Sejak keanehan Mas Bima malam kemarin, aku sengaja meminta Bik Marni untuk menginap di sini satu minggu ini. Meski Mas Bima awalnya menolak karena masalah gaji, namun aku berusaha meyakinkannya kalau gaji Bik Marni aku yang menanggung. Akan kuambilkan dari uang belanja lagipula kerjanya hanya mencuci dan menyetrika saja.
Aku masih pura-pura tidur saat kulihat Mas Bima menyibakkan selimutnya. Berjalan mengendap ke luar kamar. Entah apa yang akan dilakukannya. Begitu mencurigakan. Dia menutup pintu sepelan mungkin agar aku tak terbangun. Kulirik jam beker di atas meja. Hampir pukul sebelas malam.
"Iya, sayang. Aku tahu kamu sedang ngidam tapi ini sudah malem banget. Yang jualan bakmi jawa kesukaanmu itu pasti juga udah siap-siap mau tutup. Besok aja, ya?"
Kudengar Mas Bima mengobrol dengan seseorang lewat ponsel barunya. Gegas kuambil ponsel di atas nakas dan merekam percakapan mereka dari balik pintu yang sedikit terbuka.
Suara Mas Bima terdengar cukup keras meski dia sudah berusaha bicara sepelan mungkin, heningnya malam membuat suaranya lebih jelas terdengar.
Lagipula dia duduk di kursi ruang tengah yang berhadapan langsung dengan pintu kamarku. Duduk membelakangiku sembari terus membujuk seseorang di sana entah siapa.
"Bukannya males, sayang. Cuma nggak mungkin mas pergi malam-malam begini. Takut Amel curiga," ucapnya lagi. Mas Bima menghela napas berat.
"Kenapa kamu manja begini, sih, sayang? Kamu tahu sendiri kan posisiku sekarang? Aku masih berusaha mencuri hati Yuka dan Yuki. Walau bagaimanapun mereka harus ikut aku jika kedua orang tuanya berpisah nanti. Mau dikasih makan apa mereka kalau ikut dengan Amel, iya kan?"
Tak terasa air mataku menetes mendengar obrolan mereka. Kurang a*ar sekali Mas Bima sudah merencanakan perpisahanku dengannya sampai sedetail itu. Bahkan dia akan merebut anak-anak dariku? Tak akan bisa!
"Rumah ini sudah atas namaku, sayang. Saat ini aku cuma berat di anak-anak saja. Mereka masih kecil." Mas Bima kembali menghela napas panjang.
"Aku tahu, sayang. Kamu juga akan punya anak tapi si kembar tetap anakku juga. Aku harus mengasihi mereka seperti aku mengasihi bayi dalam rahimmu."
"Jangan ngambek dong, sayang. Kalau ngidam emang begitu, ya? Harus dapet dan harus ayahnya yang beliin?"
Mengasihi bayi itu? Ayah katanya? Kekhawatiranku akhir-akhir ini benar adanya. Mas Bima memang selingkuh dan dia akan mempunyai buah hati dari perempuan itu.
Kuseka air mata yang kembali menetes di pipi. Aku harus kuat, tak boleh lemah. Apalagi Mas Bima sengaja ingin memisahkanku dengan anak-anak. Tak akan pernah kubiarkan itu terjadi sampai kapan pun! Saat ini hanya mereka yang bisa membuatku lebih bersemangat untuk hidup ke depan.
"Oke ... oke aku akan membelikannya. Atau pesan gofood aja gimana? Kan sama aja isinya bakmi jawa?"
Entah apa jawaban dari seberang sana yang jelas Mas Bima menyugar rambutnya kasar.
Oke ... oke. Aku akan membelikannya untukmu sekarang juga," ucapnya sedikit kesal sembari menutup ponselnya.
Mas Bima tak melihat ke arahku sedikit pun. Dia buru-buru mengambil kunci mobil dan berjalan menuju garasi. Kututup ponsel dan memasukkannya ke saku jaket. Segera mengambil kunci motor untuk mengikuti Mas Bima.
Yuki dan Yuka sudah terlelap semoga saja tak bangun mencariku. Mau bangunin Bik Marni segan, biarlah. Yang penting mereka tak sendirian di rumah, ada yang menjaga anak-anak jika ada sesuatu atau tiba-tiba bangun dari tidurnya.
Dengan Masker dan jaket baru serta helm baru yang kusiapkan semoga saja dia tak tahu aku sedang membuntutinya. Apalagi Mas Bima tak terlalu hafal plat nomer matic yang kupakai.
Sekitar sepuluh menit aku mengikuti mobil Mas Bima. Dia berhenti di warung pinggir jalan, memesan bakmi jawa seporsi. Tak berselang lama dia membayar pesanannya dan kembali ke mobil.
Dengan jarak beberapa meter kembali kuikuti mobil Mas Bima. Beberapa menit kemudian dia membelokkan mobilnya menuju sebuah rumah minimalis tak jauh dari jalan raya. Sebuah perumahan baru bahkan belum terlalu banyak penghuninya.
Mas Bima masuk begitu saja melewati pos satpam seolah mereka sudah kenal cukup lama. Hanya membunyikan klakson kecil, Mas Bima sudah diijinkan masuk. Aku tak ingin membuat kegaduhan atau kecurigaan jadi kuintip saja mobil itu tak jauh dari pos satpam.
Dia berhenti di rumah nomer tiga. Seorang perempuan menyambutnya di teras, mencium punggung tangannya lalu berpelukan. Benar-benar tak tahu diri!
Kupicingkan mata untuk melihat siapa perempuan yang kini bersama Mas Bima, namun tetap saja penglihatanku tak terlalu jelas. Karena terlalu buru-buru, aku sampai lupa memakai kaca mata padahal mataku rabun jauh.
Ah sudahlah. Besok aku akan kembali ke perumahan ini untuk cari tahu siapa pemilik rumah itu. Untuk bertanya pada satpam sekarang terlalu beresiko. Aku nggak ingin ketahuan Mas Bima. Setidaknya sampai rumah yang aku tempati berpindah atas namaku. Untuk mobil, aku tak terlalu peduli karena itu juga belum lunas.
Kuputar motor untuk kembali ke rumah. Setelah sampai garasi, segera kumatikan motor dan balik lagi ke kamar. Anak-anak tak ada yang terbangun, syukurlah. Membuka jaket dan helm lalu kumasukkan ke kolong ranjang.
Aku sengaja menyeduh teh hangat sembari duduk di ruang tengah dengan gelap-gelapan. Ingin melihat ekspresi Mas Bima saat dia menyalakan lampu nanti. Kaget atau biasa saja saat dia tahu aku sudah duduk santai di sofa untuk menunggunya.
***
Lampu ruang tengah menyala. Aku masih menyeruput teh dengan santai saat Mas Bima ternganga di depan pintu kamar. Kulihat keterkejutannya."Am ... Amel?" tanyanya kaget. Aku mencoba untuk tersenyum meski dalam hati rasanya geram."Dari mana malem-malem begini, Mas? Nggak nongkrong sama temen lagi dong?" tanyaku santai. Membuat Mas Bima kembali salah tingkah."Eh Emmm--"Dari kantor?" tanyaku singkat, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Aku hanya melihat kebingungannya dari ekor mataku."Nggak, kok, Dek. Keluar sebentar buat cari angin," jawabnya kemudian."Oohh.""Tidur, yuk, Dek. Ngantuk banget nih. Besok mulai kerja lagi, takut kesiangan," jawab Mas Bima sengaja tak memberiku kesempatan untuk bertanya lagi.Aku hanya mengangguk pelan. Mas Bima membuka lemari dan mengganti kaos sebelumnya dengan koas oblong miliknya.Dia masukkan kaos kotor itu ke bak cucian kotor lalu melangkah menuju pembaringan. Sebelum menarik selimut, Mas Bima melirikku kembali yang masih duduk di sofa depan kama
[Mbak, tiga hari ini aku mau menginap di rumah Mbak, ya? Mau ambil beberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang soalnya kalau liburan di kost terlalu berisik jadi nggak bisa konsen] Pesan dari Dinda, adik angkatku masuk ke ponsel. Tumben dia mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia di rumah. Apalagi tiga hari besok tanggal merah dan weekend.[Oke, Din. Main saja. Pintu rumah terbuka lebar untukmu] Balasku kemudian. Dinda memang adik angkatku. Masih teringat jelas dalam ingatan 15 tahun lalu ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak, aku dan ibu melihat Dinda meringkuk di pemakaman ibunya yang masih basah. Tak tega, akhirnya ibu mengajak dia untuk tinggal bersamaku. Ibu merawatnya sepenuh hati hingga tutup usia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal bersamaku di rumah ini. Lagi-lagi ibu tak tega jika meninggalkan Dinda sendirian di rumah sederhana ka
Kuseduhkan jahe hangat untuk Dinda dan Mas Bima. Setelah Dinda selesai mandi dan pakai piyama, dia duduk di sampingku. Mas Bima pun sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah lagi. Hujan masih deras mengguyur tapi anehnya Mas Bima keramas lagi. Dinda juga, tapi dia memang kehujanan dan kuperintahkan untuk mandi sekalian keramas biar nggak masuk angin."Kamu nggak kehujanan kan, Mas? Kok ikutan keramas?" tanyaku santai. Kulihat gerak-gerik mereka dari ujung mataku. Saling salah tingkah. "Iya, Dek. Gerah," jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan alasan gerah Mas Bima seolah bisa aman dari kecurigaan. Aku pura-pura tak melihat saat mereka saling lempar senyuman. Aku semakin yakin kalau mereka memang ada hubungan spesial selain ipar. Sakit sekali rasanya jika itu benar-benar terjadi. 15 tahun aku hidup bersama Adinda. Usiaku dan Dinda berjarak 7 tahun. Dia yang sebatang kara, dengan penuh cinta dirawat oleh ibuku. Aku pun sangat menyayanginya bahkan dulu sering mengalah demi d
