Ketika hendak ke luar dari kafetaria rumah sakit, Jane menemukan wajah yang familiar. Dokter Diki, sahabatnya saat masih di bangku sekolah, berdiri tepat di depannya saat ini, dengan jas putihnya yang bersih dan stetoskop yang menggantung di lehernya. Wajahnya yang tampan dan sikapnya yang baik membuatnya tampak seperti pangeran dari negeri dongeng."Jane?" Diki bertanya, matanya membelalak seolah tidak percaya. "Jane, benarkah itu kamu?"Jane tersenyum, menunjukkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Ya, Diki. Ini aku. Sudah lama ya kita tidak bertemu?"Diki mengangguk,lalu tersenyum lebar. "Ya, sudah sangat lama. Waktu terlalu cepat berlalu. Bagaimana kabarmu, Jane?"Sementara itu, Oma Ainur yang berdiri di sebelah Jane,memperhatikan interaksi mereka dengan senyum yang lebar. Sang Oma mengenal Diki sejak lama, dan selalu berharap bahwa pria itu dan cucunya, Jane bisa menjadi lebih dari sekedar teman. Oma Ainur adalah wanita yang bijaksana dan penuh cinta, dan dia tahu bahwa Diki adal
Arjuna yang baru saja selesai mandi, segera mengganti bajunya dengan pakaian baru. Tiba-tiba pria itu melihat sebuah catatan kecil di atas nakas. Dia pun segera meraih secarik kertas tersebut lalu membacanya dengan seksama.“Jadi, namanya Jane? Hhhhhmmm, nice name!” ujarnya lagi lalu kembali membaca pesan Jane di secarik kertas itu.“What? Jadi gadis itu yang menyiapkan semua ini? Apakah dia juga yang mengganti semua pakaianku dari atas sampai bawah? Jadi sang gadis telah menyentuh tubuhku? Ini tidak bisa dibiarkan!” geram Arjuna dengan penuh kemarahan.“Aku harus meneleponnya dan menanyakan semuanya! Berani-beraninya dia menyentuh sekujur tubuh ku sesuka hatinya?” sergahnya tak suka.Arjuna duduk di kursi ruang tv apartemennya. Tatapan kosongnya tertuju kepada layar ponsel yang tidak berkedip. Sementara dering telepon terdengar berkali-kali, kekesalan merayap di hatinya. "Kenapa Jane tidak mengangkat teleponku?" desis Arjuna, mengernyitkan keningnya.Di sisi lain kota Jakarta, Jane
Mami Mitha duduk di kursi di bagian tengah mobil. Sedangkan sopir kepercayaan keluarganya sedang mengendarai mobil dengan hati-hati menuju ke sebuah mall yang ramai. Di sampingnya, Asher dan Ayin duduk bersebelahan di kursi penumpang yang sama dengannya, penuh dengan antusiasme dan kegembiraan. Mami Mitha pun memutuskan untuk mengajarkan sebuah pelajaran berharga kepada kedua anaknya."Mami, tahu nggak sih aku sangat ingin belajar main piano dengan Miss Jane, hari ini," ucap Asher dengan penuh semangat. "Tapi sayangnya Miss Jane tidak bisa mengajar kami, karena kesibukannya. Apa yang harus kami lakukan, Mi? Jujur saja, aku sangat kesal sekarang!" Kali ini Ayin yang mengungkapkan isi hatinya.Mami Mitha tersenyum lembut, memandang ke arah samping untuk melihat wajah Ayin yang penuh harap. "Ayin, Asher …. Kalian berdua harus belajar untuk tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, terutama jika mereka memiliki kesibukan sendiri," ujar Mami Mitha dengan lembut. "Kita harus menghar
Restoran mewah itu berkilau dengan lampu gantung yang berpendar lembut, menciptakan suasana yang hangat dan romantis. Jane duduk di meja pojok, menatap pintu masuk dengan harapan dan kecemasan. Dia hanya mengenakan pakaian bergaya kasual namun mampu menonjolkan kecantikannya, dan rambutnya yang hitam legam terurai indah di bahunya semakin menambah keanggunannya."Apakah dia akan datang?" pikir Jane dalam hati, sambil memainkan gelas yang berisi jus alpukat di tangannya. Dia mengingat kembali bagaimana Arjuna telah menyelamatkannya dari bahaya, dan hatinya berdebar-debar memikirkan pertemuan mereka malam ini.Senja mulai merayap masuk, meredupkan langit Jakarta dengan warna merah muda dan ungu. Lampu-lampu kota mulai menyala, menciptakan pemandangan yang indah dari jendela restoran. Namun, keindahan itu tidak bisa mengalihkan perhatian Jane dari kekhawatirannya saat ini. Arjuna tak kunjung tiba juga.Ada sedikit rasa penyesalan di hati Jane karena terpaksa tidak mengajari Ayin dan Ashe
Sementara Arjuna sangat kaget melihat Jane malah menangis di hadapannya saat ini.“Hei … kenapa dia malah menangis? Apakah karena aku membentaknya? Cih! Dasar cengeng!” gerutunya dalam hati.Jane masih saja menangis sambil mengucapkan rasa terima kasihnya kepada Arjuna. Sang pria terus saja menatap gadis yang masih menangis di hadapannya saat ini. Tiba-tiba Arjuna merasa kasihan melihat Jane yang terus saja menitikkan air matanya.Secara spontan dan tanpa direncanakan oleh Arjuna sebelumnya. Pria itu dengan cepat merogoh saku celana lalu menyodorkan sapu tangan miliknya kepada Jane. “Kamu kok menangis? Hapus air matamu! Aku paling tidak suka melihat perempuan yang sangat cengeng!” tegasnya.Jane segera meraih sapu tangan yang disodorkan oleh Arjuna, seraya berkata,“Saya bukannya sedang cengeng, Tuan. Tapi saya merasa terharu karena Anda menolong saya malam itu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kepada saya jika Anda tidak ada. Entah apa yang bisa saya lakukan untuk membalas keba
Jane menatap dengan kebingungan kepergian Arjuna dari area restoran. Gadis itu tidak tahu saja, jika Arjuna akan masuk ke dalam toilet dan melakukan olah raga lima jari untuk menuntaskan hasratnya.Di dalam kamar mandi, Arjuna terlihat telah melepas semua pakaiannya dan mulai memainkan alat tempurnya dengan menggunakan tangannya. Sesuatu hal yang telah lama dirinya tinggalkan. Biasanya pemuda itu akan menyewa beberapa wanita bayaran untuk memenuhi hasrat birahinya.Namun entah kenapa, tiba-tiba hasratnya muncul begitu saja yang berasal dari dalam tubuhnya. Hanya karena memandang area wajah Jane yang begitu menggoda hatinya.“Shitt! Apakah yang sebenarnya terjadi kepadaku?” ujarnya dalam hati.Tangan Arjuna terus saja melakukan gerakan maju mundur di alat tempurnya yang besar dan panjang itu. Fantasinya semakin liar, dia bahkan membayangkan Jane sedang telanjang di depannya saat ini. Gerakannya yang tadinya lambat dan lembut, kini semakin cepat dan sangat cepat. Hingga di satu ketika,
“Maaf, Tuan Arjuna. Saya sebenarnya ingin bertanya kepada Anda,” ucap Jane. Bagai seorang ahli nujum. Arjuna mengetahui jika Jane ingin menanyakan tentang perihal rambutnya yang sedang basah saat ini. Pria itu pun segera berkata. “Tidak ada waktu untuk bertanya lagi, Nona Jane! Sudah waktunya untuk makan malam! Jadi … mari kita makan!” sahut sang pria yang mulai fokus dengan semua makanan mewah yang ada di depan mereka saat ini. “I … iya, Tuan. Maaf,” sahut Jane lalu mengikuti Arjuna untuk menikmati hidangan super mewah tersebut. Jane duduk dengan tenang di meja makan, fokus pada makan malamnya. Cahaya lembut dari lampu gantung di atas meja menerangi wajahnya yang cantik, membuat matanya berkilau seperti bintang di langit malam. Rambutnya yang hitam legam terurai indah di bahunya, berkilauan di bawah sinar lampu. Dia tampak begitu asyik dengan makanannya, seolah-olah tidak ada yang lain di dunia ini selain dia dan piringnya. Sementara itu, di ujung meja, Arjuna duduk dengan g
“Mengabdi kepada saya artinya mengikuti semua apa yang akan katakan!” ujarnya tegas.“A … apa?” kaget Jane.Jane seketika menjadi terdiam. Gadis itu tak menyangka jika sang pria meminta hal tersebut kepadanya.Diamnya Jane malah membuat Arjuna menjadi kesal.“Anda kok menjadi diam, Nona Jane?”“Saya, kaget dengan perkataan Anda, Tuan Arjuna,” jujur Jane.“Ha-ha-ha! Anda tidak perlu kaget begitu. Akan tetapi Anda harus mengikuti semuanya. Ingat janji Anda, Nona Jane!” ujarnya lagi.“Ta … tapi, Tuan. Saya memiliki aktivitas lain yang sangat penting saat ini. Bagaimana caranya saya bisa mengabdi kepada Anda?” protes Jane.“Ha-ha-ha! Apa peduli saya dengan urusan Anda, Nona Jane? Yang saya inginkan Anda harus menuruti semuanya, karena jika tidak Anda harus membayar denda sebanyak satu milyar rupiah!” ujar Arjuna sambil menatap tajam ke arah Jane, tentu saja untuk mengintimidasi gadis itu.“Apa?” kaget Jane bukan kepalang.“Dari mana saya mendapatkan uang sebanyak itu, Tuan?”“Nah … maka d