Lampu ruang tengah menyala. Aku masih menyeruput teh dengan santai saat Mas Bima ternganga di depan pintu kamar. Kulihat keterkejutannya.
"Am ... Amel?" tanyanya kaget. Aku mencoba untuk tersenyum meski dalam hati rasanya geram.
"Dari mana malem-malem begini, Mas? Nggak nongkrong sama temen lagi dong?" tanyaku santai. Membuat Mas Bima kembali salah tingkah.
"Eh Emmm--
"Dari kantor?" tanyaku singkat, tak menoleh sedikit pun ke arahnya. Aku hanya melihat kebingungannya dari ekor mataku.
"Nggak, kok, Dek. Keluar sebentar buat cari angin," jawabnya kemudian.
"Oohh."
"Tidur, yuk, Dek. Ngantuk banget nih. Besok mulai kerja lagi, takut kesiangan," jawab Mas Bima sengaja tak memberiku kesempatan untuk bertanya lagi.
Aku hanya mengangguk pelan. Mas Bima membuka lemari dan mengganti kaos sebelumnya dengan koas oblong miliknya.
Dia masukkan kaos kotor itu ke bak cucian kotor lalu melangkah menuju pembaringan. Sebelum menarik selimut, Mas Bima melirikku kembali yang masih duduk di sofa depan kamar kami.
"Kamu mau begadang, Dek?" tanyanya singkat. Aku menoleh pelan.
"Tidur aja dulu, Mas. Aku cuma ingin menghabiskan teh ini dulu, kok," jawabku lagi. Mas Bima mengangguk pelan lalu memejamkan matanya.
Beranjak dari sofa, kumasukkan cangkir teh ke wastafel dan mencucinya. Perlahan kuambil kembali kaos Mas Bima yang baru saja dia masukkan ke bak cucian kotor. Meneliti tiap sudutnya lagi. Bekas bibir dengan lipstik merah menempel di sana. Pantas saja dia tak memintaku untuk memasukkan pakaian kotornya. Ternyata ada udang di balik bakwan.
Kufoto bekas bibir merah itu untuk bukti selanjutnya. Semakin banyak bukti yang kudapat, akan semakin menguatkanku untuk mendapatkan hak asuh si kembar.
Mas Bima tak tahu kalau selama ini aku juga punya penghasilan. Sengaja tak kuambil uang itu dari rekeningku. Biar saja untuk tabungan jika sewaktu-waktu aku membutuhkan.
Mas Bima yang dulu selalu mengejekku saat membuat channel youtube, tak disangka sudah enam bulan terakhir menghasilkan uang yang cukup signifikan. Bulan pertama hanya mendapatkan gaji 1,5 juta, bulan ini cukup lumayan karena mendapatkan hasil tiga kali lipatnya.
Semua hasil itu kusimpan rapat tanpa sepengetahuan Mas Bima. Jikalaupun aku cerita pasti dia hanya mengejek. Dia memang seperti itu dari dulu, selalu meremehkan apa pun yang kulakukan. Seolah hanya dia yang bisa menghasilkan uang.
Kututup pintu rapat dan menaiki ranjang. Mencoba untuk memejamkan mata agar tak telat salat subuh nanti. Mas Bima sudah terlelap hingga dengkurnya mulai terdengar samar.
***
Detik ini aku kembali ke perumahan baru itu. Tempat di mana kemarin Mas Bima dan perempuan itu bertemu dan saling berpelukan begitu mesra.
Kuparkir motor matic di samping pos satpam. Ada seorang satpam yang berjaga di sana.
"Maaf, Pak. Boleh numpang tanya?" tanyaku pada satpam perumahan baru yang kemarin dikunjungi Mas Bima.
"Iya, Bu. Silakan mau tanya apa?" tanya seorang satpam bernama Salim.
"Kemarin saya nggak sengaja lihat suami saya berhenti di depan rumah itu, Pak. Rumah nomer tiga dari sini," tunjukku pada rumah bercat biru itu. Satpam pun mengangguk pelan.
"Nama suaminya siapa, Bu?" tanyanya singkat.
"Bima, Pak," jawabku kemudian.
Pak Salim pun mengerutkan alis pelan lalu menggaruk-garukkan kepala.
"Saya kurang tahu kalau nama Bima, Bu. Mungkin ibu salah lihat," jawabnya lagi. Dia meminta teman yang lain untuk ikut menjelaskan.
"Iya, Bu. Setahu saya yang sering ke rumah itu pak Juna. Suaminya Mbak Andin," jawab Pak Santo meyakinkan.
Pak Juna? Apa memang Mas Bima sengaja memakai nama belakangnya untuk tinggal di sini? Apa sengaja biar nggak ketahuan jika aku mencarinya sewaktu-waktu? Kenapa dia tak nama depannya saja?
Bima Arjuna Wiryawan. Itulah nama panjangnya. Sedangkan perempuan itu bernama Andin? Kepalaku mendadak pening memikirkan siapa dia dan di mana Mas Bima mengenalnya? Apalagi satpam bilang mereka sudah menikah? Rasanya benar-benar sulit dipercaya.
"Baiklah kalau begitu, Pak. Mungkin saya yang salah lihat. Terima kasih informasinya, ya?" Pintaku untuk mengakhiri obrolan dengan mereka.
Andin dan Juna. Aku akan menyelidiki sendiri masalah ini. Sebelum memutar motor, ponselku bergetar beberapa kali.
[Maaf Mel, bukannya mau ikut campur masalah rumah tangga kamu, tapi kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan suamimu deh. Tadi aku nggak sengaja denger dia telepon sama seseorang, dia bilang akan antar ke dokter kandungan besok sore. Pakai panggilan sayang-sayang segala. Padahal kamu nggak sedang hamil kan?]
Pesan dari Bella masuk ke ponselku. Lagi-lagi membuat hatiku panas seketika.
[Kamu denger Mas Bima nyebut nama perempuan itu nggak, Bel?]
[Nggak sih, Mel. Aku cuma denger dia bilang sayang doang]
Kuhembuskan napas panjang seraya mengucap istighfar berulang kali untuk menenangkan hati. Aku harus bisa mengontrol emosi, jangan sampai aku menghancurkan rencana yang sudah kususun sedemikian rupa. Wajib sabar dan istighfar banyak-banyak sebelum rumah itu jatuh ke tanganku.
Sampai kapan pun aku nggak akan rela jika sebagian hasil tabunganku dulu seenaknya dinikmati oleh Mas Bima dengan perempuan itu.
Segera kututup ponsel dan memasukkannya ke dalam jaket. Aku harus segera sampai rumah sebelum Mas Bima pulang. Aku tak ingin Mas Bima mencurigaiku macam-macam.
***
[Mbak, tiga hari ini aku mau menginap di rumah Mbak, ya? Mau ambil beberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang soalnya kalau liburan di kost terlalu berisik jadi nggak bisa konsen] Pesan dari Dinda, adik angkatku masuk ke ponsel. Tumben dia mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia di rumah. Apalagi tiga hari besok tanggal merah dan weekend.[Oke, Din. Main saja. Pintu rumah terbuka lebar untukmu] Balasku kemudian. Dinda memang adik angkatku. Masih teringat jelas dalam ingatan 15 tahun lalu ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak, aku dan ibu melihat Dinda meringkuk di pemakaman ibunya yang masih basah. Tak tega, akhirnya ibu mengajak dia untuk tinggal bersamaku. Ibu merawatnya sepenuh hati hingga tutup usia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal bersamaku di rumah ini. Lagi-lagi ibu tak tega jika meninggalkan Dinda sendirian di rumah sederhana ka
Kuseduhkan jahe hangat untuk Dinda dan Mas Bima. Setelah Dinda selesai mandi dan pakai piyama, dia duduk di sampingku. Mas Bima pun sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah lagi. Hujan masih deras mengguyur tapi anehnya Mas Bima keramas lagi. Dinda juga, tapi dia memang kehujanan dan kuperintahkan untuk mandi sekalian keramas biar nggak masuk angin."Kamu nggak kehujanan kan, Mas? Kok ikutan keramas?" tanyaku santai. Kulihat gerak-gerik mereka dari ujung mataku. Saling salah tingkah. "Iya, Dek. Gerah," jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan alasan gerah Mas Bima seolah bisa aman dari kecurigaan. Aku pura-pura tak melihat saat mereka saling lempar senyuman. Aku semakin yakin kalau mereka memang ada hubungan spesial selain ipar. Sakit sekali rasanya jika itu benar-benar terjadi. 15 tahun aku hidup bersama Adinda. Usiaku dan Dinda berjarak 7 tahun. Dia yang sebatang kara, dengan penuh cinta dirawat oleh ibuku. Aku pun sangat menyayanginya bahkan dulu sering mengalah demi d
Suasana begitu hening. Malam semakin larut entah jam berapa. Kubuka mata perlahan. Tak ada Mas Bima di ranjang. Mungkin dia ke kamar mandi. Pikirku. Dengan langkah lesu menahan kantuk, kubuka pintu kamar mandi. Kosong. Mungkin dia ke dapur untuk mengambil minum. Biasanya memang aku sediakan di atas meja kamar sebelum tidur namun tadi memang lupa menyiapkan air minumnya ke botol. Perlahan kubuka pintu kamar. Suara tangis Yuka dari kamarnya tiba-tiba terdengar begitu nyaring. Setengah berlari aku membuka kamar si kembar. Yuki masih mengucek pelan kedua matanya sedangkan Yuka terus menangis sembari melipat kedua lutut. "Bunda ...." Yuka berteriak memanggil namaku saat kunyalakan lampu kamarnya. Bergegas kupeluk si kembar sambil menenangkan Yuka yang terus menangis. "Yuka kenapa, Nak?" tanyaku pada Yuka yang masih terisak. Berkali-kali dia menghapus air matanya."Mimpi buruk, ya?" tanyaku lagi. Dia mengangguk pelan."Emm ... Yuka lupa baca doa sebelum bobok, ya?" tanyaku lagi. Yuka ha
