"Aku anter kamu pulang--"
"JANGAN"Elgard langsung menilik ke wajah di depannya yang begitu bersikeras menolak tawarannya."Maksud aku- aku bisa pulang sendiri, Gio mau jemput besok sore."Violet terus mengunyah bibirnya sendiri setiap ia canggung, dan kebiasaan itu terlalu mudah untuk di kenali pasangannya."Kenapa harus Gio yang jemput sedangkan aku bisa anter kamu. Aku juga belum pernah ketemu Mama sama Papa kamu"Violet tidak akan lupa alasan kenapa layar ponselnya pecah, kenapa ia bisa berakhir di kosan sempit seperti yang ia tinggali sekarang. Termasuk alasan kenapa ia bisa nekad mengambil kerja part time di tengah sekolahnya. Ia tidak akan mendekatkan bahan bakar ke depan api yang menyala."Apa Violet masih marah? Jangan bilang dia mengurung diri di kamar selama aku pergi."Arka baru saja sampai dari perjalanannya selama hampir satu bulan, ia pulang setelah mendengar istrinya sakit di rumah."A-Arka--"Langkah di anak tangga itu tertahan dengan suara di belakangnya membuat ia menoleh pada istrinya."Kamu pasti lapar, a-ayo kita makan" ajak sang istri berharap suaminya lupa untuk mendatangi kamar putrinya."Kenapa kamu kelihatan tegang? Sesuatu terjadi?"Siapa yang tidak mengenal sikap pasangannya yang telah lama bersama dirinya, bahkan secuil ekspresi di wajah Liona tentu saja suaminya dapat begitu mudah membacanya.Mencium sesuatu yang tidak beres, Arka segera melanjutkan langkahnya dan masuk ke kamar putrinya yang kebetulan tidak di kunci."Dimana dia?" Wajah gelap itu kembali muncul membuat semua orang akan menggigil di tempatnya."Kemana Violet?""Violet--" Liona berusaha menopang kakinya yang kini seperti jelly. Kemarin ia baru mendapat kabar dari putra iparnya bahwa Violet bekerja di cafe bahkan menyewa kosan kecil untuk ia tinggali setelah beberapa minggu yang lalu melarikan diri dari rumah tanpa sepengetahuan dia dan suaminya."Kenapa kamu diam? Dimana anak--""Vio di sini Pa, stop teriak- teriak di rumah. Mama lagi sakit"Pintu utama dari rumah besar itu terbuka, menyuarakan suara putri remajanya yang masuk dari sana.Di tengah langkahnya yang ke sepuluh, saat ia hampir sampai ke anak tangga di mana Papa dan Mamanya berdiri, Violet mulai bergidik ngeri melihat wajah muram sang Papa."Dari mana kamu? Mama kamu sakit dan kamu tidak ada di rumah?"Sial, Gio mengutuk di belakang punggung Violet. Padahal ia sudah membawa mobilnya dalam kecepatan penuh agar ia bisa sampai lebih dulu dari Pamannya."Kita habis main Paman, iya kan Vio?"Violet menelan salivanya, sebenarnya berbohong bukan pilihan pertamanya tapi saat sepupunya Gio memberi jalan untuk setidaknya meredam kemarahan Papanya, Violet hanya mengangguk menyetujui skenarionya."Iya"Mamanya di belakang punggung sang Papa juga menghela nafas lega, ia tidak ingin Violet kena marah untuk yang kesekian kalinya karena kenakalannya sendiri."Vio sayang, Papa kira kamu kelayapan kemana- mana. Sini sayang, Papa kangen kamu Nak. Maaf karna terakhir kali Papa marah sama Vio."Violet bergerak ke sisi kanan tubuh Papanya yang menariknya mendekat, lalu mencium keningnya dengan sayang."Paman, aku pergi dulu""Tunggu, Gio--"Arka menuruni anak tangga dan menjumpai pemuda tampan di lantai utamanya. Sedangkan Violet hanya saling menatap dengan Mamanya yang memilih diam."Ceritakan pengalaman kamu di Washington, apa kuliah di sana seru? Paman gak sabar tunggu Violet lulus supaya bisa nyusul kamu kuliah di sana."Gio hanya tersenyum mendapat usapan di bahunya oleh sang paman. Benar, tahun lalu Gio pindah ke Amerika untuk study nya. Karena Violet dan Gio hanya berjarak dua tahun dan sekarang Violet berada di tahun ke tiga di sekolahnya Arka ingin putrinya menyusul Gio di sana."Wahh aku gak bisa berkata- kata, di sana luar biasa" ungkapnya full dengan senyuman.Liona hanya bisa memberikan tepukan kecil di punggung putrinya yang kembali gelisah. Topik sensitif itu selalu membuat keadaan rumah seperti sauna. Itu juga yang menjadi alasan putrinya pergi dari rumah beberapa minggu yang lalu."Vio, sayang. Dimana kamu dua minggu ini nak? Kenapa Vio gak jawab telpon Mama?"Gadis yang cemberut di ranjangnya menarik lutut lebih dekat ke dadanya, tak bersedia mendengar semua cercaan pertanyaan sang Mama."Mama gak marah sama kamu, Mama cuma khawatir Papa kamu marah kalau dia tahu di mana kamu dua minggu terakhir ini. Jadi, mari kita rahasiakan semuanya dan tolong kembali ke rumah ya?"Wajah yang menunduk itu di tarik, sampai Mamanya bisa menangkap mata yang penuh dengan ke khawatiran."Vio~" panggil Mamanya lembut."Ma, please bujuk Papa supaya Vio kuliah di sini aja. Vio gak mau kuliah di luar negeri."Tangannya yang sedari tadi di sembunyikan di dalam selimut kini ia keluarkan untuk meraih ke dua tangan Mamanya, memohon untuk di beri bantuan.Botol kaca berserakan di mana- mana dan cekikikan dari ke tiga temannya membuat telinganya memanas."Jadi lu belum bisa nerobos dia bro?" Ucap lelaki dengan rambut di cat abu- abu di samping kanannya."Wahhh rekor terlama nih, pasti cewe lu yang sekarang alim banget ya." Kemudian tawa menyusul dan saling bersahutan membuat kepalanya yang sudah bercampur dengan alkohol semakin memanas."Gue rasa kali ini lu gagal bro, peringkat sebagai penjinak betina ini kehilangan pesonanya" cemooh temannya yang kini meneguk botol ke sekian dengan setengah mabuk."Bisa diem gak kalian? Gue? Gagal dapetin cewe? Jangan panggil gua Elgard kalau gue gak bisa dapetin apa yang gue mau" ia membuang botol di tangannya, beralih merogoh rokok dan pemantik api yang ia bawa kemana- mana.Di tengah angin yang sedikit berbau asap rokok, Elgard membaringkan tubuhnya di rooftop sebuah gedung dalam keadaan setengah mabuk. Matanya sayu, bibirnya hampir hitam karena terlalu sering menghisap tembakau setiap kali ia stres. Dan kali ini karena pacarnya yang menghilang entah kemana, tidak ada kabar sama sekali. Elgard kehilangan akal setelah ia mendatangi cafe tempat pacarnya bekerja dan tidak menemukan ia di sana."Cuma lu doang Vio, lu doang cewe yang bikin gue kaya gini" gagang kecil yang terjepit di celah jarinya adalah batang yang ke empat, dan dia tidak peduli.Keesokan harinya, Violet masuk di antar Papanya sampai ke depan gerbang sekolah. Ia menerima kecupan yang tidak pernah absen di pipinya. Menjadi anak semata wayang adalah salah satu keunggulannya. Dia menerima banyak cinta dan tentu saja di manjakan oleh keluarganya."Karna supir kita sedang cuti, pulang sekolah Papa akan kirim asisten Papa untuk jemput kamu.""Gak usah Pa, Vio ada- mmm ada kerja kelompok di luar."Lakukan dengan alami Violet, jangan kecewakan guru sastra mu. Pastikan Papa untuk tidak curiga. Batin Violet."Kerja kelompok? Owhh oke, jangan pulang telat dan pastikan menghubungi Mama mu di rumah"Violet membuang napasnya yang tertahan dengan bunyi fiuhh. Untung saja sang Papa tidak menginterogasinya lebih lanjut.Fisika adalah pelajaran yang menyebalkan, Violet berulang kali menguap sampai rahangnya terasa akan patah. Kalau saja bukan guru killer ini, mungkin Violet sudah tertidur di mejanya.Jam pelajaran usai dan kini saatnya mengecek ponsel yang baru ia sadari mati sejak kemarin sore."Owhhh ya ampun" berbagai notifikasi berderet menyerempet telinganya setelah ia mengaktifkan benda itu.Beberapa pesan dari tempat kerjanya."Ya, tentu. Aku harus selesain hari ini sebelum Papa tahu"Dan, sebagian besar lainnya dari Elgard."Aku yakin dia marah, tapi tidak akan seseram Papa kan? Hmm semoga aku selamat" ia berjalan ke luar kelas dengan ponsel di sakunya.Jarinya mengetuk meja kantin menunggu pesanannya datang, saat ini ia duduk sendiri karena temannya sebagian besar sudah makan lebih dulu karena Violet sempat ke perpustakaan untuk mengembalikan buku."Sudah selesai main petak umpetnya?"Violet tetap terkejut walau dia sudah menyiapkan diri untuk bertemu pacarnya beberapa saat lalu."Jadi? Mau menjelaskan sesuatu?"tanya Elgard dengan nada yang ia buat sesederhana mungkin."Tentang?" Violet pura- pura polos yang hanya menambah kemarahan di sisi lain pacarnya.Elgard sebisa mungkin menekan emosinya, dan tersenyum ramah."Kenapa aku gak bisa menghubungi pacar aku kemarin?" Jari Elgard menyentuh dagu Violet dan menarik ke dekat wajahnya."HP aku mati kemarin" jelasnya singkat."Dan kamu gak punya charger di rumah, sayang?"Violet mengigit bibir bawahnya dan memundurkan kepalanya yang segera di tarik Elgard untuk mendapatkan ciuman di bibir."Elgard, aku udah bilang jangan sembarangan cium aku di depan banyak orang" Violet tidak marah, ia hanya malu dan sulit untuk menutupi pipinya yang merah saat ini."Oke sayang, maaf. Lain kali aku akan cium kamu di tempat sepi" Elgard cengengesan sambil menyedot jus tomat milik Violet yang baru datang."Kamu minum punya aku~" cemberut Violet menggembungkan pipinya."Nanti aku ganti sama yang baru, stop bertingkah lucu sebelum bibir ini mendarat lagi di pipi kamu" ancam Elgard yang membuat Violet dengan gesit menutup mulutnya dan menjauh."Aku lupa sesuatu--" Violet mengangkat alisnya, menyimak."Dua hari lagi libur semester. Aku pengen kamu ikut aku dan teman- temanku liburan di puncak. Kamu mau kan?""Jadi kamu beneran mau resign?"Tiara merasa ia akan kehilangan teman yang baru saja ia dapat beberapa minggu terakhir ini. Bukan apa- apa, tapi menjadi pegawai termuda di cafe ini bukan hal yang mudah, dan semenjak Violet datang Tiara setidaknya punya teman yang seumuran."Aku bakalan sering mampir kok, aku janji"Ini adalah shift terakhirnya di cafe ini, ia harus membereskannya sebelum ketahuan Papanya bahwa ia pernah bekerja di Cafe tanpa sepengetahuannya. Ia juga telah bilang pada pemilik kosan bahwa dirinya tidak akan melanjutkan sewa untuk bulan depan.Sebenarnya, Violet ingin bertahan lama dengan keputusannya dengan bekerja di cafe ini dan menetap di kosan. Tapi, ia tidak bisa menghadapi Papanya. Jadi ia memutuskan untuk menyerah untuk melakukan perlawanan."Violet, meja 25 memesan tiga latte. Bisa tolong antarkan?"Violet dan Tiara bubar dari sesi pendek mengobrol nya dan segera kembali bekerja.Hari ini cafe begitu ramai dan sesak oleh pelanggan. Violet dan Tiara sebagai wait
"Vio, sayang~"Saat pintu terbuka, Mamanya justru panik melihat Violet yang hampir tenggelam dengan selimutnya. Ia berpikir anaknya jatuh sakit karena terlalu banyak menangis."Kamu sakit? Maafkan Mama--""Ma- j-jangan ke sini-"Saat Mamanya mengambil langkah, Violet spontan mencicit di balik selimutnya."Kenapa sayang? Kamu demam? biar Mama cek suhu badan kamu sayang. Mama takut--""Vio, lapar Ma- ya,.. lapar sekali"Itu kalimat bodoh yang terpaksa ia ucapkan untuk mengalihkan Mamanya.Giginya menekan bibir bawahnya, menahan suara laknat yang mungkin akan lolos dari sela bibirnya saat lidah basah yang bermain di bawah selimut itu menyebar di sekitar perutnya."Ohh ya ampun Mama hampir lupa kamu belum makan, tunggu sebentar ya. Mama ambil sesuatu untuk di makan."Saat pintu di tutup kembali, Violet segera membuka selimutnya dan melotot pada pelaku mesum yang sedari tadi hampir menjadi kematiannya di depan Mamanya. Alih- alih bersembunyi di lemari, Elgard memilih menempel di tubuh Viol
"Lu di bonceng sama Ken ya, dia ikut juga, perwakilan dari Osis soalnya."Violet hanya mengangguk setuju, dan segera naik di sepeda motor sang ketua osis.Violet mendadak menjadi pendiam di belakang punggung ketua osis. Mereka tak begitu dekat. Hanya saja, Violet tahu bahwa hampir setengah dari wanita di sekolahnya adalah fans berat dari laki- laki yang sekarang memboncengnya ini."Vio~"Tapi Violet tak menyahut dari belakang, tengg*lam dalam hempas*n angin di wajahnya yang sejuk."Vio, heyyy"Dia sedikit tersentak saat ada sedikit sentuh*n di lututnya."I-iya, kenapa Ken?""Pegangan ya, kita kayanya harus ngejar mereka di depan. Sekalian HP kamu masukin ke tas aku aja, nanti jatuh kalo kamu pegang gitu"Violet memang tidak sempat membawa tas dan hanya membawa ponselnya saat pergi, ia mengikuti saran Ken untuk memasukan ponselnya ke tas Ken sementara mereka berkendara."Aku ngebut ya" sekali lagi Ken memperingati.Violet melihat ke depan, motor ke dua temannya hanya terlihat seperti t
Violet pulang diam- diam, mengangkat ujung kakinya agar orang tuanya tak mendengar pergerakan apapun. Ini hampir jam sebelas malam dan Papanya akan mengeratkan tali di lehernya jika dia tahu."Akhirnya cinderella kita pulang setelah bertemu pangerannya"Langkah kaki kecilnya membeku dan tatapannya bertemu dengan mata hitam sosok yang bahkan hanya menyebutkan namanya saja bulu kuduknya sudah berdiri.Kaki yang satu langkah menambah jarak untuk kematian Violet. Gadis itu memejamkan matanya sambil menarik nafas yang hampir tak berujung."P-pa--""Sudah pacarannya?"Deg... rasanya sesuatu yang berat menimpa kedua pundaknya dengan tekanan yang besar hingga ia tak berani mengangkat kepalanya. Papanya tahu dia menemui Elgard?"Papa gak nyangka ternyata pacar kamu yang selama ini Papa benci adalah anak teman Papa dulu, dunia sesempit itu rupanya."Violet mendongak, melihat ekspresi Papanya yang melawan arus beberapa saat lalu, kini wajahnya memancarkan senyuman yang ramah."Lain kali, bilang
