NARASI ZAYLIE Selasa, 19 Desember 1978/11 tahun Setahun yang lalu aku melarikan diri dari rumah si muka codet dan mulai tinggal di kolong jembatan. Nggak ada yang salah dengan rumah itu selain si muka codet dan si gadis jerawatan yang terus-terusan memukulku. Ada banyak hal yang bisa kupelajari di sana. Makanannya pun juga enak. Teman-teman yang baik dan saling mendukung. Semuanya sangat luar biasa jika dibandingkan dengan kehidupanku saat masih di panti yang sekarang sudah nggak tersisa itu. Namun malam itu, saat beberapa anak membicarakan tentang panti asuhan yang terbakar, Alastor mengatakan sesuatu seperti, “Si nenek dari panti itu selamat dengan bekas terbakar di sebagian wajahnya. Itu sangat mengerikan. Dia benar-benar terlihat seperti nenek sihir yang telah lama merindukan daging anak-anak kecil! Dan saat ini dia berada di kota ini untuk memburu anak-anak yang melarikan diri itu. Pagi ini, jika kalian ingin tahu, dia datang meminta informasi dengan imbalan permen-permen itu.”
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Aku baru saja menyelesaikan kelas pagiku. Tuan Harmoni, bukan nama aslinya tapi dia selalu berbicara tentang harmoni dalam bermain piano, memaksaku untuk berlatih lebih keras daripada biasanya. Dia bilang kalau pemahamanku tentang tangga nada menurun dan itu membuatnya kesal. Aku tau kalau aku nggak suka berlatih piano, tapi mana ada anak yang bisa memahami semua hal merepotkan itu dalam waktu yang singkat. Kelas pertama di pagi ini sudah membuatku pusing—padahal sekarang baru pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Suasana hatiku akan sangat berantakan pasti, dan aku akan sering tidur di kelas-kelas selanjutnya. Kemudian, para pengajar itu akan mengadu pada paman. Malamnya, paman akan menceramahiku. Aku benar-benar sial hari ini, tapi tentu semua itu akan lewat begitu saja karena ada Freesia, pelayan wanita yang ditugaskan untuk menemani dan membantu segala urusanku. Dia pasti akan melakukan sesuatu untuk menghiburku—sama seperti saat
NARASI IRIS April 1974/8 Tahun Pagi itu aku sedang berjalan-jalan di pasar minggu untuk pertama kalinya. Aku nggak pernah menyukai ide untuk pergi ke sana. Tapi paman memaksaku untuk keluar kamar dan menikmati udara segar di desa. Ayah sedang melakukan pekerjaan di luar kota. Sedangkan Ibu sedang nggak sehat. Freesia sendiri nggak mungkin membantuku melawan paman. Jadi, dengan berat hati, aku menuruti perkataan paman. “Untuk apa kau membawa buku?” tanya paman selama di perjalanan menuju desa sebelah. “Aku nggak mau kehilangan nuansa rumah. Jadi aku membawanya,” jawabku sambil cemberut. “Apa lagi yang kau bicarakan. Aku benar-benar nggak ngerti,” keluh paman dengan wajah yang terlihat lelah meladeniku bicara. “Apakah masih lama?” tanyaku pada paman. “Aku ingin pulang.” “Astaga, Iris. Kita baru saja berangkat. Saat ini..” Paman membuka tirai yang terpasang di jendela mobil. “Kita masih harus mengitari bukit untuk bisa sampai di sana.” “Ha?! Bukankah itu sangat jauh? Kenapa juga
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Kelas berikutnya seharusnya akan segera dimulai, tapi aku masih belum melihat batang hidung si pengajar. Jadi aku putuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Di sini, di lantai dua, ada lima kamar—dua di antaranya difungsikan sebagai ruang kelasku, yang dipisahkan oleh sebuah ruang besar dengan langit-langit tinggi. Ruang besar itu memiliki beberapa sofa nyaman yang menghadap ke jendela-jendela besar. Aku berjalan melewati ruang kosong di samping ruang kelas piano yang baru saja kutinggalkan menuju ruang besar itu—yang biasanya digunakan untuk berkumpul. Di luar jendela itu aku bisa melihat sebuah danau yang bersih airnya di antara pepohonan. Terkadang, aku masih pensaran jika jendela ini sebenarnya adalah sebuah lukisan pemandangan yang sangat besar. Mungkin karena itu juga Ayah sering duduk di sofa ini dan melihat ke luar jendela untuk menenangkan pikirannya—atau hanya untuk sekadar membaca buku, meski dia sebenarnya memiliki ruang baca pri
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Matahari terlihat mulai meninggi. Sinarnya perlahan mendekati bagian luar jendela—menjauhi ruang besar ini. Si pengajar untuk kelas berikutnya mungkin akan terlambat datang. Sebagai hukuman untuknya, aku akan mengagetkannya di pintu masuk! “Iris,” panggil paman. “Aku akan kembali bekerja, jaga sikapmu agar Nyonya Freesia tidak kerepotan.” Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. “Saya juga masih harus melakukan beberapa hal lainnya, Lady Iris,” kata Freesia yang berjalan di belakang paman. “Sampai jumpa nanti.” Mereka berdua berjalan menuruni tangga setengah spiral yang menghubungkan dua lantai rumah ini sambil melakukan percakapan. Mereka memiliki jarak umur yang nggak beda jauh—Freesia yang lebih tua. Mereka juga dua manusia dewasa yang nggak memiliki pasangan. Kupikir mereka akan cocok untuk satu sama lain. Kulihat paman berjalan menuju ruang baca Ayah—yang sekarang menjadi miliknya, dan tidak terlihat lagi. Sedangkan Freesia memanggil
NARASI VISCARIA I “Bangunlah tukang tidur!” perintah suara seseorang yang telah lama sering Vis dengar. Vis masih ingin tidur. Tolong segera pergilah. “Bagaimana jika hari ini kita ke taman?” tanya suara seseorang yang sangat menenangkan. “Vis mau tidur lagi.” Vis belum mau membuka mata. Pergilah. “Oh, yang benar saja. Ayo keluar dan bermain!” Suara langkah kaki seseorang itu mendekat dan seseorang itu segera menggoyang-goyangkan tubuh Vis yang belum mau diajak bergerak. “Hentikan, Zee. Vis mohon,” pinta Vis dengan suara yang bergetar karena tubuhnya digerakkan secara paksa. Zee terkadang sangat mengganggu waktu tidur Vis. Itu sangat menyebalkan. Jam tidur Vis nggak sama dengan manusia biasa. Vis spesial. Vis adalah seorang putri. Dirinya butuh waktu tidur yang lebih lama dari kebanyakan orang. “Kau sudah tidur sejak kemarin sore. Tidurmu jelas-jelas berlebihan!” “Vis ingin seperti koala.” “Oh, kau ingin menjadi seperti koala.” “Benar sekali.” Zee seperti sedang berjalan
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Vis terbangun dari tidur panjangnya. Air mata membasahi pipi Vis. Rasanya seperti Vis melihat beberapa kenangan masa lalunya dengan Zee, kakak yang selalu dicintainya. Vis nggak mau kehilangan Zee. Semuanya akan Vis berikan selama Zee bisa bahagia dan nggak lagi merasakan sakit yang selama ini dirasakannya sendirian. Vis membuka matanya dan melihat sekitar. “Nggak ada seorangpun di sini,” kata Vis kecewa. “Dan apa-apaan mimpi barusan? Itu sangat melelahkan, berat dan menyedihkan.” Kamar ini terlihat begitu besar tanpa Zee di dalamnya. Zee selalu membangunkan Vis. Jadi, hari ini pastilah Zee belum kembali sejak semalam. Pagi ini terasa sangat hangat, sangat berbeda dari biasanya. Bulan Desember selalu menghadirkan nuansa dingin yang mengerikan. Tapi, pagi ini terasa sangat nyaman. Vis mencoba menyingkirkan selimut dan mencoba berdiri. Kaki Vis nggak bertenaga sama sekali. Kaki-kaki kecilnya menolak untuk menopang tubuh kurus Vis. “
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Kepala Zee pasti sedang dipenuhi tanda tanya semalam. “Dia siapa?” “IRIS!” Paman menatap Zee dengan sangat tajam. Dia terlihat melotot. Vis pikir matanya akan melompat keluar. “Whanitha… wanita dengan gaungh… mewah. Gaun biru berenda!” Jadi itu nama gadis yang nggak punya kesempatan menang itu? Vis merasa kasihan padanya. Gadis itu terjebak dalam situasi yang sangat nggak menguntungkan. Zee seharusnya bisa menolongnya. Tapi Vis nggak ngerti kenapa Zee nggak mau langsung menolongnya saat itu juga. Tubuh Vis masih gemetaran. Vis nggak sanggup menghadapi keramaian ini secara mendadak. Ini terlalu berlebihan. Vis nggak bisa menahannya. Suara-suara keras dan teriakan seseorang tadi membuat Vis berharap jika dirinya nggak bisa mendengar suara apapun. “Tolong hentikan. Tolong lindungi Vis.” Vis menutup telinganya dan berbicara dengan sangat pelan sampai-sampai Zee nggak mendengarnya. “Paman tenanglah. Paman istirahatlah di sini. Vis, t