Leo menggandeng tangan Mira sambil terus saja berlari tidak tentu arah. Leo berpikir asalkan tidak terlihat dari pandangan Mama Leo. Tibalah mereka di suatu tempat, entah berantah. Intinya mereka masih tetap di desa yang sama, tapi mereka tidak tahu di mana itu. Mereka berhenti di suatu gang sempit yang hanya cukup buat orang lewat. Kendaraan bermotor tidak bisa lewat si sana, apalagi mobil.
“Kamu ... mau ... membawaku ... ke mana?” tanya Mira sambil terengah-engah karena kelelahan setelah berlarian cukup jauh.“Aku ... sendiri ... tidak ... tahu ... harus ... ke mana,” jawab Leo sambil berusaha mengatur napasnya yang bergerak cepat, bahkan lebih cepat dari dentuman detik pada jam.“Terus ... kenapa kamu menggandengku keluar? Kupikir kamu punya tempat yang dituju,” tanya Mira. Ada sedikit penyesalan di nada bicaranya. Napasnya sudah lebih teratur dari sebelumnya.“Maaf. Aku tadi SpontMira berusaha membuka matanya yang masih berat. Semalam tidurnya kurang lelap, karena terlalu banyak yang dipikirkan. Dia baru bisa terpejam saat pagi dan sekarang, Kakek memintanya membuka mata padahal baru saja tidur selama empat jam. Leo sangat terganggu dengan suara bising yang harus membuatnya terbangun. Matanya masih ingin terpejam. Dia tidak mau bangun dari tidurnya, jadi dia bersembunyi ke dalam selimut dan menutup telinganya dengan bantal. Kakek geregetan tapi tersenyum melihat tingkah lucu cucunya. Dia malah mendekati Leo dan memukul-mukul pantat panci dekat dengan telinganya. Leo menjadi kesal dan terpaksa terbangun dengan menutup telinga. “Iya, iya Kek. Aku bangun. Tolong stop! Berisik, Kek!” ucap Leo dengan geram. Matanya masih tertutup saat mengatakan itu. Kakek senang bukan main melihat keberhasilannya membangunkan Mira dan Leo. Mira dari tadi sudah bangun dan duduk di kursi ruang tengah dengan wajahnya yang masih mengantuk. S
“Kami pikir, ini waktunya pulang, Kek. Kasian orang tua kami menunggu di rumah,” jelas Mira dengan nada terendah tapi terdengar jelas, saking kalemnya. “Benar! Kami sudah membicarakannya tadi. Terima kasih atas pelajarannya, Kek!” sambung Leo dengan nada tegas khasnya. “Pelajaran yang berharga buat kami. Kami akhirnya sadar dengan perasaan orang tua kami,” ucap Mira menjiwai. “Setelah ini, kami akan memberikan kejutan juga buat mereka ... haha,” kata Leo sambil mengeluarkan tawa jahatnya. Mira nyengir kuda mendengar tawanya. Kakek tercengang saat Leo dan Mira saling sahut-sahutan menjelaskan secara panjang lebar kepada Kakek tanpa terputus. “Apa maksudmu dengan kejutan? Apa kalian telah melakukannya? Waktu Kakek lengah. Dan sekarang, di perut Mira ada ... “ tanya Kakek dengan wajah mulai memucat karena rasa bersalah dan kesedihan yang terkumpul pelan-pelan. Dadanya didekap dengan kedua tangannya, seolah-olah mengatakan tidak kuat denga
Leo bercerita kepada papanya. Ketika di rumah kakeknya, dia dititipi dua anak tetangga Kakek. Awalnya mereka kewalahan. Apalagi Leo yang sama sekali belum pernah berurusan dengan anak kecil. Tapi, lambat laun mereka belajar memahami kedua anak itu, dan akhirnya mereka dapat bersenang-senang. Nah, setelah kejadian itu Mira dan Leo saling berkata, ternyata seru juga. Tiba-tiba muncul inisiatif dari otak encer Leo, “Gimana kalau kita nikah secepatnya?” Usulnya langsung disetujui Mira dengan lantang. Mira seperti memahami maksud terselubung dibalik pertanyaan Leo, karena dia memiliki pemikiran yang sama. Jadi tidak perlu menjabarkan jawabannya dengan panjang lebar. “Aku bayangin, Pa. Pasti sangat lucu kalau kami bisa bermain dengan anak yang datang dari perut Mira. Buah hasil pembauran kami berdua,” jelas Leo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum ringan. Dia memandang Mira dengan tatapan ingin mencengkeram nakal. Mira membalas tatapannya dengan menu
“Apa mungkin dia ... ? Sial. Bisa jadi. Huff, bikin kesel.” Tepat saat itu, Leo bersalaman dengan tamu terakhirnya. Setelah itu, dia segera melangkahkan kakinya, turun ke panggung dan menuju kepada seseorang. Leo berhenti persis di sisi wanita itu. “Bisa, kita bicara sebentar!” pinta Leo dengan nada datar yang dingin. Membuat yang dipanggilnya menoleh membeku menatapnya. “Oke, bleh sja,” jawabnya dengan cepat tanpa ekspresi. “Ren, aku minta tolong bentar dong. Ini ada yang bikin gatel punggungku,” pinta Mira sambil mencoba meraih punggungnya, namun sulit karena gaun yang dia gunakan. Otomatis Reni lebih memilih menolong sahabatnya dari pada meladeni Leo yang sedang tidak jelas maunya. Reni menatap Leo sebentar, tanpa bicara. Kemudian meninggalkannya, pergi bersama Mira untuk menemaninya di kamar mandi. Hendak menolong menggarukkan punggungnya. Leo menghela napas dengan halus. Dia mengamati sekitar sebentar dan melangkahkan kakinya dengan ringan kembali ke
Mira dan Leo akhirnya keluar dari mobilnya. Mira tidak melepas pegangan tangannya sama sekali. Tangannya masuk ke dalam ruas jari-jari Leo. Dia memainkan jari jemarinya di sana. Sebenarnya Mira sedang berhasrat tinggi dan mengajak suaminya untuk bisa merasakan serta. Walaupun sebenarnya yang dirasakan Leo hanya kehampaan, tapi dia berusaha bertahan dengan segala tingkah istrinya. Kaki mereka dilangkahkan dengan semangat. Sebenarnya yang memotori semangat itu adalah Mira. Sedangkan Leo bergerak karena tarikan tangan Mira dan dorongan keterpaksaan untuk mengiringi langkah kaki istrinya agar bisa berbarengan. Itu semua karena mereka jadi pusat sentra lensa Mama dan Papa Leo yang telah lebih dulu berada di sana. Kamar pengantin yang telah disiapkan untuk mereka berada di kamar Leo. Kamar itu dihiasi dengan berbagai rangkaian bunga mawar dengan dominan warna merah dan juga bunga sedap malam yang berbau wangi menambah kesan gairah. Beberapa kelopak mawar dibiarkan
Mira berusaha menelepon Leo berkali-kali. Dia ingin tahu alasan dia ditinggal begitu saja di malam pertama. Namun teleponnya tidak diangkat. Mira melempar tubuhnya di tepi ranjang. Matanya terus saja berputar seiring dengan otaknya. Yang saat ini, berusaha mencari kemungkinan alasannya. Agar hatinya sedikit lebih tenang. Mira sempat berpikir. Mungkin tadi Leo kaget karena dia yang lebih agresif. Menciumi Leo terlebih dahulu. Biasanya memang Leo yang memulai lebih dahulu. Tapi kemudian, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak. Masak seperti itu menjadi masalah besar. Bukankah dia mestinya merasa lebih bahagia” batin Mira. Leo pergi meninggalkan Mira begitu saja bersama dengan mobil kesayangannya. Telepon selulernya berkali-kali berbunyi. Dia meletakkannya di kursi penumpang di sebelahnya. Saat berdering, dia hanya meliriknya sebentar dan membaca nama peneleponnya. Ketika dia tahu itu dari Mira. Dia melanjutkan pandangannya ke d
Ketika itu Mira mandi, Leo terbangun dengan kepala yang berat. Perutnya ingin mengeluarkan sesuatu. Segera dia berlari mencari kamar mandi terdekat di luar kamarnya dengan sempoyongan. Tapi isi perutnya semakin mendesak ingin segera keluar. Leo sudah tidak dapat menahannya lagi. Akhirnya dia mengeluarkan semuanya pada tempat sampah yang ditemukannya di depan kamar. Setelah semuanya dikeluarkan, barulah Leo merasa lega. Dia terduduk bersandar pada tembok dengan lemas. Tanpa menunggu terlalu lama, Leo kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga yang masih dia punya. Berjalan lunglai menuju ke dalam kamarnya kembali. Bukan ingin istirahat, tapi mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas. Langkah kakinya dibuat secepat mungkin untuk turun dari tangga. Padahal nyatanya masih berjalan sempoyongan dan lambat. Setelah sampai ke dalam mobilnya. Leo menyandarkan kepalanya sebentar. Kemudian dengan hitungan detik, mobilnya sudah melaju bersamanya. Di
Setelah kejadian makan malam yang kacau itu. Leo memilih tidur di ruang tamu. Mira ditinggal sendiri di lantai tiga kamarnya. Gadis manis itu termenung sendirian. “Kata orang, malam pertama itu, malam terindah. Buatku, itu malam terburukku,” ucap Mira diiringi isakan tangis yang pilu. Dia tidak mau menahan suaranya. Bahkan langit seolah ikut sedih bersamanya. Mira berteriak sekencang-kencangnya bersamaan dengan suara gemuruh guntur dan kilat yang sahut menyahut di langit. Saat itu hujan turun sangat deras. Leo mendengar suara teriakan itu samar-samar. Dia berusaha memperjelas pendengarannya, namun hasilnya nihil. Dia kemudian kembali memejamkan mata walau dengan perasaan jengkel dan emosi tinggi. Saat tidur dia bermimpi. Memimpikan istrinya berhubungan badan dengan Noval. “Tidaaak!” teriaknya saat terbangun dari tidurnya. Wajahnya penuh dengan peluh. Itu mimpi terburuk yang pernah dialami seumur hidup. Leo segera berlari ke lantai tiga kamar
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa