Seorang wanita cantik memasuki ruangan Helena dengan santainya, sembari memamerkan senyuman manis, ia menyapa semua orang yang dia lihat di ruangan itu. “Hi Juan, Devan!” kemudian berlari kecil menuju meja satu-satunya wanita di ruangan itu. “Kak Lele!”
Helena hanya menggelengkan kepala. Ini bukanlah kantor biasa, ini ruangan CEO dan COO yang artinya hanya tamu-tamu eksklusif yang bisa masuk. Tetapi wanita ini dengan santai menerobos masuk seolah ruangan ini hanyalah lobby untuk ibu-ibu sosialita menggosip. Ditambah lagi wanita itu malah memanggil sang CEO dengan panggilan sayang, Lele.
Wanita cantik tersebut tak lain tak bukan adalah Celine. Setelah mencium pipi kanan dan kiri Helena, Celine segera menarik wanita yang lebih tua dua tahun tarinya itu ke sofa. “Jadi kenapa kau kesini, Lin? Mau ngancurin hariku ya?” Dua diva biasanya tak akan akur. Namun kedua wanita ini berbeda. Meski keduanya memiliki aura, personality dan mindset yang kuat, mereka dapat berteman dekat. Celine membalas, “Ih, galak banget sih nanti cepet tua lho!”
Belum sempat membalas ucapan Celine, gadis yang datang tak diundang pulang tak diantar itu menyela, “Kak, lihat deh aku bawa apa,” ucapnya sembari memberikan undangan yang tampak sekali bertema rose gold. Helena pun tersenyum lebar ketika menerima undangan itu. ”Ya ampun! Jadi pacarmu yang bodoh itu sudah melamarmu?! Selamat ya nenek lampir!” balas Helena sembari langsung menggenggam tangan sahabat karibnya itu. Senyumannya semakin lebar ketika melihat jemari lentik Celine dengan seksama. “Astaga! Beneran dong!” ternyata Helena menyadari cincin berlian yang dikenakan Celine. Tampak sekali jika cincin itu tak murah.
Tak mengindahkan panggilan sayang dari Helena, Celine melanjutkan, “Pokoknya, aku mau kak Lele, Kak Juan, Devan dan pacarnya harus datang di pesta pertunanganku, titik!” tuntut Celine. Helena terkekeh, siapa sangka, wanita yang terlihat sangat berkelas dan sombong ini punya sisi kekanak-kanakan. “Iya, iya, bawel. Ya ampun. mana mungkin kita nggak datang di pestamu.” “Siapa tahu Kak Lele sibuk kan hari itu,” ujar Celine sambil menggamit lengan Helena. “Dibayar pun aku nggak akan melewatkan hari membahagiakan ini, Lin.”
***
Reyhan terbangun tepat pukul 10 pagi. Dia tak bisa tidur. Dia harus segera menyelesaikan rencana launching baju-baju rancangan terbarunya, jadi dia pergi ke studio setelah berpakaian rapi. Sesampainya di sana, ia disambut hangat oleh sahabat sekaligus rekan kerjanya, Jerry. Meskipun sebenarnya Jerry adalah teman kecil Celine, mereka menganggap satu sama lain sudah seperti saudara. Jerry mulai bekerja pada Reyhan sejak 3 tahun lalu. Tidak lama setelah Celine dan Reyhan memutuskan berpacaran dan go-public.
“Kau mau kopi?” tanya Jerry. Reyhan menggeleng lalu balik bertanya, “Jer, apa kau tau sesuatu tentang adik Celine? Siapa namanya? Caroline?” Jerry mengangguk kemudian menjawab, “Ya, Caroline. Dia dan Celine sangat berbeda tapi juga terkadang sangat mirip. Keduanya sama-sama memiliki pesona. Tapi, meski mereka bersaudara, jangan sampai mereka berada di dalam satu ruangan yang sama. Membayangkan saja aku tak berani," ujar Jerry. Ia bergidik ngeri jika membayangkan kedua kakak beradik itu bertemu.
“Kau kedengarannya sangat mengenal mereka berdua.” “Tentu saja. Aku selalu menjadi teman main Lee bersaudara saat kecil. Setelah orang tua mereka bercerai pun, aku masih berhubungan baik dengan Caroline,” ungkapnya. Jerry melanjutkan, “Apa Celine mengundang adiknya?” Reyhan mengangkat bahu, “Katanya iya. Tapi dia bilang adiknya tak akan datang.”
Jerry tidak kaget. Ia sudah tahu keduanya tidak akur sejak lama. Seandainya waktu bisa berputar, pikirnya. “Aku tidak sabar ingin bertemu Caroline itu.” Ucapan Reyhan membuyarkan lamunan Jerry. “Ah, ya. Tentu. Dia sangat ceria dan menyenangkan. Kau pasti menyukainya.” Reyhan tersenyum. Ia bisa merasakan ada yang aneh tentang hubungan kedua saudari itu. Tapi ia tak mau bertanya lebih jauh lagi. Namun, yang pasti ia menjadi semakin penasaran dengan sosok Caroline.
"Kau makan siang denganku?" tanya Jerry. Reyhan menggeleng. "Aku akan makan siang dengan calon istriku," ucapnya seraya melempar senyum nakal. "Hey, jangan membuatku iri, boss." "Omong kosong. Aku tahu kau sudah tidur dengan hampir separuh kar- mmph-" Jerry segera membekap mulut sahabatnya itu. "Ah, kau ini ember sekali!"
***
Sebuah pintu di apartemen kecil terbuka. Seorang wanita melepas sneakersnya dengan asal. Ia menghela napas dengan dalam dan berat. Hari yang berat. Sangat berat. Dia segera memasuki dapur lalu membuka pintu kulkas, mengeluarkan sekaleng soda. Setelah meminum beberapa teguk, dibukanya lemari makanan, ia hanya menemukan sebungkus indomie. “Ah, aku lupa belanja lagi.”
Wanita ini adalah Caroline Regina Lee. Siapa lagi kalau bukan adik sang supermodel, Celine. Dia kini masih menjadi mahasiswi sebuah universitas ternama di ibu kota dan tengah mengambil jurusan seni pertunjukan. Sejak kecil, dia ingin sekali menjadi aktris. Ia pun belajar dan bekerja keras. Ia bahkan pernah mengambil tiga pekerjaan paruh waktu sekaligus demi membiayai hidupnya yang serba pas-pasan.
Secara genetik, sudah dipastikan Caroline tak kalah cantik dari kakaknya. Rambut hitam bergelombang, hidung kecil dan mancung, mata bulat dengan bibir mungil dan penuh. Berbeda dengan kakaknya yang memiliki kesan ‘mahal’, Caroline memancarkan aura gadis muda yang imut dan polos. Senyumnya yang manis sanggup meluluhlantakkan hati pria manapun. Tak hanya pria, pribadinya yang ramah, pendengar yang baik dan suka menolong membuat ia memiliki banyak teman wanita.
Tidak hanya cantik, Caroline adalah sosok yang cerdas. Meski harus banting tulang demi menyambung hidup, dia tak perlu membayar uang kuliah. Seluruh biaya pendidikannya ditanggung oleh seorang donatur. Jangankan bertemu dengan donatur tersebut, namanya pun tidak diketahui siapapun.
Caroline membawa sepiring mi instan yang telah matang itu ke kamar. Setelah ia menaruh sepiring mi dan sekaleng soda yang telah ia teguk, segera ia mengeluarkan laptop usang dari tas kuliahnya. Butuh beberapa waktu hingga barang rongsokan itu menyala dan bisa difungsikan. Caroline pun menunggu dengan tenang sambil makan. Ia merasa sangat lapar hari ini. Paruh waktu sebagai pelayan kafe sangat melelahkan. Ditambah banyak sekali pria-pria yang tak henti menggoda saat di kafe. Lelah fisik dan lelah mental.
Beberapa lama kemudian, laptop Caroline menyala. Ia pun segera mengerjakan tugas kuliahnya dengan fokus. Saat sedang sibuk melakukan beberapa pencarian di internet, tiba-tiba handphonenya bergetar. Sebuah notifikasi dari Snapchat rupanya. Caroline pun membuka pesan yang masuk. ‘Celine? Untuk apa dia menghubungiku.’
Dear my cute lil sister,
Aku tahu kau pasti sibuk. Jadi aku ga mencoba buat menelponmu. Meski sebenarnya aku tak tahu kau sibuk apa
Gimana kabarmu? Kudengar kau sekarang di Jakarta, aku penasaran apakah kau punya waktu luang minggu depan
Omong-omong aku punya kabar besar. Kekasihku melamarku dan kami akan mengadakan pesta pertunangan akhir pekan depan di sebuah hotel di Jakarta
Aku sangat ingin kau datang, tentu saja jika kau mau. Kehadiranmu akan sangat berarti untukku
Aku sudah memesankan sebuah gaun untukmu. Jadi, jika kau berkenan hubungi aku. Aku akan menyiapkan semua yang kau butuhkan
XOXO, Celine
Caroline terkejut sekaligus bingung. Terkejut karena untuk pertama kalinya kakaknya itu mengirim pesan sepanjang ini. Serta bingung haruskah dia menerima tawaran itu atau menolak. Rasanya sangat sayang untuk menolak makan-makan gratis. Tapi dia tak mau menjadi bahan ejekan atau dibanding-bandingkan dengan kakaknya, mengingat keluarga besar pasti datang.
Caroline sudah lama tidak mau berhubungan lagi dengan keluarganya, baik dari sisi ayah maupun ibunya. Bukan tanpa alasan, sejak perceraian orang tuanya, ia harus membanting tulang demi menghidupi sang ibu yang ternyata kecanduan berjudi. Satu hal yang membuat keluarga besar dari pihak ibunya malu. Sedangkan dari pihak sang ayah, ia selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya yang serba sempurna.
Hidup Caroline yang serba berkecukupan dan nyaman berubah total semenjak perceraian itu. Di keluarga sang ibu, ia tidak diterima. Di keluarga sang ayah, ia dikucilkan. Caroline muda pun tumbuh sebagai pribadi yang mandiri. Meski dia berusaha menjadi sosok yang positif, ia tak mampu menampik bahwa dia sangat iri dengan kakaknya. Ini adalah salah satu sebab mengapa dia mulai jauh dari Celine.
Caroline merasa Tuhan tidak adil. Karena Tuhan menciptakan Celine sebagai manusia yang terlalu sempurna. Apa yang kurang dari dia? Cantik, kaya, multitalenta. Selain itu Celine sangat beruntung. Dia tak perlu hidup terlunta-lunta.
Ayahnya adalah pengusaha besar di Singapura. Meski sebenarnya hak asuh kedua saudara itu dimenangkan oleh sang ibu, Celine memilih untuk tinggal dengan ayahnya dengan alasan pendidikan. Caroline yang saat itu tak memahami yang terjadi hanya mengikuti kata hatinya untuk bersama sang ibu. Nahas, Caroline malah tidak mendapatkan apa yang seharusnya diterima oleh seorang anak.
Caroline muda segera keluar dari rumah besar keluarga ibunya setelah menginjak 17 tahun. Ia lalu berjuang sendiri demi sesuap nasi. Tak ada pekerjaan yang tidak pernah ia lakukan. Dari penjaga warung hingga pelayan di diskotik.
Dia semakin benci dengan kakaknya semenjak sang kakak mulai terjun di kancah permodelan. Ia muak melihat wajah wanita itu dimana-mana. Apalagi Celine sekarang menjadi top model. Tak pernah sehari pun Caroline tak melihat wajah kakaknya. Hal ini semakin membuat Caroline menyalahkan Tuhan yang tidak adil.
Caroline tersenyum. Apa salahnya menerima ‘kemurahan hati’ kakaknya kali ini. “Kalau aku datang, bukankah aku bisa bertemu dengan orang-orang besar disana. Kenapa aku tidak memanfaatkan kesempatan ini?” Tak lama, ia pun segera membalas pesan kakaknya.
Temui aku di kafe xxx besok setelah makan siang. Aku berniat untuk datang ke pestamu.
sent.
Celine tiba di kafe yang telah dijanjikan tepat pada jam makan siang. Dia ingin makan sedikit sebelum menemui adik yang telah lama tak ditemuinya. Awalnya, Celine terkejut. Untuk pertama kalinya sang adik mengajak bertemu. Di lubuk hatinya, ia senang akhirnya ia memiliki kesempatan untuk berbaikan dengan adiknya itu.Jika boleh jujur, Celine sangat merindukan masa-masa dimana ia menghabiskan waktu dengan sang adik. Dunia model sangat keras. Sebelum mengenal Helena, ia tidak mempunyai satupun teman wanita di industri ini. Saat itulah ia benar-benar merindukan Caroline.Celine bukannya tidak tahu-menahu terkait masalah keluarga besar Lee yang sering memojokkan Caroline. Bukan juga ia tak mau membela sang adik. Ia merasa cemoohan dari orang lain itu tidak penting. Jika Caroline memahami nilai dari dirinya sendiri, ia tak perlu berkecil hati.Wanita 27 tahun itu pun mengiris waffle yang baru saja dihidangkan pelayan. Manis. Dengan hati berbunga ia menghabis
Kedua kakak beradik itu sampai di sebuah butik ternama. Dua penjaga dengan segera membukakan pintu depan berbahan kaca itu bagi dua wanita cantik tersebut. “Kak Celine?” “Lia!” Celine dengan senyuman manis pun menghampiri wanita yang menyapanya tadi.“Tumben ke butik. Biasanya minta katalog lewat whatsapp,” ujar wanita yang dipanggil Lia tadi. Lia adalah salah satu perancang busana wanita yang sudah terkenal. Meski tak setenar Reyhan, Celine sangat menyukai rancangan Lia. Baru-baru ini, santer terdengar berita bahwa Lia dan Devan memutuskan berpacaran.“Sayangnya kali ini aku belanja bukan untuk diriku sendiri,” balas Celine. “Lalu?” Celine menoleh ke arah Caroline. “Adikku. Aku butuh minimal 50 pasang baju dan sepatu yang cocok dengannya. Lalu setidaknya 20 buah tas dengan model dan warna yang mudah dimix and match kemudian..,” Celine berpikir sejenak lalu melanjutkan, “Bis
Suara ketukan heels di atas lantai marmer terdengar bergema, memenuhi sepanjang koridor vila yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan indah berharga tinggi. Siapa lagi pemilik Loubotin mahal tersebut jika bukan Celine Margaretha Lee, wanita muda berdarah campuran Indonesia-Singapura itu merupakan model, ikon fashion, brand ambassador yang dikenal dermawan.Kini, menginjak usia 27 tahun, pesonanya tampak semakin kuat. Potongan gaun Balmain putih yang dikenakannya seolah memeluk tubuh ramping Celine dengan pas. Ditambah tas tangan J’adior melengkapi penampilannya. Tak dapat dipungkiri oleh siapapun, termasuk diri Celine sendiri, bahwa dia flawless–sempurna.Meskipun memiliki tampang bak bidadari, rambut hitam legamnya yang berkilau, hidung mancung bak perosotan, eyeliner ala mata kucing serta seringainya yang ia pamerkan tak dapat menutupi auranya. Berkelas, galak, angkuh. Dia tahu bahwa dirinya terlahir untuk me
Sepasang manusia baru saja memasuki pintu kaca sebuah bangunan yang sangat tinggi. Hampir-hampir membuat semua orang seketika tersenyum ramah kepada dua orang ini. Keduanya menggunakan setelan dan membawa koper di tangan. Mereka dengan jelas menampakkan diri bahwa mereka adalah pebisnis dan terlihat sangat elegan. Menunjukkan bahwa mereka memiliki posisi penting dalam perusahaan. Keduanya juga memiliki aura yang sangat ramah sehingga membuat semua orang menyapa bahkan kepada staff kebersihan.“Selamat pagi,” sapa petugas kebersihan yang tampak sudah lebih dari paruh baya. “Iya, pagi. Sarapan dulu ya pak!” balas satu dari kedua orang yang tampak hebat itu. “Siap ndan, habis beresin lantai satu kami mau makan.” “Bagus pak. Jaga diri ya.”Begitulah percakapan singkat antara petugas kebersihan dan CEO perusahaan ini. Ya, orang yang baru saja bertegur sapa dengan karyawannya. Wanita berumur 29 tahun yang merupakan satu-satunya