"Meja 72.." seru kepala dapur membuat seseorang mempercepat langkahnya.Keringat mulai timbul di beberapa pori- pori kulitnya, terlihat bahwa ia masih belum terbiasa dengan pekerjaan yang baru ia geluti beberapa hari ini.Saat langkahnya sampai ke meja pelanggan, ia mengubah ekspresinya menjadi wajah poker setengah kesal. Setelah menyimpan pesanan pelanggan itu ia langsung bergegas pergi. Namun terhenti dengan gerakan yang lebih cepat dari meja yang baru saja dia tinggalkan."Apa kamu udah makan siang? Ayo duduk dulu." Hanya ada decakan kecil yang mendesis dari mulutnya, ia membuang nafasnya sambil sedikit mendongak lalu kembali menatap mata seorang yang masih terduduk menunggu jawabannya."Aku sedang kerja" jawabnya cepat lalu menarik tangannya saat orang lain lengah."Aku tunggu sampe kamu pulang~~" teriak orang yang duduk di meja, memastikan bahwa wanita yang baru saja berlalu dari hadapannya mendengar teriakannya tanpa peduli pada lirikan pelanggan di samping kanan dan kiri."Kamu
Violet pulang diam- diam, mengangkat ujung kakinya agar orang tuanya tak mendengar pergerakan apapun. Ini hampir jam sebelas malam dan Papanya akan mengeratkan tali di lehernya jika dia tahu."Akhirnya cinderella kita pulang setelah bertemu pangerannya"Langkah kaki kecilnya membeku dan tatapannya bertemu dengan mata hitam sosok yang bahkan hanya menyebutkan namanya saja bulu kuduknya sudah berdiri.Kaki yang satu langkah menambah jarak untuk kematian Violet. Gadis itu memejamkan matanya sambil menarik nafas yang hampir tak berujung."P-pa--""Sudah pacarannya?"Deg... rasanya sesuatu yang berat menimpa kedua pundaknya dengan tekanan yang besar hingga ia tak berani mengangkat kepalanya. Papanya tahu dia menemui Elgard?"Papa gak nyangka ternyata pacar kamu yang selama ini Papa benci adalah anak teman Papa dulu, dunia sesempit itu rupanya."Violet mendongak, melihat ekspresi Papanya yang melawan arus beberapa saat lalu, kini wajahnya memancarkan senyuman yang ramah."Lain kali, bilang
"Lu di bonceng sama Ken ya, dia ikut juga, perwakilan dari Osis soalnya."Violet hanya mengangguk setuju, dan segera naik di sepeda motor sang ketua osis.Violet mendadak menjadi pendiam di belakang punggung ketua osis. Mereka tak begitu dekat. Hanya saja, Violet tahu bahwa hampir setengah dari wanita di sekolahnya adalah fans berat dari laki- laki yang sekarang memboncengnya ini."Vio~"Tapi Violet tak menyahut dari belakang, tengg*lam dalam hempas*n angin di wajahnya yang sejuk."Vio, heyyy"Dia sedikit tersentak saat ada sedikit sentuh*n di lututnya."I-iya, kenapa Ken?""Pegangan ya, kita kayanya harus ngejar mereka di depan. Sekalian HP kamu masukin ke tas aku aja, nanti jatuh kalo kamu pegang gitu"Violet memang tidak sempat membawa tas dan hanya membawa ponselnya saat pergi, ia mengikuti saran Ken untuk memasukan ponselnya ke tas Ken sementara mereka berkendara."Aku ngebut ya" sekali lagi Ken memperingati.Violet melihat ke depan, motor ke dua temannya hanya terlihat seperti t
"Vio, sayang~"Saat pintu terbuka, Mamanya justru panik melihat Violet yang hampir tenggelam dengan selimutnya. Ia berpikir anaknya jatuh sakit karena terlalu banyak menangis."Kamu sakit? Maafkan Mama--""Ma- j-jangan ke sini-"Saat Mamanya mengambil langkah, Violet spontan mencicit di balik selimutnya."Kenapa sayang? Kamu demam? biar Mama cek suhu badan kamu sayang. Mama takut--""Vio, lapar Ma- ya,.. lapar sekali"Itu kalimat bodoh yang terpaksa ia ucapkan untuk mengalihkan Mamanya.Giginya menekan bibir bawahnya, menahan suara laknat yang mungkin akan lolos dari sela bibirnya saat lidah basah yang bermain di bawah selimut itu menyebar di sekitar perutnya."Ohh ya ampun Mama hampir lupa kamu belum makan, tunggu sebentar ya. Mama ambil sesuatu untuk di makan."Saat pintu di tutup kembali, Violet segera membuka selimutnya dan melotot pada pelaku mesum yang sedari tadi hampir menjadi kematiannya di depan Mamanya. Alih- alih bersembunyi di lemari, Elgard memilih menempel di tubuh Viol