"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. "Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi."Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. "Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. "Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. "Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. Perjalanan ke rumah Bella mema
Saat mobil Mas Bima meluncur ke luar rumah, Bella pun segera menstater motornya mengikuti mobil itu. Aku masih duduk di belakangnya dengan perasaan tak menentu. Semua rasa seolah tercampur menjadi satu. Tak ada pembicaraan cukup serius antara aku dan Bella. Dia masih fokus dengan stirnya, mengikuti jejak mobil Mas Bima. Setelah berjibaku dengan debu dan kemacetan, akhirnya Mas Bima pun membelokkan mobil silvernya ke rumah sakit cukup terkenal di kotaku. Mereka berhenti di rumah sakit ibu dan anak Anindya. Hatiku semakin berdebar tak jelas. Jantung seolah berpacu lebih cepat daripada biasanya. Ketakutan dan kekhawatiranku selama ini mulai lalu lalang di depan mata.Apa benar dugaanku kalau Dinda memang sedang berbadan dua? Anak dari hasil hubungan gelapnya dengan Mas Bima? Tapi sejak kapan mereka berdua mengkhinati kepercayaanku seperti ini?Atau mungkin memang sudah lama mereka melakukan semua ini, hanya saja aku terlalu mempercayai keduanya hingga tak pernah merasa curiga. Ya Allah
Aku dan Bella kembali ke rumah. Bukti-bukti yang ada di ponsel Bella sudah dikirim ke ponselku semuanya. "Bel, punya kenalan notaris nggak? Aku mau urus sertifikat rumah itu. Mau aku bikin status dihibahkan saja biar Mas Bima nggak bisa otak-atik lagi," ucapku pada Bella yang masih sibuk dengan ponselnya. "Foto sama video sudah aku kirim semua kan, Mel?" tanyanya. Rupanya dia tak mendengarkan pertanyaanku justru masih saja sibuk dengan video Mas Bima dan Dinda tadi. "Sudah semua nih. Cuma dua biji kan videonya?" "Iya, sih. Foto-fotonya juga udah?" tanyanya lagi."Udah semua Bella cantik," jawabku gemas. Dia hanya meringis kecil. "Mau aku hapus videonya. Fotonya sengaja aku simpan satu. Pengen banget aku viralin di kantor tapi nggak tega," ucapnya sembari menghembuskan napas pelan. "Besok antar ke notaris dong, Bel.""Eh iya. Tadi kamu nanya soal itu, ya? Lupa mau jawab. Ada tuh teman dekatnya si Ubay. Dia notaris juga," ucap Bella serius. Ubay adalah adik bungsu Bella yang kini
Pagi mulai menjelang. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara spesial. Meski begitu tak bisa dipungkiri kalau hatiku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar takut kalau Mas Bima tahu apa yang kurencanakan.Sesuai rencanaku dengan Bella kemarin, pagi ini aku harus selesaikan urusan pertanda tanganan. Semakin cepat akan semakin baik, katanya dan aku pun mengiyakan saja. [Bel, nanti kalau aku miscall, kamu langsung telepon Mas Bima, ya? Deg-deg an aku nih]Kukirimkan pesan pada Bella sembari menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Sedangkan Bik Marni sedang menjemur pakaian di belakang. [Oke. Aku tunggu miscall dari kamu sambil nonton tivi] Kumasukkan kembali ponsel ke saku gamis. Yuka dan Yuki juga sudah siap berangkat sekolah. Formulir dan surat penguasaan sudah ada di atas kulkas. "Sarapan nasi goreng spesial dulu ya, sayang," ucapku pada si kembar yang sudah duduk di kursi makan. Mereka tampak begitu antusias melihatku menyiapkan nasi goreng sosis dengan telur ceplok di
Pov BimaAmelia. Aku mengenalnya saat duduk di bangku perkuliahan. Dia gadis yang baik, sopan, pekerja keras dan keibuan. Semangat dan sikap pantang menyerahnya membuatku semakin kagum. Selain pintar, dia juga murah senyum meski kutahu kehidupan sehari-harinya begitu pas-pasan atau mungkin kekurangan. Aku sering membuntutinya saat pulang kuliah. Dia bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan perawatan ibunya. Apalagi kulihat dia masih memiliki seorang adik perempuan yang masih sekolah juga.Masih ingat bagaimana aku dulu berkenalan dengannya di perpustakaan. Dia terlihat sangat ramah hingga tak butuh waktu lama aku bisa akrab dengannya. Banyak sainganku saat itu. Wajar saja karena Amel memang sosok gadis yang pantas untuk dicintai siapa pun. Namun entah mengapa dia justru menerima cintaku saat itu. Dia bilang merasa nyaman saat ngobrol denganku. Tak butuh waktu lama aku langsung melamar dan menikah secara sederhana dengannya. Apalagi saat itu ayah masih ada, dia juga memintaku unt
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba