa berkata-kata, hanya mengangguk kecil. Ia mengikuti Xu Ting keluar dari penginapan, angin pantai yang sejuk menyentuh kulitnya saat mereka melangkah di jalan berbatu yang sedikit menanjak. Beberapa orang masih terlihat bermain dadu atau berbincang sambil minum arak di sudut-sudut jalan.Xu Ting membawanya ke sebuah bangunan kecil di atas ketin
Xuan Li mengeluarkan kantong kecil berisi jarum akupunktur spiritual dari balik jubahnya. Cahaya lentera di dekat mereka memantulkan kilau logam jarum-jarum itu, memberikan kesan tajam dan menakutkan. Ia memeriksa satu per satu jarum, memastikan semuanya dalam kondisi sempurna.“Duduklah dan jangan bergerak,” perintah Xuan Li, suaranya tenang namun penuh otoritas.Guan Yi menatapnya tajam, keraguan masih terpancar di matanya. Namun, akhirnya ia menurut. Ia melepas jubah luarnya, memperlihatkan tubuh penuh bekas luka, beberapa di antaranya tampak membiru akibat endapan racun energi.“Kau yakin bisa mengatasinya?” tanya Guan Yi dingin.Xuan Li tidak menjawab. Ia menutup matanya sejenak, menarik napas dalam, lalu mengulurkan tangan ke punggung Guan Yi. Sentuhannya ringan, tetapi aliran energi yang ia kirimkan terasa menusuk seperti angin tajam.“Energi spiritualmu sangat kacau. Racun ini telah mengendap bertahun-tahun. Aku perlu membuka aliran meridian utama untuk mengeluarkannya,” jelas
Malam itu, Xuan Li kembali ke penginapan dengan langkah berat. Udara dingin menyelimuti tubuhnya yang lelah, sementara pikirannya berkelana ke pertemuan dengan Guan Yi yang menyisakan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.Xu Ting mengikuti di belakangnya, wajahnya dipenuhi keraguan. “Aku... tidak seharusnya membiarkan ini terjadi.” Nada suaranya penuh sesal.Xuan Li berhenti di depan pintu kamarnya, menoleh perlahan. “Ini bukan salahmu. Segalanya belum dipastikan.”Namun, sebelum ia sempat membuka pintu, Xu Ting mendahului, berdiri menghalangi jalannya.“Kita harus bicara,” katanya dengan nada tegas yang tidak biasa.Xuan Li mengangkat alis. “Aku lelah. Bicaralah besok.”“Tidak,” Xu Ting menjawab cepat, suara dan sikapnya lebih berani dari biasanya. Ia melangkah lebih dekat, tubuhnya hanya berjarak beberapa inci dari Xuan Li. Wajahnya menampilkan senyum tipis yang penuh percaya diri, seperti wanita yang terbiasa menggunakan kelembutannya untuk memenangkan hati lawannya.“Aku tah
Hari itu, Xuan Li berdiri di ambang keputusan besar. Matahari menyinari permukaan laut, menciptakan kilauan emas yang kontras dengan pikirannya yang gelap. Ia menatap dermaga kecil tempat Guan Yi dan anak buahnya berkumpul, tetapi pikirannya melayang jauh."Jika dia mencoba menipuku lagi, aku tidak akan tinggal diam," pikirnya. Guan Yi adalah pria yang pandai bermain kata, tetapi Xuan Li bukanlah seseorang yang mudah dipermainkan. Wajahnya tetap tenang, namun di dalam hatinya ia telah mempersiapkan berbagai rencana untuk menghadapi kemungkinan buruk.Guan Yi, di sisi lain, tampak santai. Ia berdiri dengan penuh percaya diri, mengawasi anak buahnya yang sibuk mengatur berbagai barang. Sikapnya yang tegas dan penuh dedikasi membuatnya tampak seperti pemimpin yang dapat dipercaya."Apakah aku bisa benar-benar mempercayainya kali ini?" Xuan Li bertanya pada dirinya sendiri. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam cara Guan Yi memimpin yang membuatnya ragu untuk sepenuhnya mencu
Gu Feng tidak tinggal lama di Pulau Matahari. Hanya dalam beberapa jam, kapal megahnya mulai sibuk dengan aktivitas pemuatan. Beberapa peti besar diangkat ke atas geladak oleh awak kapal yang bekerja dengan cekatan. Suara kayu yang bergesekan dan tali yang ditarik bergema di udara malam.Di tepi dermaga, Xuan Li berdiri dengan pandangan penuh pertimbangan. Ia memperhatikan Gu Feng, yang tengah berbicara dengan Guan Yi. Sikap pria itu tetap anggun, tetapi ada ketegasan dalam gerak-geriknya. Kemudian, tanpa banyak bicara, Gu Feng melemparkan sekantong besar uang ke tangan Guan Yi."Apa yang mereka perdagangkan?" pikir Xuan Li. Mata tajamnya menelusuri ekspresi Guan Yi, tetapi pria itu hanya tersenyum puas seperti kucing yang baru saja mencuri seekor ikan.Keputusan untuk ikut berlayar bukanlah hal mudah bagi Xuan Li. Ia tahu ada risiko besar, tetapi rasa ingin tahunya akan Akar Naga Angin dan Air Mata Phoenix lebih besar dari keraguannya. Dengan napas panjang, ia melangkah naik ke kap
Setelah pertemuan dan pemeriksaan di gedung itu, Gu Feng membawa Xuan Li ke tempat lain.Bangunan-bangunan di sekitar mereka menjulang seperti benteng gelap, dinding-dinding hitamnya tampak menyerap setiap cahaya yang ada. Bahkan udara di sini terasa lebih berat, seolah dipenuhi energi yang menindas dan mencekik.“Tempat ini istimewa, bukan?” Gu Feng bertanya dengan senyum tipis, melirik Xuan Li. “Di sini, kau akan belajar bahwa kekuasaan dapat membuat segalanya tunduk.”Xuan Li tidak menjawab. Ia masih merenungkan kejadian sebelumnya, saat ia hampir kehilangan kendali di ruang pemeriksaan. Ketika cahaya dari cermin pemurni menyala terang saat ia melangkah melewatinya, jantungnya berdetak keras. Untungnya, mereka tampaknya salah mengira aura tubuh gioknya sebagai kekuatan gelap. Itu memberinya peluang untuk tetap tersembunyi, tetapi ia tahu harus tetap berhati-hati.“Kau terlihat tegang,” ujar Gu Feng lagi, kali ini dengan nada lebih lembut. “Jangan khawatir. Selama kau berada di baw
Suara asing itu kembali bergema, seperti jiwa yang berbicara dari dimensi lain. "Pemuda pemberani. Simpan manik-manik api pengorbanan ini. Aku akan menuntunmu pada jalan kebenaran." Tubuh Xuan Li tersentak. Suara itu mengunci pikirannya, menyeretnya ke jurang kehampaan sebelum tiba-tiba membebaskannya kembali. Ia mengerjap dan mendapati dirinya kembali di pasar gelap yang penuh hiruk-pikuk. Lampion-lampion merah bergoyang, memantulkan bayangan pada wajah-wajah keras para pedagang dan pembeli. Suara tawar-menawar terdengar bagaikan jeritan keserakahan yang tak berujung. Namun, perhatian Xuan Li tertuju pada pria tua penjaga kios di depannya, yang kini tengah merapikan barang dagangannya dengan sikap tenang namun penuh kecurigaan. "Aku ingin benda ini," ujar Xuan Li dingin, mengangkat manik-manik itu ke arah pria tua itu. Pria itu berhenti sejenak, matanya yang keriput menatap Xuan Li dari bawah kerudung lusuhnya. "Barang itu tidak bisa ditukar dengan uang," katanya pelan, penu
Beberapa orang berpakaian seragam gelap dengan lambang naga perak di dada muncul dari bayangan. Mata mereka tajam, penuh kebengisan, sementara aura yang memancar dari tubuh mereka menciptakan tekanan yang membuat udara terasa berat.Xuan Li berdiri di tengah-tengah kerumunan yang perlahan mundur, merasa tubuhnya terkunci di tempat. Ia melirik ke arah kawanan pengacau yang tadi mencoba mengeroyoknya. Wajah mereka kini pucat pasi, tubuh mereka gemetar di bawah tekanan spiritual yang ditimbulkan oleh prajurit-prajurit ini."Siapa mereka?" pikir Xuan Li, matanya menyipit, mengamati detail seragam dengan seksama.Dari desas-desus yang beredar di pasar gelap, ia tahu lambang naga perak hanya dimiliki oleh satu kelompok, Prajurit Bayangan Kota Cakra Iblis. Mereka bukan sekadar penjaga keamanan, tetapi algojo yang dikenal karena kekejaman dan ketidakberpihakan mereka. Apa pun yang dianggap ancaman, baik besar maupun kecil, akan dihancurkan tanpa ampun.Salah seorang prajurit melangkah maju, w
Tarikan itu berhenti.Tubuh Xuan Li melayang sesaat, lalu...Brak!Ia jatuh menghantam permukaan keras. Suara benturan menggema pendek di udara yang sunyi.Xuan Li berguling sekali sebelum segera bangkit, mata waspada menyapu sekeliling. Platform batu abu-abu membentang di bawah kakinya, penuh dengan ukiran-ukiran aneh yang berkilau samar dalam gelap.Di depannya, Mo Xiang terkapar.Tubuh pemuda itu berlumuran darah. Napasnya tersengal, seakan tinggal menunggu waktu untuk padam. Tidak jauh dari Mo Xiang, dua tubuh lain — anggota Alam Bayangan — tergeletak tak bergerak. Darah menggenang di sekitar mereka. Tidak jelas apakah mereka masih hidup atau sudah menjadi mayat.Xuan Li menghampiri Mo Xiang tanpa banyak pikir. Ia berlutut, memeriksa denyut nadinya.Lemah. Sangat lemah. Tapi masih ada.Wajah Xuan Li tetap tanpa ekspresi. Ia mengeluarkan dua pil dari kantong penyimpanannya. Pil pemulih energi kelas tinggi, berwarna putih kehijauan, menguarkan aroma pahit khas ramuan spiritual murni
Xuan Li berdiri kaku mata tajam tak lepas dari empat anggota Alam Bayangan di hadapannya. Di antara mereka, Mo Xiang berlutut, tubuhnya gemetar, darah menetes dari sudut mulutnya.Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh kurus dengan jubah hitam compang-camping, menyeringai. Ia menendang Mo Xiang tanpa ampun.Bugh!Tubuh Mo Xiang terhempas ke lantai batu. Erangan tertahan keluar dari bibirnya.Wajah Xuan Li mengeras.Tangannya sempat bergerak. Aura membunuhnya melonjak. Namun, sebelum serangannya meluncur, pria itu menginjak punggung Mo Xiang, membuat tubuh yang sudah lemah itu memuntahkan darah lagi."Gerakkan satu jari lagi," kata si pria kurus, "dan kami remukkan kepalanya di depanmu."Xuan Li membeku.Matanya penuh bara, tapi pedangnya tetap tergenggam erat. Otot-otot tubuhnya menegang, seolah menahan gelombang kekuatan yang hendak meledak."Ayo," ejek pria berambut putih pendek, "buang pedangmu. Ikut kami dengan baik. Atau dia mati."Mo Xiang mengangkat kepalanya dengan susa
Kabut yang semula menggantung kini menyibak pelan, menampakkan sosok berjubah panjang dengan tudung menutupi wajahnya. Auranya berat, gelap, seolah menarik semua cahaya di ruangan itu.Xuan Li tidak bergerak. Sorot matanya tetap dingin, meski napasnya belum sepenuhnya stabil. Tubuhnya baru saja memulihkan diri dari pertarungan berat dengan para penjaga segel, tapi ia tahu... sosok ini bukan lawan biasa."Sudah kuduga," ujar orang itu. Suaranya dalam, datar, namun terasa seperti paku menusuk tulang. "Tubuh giok... akhirnya muncul juga."Xuan Li menyipitkan mata."Jadi kau datang bukan karena simpul, tapi karena aku.""Aku merasakan ledakan aura tubuh giokmu dari jauh. Bahkan para penatua Alam Bayangan yang bersemedi di lembah terdalam ikut terguncang. Kau tidak bisa lagi bersembunyi."Xuan Li menggertakkan gigi. Sial, kekuatan tubuh gioknya memang baru saja ia gunakan secara penuh untuk mengatasi penjaga terakhir. Dia terlalu terburu-buru."Apa yang akan kau lakukan?" tanya Xuan Li, da
Sebelum kembali menghancurkan segel, Xuan Li mengeluarkan sebuah pil untuk memulihkan luka-lukanya terlebih dahulu."Pil Pemulih Jiwa... semoga cukup untuk tahap ini."Tanpa ragu, ia menelannya. Dalam sekejap, aliran hangat menjalar dari dada ke seluruh tubuh. Retakan di tulangnya menyatu, otot-otot yang sobek menegang kembali, dan luka di punggungnya tertutup seperti tak pernah ada. Napasnya kembali stabil.Tak ingin membuang waktu, ia bangkit dan menggerakkan tangannya dengan pola tertentu untuk menggunakan teknik pengendalian jiwa.Tangannya membentuk rune sederhana, lalu mengarahkannya ke penjaga segel simpul selanjutnya yang berdiri di kejauhan. Wujud penjaga itu bukan makhluk hidup, melainkan entitas roh kuno hasil pemanggilan, namun tetap memiliki sedikit kesadaran."Jiwa yang terbelenggu waktu, dengarlah panggilanku..." bisiknya lirih.Aura gelap keluar dari matanya, menyebar seperti kabut pekat. Penjaga itu mendadak menggigil, tubuhnya goyah. Cahaya biru yang membalut tubuhny
Xuan Li berdiri di hadapan lorong yang memanjang ke bawah tanah, di mana simpul terakhir dari jalur energi Alam Bayangan tersembunyi.Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas pelan. Di bawah sana ada segel tujuh lapis, masing-masing dirancang untuk mencegah penyusup masuk.‘Segel tujuh lapis... tidak bisa dibuka tanpa energi spiritual,’ pikirnya. ‘Tapi sekali aku menggunakannya, mereka akan tahu aku di sini.’Ia merapat ke dinding, bergerak perlahan menuruni lorong. Tanpa suara. Ta Langkahnya setenang air, menyatu dengan kegelapan. Tapi meski begitu, tekanan dari segel pertama sudah terasa meskipun jaraknya masih beberapa puluh zhang. Itu bukan hanya penghalang fisik, itu adalah medan pembunuh.Xuan Li merogoh lengan jubahnya dan mengeluarkan dua pil kecil. Yang satu pil penekan aura, satunya lagi untuk menyamarkan denyut spiritual dalam tubuh. Tanpa ragu, ia telan keduanya.Tubuhnya bergetar sebentar, lalu tenang. Aura hidupnya tenggelam. Energi spiritualnya seolah lenyap. Kin
Xuan Li terbang di ketinggian rendah, di sekelilingnya hanya tanah retak dan sunyi. Tak ada angin, tak ada suara makhluk hidup, seolah dunia di tempat ini sudah lama mati.Tapi ia tidak peduli. Ia fokus mengikuti sisa simpul energi terakhir dari Alam Bayangan.Setelah beberapa li, medan berubah. Tanah gersang berganti menjadi bukit-bukit batu. Tumbuhan mulai muncul, kering, namun hidup. Tempat ini tampak lebih normal dibanding lembah kematian atau sungai darah yang ia lewati sebelumnya. Tapi Xuan Li tidak lengah. Alam Bayangan dikenal suka menyembunyikan bahaya di balik ilusi ketenangan.Tiba-tiba, tubuhnya berhenti.Ia merasakan hawa manusia.Seseorang mendekat.Xuan Li menoleh dan matanya menyipit. “Mo Xiang?”Laki-laki itu berdiri kaku beberapa langkah di depannya, wajahnya seputih abu. Tubuh kurusnya diselimuti jubah hitam, dan mata yang pernah bersinar ramah itu kini penuh kecemasan.“Wu Yu...?” bisiknya, setengah tak percaya.Sebelum Xuan Li sempat menjawab, Mo Xiang bergerak c
Xuan Li menoleh pada Pemimpin Tanah Jiva yang berdiri tidak jauh darinya. Kini dengan tubuh muda dan vitalitas yang pulih, sang pemimpin tampak jauh berbeda dari sebelumnya.“Aku harus pergi,” kata Xuan Li singkat.Pemimpin mengangguk. “Kami berutang banyak padamu. Jika suatu saat kau kembali, tanah ini akan menyambutmu.”Pengawas Ji yang berdiri di sisi kanan sang pemimpin menunduk hormat. Tidak ada pertanyaan, tidak ada permintaan.Xuan Li berjalan melewati jajaran para tetua yang membungkuk di sisi jalan berbatu menuju gerbang. Tidak ada satu pun yang berani mengangkat kepala.Namun gerbang di depannya bukanlah gerbang tempat ia masuk sebelumnya.“Kami tidak membiarkan tamu istimewa keluar dari pintu kematian,” ujar Pengawas Ji seraya menunjuk jalur berlapis formasi ringan yang membelah hutan belantara. “Jalur ini akan membawamu langsung ke perbatasan luar.”Xuan Li tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk tipis, lalu melangkah masuk ke lorong cahaya yang terbentuk dari energi spirit
Pemimpin Tanah Jiva masih menatap cahaya yang perlahan memudar dari tubuh Xuan Li. Matanya tak berkedip, tubuhnya tegak, namun napasnya tertahan. Sosok armor perempuan langit yang melingkupi Xuan Li belum sepenuhnya sirna, dan getaran auranya masih terasa di tanah, udara, bahkan formasi pelindung wilayah.“Dewi Kultus Suci…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Salah satu tetua di belakangnya bergeser gelisah. “Itu… tidak mungkin. Dewi Kultus Suci adalah sosok mitos. Leluhur dari era sebelum era ini. Armor itu...”“Tidak salah,” potong Pemimpin Tanah Jiva pelan, namun tegas. “Aku pernah melihat lukisan armornya dalam gulungan sejarah. Tidak ada keraguan. Itu adalah warisan kekuatan yang diakui oleh langit…”Mata Pemimpin melembut. Tatapannya beralih kepada Xuan Li, kedua tangannya perlahan menarik diri dari wadah giok.Airnya telah tenang.Xuan Li membuka mata. Ekspresinya tak berubah. Datar, penuh kendali. Ia berdiri perlahan dan menatap langsung ke arah sang pemimpin.“Aku tidak
Pengawas Ji berjalan melewati gerbang pusaran angin spiritual yang melingkari pusat Tanah Jiva. Di belakangnya, dua wanita paruh baya membawa gulungan emas dan jimat penguat formasi. Wajahnya tenang, namun di dalam pikirannya, kegelisahan mulai tumbuh.Ia memeriksa formasi pelindung Tanah Jiva. Simbol-simbol kuno terpahat di udara, mengambang di atas batu-batu pelindung yang tertanam di tanah. Aliran spiritual yang keluar dari segel tidak menunjukkan tanda kerusakan.“Masih utuh,” gumamnya pelan.Ia memejamkan mata dan menyentuh tanah. Aura lembut naik dari permukaan dan menyatu dengan tubuhnya.“Tidak ada retakan, tidak ada celah. Tapi dia masuk,” katanya lagi. Suaranya mengeras. “Aku harus bicara dengan Yang Mulia.”Di sisi lain, Xuan Li duduk bersila di paviliun selatan. Empat prajurit wanita berdiri mengelilinginya. Mereka tidak menatapnya langsung, namun jelas sikap mereka lebih waspada dibanding sebelumnya.Bisik-bisik dari luar paviliun semakin keras. Bahkan anak-anak perempuan