NARASI ZAYLIE I April 1974/7 Tahun Sejauh yang bisa kuingat, aku tinggal di sebuah panti asuhan kecil di pinggiran desa. Tempat yang nggak seorangpun tau keberadaannya. Setiap paginya kami akan melakukan upacara bendera yang hanya dihadiri oleh lima orang dewasa dan empat belas anak-anak yang satu di antaranya hanya bisa menangis. Setelah itu, kami akan berbaris untuk mendapatkan makan pagi yang hanya berisi potongan kecil roti gandum dan segelas air keran. Merasa nggak puas, aku dan beberapa anak lainnya akan menyusup ke gudang penyimpanan setelah jam makan pagi selesai. Kami akan mencari apapun yang bisa di makan—meski itu berupa serangga. Kepala panti asuhan adalah seorang bibi yang mirip babi. Tubuhnya pendek, berlemak dan dia selalu terlihat sedang memakan sesuatu. Aku penasaran apakah jumlah anak yang setiap minggunya berkurang ini ada hubungannya dengan si babi subur itu. Mungkin dia dan para petugas panti mengoyak tubuh kurus anak-anak panti dan membakarnya di pemanggang d
NARASI ZAYLIE I Agustus 1977/10 tahun Selama dua tahun sejak Malam Pelarian Besar anak-anak panti, aku terus berpindah-pindah tempat agar tidak ditemukan. Tapi suatu ketika, aku menemukan sebuah komplotan pencopet cilik yang bekerja untuk seseorang yang memberi mereka tempat untuk pulang. Karena tertarik, aku meminta salah satu pencopet cilik itu untuk mengajakku ke tempat persembunyian mereka. Kini, sudah satu tahun aku tinggal bersama mereka. Setiap harinya, tempat bekerjaku selalu berpindah jika nggak mau tertangkap petugas yang selalu mondar-mandir di setiap sudut kota. Setiap jamnya, mereka akan berkeliling untuk memastikan nggak ada satupun sampah yang berkeliaran. Untungnya, ada beberapa petugas kotor yang menerima uang dan membiarkan kami, para sampah, pergi. Dengan begitu, kami bisa mencopet dengan bebas. “Hasil kerja hari ini sangat bagus! Alastor bakal kasih daging buat makan malam!” seru seorang teman di suatu sore yang hening. “Aku nggak yakin,” sanggahku. “Dengarka
NARASI ZAYLIE April 1974/7 Tahun “Dengan kembalinya si anak pemurung,” kata seorang teman sambil melirikku. “Kita akan lakukan rencana itu malam ini.” “Tapi gimana dengan perlengkapannya?” tanyaku penasaran. “Semua udah kami siapkan saat kau pergi tadi pagi,” jawab seorang teman. “Baiklah. Setelah makan malam, kita akan berpura-pura tidur. Dan saat hampir tengah malam, kita bakal menyusup keluar menuju barat,” jelas seorang teman yang bertindak sebagai pemimpin. “Gimana dengan anak-anak lainnya?” tanyaku lagi. “Oh, kami udah diam-diam memberitahu mereka sejak minggu lalu,” kata si pemimpin. Astaga, aku merasa dikucilkan karena nggak tau banyak hal. “Apa yang aku lewatkan?” “Sejak kami mendengar kalau kau akan di bawa pergi, kami nggak mau memberitahumu—karena kami pikir itu bakal sia-sia dan mungkin aja bakal membahayakan rencana ini.” “Jadi...?” tanyaku nggak sabar. “Kami menemukan bensin di ruang penyimpanan—secara nggak sengaja,” kata si pemimpin. “Jangan bilang kau aka
NARASI ZAYLIE Selasa, 19 Desember 1978/11 tahun Setahun yang lalu aku melarikan diri dari rumah si muka codet dan mulai tinggal di kolong jembatan. Nggak ada yang salah dengan rumah itu selain si muka codet dan si gadis jerawatan yang terus-terusan memukulku. Ada banyak hal yang bisa kupelajari di sana. Makanannya pun juga enak. Teman-teman yang baik dan saling mendukung. Semuanya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan kehidupanku saat masih di panti yang sekarang sudah nggak tersisa itu. Namun malam itu, saat beberapa anak membicarakan tentang panti asuhan yang terbakar, Alastor mengatakan sesuatu seperti, “Si nenek dari panti itu selamat dengan bekas terbakar di sebagian wajahnya. Itu sangat mengerikan. Dia benar-benar terlihat seperti nenek sihir yang telah lama merindukan daging anak-anak kecil! Dan saat ini dia berada di kota ini untuk memburu anak-anak yang melarikan diri itu. Pagi ini, jika kalian ingin tahu, dia datang meminta informasi dengan imbalan permen-permen itu.”
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Aku baru saja menyelesaikan kelas pagiku. Tuan Harmoni, bukan nama aslinya tapi dia selalu berbicara tentang harmoni dalam bermain piano, memaksaku untuk berlatih lebih keras daripada biasanya. Dia bilang kalau pemahamanku tentang tangga nada menurun dan itu membuatnya kesal. Aku tau kalau aku nggak suka berlatih piano, tapi mana ada anak yang bisa memahami semua hal merepotkan itu dalam waktu yang singkat. Kelas pertama di pagi ini sudah membuatku pusing—padahal sekarang baru pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Suasana hatiku akan sangat berantakan pasti, dan aku akan sering tidur di kelas-kelas selanjutnya. Kemudian, para pengajar itu akan mengadu pada paman. Malamnya, paman akan menceramahiku. Aku benar-benar sial hari ini, tapi tentu semua itu akan lewat begitu saja karena ada Freesia, pelayan wanita yang ditugaskan untuk menemani dan membantu segala urusanku. Dia pasti akan melakukan sesuatu untuk menghiburku—sama seperti saat
NARASI IRIS April 1974/8 Tahun Pagi itu aku sedang berjalan-jalan di pasar minggu untuk pertama kalinya. Aku nggak pernah menyukai ide untuk pergi ke sana. Tapi paman memaksaku untuk keluar kamar dan menikmati udara segar di desa. Ayah sedang melakukan pekerjaan di luar kota. Sedangkan Ibu sedang nggak sehat. Freesia sendiri nggak mungkin membantuku melawan paman. Jadi, dengan berat hati, aku menuruti perkataan paman. “Untuk apa kau membawa buku?” tanya paman selama di perjalanan menuju desa sebelah. “Aku nggak mau kehilangan nuansa rumah. Jadi aku membawanya,” jawabku sambil cemberut. “Apa lagi yang kau bicarakan. Aku benar-benar nggak ngerti,” keluh paman dengan wajah yang terlihat lelah meladeniku bicara. “Apakah masih lama?” tanyaku pada paman. “Aku ingin pulang.” “Astaga, Iris. Kita baru saja berangkat. Saat ini..” Paman membuka tirai yang terpasang di jendela mobil. “Kita masih harus mengitari bukit untuk bisa sampai di sana.” “Ha?! Bukankah itu sangat jauh? Kenapa juga
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Kelas berikutnya seharusnya akan segera dimulai, tapi aku masih belum melihat batang hidung si pengajar. Jadi aku putuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Di sini, di lantai dua, ada lima kamar—dua di antaranya difungsikan sebagai ruang kelasku, yang dipisahkan oleh sebuah ruang besar dengan langit-langit tinggi. Ruang besar itu memiliki beberapa sofa nyaman yang menghadap ke jendela-jendela besar. Aku berjalan melewati ruang kosong di samping ruang kelas piano yang baru saja kutinggalkan menuju ruang besar itu—yang biasanya digunakan untuk berkumpul. Di luar jendela itu aku bisa melihat sebuah danau yang bersih airnya di antara pepohonan. Terkadang, aku masih pensaran jika jendela ini sebenarnya adalah sebuah lukisan pemandangan yang sangat besar. Mungkin karena itu juga Ayah sering duduk di sofa ini dan melihat ke luar jendela untuk menenangkan pikirannya—atau hanya untuk sekadar membaca buku, meski dia sebenarnya memiliki ruang baca pri
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Matahari terlihat mulai meninggi. Sinarnya perlahan mendekati bagian luar jendela—menjauhi ruang besar ini. Si pengajar untuk kelas berikutnya mungkin akan terlambat datang. Sebagai hukuman untuknya, aku akan mengagetkannya di pintu masuk! “Iris,” panggil paman. “Aku akan kembali bekerja, jaga sikapmu agar Nyonya Freesia tidak kerepotan.” Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. “Saya juga masih harus melakukan beberapa hal lainnya, Lady Iris,” kata Freesia yang berjalan di belakang paman. “Sampai jumpa nanti.” Mereka berdua berjalan menuruni tangga setengah spiral yang menghubungkan dua lantai rumah ini sambil melakukan percakapan. Mereka memiliki jarak umur yang nggak beda jauh—Freesia yang lebih tua. Mereka juga dua manusia dewasa yang nggak memiliki pasangan. Kupikir mereka akan cocok untuk satu sama lain. Kulihat paman berjalan menuju ruang baca Ayah—yang sekarang menjadi miliknya, dan tidak terlihat lagi. Sedangkan Freesia memanggil
Sebelas Januari di tahun itu merupakan sebuah hari di mana Brightcrown City menerima ucapan selamat tahun baru yang mengejutkan dan mematikan. Melihat bagaimana kondisi stasiun kereta bawah tanah East Brightcrown Tube setelah terjadinya ledakan gas beracun dan sebuah taksi yang secara tiba-tiba meledak dan terbakar di jalan berliku menuju Paradis Hill—siapapun pelakunya, mereka telah benar-benar berhasil melukai hati Lady Viscaria dan para penduduk kota itu. Kepolisian Brightcrown City, tentu saja, menjadi sebuah neraka yang dipenuhi orang-orang dengan emosi yang hampir tidak terkendali setelah laporan terjadinya dua insiden itu masuk dari berbagai penjuru. Kekacauan yang pecah di dalam sana membuat hampir semua orang menjadi sangat sibuk. Namun, melihat bagaimana mengerikannya situasi di East Brightcrown Tube, stasiun kereta bawah tanah itu dengan jelas mendapat perhatian lebih dari para polisi dan petugas medis. Inspektur LeBlanc yang sedang menghabiskan pagi akhir pekannya segera
Si kembar Emily dan Barney Jess—juga Sully Anne, ditempatkan di tiga safehouse yang berbeda. Masing-masing safehouse merupakan tiga bangunan yang dari tampilannya terlihat cukup sederhana di tengah-tengah kota sehingga menjadikannya sebagai sebuah lokasi yang tidak mencolok.Kehidupan ketiga orang itu juga dapat dikatakan sangat baik bagi orang-orang yang sedang bersembunyi. Emily Jess, meskipun di larang menghubungi Keluarga Jess, menjalani kehidupan sehari-harinya dengan menekuni hobi lamanya dan sedikit melakukan eksperimen dengan senyawa-senyawa beracun atas izin Lady Viscaria. Beberapa polisi yang ditugaskan untuk tinggal bersama Emily merasa khawatir dengan apa yang dilakukan wanita itu, namun Lady Viscaria berhasil meyakinkan mereka jika Emily tidak akan menjadikan para polisi itu sebagai kelinci percobaannya.“Apakah Anda benar-benar mengizinkannya melakukan semua percobaan itu?” tanya serang polisi kepada Lady Viscaria setelah terjadi sebuah insiden kecil di laboratorium Emil
Senin, 22 April 2024/09:51 MalamRuang Baca Lady Viscaria“Hanya ada satu hal yang Dia inginkan darimu dan itu bukanlah sikap keras kepala ini! Dengarkan Dia baik-baik, Emily, Ludwig adalah kriminal yang tidak boleh kita sepelekan. Bantu Dia untuk meringkusnya dengan berkata jujur.”Emily terlihat sedikit gentar dan secara perlahan benteng pertahanannya mulai runtuh. Air matanya kembali mengalir dan dengan susah payah wanita itu berusaha menenangkan dirinya.“Akan sangat masuk akal jika alasanmu melakukan semua hal tidak masuk akal ini adalah karena Sully Anne berada dalam situasi yang sulit—situasi yang berbahaya. Namun, sekali lagi Dia ingatkan bahwa wanita itu sudah berada dalam perlindungan-Nya.”Emily mengangguk dengan pasrah, lalu dia berkata, “Itu memang benar. Ludwig memang mengancam akan membunuhnya jika salah satu dari kami berdua tidak melakukan apa yang dikatakannya.”“Kami bedua?” ulang Lady Viscaria. “Kau tidak sedang berbicara tentang Sully Anne.”Lawan bicara wanita pa
Dengan bantuan Vivian, Godfrey menyiapkan teh dan cemilan di dapur. Sedangkan yang lainnya duduk di ruang keluarga dengan ketegangan yang masih tersisa di sana.“Jadi,” ucap Azalea memecah keheningan. “Apa yang ingin kau bicarakan?”“Tunggulah hingga Dia dapat mencium aroma teh yang sedang disiapkan Godfrey.”Jawaban Lady Viscaria benar-benar tidak membantu mengurai suasana yang ada di sana. Azalea menjadi sedikit kesal dengannya dan mulai mengobrol tentang sesuatu yang hanya diketahui olehnya dan Rita.“Siapa yang sedang bersama Anda ini, Inspektur LeBlanc?” tanya Alphonse.“Oh, benar. Dia anggota baru dalam tim saya, Pearce.”Pearce mengangguk kepada Alphonse sambil tersenyum, lalu dia berkata, “Anda pasti putra Lady Viscaria. Saya tahu sedikit banyak kasus yang Anda tangani.”“Apakah Anda memeriksa latar belakang saya?”“Tentu bukan itu maksud saya,” jawab Peace cepat-cepat. “Ketika saya masih berada di Akademi, banyak orang membicarakan kehebatan Anda dalam memecahkan berbagai mac
Rabu, 8 Januari 2025/09:17 PagiRuang Keluarga Wisteria Manor“Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku?” tanya Azalea setelah dirinya merasa cukup dengan basa basi Alphonse. “Kau membuat dirimu terdengan cukup serius tadi.”Rita melirik Alphonse dan berhenti dari permainannya.“Itu benar. Jika ini sesuatu yang serius, saya lebih baik tidak ada di sini.”Alphonse menatap kedua wanita itu secara bergantian dan berkata, “Ini tentang kasus yang kalian tangani sebelum malam panjang yang harus kalian lalui di Hawthorn Lodge.”Mendengar pertanyaan yang tidak terduga dari Alphonse itu, Azalea dan Rita saling bertukar pandang. Rita mengangkat bahunya kepada Azalea—yang membuat wanita itu mengeluh dan menoleh ke arah Alphonse sambil bertanya, “The Frappuccino Murder?”“The what?” tanya Alphonse dengan bingung. “Kau nggak sedang bercanda, ‘kan?”“Aku memang menyebutnya bagitu,” kata Azalea dengan serius.Alphonse hampir tertawa namun disadarinya bahwa tatapan Azalea dan Rita benar
09:33 MalamDengan langkah pendek dan berat, Emily Jess berjalan menuju ruang baca Lady Viscaria. Sesekali dia akan berhenti dan melihat ke luar jendela yang berada di sisi kirinya. Malam itu begitu sunyi dan menyesakkan—hampir-hampir membuat kedua tangan dan kakinya tidak berhenti bergetar. Emily menggenggam tangannya erat-erat di dekat dadanya dan melanjutkan langkah kakinya.“Rasanya seperti sedang menuju tiang gantungan,” gumam Emily.Wanita itu berhenti di depan pintu ruang baca dan memberanikan diri untuk mengetuk. Beberapa saat dia menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Emily mengetuk sekali lagi dengan sedikit lebih keras.“Masuk,” kata suara dari dalam ruang baca.Mendengar suara Lady Viscaria yang begitu dingin dan tegas, Emily segera membuka pintu dengan hati-hati.Ketika pintu terbuka, kondisi di ruang baca cukup mengejutkan Emily.Tidak ada satupun lampu di ruangan itu yang menyala—perapian pun tidak. Satu-satunya cahaya yang menerangi sebagian tempat itu adalah caha
Sebuah mobil polisi memperlambat lajunya ketika berbelok memasuki gerbang Wisteria Manor yang terbuat dari bebatuan setinggi satu meter dengan tiang-tiang besi yang tertancap padanya membentuk sebuah pagar kokoh mengitari kediaman sang detektif. Jalan masuknya yang sedikit berputar mengitari taman bunga dan pepohonan wisteria membuat siapapun yang datang berkunjung akan secara tidak langsung menikmati keindahan pemandangan itu.“Sudah lama saya tidak mengunjungi tempat ini,” kata seorang polisi yang duduk dibelakang kemudi sambil sesekali mengagumi lingkungan tempat tinggal Lady Viscaria.“Kau berbicara seolah-olah ini adalah sebuah lokasi wisata,” sindir Inspektur LeBlanc. “Perhatikan saja jalannya, aku tidak ingin membuat masalah dengan wanita itu.”Polisi yang sedang mengemudi itu tertawa mendengar kata-kata atasannya yang hampir tidak pernah didengarnya ketika sedang bertugas.“Saya selalu menikmati kunjungan ke Wisteria Manor karena selain tamannya yang indah, saya berkesempatan
Ruang makan Wisteria Manor terletak di lantai satu—tepatnya di sebelah kanan foyer. Ruangan itu berbentuk persegi panjang dan memiliki dua sisi terbuka berbentuk L di mana sisi lebarnya menghadap tangga di foyer yang menuju ke lantai dua, sedangkan sisi panjangnya menghadap ke dapur. Malam itu merupakan salah satu malam yang cukup tenang dan hangat di kediaman Lady Viscaria yang hampir setiap waktunya menerima surat-surat berisikan permohonan penyelidikan dan lain sebagainya. Malam itu, Lady Viscaria meletakkan topengnya dan tersenyum dengan kepuasan yang terasa asing. “Ini malam yang menyenangkan,” gumamnya. Dilihatnya Vivian dan Rita yang sedang sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk malam itu sambil sesekali bercanda—yang tentu saja membuat Vivian sering melirik majikannya karena bertingkah saat bekerja. Namun, Lady Viscaria berpura-pura untuk tidak melihatnya dan sebisa mungkin tidak memunculkan pandangan penuh selidik ke arah gadis canggung itu. Di seberang meja makan, Aza
I “Selamat datang, Nyonya,” sambut Vivian dengan penuh perasaan lega. “Biar saya bawakan barang-barang Anda.” “Terima kasih, Vivian.” Gadis itu segera mengambil barang-barang bawaan Lady Viscaria dan membawanya masuk ke dalam rumah, meninggalkan majikannya yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam Wisteria Manor. Lady Viscaria berhenti sejenak sambil memejamkan matanya. Azalea dan Rita yang ada di belakangnya hanya menunggu tanpa pikiran penuh pertanyaan. Bagi mereka, apa yang dilakukan Lady Viscaria adalah sesuatu yang biasa—sebuah ritual yang dilakukannya ketika kembali ke habitatnya. “Sepertinya ada yang baru di sini,” ucap Lady Viscaria. “Aku nggak melihat ada dekorasi baru di sini,” kata Azalea. “Bukan—bukan itu, ada orang lain selain Vivian dan para pelayan lainnya.” Mendengar perkataan Lady Viscaria yang cukup mencurigakan, Azalea dan Rita segera mengambil posisi berisiap untuk kemungkinan terburuk yang dapat mereka alami. Si wanita paruh baya menoleh ke arah me