"Kamu yakin mau menikah dengan Denis, Mel?" tanya Mas Bima yang pagi ini tiba-tiba datang ke rumah, padahal tak ada kabar sebelumnya jika dia akan bertemu dengan anak-anak. "Kenapa tanya begitu, Mas? Bukannya kamu tahu jika dulu bahkan sebelum menikah denganmu, aku dan Mas Denis juga sudah berencana menikah?" Aku balik tanya saat melihat gurat tak suka di wajahnya. Mas Bima menghela napas panjang lalu kembali menyandarkan punggungnya ke sofa ruang tamu. "Iya, aku tahu, tapi-- "Tapi kenapa? Mas Denis lelaki yang baik dan setia. Buktinya sampai sekarang dia belum menikah dan masih menggenggam cintanya padaku. Lagipula anak-anak juga menyukainya. Jadi, tak ada yang kutakutkan bukan?" Aku tersenyum tipis. Andai dia peka, aku tengah menyindirnya yang tak setia dan berusaha mencuci otak si kembar untuk menolak Mas Denis. Aku tahu jika Mas Bima cemburu melihat kedekatan anak itu dengan calon ayah sambungnya. "Aku minta maaf karena sudah mengkhianati kepercayaanmu, Mel." Mas Bima mendong
Malam ini, kulihat laki-laki itu duduk di ruang tamu bersama mama dan keluarga besarnya. Dia datang dengan niat yang tulus untuk melamar. Aku benar-benar terharu melihat ketulusan Mas Denis dan mamanya yang mau menjadikanku bagian dari keluarga mereka. Aku yang tak punya siapa-siapa kecuali Yuki dan Yuka saja. Orang tua pun sudah kembali ke sisiNya. Setelah mengungkapkan apa yang dia inginkan, Mas Denis pun tersenyum sembari menunggu jawaban yang akan kuberikan. Tak ingin mengukur waktu lagi dan lagi aku menerima lamarannya dengan sepenuh hati. Ada banyak harapan yang kusimpan dalam dada. Salah satunya berharap ini akan menjadi lamaran terakhir dalam hidupku dan semoga Allah melancarkan pernikahanku dengan Mas Denis hingga sah di mata hukum agama dan negara. Mas Denis memberikan satu set perhiasan cukup mewah untukku. "Amelia, perhiasan yang kuberikan mungkin tak seberapa harganya, tapi cinta yang kusuguhkan begitu tulus dan istimewa. Aku ingin menghapus jejak-jejak luka yang pern
"Mas Bima, Ibu ... silakan masuk." Aku cukup shock melihat kedatangan mereka, tapi sebisa mungkin bersikap ramah seperti biasanya. Sengaja aku tak mengabari ibu soal lamaran ini karena aku ingin mengundangnya di acara pernikahan nanti. Namun, Mas Bima sepertinya membocorkan kabar bahagia ini pada ibu."Kamu sudah selesai lamaran, Mel?" tanya ibu setelah duduk di sampingku. "Alhamdulillah sudah selesai, Bu. Ohya, ini mamanya Mas Denis. Ibu sudah kenal kan, dulu Mas Bima juga sering menginap di rumah Tante Rosita." Ibu mengangguk lagi saat aku memperkenalkannya dengan Tante Rosita. Keduanya saling jabat tangan dan cipika-cipiki lalu saling tanya soal kabar. Aku yakin Mas Bima sudah menceritakan pada ibu apa dan siapa yang menjadi calon suamiku saat ini. Jadi, aku tak perlu menceritakan apapun padanya. Para tamu menikmati hidangan yang kusajikan, begitu pula ibu dan Mas Bima yang datang belakangan. Sesekali kulirik Mas Bima yang menatapku lekat dari tempat duduknya, sementara Mas De
Aku mencoba kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik. Dua gadis kembarku teriak kegirangan saat aku mencoba kebaya itu. "Mama cantik banget ya, Ki?" teriak Yuka dengan mencolek lengan Yuki saudara kembarnya. "Iya, Ka. Cantik pakai banget, apalagi kalau mama senyum gitu, pokoknya cantik sekali," timpal Yuki kemudian. Dia tersenyum lebar setelah memuji kecantikanku dan kebaya yang kukenakan. Pasca lamaran tiga minggu lalu, hubungan Mas Denis denganku dan si kembar semakin dekat. Dia benar-benar menunjukkan kesiapan dan keseriusannya untuk menjadi pendampingku dan papa sambung kedua anakku. Sejak saat itu pula, si kembar semakin mengerti bahkan justru memintaku untuk segera menikah dengan Mas Denis. Mungkin karena melihat keseriusan dan ketulusannya, jadi si kembar pun merasakan bahwa kasih sayang yang Mas Denis berikan bukan sekadar kasih sayang semu. Lagipula mereka juga membutuhkan sosok seorang ayah, yang selama
Kebahagiaan yang selama ini kuimpikan sudah ada di depan mata. Cinta dan ketulusan Mas Denis membuat hari-hariku berubah warna, tak kelabu seperti dulu. Senyum dan tawa kembali kugenggam. Pelukan hangat Tante Rosita semakin membuatku nyaman dan yakin jika ini memang kebahagiaan yang pantas kudapatkan. Iya, setelah sekian lama merasakan kesakitan, kini Allah mengirimkan dua malaikat tak bersayap itu untuk mengubah duniaku. Tak hanya aku, tapi juga kedua anakku, Yuki dan Yuka. Hari-harinya yang sering hampa tanpa kehadiran sosok ayah, sebentar lagi akan tergantikan dengan sosok Mas Denis yang tulus menyayanginya. Entah mengapa, mendadak teringat pada Dinda. Aku tak tahu bagaimana keadaannya sekarang dan dimana dia tinggal. Hanya saja, pertemuan terakhirku dengannya saat di kebun binatang itu sering kali mengganggu. Dia terlihat tak baik-baik saja. Gadis kecil yang dulu kurawat dengan cinta dan kasih sayang itu, telah berubah menjadi gadis dewasa yang cantik, menarik dan menakutkan un
POV : BIMATak bisa kujelaskan bagaimana rasa ini. Melihat dia bersanding dengan orang lain, rasa cemburu mulai menyesaki hati meski kutahu Denis memang cinta pertamanya dan dia pun cinta pertama Denis sahabatku itu. Tapi dada ini begitu sesak, kesal merambat dan menyebar di dalam hati hingga bibir pun tak kuasa mengulum senyum. Mendung, gelap gulita. Rasanya enggan menyapa meski mereka berdua ada di depan mata.Berbagai upaya sudah kujalankan, permintaan maaf sudah kulakukan namun apa daya. Amelia memang sudah tak ada rasa. Mungkin cintanya telah mati bersama pengkhianatanku saat itu. Argh! Menyesal itu pasti. Tapi apa gunanya, toh semua sudah terjadi. Aku tak mungkin bisa membalikkan keadaan seperti semula. Mungkin memang inilah jalan takdirku dan takdirnya. Dia kembali pada orang yang bisa membuatnya bahagia.Sebab aku gagal. Gagal menjadi orang yang mencintai dan dicintainya secara sempurna. Jika membayangkan semua kisah yang sudah terlewati, degub jantung ini berpacu sedemikian
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba