Dalam perjalanan, aku hanya menjadi pendengar setia cerita si kembar dengan tante Rosita. Mereka terlihat begitu akrab, sesekali Mas Denis pun ikut menimpali cerita mereka. Pemandangan yang entah mengapa menyelipkan rasa lega dan bahagia tersendiri dalam dada. Sampai tempat tujuan, Mas Denis segera membeli tiket untuk kami semua dan mulai melangkah ke dalam kebun binatang yang sejuk karena banyak pepohonan rindang. Di beberapa tempat disediakan kursi-kursi untuk tempat melepas lelah. Tante Rosita dan si kembar tampak asyik menikmati jalan-jalan ini. Mereka asyik ngobrol dan sesekali tertawa. Tak jarang kulihat mereka foto bersama, membuat video atau memotret hewan-hewan yang lucu menurut mereka.Mas Denis berjalan mensejajariku. Dengan santainya beberapa kali memotretku begitu saja tanpa permisi. Dia hanya tertawa kecil saat aku melotot tak suka ke arahnya. Aku memang nggak terlalu suka jika difoto, entah karena apa, tapi dia justru berulang kali mengarahkan kameranya padaku sengaja
"Mbak! Jalannya yang cepet dong! Jangan kayak siput!" Teriakan anak laki-laki itu membuatku tersentak seketika. Aku dan Dinda saling pandang sesaat, tanpa ada sepatah kata pun yang terucap. Dia pun tak mengapa kedua anak kembarku yang mungkin begitu merindukannya. Meski dia penyebab hancurnya rumah tanggaku, tapi Yuki dan Yuka tak terlalu tahu soal itu. Aku pun tak mengajari mereka untuk membenci ayah dan tantenya.Dinda kembali melanjutkan langkahnya menyusul anak laki-laki itu dan suaminya yang sudah melangkah lebih dulu. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Dinda? Apa dia memang tak bahagia? Bukankah dia bilang laki-laki itu adalah calon suami idamannya? Namun, mengapa tak ada keceriaan di wajahnya saat berpapasan denganku tadi?Berbagai pertanyaan masih terus berputar di benak hingga kulihat si kembar sudah saling berkejaran di depanku bersama tante Rosita, sedangkan Mas Denis masih duduk di sebelahku sambil memotret aktivitas mereka."Sekarang mama sama Om Denis ya, Oma." Teriakan
[Makan siang ke cafe depan kantor mau?Kalau mau nanti aku jemput] Pesan Mas Denis baru sempat kubaca setelah menjemput dua gadis kecilku dari sekolah. Aku tersenyum tipis lalu gegas membalas pesan yang dikirimkannya. [Boleh, Mas. Ajak anak-anak sekalian boleh?] Aku membalasnya singkat lalu meminta anak-anak untuk segera membersihkan badan dan ganti baju sebelum melakukan aktivitas lainnya. [Justru harus ada anak-anak. Aku lebih kangen sama mereka dibandingkan sama mamanya] Lagi-lagi senyumku mengembang saat membaca balasan Mas Denis yang terekam di layar. Aku lega melihat kedekatannya dengan kedua anak perempuanku. Mas Denis memang berusaha mendekati mereka sebelum mendekatiku. Ketulusan dan perhatiannya pada anak-anakku membuat hati ini semakin yakin jika dia akan menjadi ayah sambung yang baik untuk Yuki dan Yuka. [Bener nih? Aku cemburu] Hanya itu yang kukirimkan padanya. Tak lama setelahnya Mas Denis kembali membalas pesan yang kukirimkan. [Yuki sama Yuka memang secantik
POV : BIMA Hampir dua bulan aku bekerja sebagai manager di perusahaan ini. Suasananya cukup nyaman. Teman-teman kantor juga asyik dan seru, termasuk Aina. Aku tak menyangka jika gadis cantik dan supel itu ternyata menyukai Denis. Awalnya aku tak tahu, hanya saja beberapa kali kuperhatikan kegugupannya saat bertemu, tak sengaja berpapasan atau beradu pandang dengan Denis membuatku semakin yakin ada cinta di hati Aina untuk mantan sahabatku itu. Denis yang kukira bekerja sebagai manager sama sepertiku ternyata dia justru menjadi direktur di perusahaannya sendiri yang berlokasi tepat di samping kantorku bekerja. Aku baru tahu jika sekarang dia memiliki tiga perusahaan dengan bidang yang sama dan semuanya berkembang dengan baik. "Pak, kok malah bengong. Apa ada masalah?" tanya Aina cukup mengagetkan. Aku tersentak seketika mendengar pertanyaannya barusan. Baru menyadari jika aku dan dia masih makan siang di Bianglala Cafe, tepat di depan kantor kami. "Sorry, Ain. Jadi, kamu beneran s
POV : BIMA Aku cukup mengenal Aina. Dia termasuk karawan yang bisa diandalkan. Untuk masalah kali ini, aku yakin dia bisa menjalankan rencana yang sudah tersusun rapi itu dengan baik. Selain pintar, gesit dan supel, dia juga mudah bergaul dengan siapa pun. Itu yang membuatku cukup nyaman jika ngobrol dengannya, meski usiaku dan dia terpaut cukup jauh hampir sepuluh tahun. Kurasa tak hanya aku, tapi karyawan lain pun banyak yang menyukai sosoknya. Sebelum jam makan siang habis, aku dan Aina harus sudah kembali ke kantor. Sampai tempat parkir, kulihat Denis baru saja mematikan ponselnya. Entah siapa yang dia telpon tadi. Namun, mendadak ada cemburu yang kini kurasakan saat melihatnya senyum-senyum sendirian pasca mematikan obrolannya. "Den!" Sengaja kupanggil dia agar menoleh. Setidaknya untuk memperbagus misiku dengan Aina yang kini masih berada di sampingku. Aku yakin, Denis akan semakin yakin jika saat ini aku memang sedang dekat dengan Aina. Dia tak akan menaruh curiga dengan r
Pov : AmeliaBeberapa foto dinner seorang perempuan dan laki-laki tiba-tiba muncul di timeline facebookku. Sosok laki-laki yang begitu kukenal duduk manis di hadapan perempuan berhijab ungu muda itu. Aku tak kenal pasti siapa yang mengunggah foto itu di sana, meski sudah berteman di medsos. Nama akunnya Aina Rahma. Akun facebook yang aku ingat betul baru beberapa hari lalu meminta pertemanan padaku dan entah mengapa aku mengkonfirmasi pertemanan itu begitu saja.Tak ada rasa curiga atau aneh sebab sesekali aku memang biasa mengkonfirmasi pertemanan di medsos. Kupikir, tak ada salahnya berteman dengan banyak orang di dunia maya. Dengan begitu aku juga bisa mempromosikan restoku di sana. Barang kali salah satu dari mereka akan menjadi konsumen tetapku kan? [Si Bos kantor sebelah] Begitu caption yang tertulis di sana. Ada rasa cemburu yang membuncah dalam dada. Meski foto itu terlihat biasa, tapi hati tak bisa berdusta. Aku memang cemburu melihat makan malam mereka. Tak paham meng
Layar handphoneku menyala. Entah mengapa tiba-tiba Mas Denis menelepon. Meski sedikit gugup akhirnya kuangkat panggilan darinya. "Assalamu'alaikum, Mas. Ada apa?" tanyaku mengawali pembicaraan. "Wa'alaikumsalam, Mel. Ah nggak ada apa-apa sekadar pengin dengar suaramu saja. Seharian ini aku belum meneleponmu, kan?" balasnya dengan tawa kecil. Aku hanya mengangguk pelan meski kutahu dia tak mungkin melihat anggukanku. "Soalnya tadi aku cukup sibuk, antar Bima kencan hahaaa." Suara tawanya terdengar begitu riang. Dia mengantar kencan Mas Bima? Nggak salah dengar 'kan aku? Jika memang begitu, kenapa perempuan bernama Aina itu justru tak memasang fotonya bersama Mas Bima, tapi justru mengunggah fotonya bersama Mas Denis? "Kencan, Mas?" tanyaku singkat."Iya, kencan. Kamu tahu kencan dong, Mel. Apa sudah lupa rasanya kencan? Makanya ayo buruan nikah biar bisa kuajak kencan tiap hari." Lagi-lagi Mas Denis terkekeh sembari modus mengkaitkan kisahku dengannya. Suara tawanya terdengar tak
Sekitar pukul delapan pagi, Mas Denis benar-benar datang menjemputku ke rumah setelah aku pulang dari sekolah si kembar. Dengan gamis berwarna coklat muda dan jilbab senada, aku menemuinya di ruang tamu. Dia tersenyum kecil melihat penampilanku, membuat diri ini sedikit salah tingkah karenanya. "Kenapa salting begitu? Nervous banget ya ketemu calon suami yang tampan ini?" guraunya kemudian membuat wajahku makin memerah, mungkin sudah seperti udang rebus. "Kamu selalu cantik dengan busana apa pun," ucapnya memuji, membuat hatiku kembali berbunga. Ah, bukankah perempuan memang suka sekali dengan pujian dan Mas Denis memang salah satu lelaki yang doyan sekali memuji. Apapun itu. "Berangkat sekarang?" tanyanya yang kujawab dengan anggukan kepala. Mas Denis tersenyum lalu beranjak dari sofa. Aku beriringan dengannya menuju mobil yang parkir di depan rumah. Dengan cekatan Mas Denis membukakan pintu mobilnya untukku. Seperti seorang nyonya aku duduk di sampingnya. Dalam perjalanan m
Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah
Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak
"Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan
Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam
Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te
Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,
Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me
Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b
"Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba