_1890 (Era Victoria)_
Kastil Edward Lily tampak megah dan indah. Terletak di atas bukit dengan latar belakang pegunungan. Dan tepat di bagian pintu masuk, terlihat pantai yang membentang luas. Terdapat beberapa serangkaian menara ramping menjulang tinggi di beberapa sisi kastil.
Terdengar derap langkah yang menuruni anak tangga. Seorang wanita berparas manis dengan kulit eksotis, bermata bulat, terlihat sedikit mengangkat rok lebar model lipit yang dia kenakan. Tubuhnya terlihat semampai dengan balutan korset di bagian pinggang. Busana dengan belahan rendah di bagaian dada, semakin membuat Jill Anne terlihat sangat menarik.
Di lantai bawah seorang pelayan sudah menunggu kehadirannya.
"Di mana tamu itu, Esmo?"
Masih dengan kepala yang tertunduk dan tubuh sedikit membungkuk. Esmo menjawab pelan, "wanita itu berada di ruang depan, Nyonya Jill Anne."
Langkahnya bergerak perlahan, diikuti pelayan setianya. Dari jauh Jill Anne berhenti. Pandangan matanya menangkap sosok wanita asing yang sama sekali belum dia kenal.
'Siapa wanita itu?' bisiknya dalam hati.
Dari pakaian yang dikenakan, Jill Anne bisa menebak dia dari golongan mana. Tubuhnya terlihat lebih sexy darinya. Bagian dada dan bokongnya cukup berisi. Bermata bulat lebar dengan senyum yang menggoda. Dia pun terlihat lebih cantik dan muda.
Kehadiran wanita ini, membuat Jill Anne bertanya-tanya. Apalagi saat melihat koper besar berwarna coklat yang berada di samping wanita itu.
Melihat kedatangan Jill Anne, sang wanita yang tampak ramah, tersenyum lebar. Lalu mengulurkan tangannya dengan tubuh sedikit membungkuk. "Beatrix Floy," ucapnya tegas penuh percaya diri.
Jill Anne tak langsung menyambut uluran tangan wanita itu. Dia terus memperhatikan dengan angkuh dan detil. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tak hanya sekali, tapi berulang-ulang.
Walau pun begitu, Beatrix Floy penuh percaya diri membalas tatapan Jill Anne. Tak ada rasa sungkan atau rikuh sama sekali. Seolah dia bukan sedang berhadapan dengan salah seorang dari keluarga bangsawan.
"Siapa kamu?" Suara Jill Anne terdengar tegas dan ketus.
"Haruskah saya ulangi lagi Nyonya Jill Anne? Nama saya Beatrix Floy, istri dari Tuan William Edward."
Bagai petir yang menyambar di siang hari yang terik. Jill Anne terbelalak dengan pengakuan wanita yang berdiri di hadapannya. Dia penuh percaya diri, saat berucap.
"Apa maksud kamu?"
"Satu minggu lalu, Tuan William melamar aku untuk menjadi istrinya. Dan, dia mengajak aku tinggal di kastil besar ini."
Seketika dadanya berdebar-debar kencang. Tarikan napas Jill Anne sangat terlihat jelas. Membuat Beatrix bisa membaca kegelisahan dan kemarahan, yang langsung terpancar di rona wajahnya.
"Kau jangan membuat sebuah candaan yang bisa mengakibatkan kepalamu digantung, Nona!"
"Saya tak sedang bercanda." Lalu dia mengulurkan sebuah surat pada Jill Anne. Jemari tangannya bergetar, saat membuka lembaran surat itu.
"Surat itu menunjukkan bahwa Tuan William memang menikahi saya, Nyonya."
"Ini tidak sah! Perkawainan macam apa ini? Yang ada kamu ini hanya jadi selir atau gundik suamiku!" teriak Jill Anne dengan suara yang bergetar.
Namun, itu tak membuat Beatrix pantang mundur. Dia semakin berani menantang Jill Anne yang mulai frustasi dengan kelakuan suaminya.
"Sebaiknya Nyonya pertemukan aku dengan Tuan William."
Kemarahan sudah sampai puncak kepala. Jill Anne mengangkat tinggi rok lebarnya. Berjalan cepat menuju ruangan pribadi sang suami. Napasnya tersengal-sengal. Sesekali dia mengusap kasar air mata yang menetes.
"Aku tak percaya kau melakukan ini William! Kamu benar-benar keterlaluan. Tak menghargai aku sama sekali!" suaranya berbisik.
Kini langkahnya telah berhenti, di depan pintu sebuah ruangan pribadi William. Tanpa mengetuk terlebih dahulu. Jill langsung masuk dengan kemarahan yang berkobar bagai api panas. Yang siap menyambar siapa saja di dekatnya.
Bruuuaaakkk!
Kedua tangan menggebrak meja kerja William. Sontak lelaki berumur hampir 40 tahun itu, mendongak ke arah istrinya. Dia terpaku geram.
"Ada apa kamu sampai menggebrak meja sekeras ini, Jill?"
"William, kau ini ternyata brengsek! Kurang ajar sekali kau berani-beraninya membawa gundik kamu ke rumah ini! Kau anggap aku ini apa?"
Bruuuaaaakkkk!
Meja pun kembali digebrak keras oleh William. Seolah tak terima dengan perlakuan Jill Anne.
"Diam kau, Jill!" sentak William kasar.
"Ka-kamu ... mengakui wanita itu sebagai istri?"
"Iya. Dia akan tinggal di kastil yang luas ini, Jill. Jadikan dia seorang wanita bangsawan seperti dirimu!"
Hembusan napasnya menderu kuat. Seketika kedua tangan mengepal erat. Rahangnya mengeras, seakan menahan rasa sakit yang kian menghujam palung hati terdalam.
Tanpa banyak kata. Jill Anne berlari kencang dengan mengangkat tinggi rok lebarnya. Diikuti Esmo sang pelayan setia.
"Nyonya ... Nyonya! Mau ke mana?"
Namun panggilan Esmo tak dihiraukannya. Jill Anne terus berlari menuju kandang kuda. Hatinya serasa hancur dan remuk redam.
"Benton! Bentooon ...!" teriak Jill Anne dengan terisak.
Seorang lelaki muda berlari tergopoh-tergopoh menghampiri.
"A-ada apa, Nyonya Jill?"
"Siapkan kudaku sekarang juga!"
"Kuda, Nyonya?" ulang Benton seolah tak percaya.
"Siapkan sekarang! Jangan banyak tanya!"
"Ta-tapi, ini mau turun hujan Nyonya."
"Benton, kau siapkan sekarang atau kau, aku pecat!"
Lelaki muda itu ketakutan dengan ancaman Jill Anne. Dia langsung berlari ke dalam kandang. Tak lama menunggu. Kuda yang bernama Mariana seolah hapal dengan tuannya. Mariana meringkik seakan menyambut kedatangan Jill Anne.
"Bawa aku sekarang ke pantai, Mariana!"
Derap tapak kaki kuda melesat kencang. Hentakan kedua kaki Jill Anne, semakin menambah kecepatannya.
"Hiiiiaaaaaah!"
"Bawa aku pergi jauh, Mariana."
Dari jendela lebar yang berada di lantai dua. William terus memperhatikan kepergian Jill Anne. Pandangan mata yang tajam terus tertuju pada bayangan istrinya, yang kian samar terlihat.
"Seberapa lama kau akan berada di luar kastil ini, Jill? Kau tak akan bisa bertahan."
Suara bariton Wiliiam terdengar lirih. Lalu memperhatikan arah langit yang terlihat sangat mendung. Sembari tersenyum tipis, seolah menganggap kecemburuan istrinya hanya sebuah lelucon.
Hingga sebuah ketukan terdengar.
Tok tok tok!
"Masuklah!"
Esmo sudah berdiri di ambang pintu.
"Maaf, Tuan. Apakah Tuan William tak berniat mengejar Nyonya?"
"Buat apa, Esmo? Dia yang pergi, kenapa aku harus mengejar Jill?"
"Nyonya begitu mencintai Tuan."
"Lalu?"
"Sudilah kiranya Tuan untuk mengejar dan mengajak pulang. Apalagi langit sangat gelap. Saya takut akan ada badai, Tuan William."
"Kalau dia menentang aku, aku akan membiarkan dia. Paham kau Esmo?"
Pelayan setia itu, hanya bisa terdiam.
"Suruh Ester melayani semua keperluan Beatrix. Sebelumnya, antar dia ke ruangan ini dulu Esmo!"
"Baik, Tuan William."
"Tunggu, Esmo!"
Wanita paruh baya itu menghentikan langkahnya. Lalu berbalik.
"Ada apa Tuan?"
"Jangan pernah memberikan nasehat padaku lagi, Esmo. Kau dan aku, pasti lebih pintar aku. Paham?" Dengan suara yang meninggi.
"Maafkan saya, Tuan William."
Langkahnya pun bergegas menuju ruang depan. Tampak Beatrix benar-benar terpesona dengan kemegahan dan keindahan kastil ini.
Tiba-tiba, suara Esmo mengejutkan beatrix.
"Nona, silakan ikuti saya!"
"Akhirnya ...! Bagaimana dengan tas saya ini?"
"Akan ada seorang pelayan yang nanti akan melayani anda, Nona."
"Jangan panggil aku, Nona. Tapi, Nyonya Beatrix," ucapnya dengan tersungging sinis.
Esmo hanya membungkuk. Lalu segera berjalan menuju ruang William. Tak lama, akhirnya mereka pun sampai. Esmo segera meninggalkan mereka.
"Tuan William," bisik Beatrix dengan mata yang berbinar.
***
Cerita hanya imajinasi liar penulis semata.
Ikuti ceritaku yang lain ya.
Kuku Bu Sapto, Elegi Wanita Kedua, Geishaku Karmila.
Esmo hanya membungkuk. Lalu segera berjalan menuju ruang William. Tak lama, akhirnya mereka pun sampai. Esmo pun segera meninggalkan mereka."Tuan William," bisik Beatrix dengan mata yang berbinar.Suara Beatrix terdengar syahdu menggoda. Membuat William mendongak dan mengalihkan pandangannya.Dia melihat seorang wanita muda dan cantik. Yang sedang tersenyum lebar padanya. Seakan ingin menabur kerinduan yang terpendam di antara mereka. Walau perpisahan yang terjadi baru berumur tujuh hari.Sejenak William terpesona. Tubuh seksi Beatrix dipadu pakaian dengan belahan dada yang rendah. Membuat bagian atasnya tersembul indah. Seolah menantang William untuk segera mencumbunya."Kemarilah, Beatrix!"Wanita itu mempercepat langkahnya."Sayang, aku merinduimu," ucap Beatrix manja.William menghentikan aktivitas yang dia lakukan. Dia pun beranjak dari kursi kerjanya. Menyambut wanita muda itu, yang langsung bergelayut manja dan me
Sejenak William terdiam. Pandangannya terpaku melihat guyuran air hujan yang begitu deras."Aku yakin kau akan pulang! Kau tak memiliki apa-apa, Jill. Jadi, pilihanmu tetap kembali padaku."Terlihat senyum William menyeringai dingin. Dengan sorot mata yang tajam. Menatap pada sebuah bingkai lukisan yang tergambar dirinya dan Jill Anne. Dia sangat yakin, jika Jill Anne tak bisa jauh darinya.Tok tok tok!Terdengar suara pintu yang diketuk pelan. Membuat William menoleh. Iris matanya, mendapati sosok Beatrix yang terlihat sangat anggun penuh pesona. Membuat William terbelalak dengan penampilan terbaru wanita cantik itu."Kau, sepertinya terkejut, William?" desah Beatrix tersenyum hangat. Sembari jemari tanganya mempermainkan ujung rambutnya yang terikat ke atas. Berhiaskan bunga myrtle kesukaannya."Tak salah aku memilihmu, Sayang," sahut William yang begitu takjub dengan perubahan penampilan 'istrinya'.
"Tuan ... Tuan!" Terdengar suara Benton yang terus berteriak mencari sosok William. Membuat Ester dan Esmo berlari tergopoh-gopoh berlari menghampirinya. "Kamu ini gila ya?" sentak Esmo berang. "I-ituuuu ...!" "Itu apa?" Benton terus menunjuk ke arah belakang. Di mana tempat kandang kuda berada. Membuat kedua wanita itu saling beradu pandang. "Sebenarnya apa yang kamu lihat?" "Mariana ... Mariana kembali pulang." Sontak raut wajah Ester dan Esmo sumringah. Mereka sangat senang mendengar kabar itu. Lalu bersiap-siap akan menjemput tuannya. "Berhenti! Dengarkan aku dulu bicara!" Kini dia yang menyentak kedua wanita itu. "Ada apa lagi?" "Tak ada Nyonya bersama Mariana," ucap Benton lirih. Tiba-tiba mereka mendengar derap langkah yang keras, menuju arah mereka bertiga. Seketika mereka menoleh dan melihat sosok William sudah berdiri di belakang ketiganya. "Siapa yang datang?"
Lelaki muda itu, menyambut uluran tangan Beatrix dengan sedikit membungkuk."Dokter Aston Dariel.""Seorang Dokter?" ulang Beatrix menggoda.Dengan pandangan tertunduk, lelaki itu mengangguk. Sesekali Aston Dariel mencuri pandang ke arah Beatrix. Dia pun tahu jika Beatrix terus mengamati dirinya. Sampai pandangan mata mereka saling berserobok. Saling beradu antara iris mata yang liar. Lalu keduanya saling melempar senyum. Sangat terlihat jelas, sang dokter terpikat oleh Beatrix yang menawan dan sangat menggairahkan."Silakan kalau mau ke atas, Dok!" Suara Beatrix cukup mengejutkan dokter muda itu."Tapi, anda tak ada yang terluka Nona?""Tak ada sama sekali," jawab Beatrix dengan wajah yang ramah.Robert langsung mengajak dokter muda itu mengikutinya naik ke lantai dua. Menuju kamar Jill Anne."Hemmmm, sosok yang penuh kharisma. Apalagi dokter muda. Sayang, pesonamu masih kalah jauh dari William. William memang benar-bena
Bergegas Beatrix pergi meninggalkan kamar. Dia berlari kecil menaiki anak tangga menuju kamarnya sendiri."Akan ada saatnya, kau merasakan sakit ini! Lihat saja kau wanita sialan!" gerutu Jill Anne.Esmo menghampiri tuannya yang sedang dalam luapan amarah dan cemburu. Jill Anne melirik ke arahnya. Dengan tarikan napas yang tersengal-sengal."Apa, aku salah Esmo?""Nyonya tidak salah sama sekali. Jika itu sebuah kebenaran dalam perasaan Nyonya, tumpahkan semua. Jangan menyisakan sebuah kepedihan hanya untuk menjaga sebuah nama baik.""Begitukah Esmo? Tapi, hatiku masih terlalu sakit dengan sikap William padaku. Apa yang membuat dia sampai memperlakukan aku seperti ni Esmo? Apaaaaa ...?" Suara Jill Anne sampai bergetar.Wanita berkulit hitam legam itu tertunduk. Tak ada tanggapan atau kata yang mampu terucap dari bibirnya."Di mana dia sekarang?""Tuan William?""Iya!""Seperti biasa Tuan sedang berada di ruangannya
Di lantai tiga, kamar Beatrix Floy. Wanita cantik itu berjalan mondar mandir. Sesekali hembusan napasnya tewrdengar keras. Tampak kekesalan di raut wajahnya."Benar-benar sialan, Jill Anne. Seenaknya saja dia menghina aku seperti itu. Aku tak peduli lagi sebutan siapa pun pada diriku yang berada di kastil ini. Yang terpenting aku bisa menikmati kemewahan layaknya para bangsawan itu!""Nyonya!"Tiba-tiba Ester sudah berdiri di ambang pintu."Ada apa, Ester?""Nyonya Jill Anne ingin bertemu dengan Nyonya Floy."Mendengar hal itu, Beatrix tersungging sinis."Untuk apa dia ingin bertemu denganku, Ester? Untuk terus menghina diriku?"Pelayan itu hanya bisa diam tanpa menjawab. Sampai sebuah suara lembut nan tegas terdengar."Aku tidak berniat menghina kamu, Floy."Suara itu membuat Beatrix menoleh ka arah luar pintu. Sosok Jill Anne yang anggun menawan sudah berdiri di sana. Sedang menunggunya untuk keluar.Wala
Keesokan pagi.Ester berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia berlari dengan mengangkat rok, agar geraknya lebih cepat. Saat sampai di depan kamar Jill Anne. Dia terlihat ragu saat hendak mengetuk pintu."Ada apa kamu di sana Ester?"Tiba-tiba, Beatrix Floy sudah berdiri di ujung tangga. Dia melihat ke arah Ester penuh tanya."Apa yang akan kamu lakukan?"Wanita berkulit hitam itu, terlihat resah dan cemas. Dahinya berkerut keras. Serta kedua jemari tangannya saling bertaut dan tak berhenti bergerak."Ada masalah apa Ester? Kamu sampai ketakutan seperti ini?" tanya Beatrix Floy seraya bergerak menuruni anak tangga dan menghampiri dirinya. Rambutnya tergerai sebatas punggung. Masih memakai pakaian tidur berwarna putih gading."Ehhh ... Nyonya Floy. Esmo akan di bawa ke kota atas tuduhan mencuri di kastil ini. Aku sangat yakin dia tak akan melakukannya.""Esmo? Mencuri apa?"Ester hanya menggeleng.
Satu malam berlalu ....Terlihat Jill Anne sedang duduk di depan meja rias. Dia mematut wajah dfan rambutnya. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menyuruh Ester untuk keluar."Ester keluarlah kamu!""Ba-baik Tuan." Ester langsung meletakkan gaun pesta yang dibawa olehnya di atas kasur. Langkahnya terburu-buru pergi.Bersamaan dengan itu, Jill Anne menoleh ke arah pintu kamar. Lalu melanjutkan kembali merias wajah dan rambutnya. Derap langkah William terdengar mendekatinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri."Kau terlihat cantik.""Tak usah kau merayuku William."Sosok lelaki tinggi jangkung itu sedikit membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada telinga Jill Anne. "Bau kau wangi sekali, Sayang.""Berhenti kau berbicara dari dekat seperti itu padaku!"Namun William mengabaikannya. Dia mengusap lembut leher sang istri dan mengecupnya. Sontak membuat Jill Anne berbalik. Lalu mendorong William."Apa-apaan kau ini
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men