[1] Sejenis teh herbal yang dapat menghilagkan stres dan membuat tidur lebih nyenyak
NARASI IRIS April 1974/8 Tahun Pagi itu aku sedang berjalan-jalan di pasar minggu untuk pertama kalinya. Aku nggak pernah menyukai ide untuk pergi ke sana. Tapi paman memaksaku untuk keluar kamar dan menikmati udara segar di desa. Ayah sedang melakukan pekerjaan di luar kota. Sedangkan Ibu sedang nggak sehat. Freesia sendiri nggak mungkin membantuku melawan paman. Jadi, dengan berat hati, aku menuruti perkataan paman. “Untuk apa kau membawa buku?” tanya paman selama di perjalanan menuju desa sebelah. “Aku nggak mau kehilangan nuansa rumah. Jadi aku membawanya,” jawabku sambil cemberut. “Apa lagi yang kau bicarakan. Aku benar-benar nggak ngerti,” keluh paman dengan wajah yang terlihat lelah meladeniku bicara. “Apakah masih lama?” tanyaku pada paman. “Aku ingin pulang.” “Astaga, Iris. Kita baru saja berangkat. Saat ini..” Paman membuka tirai yang terpasang di jendela mobil. “Kita masih harus mengitari bukit untuk bisa sampai di sana.” “Ha?! Bukankah itu sangat jauh? Kenapa juga
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Kelas berikutnya seharusnya akan segera dimulai, tapi aku masih belum melihat batang hidung si pengajar. Jadi aku putuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Di sini, di lantai dua, ada lima kamar—dua di antaranya difungsikan sebagai ruang kelasku, yang dipisahkan oleh sebuah ruang besar dengan langit-langit tinggi. Ruang besar itu memiliki beberapa sofa nyaman yang menghadap ke jendela-jendela besar. Aku berjalan melewati ruang kosong di samping ruang kelas piano yang baru saja kutinggalkan menuju ruang besar itu—yang biasanya digunakan untuk berkumpul. Di luar jendela itu aku bisa melihat sebuah danau yang bersih airnya di antara pepohonan. Terkadang, aku masih pensaran jika jendela ini sebenarnya adalah sebuah lukisan pemandangan yang sangat besar. Mungkin karena itu juga Ayah sering duduk di sofa ini dan melihat ke luar jendela untuk menenangkan pikirannya—atau hanya untuk sekadar membaca buku, meski dia sebenarnya memiliki ruang baca pri
NARASI IRIS Senin, 25 Agustus 1980/14 Tahun Matahari terlihat mulai meninggi. Sinarnya perlahan mendekati bagian luar jendela—menjauhi ruang besar ini. Si pengajar untuk kelas berikutnya mungkin akan terlambat datang. Sebagai hukuman untuknya, aku akan mengagetkannya di pintu masuk! “Iris,” panggil paman. “Aku akan kembali bekerja, jaga sikapmu agar Nyonya Freesia tidak kerepotan.” Aku mengangkat bahu sebagai jawaban. “Saya juga masih harus melakukan beberapa hal lainnya, Lady Iris,” kata Freesia yang berjalan di belakang paman. “Sampai jumpa nanti.” Mereka berdua berjalan menuruni tangga setengah spiral yang menghubungkan dua lantai rumah ini sambil melakukan percakapan. Mereka memiliki jarak umur yang nggak beda jauh—Freesia yang lebih tua. Mereka juga dua manusia dewasa yang nggak memiliki pasangan. Kupikir mereka akan cocok untuk satu sama lain. Kulihat paman berjalan menuju ruang baca Ayah—yang sekarang menjadi miliknya, dan tidak terlihat lagi. Sedangkan Freesia memanggil
NARASI VISCARIA I “Bangunlah tukang tidur!” perintah suara seseorang yang telah lama sering Vis dengar. Vis masih ingin tidur. Tolong segera pergilah. “Bagaimana jika hari ini kita ke taman?” tanya suara seseorang yang sangat menenangkan. “Vis mau tidur lagi.” Vis belum mau membuka mata. Pergilah. “Oh, yang benar saja. Ayo keluar dan bermain!” Suara langkah kaki seseorang itu mendekat dan seseorang itu segera menggoyang-goyangkan tubuh Vis yang belum mau diajak bergerak. “Hentikan, Zee. Vis mohon,” pinta Vis dengan suara yang bergetar karena tubuhnya digerakkan secara paksa. Zee terkadang sangat mengganggu waktu tidur Vis. Itu sangat menyebalkan. Jam tidur Vis nggak sama dengan manusia biasa. Vis spesial. Vis adalah seorang putri. Dirinya butuh waktu tidur yang lebih lama dari kebanyakan orang. “Kau sudah tidur sejak kemarin sore. Tidurmu jelas-jelas berlebihan!” “Vis ingin seperti koala.” “Oh, kau ingin menjadi seperti koala.” “Benar sekali.” Zee seperti sedang berjalan
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Vis terbangun dari tidur panjangnya. Air mata membasahi pipi Vis. Rasanya seperti Vis melihat beberapa kenangan masa lalunya dengan Zee, kakak yang selalu dicintainya. Vis nggak mau kehilangan Zee. Semuanya akan Vis berikan selama Zee bisa bahagia dan nggak lagi merasakan sakit yang selama ini dirasakannya sendirian. Vis membuka matanya dan melihat sekitar. “Nggak ada seorangpun di sini,” kata Vis kecewa. “Dan apa-apaan mimpi barusan? Itu sangat melelahkan, berat dan menyedihkan.” Kamar ini terlihat begitu besar tanpa Zee di dalamnya. Zee selalu membangunkan Vis. Jadi, hari ini pastilah Zee belum kembali sejak semalam. Pagi ini terasa sangat hangat, sangat berbeda dari biasanya. Bulan Desember selalu menghadirkan nuansa dingin yang mengerikan. Tapi, pagi ini terasa sangat nyaman. Vis mencoba menyingkirkan selimut dan mencoba berdiri. Kaki Vis nggak bertenaga sama sekali. Kaki-kaki kecilnya menolak untuk menopang tubuh kurus Vis. “
NARASI VISCARIA Jumat, 19 Desember 1986/8 Tahun Kepala Zee pasti sedang dipenuhi tanda tanya semalam. “Dia siapa?” “IRIS!” Paman menatap Zee dengan sangat tajam. Dia terlihat melotot. Vis pikir matanya akan melompat keluar. “Whanitha… wanita dengan gaungh… mewah. Gaun biru berenda!” Jadi itu nama gadis yang nggak punya kesempatan menang itu? Vis merasa kasihan padanya. Gadis itu terjebak dalam situasi yang sangat nggak menguntungkan. Zee seharusnya bisa menolongnya. Tapi Vis nggak ngerti kenapa Zee nggak mau langsung menolongnya saat itu juga. Tubuh Vis masih gemetaran. Vis nggak sanggup menghadapi keramaian ini secara mendadak. Ini terlalu berlebihan. Vis nggak bisa menahannya. Suara-suara keras dan teriakan seseorang tadi membuat Vis berharap jika dirinya nggak bisa mendengar suara apapun. “Tolong hentikan. Tolong lindungi Vis.” Vis menutup telinganya dan berbicara dengan sangat pelan sampai-sampai Zee nggak mendengarnya. “Paman tenanglah. Paman istirahatlah di sini. Vis, t
NARASI IRIS 15 Desember 1986 “Iris, sayangku, apa kau yakin?” tanya Freesia di suatu malam saat aku secara diam-diam berusaha meninggalkan rumah. “Aku telah lama memikirkannya. Kau juga telah menyiapkan segala hal yang kuperlukan. Aku pasti akan baik-baik saja. Aku pastikan untuk kembali sebelum paman pulang. Yah, kupikir dalam tiga hari kedepan aku akan melihat banyak hal di luar sana. Jadi, tunggulah aku, Freesia.” Sudah puluhan kali aku pergi keluar secara diam-diam. Paman selalu melakukan perjalanan bisnis atau sIbuk dengan pekerjaan detektifnya setiap dua bulan sekali. Biasanya, paman akan pergi selama satu minggu untuk perjalanan bisnisnya dan hampir satu bulan penuh saat paman sedang menangani kasus besar. Minimnya angka kriminalitas di kota ini membuat tidak ada kasus besar yang memerlukan bantuan paman. Namun, beda ceritanya jika itu menyangkut kasus di luar kota. Karena itulah, paman bisa menghabiskan satu a
NARASI IRIS Kamis, 18 Desember 1986/11:07 Malam Aku terus berlari di sepanjang jalan bebatuan malam kota Rosemary. Malam yang dingin, sedikit gerimis. Jalan bebatuan ini cukup basah dan licin. Aku terpeleset beberapa kali. Tangan, kaki, dan wajahku kotor. Gaun yang kukenakan juga kotor dan sebagian kecil dibagian bawah gaunku sedikit robek. Aku menangis. Aku telah salah dalam bertindak. Aku masih tidak percaya jika aku mendatangi bar itu dan bertemu dengan mereka. Mereka berencana untuk memberitahukan segala informasi yang mereka ketahui jika aku dapat mengalahkan mereka dalam sebuah perjudian. Aku tidak membawa banyak uang hari ini karena memang aku tidak biasanya melakukan hal-hal seperti itu. Jadi, aku hanya membawa uang secukupnya. Mereka mengatakan jika apa yang dipertaruhkan tidak harus berupa uang. Selama teruhan itu disetujui oleh kedua belah pihak, perjudian bisa dilakukan. Mereka menantangku dengan
Sebelas Januari di tahun itu merupakan sebuah hari di mana Brightcrown City menerima ucapan selamat tahun baru yang mengejutkan dan mematikan. Melihat bagaimana kondisi stasiun kereta bawah tanah East Brightcrown Tube setelah terjadinya ledakan gas beracun dan sebuah taksi yang secara tiba-tiba meledak dan terbakar di jalan berliku menuju Paradis Hill—siapapun pelakunya, mereka telah benar-benar berhasil melukai hati Lady Viscaria dan para penduduk kota itu. Kepolisian Brightcrown City, tentu saja, menjadi sebuah neraka yang dipenuhi orang-orang dengan emosi yang hampir tidak terkendali setelah laporan terjadinya dua insiden itu masuk dari berbagai penjuru. Kekacauan yang pecah di dalam sana membuat hampir semua orang menjadi sangat sibuk. Namun, melihat bagaimana mengerikannya situasi di East Brightcrown Tube, stasiun kereta bawah tanah itu dengan jelas mendapat perhatian lebih dari para polisi dan petugas medis. Inspektur LeBlanc yang sedang menghabiskan pagi akhir pekannya segera
Si kembar Emily dan Barney Jess—juga Sully Anne, ditempatkan di tiga safehouse yang berbeda. Masing-masing safehouse merupakan tiga bangunan yang dari tampilannya terlihat cukup sederhana di tengah-tengah kota sehingga menjadikannya sebagai sebuah lokasi yang tidak mencolok.Kehidupan ketiga orang itu juga dapat dikatakan sangat baik bagi orang-orang yang sedang bersembunyi. Emily Jess, meskipun di larang menghubungi Keluarga Jess, menjalani kehidupan sehari-harinya dengan menekuni hobi lamanya dan sedikit melakukan eksperimen dengan senyawa-senyawa beracun atas izin Lady Viscaria. Beberapa polisi yang ditugaskan untuk tinggal bersama Emily merasa khawatir dengan apa yang dilakukan wanita itu, namun Lady Viscaria berhasil meyakinkan mereka jika Emily tidak akan menjadikan para polisi itu sebagai kelinci percobaannya.“Apakah Anda benar-benar mengizinkannya melakukan semua percobaan itu?” tanya serang polisi kepada Lady Viscaria setelah terjadi sebuah insiden kecil di laboratorium Emil
Senin, 22 April 2024/09:51 MalamRuang Baca Lady Viscaria“Hanya ada satu hal yang Dia inginkan darimu dan itu bukanlah sikap keras kepala ini! Dengarkan Dia baik-baik, Emily, Ludwig adalah kriminal yang tidak boleh kita sepelekan. Bantu Dia untuk meringkusnya dengan berkata jujur.”Emily terlihat sedikit gentar dan secara perlahan benteng pertahanannya mulai runtuh. Air matanya kembali mengalir dan dengan susah payah wanita itu berusaha menenangkan dirinya.“Akan sangat masuk akal jika alasanmu melakukan semua hal tidak masuk akal ini adalah karena Sully Anne berada dalam situasi yang sulit—situasi yang berbahaya. Namun, sekali lagi Dia ingatkan bahwa wanita itu sudah berada dalam perlindungan-Nya.”Emily mengangguk dengan pasrah, lalu dia berkata, “Itu memang benar. Ludwig memang mengancam akan membunuhnya jika salah satu dari kami berdua tidak melakukan apa yang dikatakannya.”“Kami bedua?” ulang Lady Viscaria. “Kau tidak sedang berbicara tentang Sully Anne.”Lawan bicara wanita pa
Dengan bantuan Vivian, Godfrey menyiapkan teh dan cemilan di dapur. Sedangkan yang lainnya duduk di ruang keluarga dengan ketegangan yang masih tersisa di sana.“Jadi,” ucap Azalea memecah keheningan. “Apa yang ingin kau bicarakan?”“Tunggulah hingga Dia dapat mencium aroma teh yang sedang disiapkan Godfrey.”Jawaban Lady Viscaria benar-benar tidak membantu mengurai suasana yang ada di sana. Azalea menjadi sedikit kesal dengannya dan mulai mengobrol tentang sesuatu yang hanya diketahui olehnya dan Rita.“Siapa yang sedang bersama Anda ini, Inspektur LeBlanc?” tanya Alphonse.“Oh, benar. Dia anggota baru dalam tim saya, Pearce.”Pearce mengangguk kepada Alphonse sambil tersenyum, lalu dia berkata, “Anda pasti putra Lady Viscaria. Saya tahu sedikit banyak kasus yang Anda tangani.”“Apakah Anda memeriksa latar belakang saya?”“Tentu bukan itu maksud saya,” jawab Peace cepat-cepat. “Ketika saya masih berada di Akademi, banyak orang membicarakan kehebatan Anda dalam memecahkan berbagai mac
Rabu, 8 Januari 2025/09:17 PagiRuang Keluarga Wisteria Manor“Jadi, apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan denganku?” tanya Azalea setelah dirinya merasa cukup dengan basa basi Alphonse. “Kau membuat dirimu terdengan cukup serius tadi.”Rita melirik Alphonse dan berhenti dari permainannya.“Itu benar. Jika ini sesuatu yang serius, saya lebih baik tidak ada di sini.”Alphonse menatap kedua wanita itu secara bergantian dan berkata, “Ini tentang kasus yang kalian tangani sebelum malam panjang yang harus kalian lalui di Hawthorn Lodge.”Mendengar pertanyaan yang tidak terduga dari Alphonse itu, Azalea dan Rita saling bertukar pandang. Rita mengangkat bahunya kepada Azalea—yang membuat wanita itu mengeluh dan menoleh ke arah Alphonse sambil bertanya, “The Frappuccino Murder?”“The what?” tanya Alphonse dengan bingung. “Kau nggak sedang bercanda, ‘kan?”“Aku memang menyebutnya bagitu,” kata Azalea dengan serius.Alphonse hampir tertawa namun disadarinya bahwa tatapan Azalea dan Rita benar
09:33 MalamDengan langkah pendek dan berat, Emily Jess berjalan menuju ruang baca Lady Viscaria. Sesekali dia akan berhenti dan melihat ke luar jendela yang berada di sisi kirinya. Malam itu begitu sunyi dan menyesakkan—hampir-hampir membuat kedua tangan dan kakinya tidak berhenti bergetar. Emily menggenggam tangannya erat-erat di dekat dadanya dan melanjutkan langkah kakinya.“Rasanya seperti sedang menuju tiang gantungan,” gumam Emily.Wanita itu berhenti di depan pintu ruang baca dan memberanikan diri untuk mengetuk. Beberapa saat dia menunggu tapi tidak ada jawaban dari dalam. Emily mengetuk sekali lagi dengan sedikit lebih keras.“Masuk,” kata suara dari dalam ruang baca.Mendengar suara Lady Viscaria yang begitu dingin dan tegas, Emily segera membuka pintu dengan hati-hati.Ketika pintu terbuka, kondisi di ruang baca cukup mengejutkan Emily.Tidak ada satupun lampu di ruangan itu yang menyala—perapian pun tidak. Satu-satunya cahaya yang menerangi sebagian tempat itu adalah caha
Sebuah mobil polisi memperlambat lajunya ketika berbelok memasuki gerbang Wisteria Manor yang terbuat dari bebatuan setinggi satu meter dengan tiang-tiang besi yang tertancap padanya membentuk sebuah pagar kokoh mengitari kediaman sang detektif. Jalan masuknya yang sedikit berputar mengitari taman bunga dan pepohonan wisteria membuat siapapun yang datang berkunjung akan secara tidak langsung menikmati keindahan pemandangan itu.“Sudah lama saya tidak mengunjungi tempat ini,” kata seorang polisi yang duduk dibelakang kemudi sambil sesekali mengagumi lingkungan tempat tinggal Lady Viscaria.“Kau berbicara seolah-olah ini adalah sebuah lokasi wisata,” sindir Inspektur LeBlanc. “Perhatikan saja jalannya, aku tidak ingin membuat masalah dengan wanita itu.”Polisi yang sedang mengemudi itu tertawa mendengar kata-kata atasannya yang hampir tidak pernah didengarnya ketika sedang bertugas.“Saya selalu menikmati kunjungan ke Wisteria Manor karena selain tamannya yang indah, saya berkesempatan
Ruang makan Wisteria Manor terletak di lantai satu—tepatnya di sebelah kanan foyer. Ruangan itu berbentuk persegi panjang dan memiliki dua sisi terbuka berbentuk L di mana sisi lebarnya menghadap tangga di foyer yang menuju ke lantai dua, sedangkan sisi panjangnya menghadap ke dapur. Malam itu merupakan salah satu malam yang cukup tenang dan hangat di kediaman Lady Viscaria yang hampir setiap waktunya menerima surat-surat berisikan permohonan penyelidikan dan lain sebagainya. Malam itu, Lady Viscaria meletakkan topengnya dan tersenyum dengan kepuasan yang terasa asing. “Ini malam yang menyenangkan,” gumamnya. Dilihatnya Vivian dan Rita yang sedang sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk malam itu sambil sesekali bercanda—yang tentu saja membuat Vivian sering melirik majikannya karena bertingkah saat bekerja. Namun, Lady Viscaria berpura-pura untuk tidak melihatnya dan sebisa mungkin tidak memunculkan pandangan penuh selidik ke arah gadis canggung itu. Di seberang meja makan, Aza
I “Selamat datang, Nyonya,” sambut Vivian dengan penuh perasaan lega. “Biar saya bawakan barang-barang Anda.” “Terima kasih, Vivian.” Gadis itu segera mengambil barang-barang bawaan Lady Viscaria dan membawanya masuk ke dalam rumah, meninggalkan majikannya yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam Wisteria Manor. Lady Viscaria berhenti sejenak sambil memejamkan matanya. Azalea dan Rita yang ada di belakangnya hanya menunggu tanpa pikiran penuh pertanyaan. Bagi mereka, apa yang dilakukan Lady Viscaria adalah sesuatu yang biasa—sebuah ritual yang dilakukannya ketika kembali ke habitatnya. “Sepertinya ada yang baru di sini,” ucap Lady Viscaria. “Aku nggak melihat ada dekorasi baru di sini,” kata Azalea. “Bukan—bukan itu, ada orang lain selain Vivian dan para pelayan lainnya.” Mendengar perkataan Lady Viscaria yang cukup mencurigakan, Azalea dan Rita segera mengambil posisi berisiap untuk kemungkinan terburuk yang dapat mereka alami. Si wanita paruh baya menoleh ke arah me