"Jadi kamu beneran mau resign?"Tiara merasa ia akan kehilangan teman yang baru saja ia dapat beberapa minggu terakhir ini. Bukan apa- apa, tapi menjadi pegawai termuda di cafe ini bukan hal yang mudah, dan semenjak Violet datang Tiara setidaknya punya teman yang seumuran."Aku bakalan sering mampir kok, aku janji"Ini adalah shift terakhirnya di cafe ini, ia harus membereskannya sebelum ketahuan Papanya bahwa ia pernah bekerja di Cafe tanpa sepengetahuannya. Ia juga telah bilang pada pemilik kosan bahwa dirinya tidak akan melanjutkan sewa untuk bulan depan.Sebenarnya, Violet ingin bertahan lama dengan keputusannya dengan bekerja di cafe ini dan menetap di kosan. Tapi, ia tidak bisa menghadapi Papanya. Jadi ia memutuskan untuk menyerah untuk melakukan perlawanan."Violet, meja 25 memesan tiga latte. Bisa tolong antarkan?"Violet dan Tiara bubar dari sesi pendek mengobrol nya dan segera kembali bekerja.Hari ini cafe begitu ramai dan sesak oleh pelanggan. Violet dan Tiara sebagai wait
"Aku anter kamu pulang--""JANGAN"Elgard langsung menilik ke wajah di depannya yang begitu bersikeras menolak tawarannya."Maksud aku- aku bisa pulang sendiri, Gio mau jemput besok sore."Violet terus mengunyah bibirnya sendiri setiap ia canggung, dan kebiasaan itu terlalu mudah untuk di kenali pasangannya."Kenapa harus Gio yang jemput sedangkan aku bisa anter kamu. Aku juga belum pernah ketemu Mama sama Papa kamu"Violet tidak akan lupa alasan kenapa layar ponselnya pecah, kenapa ia bisa berakhir di kosan sempit seperti yang ia tinggali sekarang. Termasuk alasan kenapa ia bisa nekad mengambil kerja part time di tengah sekolahnya. Ia tidak akan mendekatkan bahan bakar ke depan api yang menyala."Apa Violet masih marah? Jangan bilang dia mengurung diri di kamar selama aku pergi."Arka baru saja sampai dari perjalanannya selama hampir satu bulan, ia pulang setelah mendengar istrinya sakit di rumah."A-Arka--"Langkah di anak tangga itu tertahan dengan suara di belakangnya membuat ia m
"Meja 72.." seru kepala dapur membuat seseorang mempercepat langkahnya.Keringat mulai timbul di beberapa pori- pori kulitnya, terlihat bahwa ia masih belum terbiasa dengan pekerjaan yang baru ia geluti beberapa hari ini.Saat langkahnya sampai ke meja pelanggan, ia mengubah ekspresinya menjadi wajah poker setengah kesal. Setelah menyimpan pesanan pelanggan itu ia langsung bergegas pergi. Namun terhenti dengan gerakan yang lebih cepat dari meja yang baru saja dia tinggalkan."Apa kamu udah makan siang? Ayo duduk dulu." Hanya ada decakan kecil yang mendesis dari mulutnya, ia membuang nafasnya sambil sedikit mendongak lalu kembali menatap mata seorang yang masih terduduk menunggu jawabannya."Aku sedang kerja" jawabnya cepat lalu menarik tangannya saat orang lain lengah."Aku tunggu sampe kamu pulang~~" teriak orang yang duduk di meja, memastikan bahwa wanita yang baru saja berlalu dari hadapannya mendengar teriakannya tanpa peduli pada lirikan pelanggan di samping kanan dan kiri."Kamu