Di Pulau Tujuh Binatang Surgawi,Keheningan menyelimuti seluruh tempat. Yan Yue duduk di atas sebuah batu besar, memandang cakrawala dengan tatapan kosong."Sudah berapa lama aku menunggu di sini?" gumamnya sambil memainkan batu kecil di tangannya. Meskipun wajahnya tetap tenang, raut kebosanan terlihat jelas di matanya.Ia melirik ke arah gua tersembunyi di balik dinding batu. Di dalamnya, Xuan Li tengah sibuk memurnikan pil. Yan Yue tahu bahwa pekerjaan itu tak bisa diganggu, tetapi waktu yang terasa lambat mulai menguji kesabarannya."Dia pasti sedang serius," bisiknya pelan. "Tapi, kenapa harus selama ini?"Di dalam gua, suasananya benar-benar berbeda. Xuan Li duduk bersila di depan tungku alkimia yang memancarkan api biru kehijauan. Matanya tajam dan fokus, mengamati setiap perubahan dalam proses pemurnian. Cairan bercahaya dalam tungku perlahan berubah menjadi bola kecil, memancarkan energi yang semakin kuat."Aku harus memastikan semuanya sempurna," pikirnya. Peluh mengalir di
Xuan Li berdiri di sisi Yan Yue, menatap sosoknya yang masih terbaring dengan napas memburu. Aura merah yang menguar dari tubuhnya terus bergejolak, seperti api yang mencari bahan bakar untuk terus menyala. Kening Xuan Li berkerut. Ia telah mencoba berbagai metode untuk menetralkan efek pil, tetapi sejauh ini semuanya sia-sia.“Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini.”Xuan Li mengulurkan telapak tangannya, mencoba menyerap kelebihan energi spiritual dari tubuh Yan Yue dengan tekniknya. Ia mengerahkan kekuatan penyelarasan spiritualnya, namun begitu telapak tangannya bersentuhan dengan aura panas yang mengelilingi Yan Yue, aliran energi itu justru menolak untuk berpindah."Daya tolaknya terlalu kuat… Seakan energi ini menganggap tubuhnya sebagai wadah yang paling cocok."Yan Yue menggeliat dalam tidurnya. Tubuhnya berkeringat deras, bulu-bulu halus di kulitnya tampak berkilauan dalam cahaya api tungku. Ia merintih pelan, suara yang keluar dari bibirnya terdengar seperti panggilan ya
Xuan Li duduk di tepi gua, menatap cahaya api tungku yang mulai redup. Sisa hawa panas dari malam sebelumnya masih terasa di udara.Ia menoleh ke arah Yan Yue yang masih tertidur, tubuhnya hanya diselimuti pakaian yang setengah terbuka. Napasnya sudah lebih tenang, tapi sesekali tubuhnya masih bergerak gelisah. Efek pil itu mungkin telah mereda, tetapi masalah lain yang lebih besar sedang menunggu saat ia terbangun.Xuan Li menarik napas dalam-dalam."Sebelum Yan Yue terbangun, aku harus melakukan sesuatu. Aku tidak ingin mati muda."Tangannya bergetar sedikit saat ia menghunus belati kecil dari balik lengan jubahnya. Mata emasnya memancarkan sinar dingin saat ia menatap telapak tangan Yan Yue. Dengan hati-hati, ia mengambil ujung belati dan menggores halus kulit putih pucat itu.Setetes darah merah pekat keluar.Tanpa ragu, Xuan Li segera membentuk segel dengan tangannya, mengucapkan mantra kuno dengan suara pelan. Darah itu mulai bersinar samar, menyatu dengan aliran energi yang ia
Suasana dalam gua berubah drastis. Aura energi Yan Yue berkobar liar, menggetarkan udara di sekitarnya. Tekanan spiritual yang dipancarkannya begitu kuat hingga dinding-dinding batu mulai retak, sementara angin yang muncul dari ledakan energinya menyapu debu dan serpihan batu ke segala arah.Xuan Li berdiri di tengah kekacauan itu, tubuhnya tetap tegak meski hawa panas dari kemarahan Yan Yue menghempasnya seperti badai. Matanya yang dingin tetap terfokus, tetapi pikirannya sudah menyadari satu hal."Aku tidak punya peluang menang. Bahkan jika aku ingin bertahan, aku hanya akan memperburuk situasi."Yan Yue melayang di udara, tatapan matanya penuh amarah. Lalu, tanpa peringatan, ia mengayunkan tangannya.Gelombang energi spiritual merah melesat cepat, menghantam tubuh Xuan Li dengan kekuatan dahsyat.Bugh!Tubuhnya terpental ke belakang, menghantam dinding batu hingga retak. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, tetapi Xuan Li tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia tahu,
Bruk!Sebuah portal energi mendadak terbuka di udara, diikuti oleh dua sosok yang terlempar dengan cara yang sama sekali tidak elegan.Lin Gong, masih dalam wujud naga, jatuh menghantam tanah dengan keras, menyebabkan retakan kecil di sekitarnya. Sementara itu, Shu Shi, yang entah bagaimana mendarat di punggungnya, mendesah kesal. Debu tebal mengepul di udara, menutupi pandangan mereka sejenak.“Ugh... teleportasi macam apa ini?” Lin Gong mengerang sambil menggeliat, mencoba berdiri tegak. “Aku merasa seperti dilempar ke dalam pusaran badai!”Shu Shi, yang kini duduk di atas punggung Lin Gong, dengan kesal merapikan rambut peraknya yang berantakan. Ia lalu menepuk kepala naga itu dengan cukup keras.“Itu karena kau tidak bisa mengontrol energi teleportasimu dengan benar! Berhenti mengandalkan insting dan gunakan kepalamu, dasar kadal besar!”Lin Gong mendelik tajam.“Hei! Aku ini naga, bukan kadal!” protesnya.Namun, sebelum perdebatan mereka berlanjut, mata keduanya akhirnya menangka
Langit di atas Istana Serigala Merah kelam, diselimuti asap pertempuran yang mengepul dari berbagai sudut. Bau darah, besi, dan daging terbakar bercampur di udara, membuat dada terasa sesak. Teriakan prajurit yang bertarung dan mereka yang sekarat, bersatu dalam simfoni mengerikan.Di halaman utama, pasukan Mo Jingtian semakin mendesak pertahanan terakhir istana. Mayat berserakan di mana-mana, darah membanjiri batu-batu yang dulu megah. Pasukan Yan Yue berusaha bertahan, tetapi jumlah mereka semakin menipis.Dari atas tembok istana, Yan Yue mengamati pemandangan itu dengan rahang terkatup. Tangannya mengepal begitu keras hingga kuku-kukunya hampir menusuk telapak tangannya sendiri. Tubuhnya masih terasa sedikit lemah setelah penerobosan terakhir, tetapi kemarahan yang menggelegak di dadanya mengalahkan segalanya."Yan Yue," sebuah suara tenang menyadarkannya.Ia menoleh dan menemukan Xuan Li berdiri di sampingnya, ekspresinya tetap dingin seperti biasa."Kau belum sepenuhnya pulih," u
Angin bertiup kencang, menyapu debu dan serpihan batu yang beterbangan akibat benturan energi yang mengguncang medan pertempuran. Di tengah puing-puing yang berserakan, dua sosok berdiri berhadapan, saling menatap dengan mata penuh perhitungan.Xuan Li menarik napas dalam. Tubuhnya masih diliputi sisa-sisa cahaya keemasan dari energi spiritual yang belum sepenuhnya mereda. Napasnya berat, tetapi sorot matanya tetap tajam. Di hadapannya, Mo Jingtian berdiri dengan aura yang semakin menekan. Meski mengalami beberapa luka, pria itu masih terlihat seperti benteng yang mustahil untuk ditembus."Tak kusangka kau bisa bertahan sejauh ini," ujar Mo Jingtian, suaranya dalam dan penuh ejekan.Xuan Li tak menjawab, tetapi pupil matanya menyipit. Ia bisa merasakan tekanan yang semakin meningkat dari lawannya. Mo Jingtian tidak main-main. Pria itu jelas merupakan salah satu lawan terkuat yang pernah ia hadapi.Tiba-tiba, aura merah pekat mulai membungkus tubuh Mo Jingtian. Energinya mengamuk seper
Suasana di halaman utama Istana Serigala Merah masih dipenuhi sisa ketegangan. Asap tipis membubung dari reruntuhan yang terbakar, dan udara berbau darah masih terasa di antara para prajurit yang terluka.Di tengah situasi yang kacau ini, Xuan Li, dengan luka di sekujur tubuhnya, masih sempat tersenyum miring saat menatap Yan Yue. Dengan suara lemah, ia berkata, "Kau begitu perhatian padaku, Yan Yue. Sejujurnya, aku cukup tersentuh."Tatapan Yan Yue langsung berubah dingin. Urat di pelipisnya menegang, amarahnya tersulut begitu saja oleh nada menggoda dalam suara Xuan Li."Diam!" desisnya.Dan dalam sekejap, tanpa peringatan, Yan Yue mengayunkan lengannya dan melemparkan tubuh Xuan Li ke belakang.Buk!Tubuh Xuan Li menghantam tanah dengan keras. Napasnya tercekat, rasa sakit menjalar di sekujur tubuhnya. Kali ini, luka-lukanya terlalu parah untuk diabaikan. Pandangannya kabur, kesadarannya perlahan menghilang.Lalu, semuanya gelap.Lin Gong dan Shu Shi langsung melompat ke depan beg
Xuan Li terbang di ketinggian rendah, di sekelilingnya hanya tanah retak dan sunyi. Tak ada angin, tak ada suara makhluk hidup, seolah dunia di tempat ini sudah lama mati.Tapi ia tidak peduli. Ia fokus mengikuti sisa simpul energi terakhir dari Alam Bayangan.Setelah beberapa li, medan berubah. Tanah gersang berganti menjadi bukit-bukit batu. Tumbuhan mulai muncul, kering, namun hidup. Tempat ini tampak lebih normal dibanding lembah kematian atau sungai darah yang ia lewati sebelumnya. Tapi Xuan Li tidak lengah. Alam Bayangan dikenal suka menyembunyikan bahaya di balik ilusi ketenangan.Tiba-tiba, tubuhnya berhenti.Ia merasakan hawa manusia.Seseorang mendekat.Xuan Li menoleh dan matanya menyipit. “Mo Xiang?”Laki-laki itu berdiri kaku beberapa langkah di depannya, wajahnya seputih abu. Tubuh kurusnya diselimuti jubah hitam, dan mata yang pernah bersinar ramah itu kini penuh kecemasan.“Wu Yu...?” bisiknya, setengah tak percaya.Sebelum Xuan Li sempat menjawab, Mo Xiang bergerak c
Xuan Li menoleh pada Pemimpin Tanah Jiva yang berdiri tidak jauh darinya. Kini dengan tubuh muda dan vitalitas yang pulih, sang pemimpin tampak jauh berbeda dari sebelumnya.“Aku harus pergi,” kata Xuan Li singkat.Pemimpin mengangguk. “Kami berutang banyak padamu. Jika suatu saat kau kembali, tanah ini akan menyambutmu.”Pengawas Ji yang berdiri di sisi kanan sang pemimpin menunduk hormat. Tidak ada pertanyaan, tidak ada permintaan.Xuan Li berjalan melewati jajaran para tetua yang membungkuk di sisi jalan berbatu menuju gerbang. Tidak ada satu pun yang berani mengangkat kepala.Namun gerbang di depannya bukanlah gerbang tempat ia masuk sebelumnya.“Kami tidak membiarkan tamu istimewa keluar dari pintu kematian,” ujar Pengawas Ji seraya menunjuk jalur berlapis formasi ringan yang membelah hutan belantara. “Jalur ini akan membawamu langsung ke perbatasan luar.”Xuan Li tidak menanggapi. Ia hanya mengangguk tipis, lalu melangkah masuk ke lorong cahaya yang terbentuk dari energi spirit
Pemimpin Tanah Jiva masih menatap cahaya yang perlahan memudar dari tubuh Xuan Li. Matanya tak berkedip, tubuhnya tegak, namun napasnya tertahan. Sosok armor perempuan langit yang melingkupi Xuan Li belum sepenuhnya sirna, dan getaran auranya masih terasa di tanah, udara, bahkan formasi pelindung wilayah.“Dewi Kultus Suci…” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.Salah satu tetua di belakangnya bergeser gelisah. “Itu… tidak mungkin. Dewi Kultus Suci adalah sosok mitos. Leluhur dari era sebelum era ini. Armor itu...”“Tidak salah,” potong Pemimpin Tanah Jiva pelan, namun tegas. “Aku pernah melihat lukisan armornya dalam gulungan sejarah. Tidak ada keraguan. Itu adalah warisan kekuatan yang diakui oleh langit…”Mata Pemimpin melembut. Tatapannya beralih kepada Xuan Li, kedua tangannya perlahan menarik diri dari wadah giok.Airnya telah tenang.Xuan Li membuka mata. Ekspresinya tak berubah. Datar, penuh kendali. Ia berdiri perlahan dan menatap langsung ke arah sang pemimpin.“Aku tidak
Pengawas Ji berjalan melewati gerbang pusaran angin spiritual yang melingkari pusat Tanah Jiva. Di belakangnya, dua wanita paruh baya membawa gulungan emas dan jimat penguat formasi. Wajahnya tenang, namun di dalam pikirannya, kegelisahan mulai tumbuh.Ia memeriksa formasi pelindung Tanah Jiva. Simbol-simbol kuno terpahat di udara, mengambang di atas batu-batu pelindung yang tertanam di tanah. Aliran spiritual yang keluar dari segel tidak menunjukkan tanda kerusakan.“Masih utuh,” gumamnya pelan.Ia memejamkan mata dan menyentuh tanah. Aura lembut naik dari permukaan dan menyatu dengan tubuhnya.“Tidak ada retakan, tidak ada celah. Tapi dia masuk,” katanya lagi. Suaranya mengeras. “Aku harus bicara dengan Yang Mulia.”Di sisi lain, Xuan Li duduk bersila di paviliun selatan. Empat prajurit wanita berdiri mengelilinginya. Mereka tidak menatapnya langsung, namun jelas sikap mereka lebih waspada dibanding sebelumnya.Bisik-bisik dari luar paviliun semakin keras. Bahkan anak-anak perempuan
Xuan Li melangkah meninggalkan tempat itu. Energi dari batu transmisi telah memberinya arah yang jelas. Kabut perlahan mulai menipis seiring langkahnya menurun ke lembah yang sunyi. Uap dari tanah masih sesekali muncul, tetapi kini tak lagi mampu menembus lautan kesadarannya.Setelah berjalan sekitar lima puluh li, sesuatu berubah.Langkah kakinya tiba-tiba terasa ringan. Udara menjadi hangat. Cahaya menyeruak dari sela-sela pepohonan, bukan cahaya spiritual, melainkan sinar matahari biasa.Kabut lenyap.Begitu ia melewati celah dua batu besar di depannya, dunia di baliknya berbeda. Seolah-olah melangkah keluar dari kelamnya neraka menuju dunia lain.Langit biru cerah. Rumput hijau membentang. Burung-burung berwarna terang terbang di udara. Di kejauhan, gunung-gunung menjulang dengan air terjun yang jatuh seperti benang perak. Bunga-bunga mekar tanpa musim.Ini terlalu indah.Xuan Li berhenti sejenak. Matanya menyipit. Dia menyentuh tanah, memeriksa aliran spiritual.“Ini bukan ilus
Kabut yang menyelimuti daerah ini jauh lebih tebal dibanding wilayah altar sebelumnya. Cahaya spiritual matahari pun tidak bisa menembusnya. Langit dan bumi seperti menyatu dalam kelabu yang membungkam segalanya.Tak ada angin.Tak ada suara.Tak ada kehidupan.Xuan Li terus berjalan.Aura kehidupannya menyala samar di tengah kesunyian itu.Namun setelah puluhan li melangkah, aliran spiritual di tubuhnya mulai terasa aneh. Peredaran energi spiritualnya melambat, pikirannya terasa mengambang.Satu langkah...Dua langkah...Tiba-tiba, suara samar muncul di telinganya.“Wu Yu... kenapa kau pergi begitu saja...?”Langkah Xuan Li terhenti.Suara itu... suara perempuan. Lembut. Penuh kesedihan. Terlalu akrab.Ia mengerutkan alis. "Ilusi."Namun langkah berikutnya membawa suara lain. Suara tawa kecil. Suara anak-anak.“Guru, lihat! Aku bisa terbang!”Gigi Xuan Li mengatup. Jemarinya mengepal.Dia tahu benar bahwa itu bukan kenyataan. Orang-orang yang suaranya dia dengar sudah lama tiada atau
Kabut belum reda saat altar itu runtuh. Batu-batu spiritual berserakan, pilar-pilar hancur menjadi debu, dan lubang pemrosesan jiwa itu kini tertutup puing-puing. Gelombang energi spiritual yang meledak menghantam para penjaga hitam, melemparkan mereka hingga puluhan langkah. Xuan Li berdiri di kejauhan. Jubahnya berkibar pelan oleh angin spiritual yang masih tersisa dari ledakan. Ia memandang sekeliling. Barisan manusia yang tadinya dikendalikan kini berhenti bergerak. Mereka berdiri kaku di tempat masing-masing, tatapan kosong, tubuh gemetar ringan. Simbol spiritual di belakang kepala mereka masih ada, tapi koneksinya terputus. Mereka seperti wayang tanpa dalang. “Masih belum sadar... tapi sudah tidak terikat,” gumamnya. Namun tak ada waktu untuk merenung. Angin spiritual bergetar. Dari reruntuhan altar, lima penjaga hitam bangkit. Wajah mereka dipenuhi retakan darah, mata kehijauan bersinar tajam. Aura spiritual mereka melonjak, membentuk pusaran energi pekat. “Peny
Kabut belum benar-benar hilang ketika Xuan Li berdiri di atas tebing, memandangi reruntuhan lembah yang baru saja ditinggalkannya. Sisa-sisa kabut spiritual masih menyusup di antara batu-batu, namun energi pusat kendali sudah benar-benar menghilang.Ia menutup matanya sejenak. Nafas diatur. Lalu, mata spiritualnya dibuka.Dalam sekejap, dunia berubah. Di balik pemandangan biasa, jaring-jaring tipis spiritual terbentang di udara. Seperti sarang laba-laba yang tak terlihat mata biasa, jalur-jalur itu memancar dari titik-titik tertentu, menjalar ke segala arah.“Ini bukan satu titik. Mereka membangun banyak simpul seperti ini,” pikir Xuan Li.Dia mengikuti aliran salah satu jalur yang tampak lebih kuat dibanding yang lain. Ujungnya mengarah ke utara, menyusuri perbukitan tandus yang dilapisi kabut kelabu.Tanpa berkata apa pun, Xuan Li melompat turun dan mulai bergerak mengikuti jalur itu. Jika satu simpul telah dihancurkan, maka simpul berikutnya harus segera ditemukan.Setengah jam ber
Ledakan energi tadi belum sepenuhnya mereda ketika Xuan Li kembali mengambil sikap. Kabut tebal di lembah bergolak, menyelimuti pandangan dan menyamarkan gerakan. Namun, dia tidak bisa membiarkan ketajaman indranya tumpul.Di hadapannya berdiri sosok besar bertopeng besi. Tubuh makhluk itu dilapisi lapisan spiritual hitam pekat, seolah merupakan perpanjangan dari kabut itu sendiri.Ini bukan mayat hidup biasa. Boneka ini memiliki kesadaran.Dan kekuatannya... setara dengan kultivator Formasi Kekosongan puncak.Xuan Li menarik napas pelan, menahan laju amarah dan naluri bertarungnya. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan dengan serangan membabi buta.“Makhluk ini... bukan sekadar boneka,” pikirnya. “Ia bisa berpikir. Bisa menyesuaikan taktik. Bahkan mungkin sedang mengukur kekuatanku.”Dari awal, gerakannya tidak sembarangan. Ia menunggu, memancing. Dan sekarang, ia mulai menyerang balik dengan teknik-teknik yang terstruktur.Sebuah pukulan berat meluncur dari arah kiri, menghant