Layar handphoneku menyala. Entah mengapa tiba-tiba Mas Denis menelepon. Meski sedikit gugup akhirnya kuangkat panggilan darinya. "Assalamu'alaikum, Mas. Ada apa?" tanyaku mengawali pembicaraan. "Wa'alaikumsalam, Mel. Ah nggak ada apa-apa sekadar pengin dengar suaramu saja. Seharian ini aku belum meneleponmu, kan?" balasnya dengan tawa kecil. Aku hanya mengangguk pelan meski kutahu dia tak mungkin melihat anggukanku. "Soalnya tadi aku cukup sibuk, antar Bima kencan hahaaa." Suara tawanya terdengar begitu riang. Dia mengantar kencan Mas Bima? Nggak salah dengar 'kan aku? Jika memang begitu, kenapa perempuan bernama Aina itu justru tak memasang fotonya bersama Mas Bima, tapi justru mengunggah fotonya bersama Mas Denis? "Kencan, Mas?" tanyaku singkat."Iya, kencan. Kamu tahu kencan dong, Mel. Apa sudah lupa rasanya kencan? Makanya ayo buruan nikah biar bisa kuajak kencan tiap hari." Lagi-lagi Mas Denis terkekeh sembari modus mengkaitkan kisahku dengannya. Suara tawanya terdengar tak
Sekitar pukul delapan pagi, Mas Denis benar-benar datang menjemputku ke rumah setelah aku pulang dari sekolah si kembar. Dengan gamis berwarna coklat muda dan jilbab senada, aku menemuinya di ruang tamu. Dia tersenyum kecil melihat penampilanku, membuat diri ini sedikit salah tingkah karenanya. "Kenapa salting begitu? Nervous banget ya ketemu calon suami yang tampan ini?" guraunya kemudian membuat wajahku makin memerah, mungkin sudah seperti udang rebus. "Kamu selalu cantik dengan busana apa pun," ucapnya memuji, membuat hatiku kembali berbunga. Ah, bukankah perempuan memang suka sekali dengan pujian dan Mas Denis memang salah satu lelaki yang doyan sekali memuji. Apapun itu. "Berangkat sekarang?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan kepala. Mas Denis tersenyum lalu beranjak dari sofa. Aku beriringan dengannya menuju mobil yang parkir di depan rumah. Dengan cekatan Mas Denis membukakan pintu mobilnya untukku. Seperti seorang nyonya aku duduk di sampingnya. Dalam perjalanan m
Perjalanan pulang kali ini kulewati dengan diam. Entah mengapa mendadak gelisah tiap kali mengingat ucapan Mas Denis di kantor tadi bahwa dia akan melamar ku dua bulan lagi. Jujur aku memang tak ingin terlalu dekat dengan non mahram begini, tapi untuk menjalin hubungan serius jelas trauma itu belum sirna. Bayang-bayang Mas Bima dan Dinda di kamar yang begitu mesra dan penuh cinta itu masih cukup membuatku tersiksa. Sekalipun berulang kali aku berusaha menepis dan melupakannya. "Hey, kenapa melamun? Apa ada yang salah dariku?" Mas Denis sepertinya tahu apa yang mengusik benakku saat ini. "Katakan saja yang mengganjal hatimu supaya aku juga bisa introspeksi," ujarnya lagi membuatku semakin tak enak hati. Kuhela napas panjang lalu menoleh ke arahnya yang masih fokus di balik kemudi. Lelaki berwajah tampan itu menoleh sekilas, tatapan kami bertemu, tapi setelahnya sama-sama mengalihkan pandangan. "Kenapa? Apa soal lamaran yang dua bulan lagi itu?" Tebakan Mas Denis tepat. Dia memang
POV : BIMA "Dua bulan lagi kami akan menikah, Bim. Doakan semua berjalan lancar, ya? Kami doakan hubunganmu dengan Aina juga lancar sampai pelaminan." Ucapan Denis beberapa hari yang lalu benar-benar mengganggu konsentrasiku. Begitu polosnya dia, tak mengira jika aku berusaha menusuknya dari belakang untuk kedua kalinya. Kadang aku merasa bersalah padanya, tapi jika mengingat hubungannya dengan Amelia, rasa bersalah itu pudar seketika. Mereka akan menikah dua bulan lagi. Dua bulan lagi, Bima. Dua bulan lagi. Pikiranku kacau. Rencana awal untuk membuat hubungannya dengan Amilia renggang sudah gagal. Sepertinya aku harus menyusun rencana kedua untuk menggagalkan rencana pernikahan mereka, tapi bagaimana? Apa yang harus kulakukan agar mereka berdua putus kembali di tengah jalan? Apa rencanaku untuk membuat mereka gagal di pelaminan? Kini, pikiranku seolah buntu. Tak ada ide untuk membuat mereka perlahan menjauh. Aku merasa, semakin keras usahaku memisahkan mereka berdua, semakin deka
POV : BIMA Setelah ngobrol cukup panjang dengan Zidan, dia pun pamit pulang. Laki-laki yang dulu gagah itu benar-benar jauh berubah. Kini tubuhnya semakin kurus dengan mata cekung. Terlihat jelas jika dia sedang sakit keras. Zidan pergi sendirian ke rumah sakit karena tak punya siapa-siapa di kota ini selain teman-teman kantornya. Sekarang dia sudah tak lagi bekerja. Mungkin karena itu pula mau tak mau memaksanya kemana-mana sendirian. Tak enak juga jika terus minta bantuan bukan? Sementara teman-temannya pasti juga memiliki kesibukan. Setelah menunggu beberapa menit, seorang perawat memanggil nama ibu. Aku pun mengajak ibu masuk ke ruangan dokter. Tensi ibu cukup tinggi, karena itulah dokter cantik bernama Erika itu memintaku untuk menjaga kondisi ibu jangan sampai drop kembali. Sembari konsultasi, dokter menuliskan resep untuk ibu. Setelah kurasa cukup, dia pun memberikan resep itu untuk kutebus di apotek. Cukup lama mengantri obat hingga akhirnya semua urusan ceck up ibu beres.
POV : DINDA Aku tak tahu mengapa terlalu banyak masalah yang harus kuhadapi akhir-akhir ini. Banyak kesialan seolah terus mengejar langkahku. Menikah dengan Mas Hamzah yang kupikir akan menjadi pernikahan terkahirku, hidup bahagia dengan bergelimang kemewahan, memiliki anak-anak cantik dan tampan, ternyata tak sesuai dengan harapan.Berita tentang Mas Hamzah yang dulu selalu kuacuhkan ternyata memang benar. Dia pelit, sangat perhitungan, kasar, apalagi kalau ada masalah di kantor seringkali terbawa ke rumah hingga berakhir pada KDRT. Di tambah anak semata wayangnya bernama Angga itu, tiap hari tingkahnya makin membuatku pusing kepala. Dia memerintah seenaknya. Tak peduli aku capek ataupun sibuk dengan pekerjaan lain, seolah perintahnya adalah hal wajib yang harus kulakukan saat itu juga. Angga benar-benar tak menghormatiku sebagai mama sambungnya melainkan hanya sekadar pembantunya saja. Tiap kali aku lapor Mas Hamzah, yang kudapatkan hanya makiannya. Dia bilang aku tak sabaran me
POV : DINDA "Mas, aku sakit. Sepertinya aku harus ke dokter sekarang. Badanku lemas sekali," kataku di suatu malam saat Mas Hamzah beranjak ke atas ranjang. "Oke, besok biar dokter Santi ke sini memeriksamu," jawabnya singkat sembari menoleh sesaat. "Tapi aku ingin melihat dunia luar, Mas. Aku agak bosan selalu di rumah sendirian," jawabku lagi, berharap di tengah sakitku ini dia mengajakku ke luar meski sekadar ke rumah sakit."Wanita sholehah lebih senang di dalam rumah bukan di luar rumah," jawabnya acuh. Jawaban yang begitu menyebalkan, tapi aku sudah mengira jika itulah jawaban yang akan dia berikan. Mas Hamzah benar-benar mengurungku seperti hewan piaraan yang nggak bisa bebas keluar rumah. "Aku benar-benar bisa gila kalau kamu perlakukan seperti ini terus, Mas. Aku manusia bukan hewan piaraan yang harus dikurung setiap saat!" Antara sadar dan tak sadar aku berteriak cukup keras di sampingnya. Dengan mata merah penuh amarah, Mas Hamzah menampar pipiku dua kali. Sakit sekal
"Kapan siap aku lamar?" Mas Denis kembali menanyakan hal yang sama entah sudah berapa kalinya. Awalnya aku memang masih maju mundur, tapi setelah melihat foto-fotonya bersama perempuan lain itu mendadak ketakutanku muncul. Aku merasa ada banyak fitnah dan usaha orang lain untuk memisahkan kami berdua. Mungkin mereka pikir karena belum ada janur kuning melengkung, makanya masih bebas mencuri hatiku ataupun Mas Denis. Setelah berpikir cukup matang beberapa hari belakangan, kini aku sudah memantapkan hati untuk menerima lamaran Mas Denis secepatnya. Kurasa memang baiknya lebih cepat terikat dalam kehalalan. Setidaknya untuk tanda hubungan seriusku dengan Mas Denis yang notabene memang digandrungi banyak perempuan. Semoga saja setelah diikat, mereka lebih menghargai dan tak lagi berusaha memisahkan hubungan kami. "Kapanpun kamu mau aku siap, Mas," balasku lirih, tapi kutahu jawaban itu membuatnya cukup shock dan tak percaya begitu saja hingga mengulangi pertanyaannya. "Kapan siapnya?
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba