Ketika itu Mira mandi, Leo terbangun dengan kepala yang berat. Perutnya ingin mengeluarkan sesuatu. Segera dia berlari mencari kamar mandi terdekat di luar kamarnya dengan sempoyongan. Tapi isi perutnya semakin mendesak ingin segera keluar. Leo sudah tidak dapat menahannya lagi. Akhirnya dia mengeluarkan semuanya pada tempat sampah yang ditemukannya di depan kamar.
Setelah semuanya dikeluarkan, barulah Leo merasa lega. Dia terduduk bersandar pada tembok dengan lemas.Tanpa menunggu terlalu lama, Leo kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga yang masih dia punya. Berjalan lunglai menuju ke dalam kamarnya kembali. Bukan ingin istirahat, tapi mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas. Langkah kakinya dibuat secepat mungkin untuk turun dari tangga. Padahal nyatanya masih berjalan sempoyongan dan lambat. Setelah sampai ke dalam mobilnya. Leo menyandarkan kepalanya sebentar. Kemudian dengan hitungan detik, mobilnya sudah melaju bersamanya. Di
Setelah kejadian makan malam yang kacau itu. Leo memilih tidur di ruang tamu. Mira ditinggal sendiri di lantai tiga kamarnya. Gadis manis itu termenung sendirian. “Kata orang, malam pertama itu, malam terindah. Buatku, itu malam terburukku,” ucap Mira diiringi isakan tangis yang pilu. Dia tidak mau menahan suaranya. Bahkan langit seolah ikut sedih bersamanya. Mira berteriak sekencang-kencangnya bersamaan dengan suara gemuruh guntur dan kilat yang sahut menyahut di langit. Saat itu hujan turun sangat deras. Leo mendengar suara teriakan itu samar-samar. Dia berusaha memperjelas pendengarannya, namun hasilnya nihil. Dia kemudian kembali memejamkan mata walau dengan perasaan jengkel dan emosi tinggi. Saat tidur dia bermimpi. Memimpikan istrinya berhubungan badan dengan Noval. “Tidaaak!” teriaknya saat terbangun dari tidurnya. Wajahnya penuh dengan peluh. Itu mimpi terburuk yang pernah dialami seumur hidup. Leo segera berlari ke lantai tiga kamar
Mira segera menyalakan lampu duduk yang berada di sisinya. Setelah mengetahui sosok dari seseorang itu, matanya langsung melebar tajam. “Aapa yang kamu lakukan dengan teleponku?” tanyanya sambil terbata-bata, antara kaget dan ketakutan. Lelaki itu memandang Mira datar. Tak ada ketakutan di matanya. “Aku sedang mengecek isinya? Kenapa? Apa kamu takut ketahuan?” “Ketahuan, apa?” tanya Mira kebingungan. “Apa selama ini kamu berhubungan dengan seseorang di belakangku dan menghapus setelahnya?” tanya lelaki itu mulai emosi. “Seseorang? Sapa maksudmu Leo?” Nada bicara Mira mulai naik. “Seseorang di masa lalumu,” jelas Leo sambil mengangkat dagunya. Setiap kata dari bibirnya diberi penekanan. “Masa lalu? Siapa maksudmu? Berkata yang jelas, jangan teka teki seperti itu ... oh maksudmu, Noval?” “Hebat. Tanpa aku jelaskan, kamu sudah tau. Berarti benar, selama ini kamu dengannya,” ucap Leo dengan m
"Iya, maaf aku tadi melamun,” jawab Mira “Oh, gak apa-apa, Mir. Sante saja,” Noval menelepon Mira sekedar bertanya kabar. Memulai pembicaraan memancing tertawa kecil Mira. Itu membuat mereka cukup lama di telepon. Yang membuat Mira bisa menutup sedikit luka hatinya. Malamnya, Leo berulah lagi. Datang sekitar pukul dua belas. Ketika itu, Mira turun dari tangga. Dia ingin ke dapur mengambil minuman di kulkas. Tapi saat berada di lantai dua, dia melihat Leo baru datang dan langsung ke kamar tamunya. “Leo. Kenapa gak masuk ke kamar kita?” tanya Mira ingin tahu. “Aku sedang tidak ingin memandang wajahmu,” jawab Leo dingin dengan tatapan setajam es ke Mira saat di depan pintu. “Aku salah apa lagi, sih?” tanya Mira sambil menghela napas pelan. “Kamu. Sudah tidak jujur sama aku,” jawab Leo dengan nada tinggi. “Ini soal apa lagi?” “Coba kamu tanya dirimu sendiri!” ucap Leo dengan nada tinggi
Tapi Leo tidak membalas tindakan Mira. Dia berdiri mengambil teleponnya dan mengirim pesan kepada Bibi Jum untuk dibuatkan sarapan, sesuai keinginannya. Setelah itu, menoleh sedikit ke arah Mira dan berjalan menuju ke kamar mandi dengan wajah kesal. Setengah jam kemudian, Leo keluar dari kamar mandi. Saat melihat ke arah tempat tidur. Dia tersentak kaget hingga menghentikan langkahnya. Kepalanya di gerakkan ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan sosok istrinya. Tapi tidak ketemu. “Apa kamu mencariku, Leo?” tanya Mira yang tiba-tiba bersuara di belakang Leo sambil mengunyah camilan dalam stoples yang dipegangnya. Membuat Leo hampir melompat karena kaget. “Tolong siapkan baju kerja untukku,” kata Leo dengan nada datar berusaha mengalihkan perhatian Mira. Mulut Mira sangat sibuk dengan suara kunyahan camilan yang masuk ke mulutnya. Dia hanya melihat Leo tanpa menjawab ucapannya. Lelaki gagah itu kembali tertegun. Dipandangnya istrinya, “
“Dia mulai berani membentakku. Apa yang membuatnya berubah? Seperti bukan Mira yang kukenal.” Tumben sekali. Leo tidak emosi seperti biasanya. Padahal wajahnya baru disiram oleh Mira. Yang timbul di pikirannya hanyalah, rasa curiga kepada istrinya. Jadi, ketika mengelap wajahnya. Dia berencana melakukan sesuatu nanti malam setelah Mira terlelap. Mira naik ke lantai tiga kamarnya dengan perasaan kesal. Namun rasa kesal yang dirasakan tidak sebesar yang dia pikirkan. Mungkin karena kekesalan itu dilampiaskan dengan menyiram wajah suaminya. Jadi ada efek lega setelahnya. Dia kemudian menyibukkan diri, berusaha mengalihkan perhatian dengan mengotak atik telepon selulernya. Entah mengapa, di pikirannya terbesit nama Noval. Saat itu dia berharap bisa menghubunginya dan menceritakan semua hal yang mengganjal di hati. “Kalau aku telpon. Bisa ketauan,” pikirnya ragu. “Kalau aku kirim pesan, mungkin gak akan jadi masalah. Apalagi bisa aku hapus setela
Tepat, ketika pintu dibuka. Mata Leo dan Mira saling melempar pandangan. Dawainya masih ada di genggaman. Bahkan layarnya masih menyala. Leo mengalihkan pandangannya dari mata Mira menuju ke dawainya. “Kamu baru menerima telepon dari siapa?” “Kenapa kamu mau tau? Kenapa tiba-tiba peduli?” tanya balik Mira dengan nada tajam. “Kamu sudah bersuami. Tidak baik menerima telepon dari lelaki lain,” jelas Leo dengan nada tinggi. “Dari mana kamu tau kalau lawan bicaraku laki-laki? Apa kedengaran dari balik pintu itu?” cerca Mira. “Kamu sekarang banyak bicara ya. Dipengaruhi oleh siapa? Hingga berani dengan suami seperti ini!” Nada bicara Leo semakin ikut menukik. “Yang jelas semua karena dirimu. Karena sikapmu selama ini.” “Apa tadi itu Noval?” tembak Leo membuat Mira membulatkan matanya karena terkejut. Mira membeku. Leo memberikan senyuman miringnya, ”Betul ‘kan? Ternyata selama ini aku benar. K
“Makan dulu buburnya, Mir. Baru minum obat. Badanmu sangat panas. Aku takut terjadi sesuatu sama kamu.” Nada bicara Leo memelas. Walaupun mendapat hinaan dari istrinya. Yang penting buatnya saat ini dia bisa memperbaiki kesalahannya dan berhubungan baik kembali. Prak! Piring berisi bubur ayam buatan Leo ditumpahkan ke lantai oleh Mira. Leo segera membereskannya dan mengambilkannya bubur lagi di dapur lantai satu dengan sabar. “Tolong, Mir. Jangan hiraukan aku. Pikirkan dulu kondisimu.” Leo tetap berusaha agar Mira mau makan tapi percuma. Kepalanya sudah sekeras batu, sangat susah untuk diberitahu. Leo menyadari kalau itu juga karena dirinya yang sudah bersikap keterlaluan selama ini. Pukul lima pagi. Syukurlah, akhirnya Bibi Jum datang. Dia yang mengurusi dan menyuapi Mira agar mau makan dan meminum obatnya. Selang dua jam kemudian. Panas di tubuh Mira telah turun. Suhu tubuhnya normal kembali. Leo bisa bernapas
“Berhenti Leo aku tidak ingin melakukan ini.” “Kenapa harus menahan hasrat sekarang? Kamu adalah istriku.” Leo kembali melingkarkan tangannya di kedua pinggang Mira. “Hari ini, kamu sangat cantik. Aku sudah tidak tahan.” Kembali dia, melekatkan bibirnya. Tubuh Mira yang mungil didekap dalam tubuhnya yang kekar, hingga tidak bisa leluasa. Dengan segala sikap menolak yang kekuatannya tidak bisa dibandingkan dengan kekuatan suaminya. Mira berusaha lepas dari dekapan Leo. Namun, bukannya melepaskan, malah membuatnya semakin ingin menguasai dan menikmati tubuh istrinya. Tubuh Mira kemudian diangkat dan dihempaskan ke atas kasur dengan kasar. Dia mulai membuka kancing baju istrinya, saat tubuhnya menindih di atasnya. Menciumi tiap permukaan kulitnya dari wajah sampai Leher, hingga membuat napas Mira menderu-deru. Oksigennya berkurang karena tidak leluasa. Dadanya terasa pengap karena tindihan dan gerakan penuh hasrat dari sang suami.
Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa