“Kamu harus makan Jenna.” Perempuan itu memilih untuk tetap bergeming, Jenna terus memandang ke luar jendela dan mengabaikan bu Asih yang sudah tiga kali memasuki kamarnya untuk mengantar makanan
“Jenna, Rama bisa marah nanti. Tolong, kamu makan ya?” bu Asih kembali membujuk, perempuan yang di urusnya itu sudah sejak kemarin melakukan aksi mogok makan. Rama sudah memberikan peringatan kepada semua orang untuk membujuk Jenna agar mau memakan makanannya, bagaimanapun caranya.
“Jenna..”
“Dia masih belum mau makan?” Bu Asih menunduk ketika Rama begitu saja memasuki kamar Jenna, sedangkan Rama melirik berbagai troli makanan di dekat ranjang Jenna dengan dingin.
“Dia sama sekali enggak mau makan makanannya dari tadi pagi?”
“I.. iya tuan.”
Rama membuka kancing lengan kemejanya dengan santai, laki-laki itu menganggukan kepala berkali-kali sebelum kemudian berteriak meminta
Rama menggeram, hentakan pinggulnya kian kuat. Napas hangatnya beberapa kali menerpa wajah Jenna yang bersimbah air mata di bawah tubuhnya yang berkeringat, laki-laki itu tidak bercanda ketika mengatakan Jenna harus memuaskannya.“Haah..haah..” Laki-laki itu berusaha mengatur napas setelah pelepasannya datang beberapa saat lalu, biasanya Rama akan langsung memeluk tubuh Jenna tapi kali ini laki-laki itu langsung menggeser tubuhnya dan berpakaian. Rama bahkan sama sekali tidak melirik ke arah Jenna yang masih terisak dengan tangan terikat di atas kepala ranjang.“Bantu Jenna membersihkan tubuh.” Ucap laki-laki itu dingin begitu berpapasan dengan bu Asih di depan pintu kamar. Rama sama sekali tidak peduli apa pelayan paruh baya tersebut mendengar perintahnya atau tidak karena laki-laki itu langsung bergegas memasuki salah satu ruangan di depan pintu kamar yang di tempati Jenna.“Brengsek!” Makinya sembari menunju kaca lemari paj
Jenna mengerjapkan mata, lagi-lagi perempuan itu terbangun di ruangan asing hanya saja kali ini ruangan yang di temuinya memiliki satu warna, putih. Perempuan itu meringis begitu merasakan satu sengatan samar di punggung tangan sebelah kanannya yang ternyata di tempeli selang infus.“Rumah sakit.” Gumamnya kepada diri sendiri, matanya berkeliling memperhatikan ruang perawatanya yang sepi.“Kesempatan.” Desis Jenna dengan semangat begitu melihat sebuah jendela besar di samping ranjangnya, perempuan itu tidak tahu sekarang sudah pukul berapa tapi gelapnya langit malam membuat dada Jenna bergemuruh dengan semangat.“Aw!” Desisnya ketika menarik paksa jarum yang tertanam di punggung tangannya, Jenna tidak ingin membuang waktu. Karena itu, meski kepalanya masih terasa berputar perempuan itu tetap melangkah membuka jendela dan memperhatikan garis-garis tepi di dinding rumah sakit yang bisa ia pijak.***“Ha
“Hai, udah bangun?” Jenna tersenyum, setelah menggulung rambut panjangnya perempuan itu mendekati meja makan dan membantu Leni menyiapkan sarapan.“Rudi mana?”“Lagi keluar sebentar, ada yang minta tolong benerin pipa.” Jenna mengangguk. Perempuan itu sama sekali tidak menyangka kalau pelariannya akan kembali membuatnya bertemu dengan Rudi dan juga Leni.“Jadi, hari ini si bayi punya permintaan khusus apa enggak nih?” Jenna tertawa mendengar pertanyaan Leni barusan, tangannya begitu saja mengelusi kandungannya yang sekarang berusia dua belas minggu.Jenna baru mengetahui kehamilannya satu minggu setelah pelariannya, tiba-tiba saja perempuan itu pingsan saat sedang mencuci pakaian dan di larikan ke klinik terdekat oleh Leni.“Enggak tante, si bayi hari ini mau makan apa aja yang di masakin sama tante Leni.” Jawab Jenna dengan suara khas anak-anak, beberapa waktu lalu ia memang tiba-tiba saj
Jenna merunduk, bersembunyi di dalam terpal salah satu mobil bak terbuka. Perempuan itu menahan isakan ketika mendengar langkah kaki seseorang di sekitarnya.“Jenna… lo kira bisa begoin gitu gitu aja.” Desis Rudi sembari memperhatikan sekitar, berkali-kali kakinya menendangi drum-drum kosong yang ia pikir di jadikan Jenna sebagai tempat bersembunyi.“Keluar lo!” Jenna menutup mulutnya semakin kencang agar tidak berteriak ketika mendengar suara banyak barang beradu.“Jangan sok jadi korban Jenna, karena kenyataannya di sini gue yang jadi korban. Inget waktu kita nonton terakhir kali?” tanya Rudi sembari mengangkat salah satu terpal yang menumpuk di sudut jalan.“Gue beliin lo banyak barang kan? Lo tau gimana cara gue dapetin duitnya?” Rudi mengangkat gagang besi dan mengayunkannya pada setumpuk kardus, laki-laki itu menggeleng karena Jenna tidak juga ada di sana.“Ngutang! Gue harus ngutan
Rama membuka satu kamar, menyimpan satu kotak kado di sana kemudian termenung. Laki-laki itu memandangi empat kotak kado lagi yang memenuhi rak, perasaan laki-laki itu linu menyadari bahwa kotak-kotak kado yang di letakannya sejak empat tahun lalu belum juga di buka oleh pemiliknya.“Masih belum ada kabar?”“Belum, kita benar-benar kekurangan petunjuk karena mobil bak terbuka yang di tumpangi oleh Jenna hancur karena kecelakaan.”“Tapi masih ada kemungkinan Jenna masih hidupkan?”“Seharusnya, karena tim SAR memang cuma nemuin satu mayat waktu itu.”“Ini udah enam tahun, kalau Jenna dan bayinya selamat itu artinya cucu kita sudah besar mas.” Maira mulai terisak.“Sabar ya, kita pasti bisa menemukan Jenna.”Rama yang semula ingin bergabung bersama keluarganya di meja makan memutuskan untuk mengurungkan niatnya, hari ini perasaannya sedang tidak baik-baik saja. Rama
Rama gelisah, laki-laki itu sudah berganti posisi beberapa kali tapi tidak juga bisa terlelap. Selama enam tahun terakhir, untuk pertama kalinya pikiran laki-laki itu di penuhi oleh sesuatu yang lain selain Jenna dan juga anaknya yang entah hidup atau tidak.“Makasih ya om!” Rama tersenyum mebayangkan seyum lebar anak perempuan yang menyebut dirinya sebagai Kara, mungkin karena ia juga seorang ayah. Rama jadi penasaran bagaimana rupa dari anaknya dan Jenna yang sampai detik ini keberadaannya sama sekali belum di temukan.Rama tidak bisa menahan decakannya, sudah satu minggu ini laki-laki itu melewati area pertokoan tempatnya bertemu anak-anak yang menyemir dan menyewakan majalah untuknya. Tapi sialnya, keberadaan anak-anak itu tidak ia temukan.“Kita mau muter sekali lagi pak?” si supir bertanya.“Enggak usah, langsung pulang aja.” putus laki-laki itu dengan sendu, baru setengah jalan supirnya tiba-tiba saja me
“Ibuk!”Jenna langsung berdecak begitu melihat putrinya dengan susah payah berlari ke arahnya. Di belakangnya Samudra mengikuti sembari meringis kecil.“Kalian ini dari mana aja?!”“Maaf buk, tadi kita ketemu kenalan terus di ajak makan.” Jawab anak laki-laki yang selama dua tahun ini di asuhnya.“Iya buk, liat nih.”Jenna menatap pelastik dengan logo restoran yang tidak akan pernah di lupakannya.“Ya ampun! Ini kan tempat mahal, kalian kok bisa kesana.”Jenna langsung panik, perempuan itu langsung berjongkok memperhatikan putrinya lekat.“Jawab ibuk, orang itu minta apa sama kalian?”“Ish ibu ini ngomong apaan sih.”Jenna tau anak perempuannya pasti tidak mengerti, karena itu kali ini ia menatap Samudra untuk meminta penjelasan.“Enggak ada buk, omnya malah ngasih kerjaan. Kara sama Sam di minta nganterin majalah sama nyemir di rumahnya dua hari sek
Maira memperhatikan kesibukan yang Rama lakukan, untuk pertama kalinya setelah kepergian Jenna anak laki-lakinya itu terlihat antusias. Merasa penasaran, Maira memutuskan untuk keluar dan melihat langsung hal apa yang membuat Rama begitu antusias.“Sore bu..” Maira terkejut kerena menemukan dua anak kecil di halaman rumahnya.“Oh, halo. Kalian..”“Aku Kara, ini abang aku namanya Sam. Kita kesini mau nyemir bu, om beruang katanya punya banyak sepatu yang perlu di semir.” Maira langsung merasa tertarik dengan anak perempuan yang bercerita dengan semangat tersebut, perempuan paruh baya itu memutuskan untuk mendekat.“Kara juga sebenernya harus bawa majalah, om beruang bilang mau langganan.” Si anak perempuan kali ini menatap abangnya sembari cemberut.“Tapi enggak sempet Kara ambil majalahnya di tempat bang Didit.”“Kenapa enggak sempat di ambil?” Tanya Maira sembari mendud