Suasana begitu hening. Malam semakin larut entah jam berapa. Kubuka mata perlahan. Tak ada Mas Bima di ranjang. Mungkin dia ke kamar mandi. Pikirku. Dengan langkah lesu menahan kantuk, kubuka pintu kamar mandi. Kosong. Mungkin dia ke dapur untuk mengambil minum. Biasanya memang aku sediakan di atas meja kamar sebelum tidur namun tadi memang lupa menyiapkan air minumnya ke botol. Perlahan kubuka pintu kamar. Suara tangis Yuka dari kamarnya tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Setengah berlari aku membuka kamar si kembar. Yuki masih mengucek pelan kedua matanya sedangkan Yuka terus menangis sembari melipat kedua lutut. "Bunda ...." Yuka berteriak memanggil namaku saat kunyalakan lampu kamarnya. Bergegas kupeluk si kembar sambil menenangkan Yuka yang terus menangis. "Yuka kenapa, Nak?" tanyaku pada Yuka yang masih terisak. Berkali-kali dia menghapus air matanya."Mimpi buruk, ya?" tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan."Emm ... Yuka lupa baca doa sebelum bobok, ya?" tanyaku lagi. Yuka ha
"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. "Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi."Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. "Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. "Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. "Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. Perjalanan ke rumah Bella mema
Saat mobil Mas Bima meluncur ke luar rumah, Bella pun segera menstater motornya mengikuti mobil itu. Aku masih duduk di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Semua rasa seolah tercampur menjadi satu. Tak ada pembicaraan cukup serius antara aku dan Bella. Dia masih fokus dengan stirnya, mengikuti jejak mobil Mas Bima. Setelah berjibaku dengan debu dan kemacetan, akhirnya Mas Bima pun membelokkan mobil silvernya ke rumah sakit cukup terkenal di kotaku. Mereka berhenti di rumah sakit ibu dan anak Anindya. Hatiku semakin berdebar tak jelas. Jantung seolah berpacu lebih cepat daripada biasanya. Ketakutan dan kekhawatiranku selama ini mulai lalu lalang di depan mata.Apa benar dugaanku kalau Dinda memang sedang berbadan dua? Anak dari hasil hubungan gelapnya dengan Mas Bima? Tapi sejak kapan mereka berdua mengkhinati kepercayaanku seperti ini?Atau mungkin memang sudah lama mereka melakukan semua ini, hanya saja aku terlalu mempercayai keduanya hingga tak pernah merasa curiga. Ya Allah
Aku dan Bella kembali ke rumah. Bukti-bukti yang ada di ponsel Bella sudah dikirim ke ponselku semuanya. "Bel, punya kenalan notaris nggak? Aku mau urus sertifikat rumah itu. Mau aku bikin status dihibahkan saja biar Mas Bima nggak bisa otak-atik lagi," ucapku pada Bella yang masih sibuk dengan ponselnya. "Foto sama video sudah aku kirim semua kan, Mel?" tanyanya. Rupanya dia tak mendengarkan pertanyaanku justru masih saja sibuk dengan video Mas Bima dan Dinda tadi. "Sudah semua nih. Cuma dua biji kan videonya?" "Iya, sih. Foto-fotonya juga udah?" tanyanya lagi."Udah semua Bella cantik," jawabku gemas. Dia hanya meringis kecil. "Mau aku hapus videonya. Fotonya sengaja aku simpan satu. Pengen banget aku viralin di kantor tapi nggak tega," ucapnya sembari menghembuskan napas pelan. "Besok antar ke notaris dong, Bel.""Eh iya. Tadi kamu nanya soal itu, ya? Lupa mau jawab. Ada tuh teman dekatnya si Ubay. Dia notaris juga," ucap Bella serius. Ubay adalah adik bungsu Bella yang kini
Pagi mulai menjelang. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara spesial. Meski begitu tak bisa dipungkiri kalau hatiku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar takut kalau Mas Bima tahu apa yang kurencanakan.Sesuai rencanaku dengan Bella kemarin, pagi ini aku harus selesaikan urusan pertanda tanganan. Semakin cepat akan semakin baik, katanya dan aku pun mengiyakan saja. [Bel, nanti kalau aku miscall, kamu langsung telepon Mas Bima, ya? Deg-deg an aku nih]Kukirimkan pesan pada Bella sembari menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Sedangkan Bik Marni sedang menjemur pakaian di belakang. [Oke. Aku tunggu miscall dari kamu sambil nonton tivi] Kumasukkan kembali ponsel ke saku gamis. Yuka dan Yuki juga sudah siap berangkat sekolah. Formulir dan surat penguasaan sudah ada di atas kulkas. "Sarapan nasi goreng spesial dulu ya, sayang," ucapku pada si kembar yang sudah duduk di kursi makan. Mereka tampak begitu antusias melihatku menyiapkan nasi goreng sosis dengan telur ceplok di
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba