Di lantai tiga, kamar Beatrix Floy. Wanita cantik itu berjalan mondar mandir. Sesekali hembusan napasnya tewrdengar keras. Tampak kekesalan di raut wajahnya.
"Benar-benar sialan, Jill Anne. Seenaknya saja dia menghina aku seperti itu. Aku tak peduli lagi sebutan siapa pun pada diriku yang berada di kastil ini. Yang terpenting aku bisa menikmati kemewahan layaknya para bangsawan itu!"
"Nyonya!"
Tiba-tiba Ester sudah berdiri di ambang pintu.
"Ada apa, Ester?"
"Nyonya Jill Anne ingin bertemu dengan Nyonya Floy."
Mendengar hal itu, Beatrix tersungging sinis.
"Untuk apa dia ingin bertemu denganku, Ester? Untuk terus menghina diriku?"
Pelayan itu hanya bisa diam tanpa menjawab. Sampai sebuah suara lembut nan tegas terdengar.
"Aku tidak berniat menghina kamu, Floy."
Suara itu membuat Beatrix menoleh ka arah luar pintu. Sosok Jill Anne yang anggun menawan sudah berdiri di sana. Sedang menunggunya untuk keluar.
Wala
Keesokan pagi.Ester berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia berlari dengan mengangkat rok, agar geraknya lebih cepat. Saat sampai di depan kamar Jill Anne. Dia terlihat ragu saat hendak mengetuk pintu."Ada apa kamu di sana Ester?"Tiba-tiba, Beatrix Floy sudah berdiri di ujung tangga. Dia melihat ke arah Ester penuh tanya."Apa yang akan kamu lakukan?"Wanita berkulit hitam itu, terlihat resah dan cemas. Dahinya berkerut keras. Serta kedua jemari tangannya saling bertaut dan tak berhenti bergerak."Ada masalah apa Ester? Kamu sampai ketakutan seperti ini?" tanya Beatrix Floy seraya bergerak menuruni anak tangga dan menghampiri dirinya. Rambutnya tergerai sebatas punggung. Masih memakai pakaian tidur berwarna putih gading."Ehhh ... Nyonya Floy. Esmo akan di bawa ke kota atas tuduhan mencuri di kastil ini. Aku sangat yakin dia tak akan melakukannya.""Esmo? Mencuri apa?"Ester hanya menggeleng.
Satu malam berlalu ....Terlihat Jill Anne sedang duduk di depan meja rias. Dia mematut wajah dfan rambutnya. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menyuruh Ester untuk keluar."Ester keluarlah kamu!""Ba-baik Tuan." Ester langsung meletakkan gaun pesta yang dibawa olehnya di atas kasur. Langkahnya terburu-buru pergi.Bersamaan dengan itu, Jill Anne menoleh ke arah pintu kamar. Lalu melanjutkan kembali merias wajah dan rambutnya. Derap langkah William terdengar mendekatinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri."Kau terlihat cantik.""Tak usah kau merayuku William."Sosok lelaki tinggi jangkung itu sedikit membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada telinga Jill Anne. "Bau kau wangi sekali, Sayang.""Berhenti kau berbicara dari dekat seperti itu padaku!"Namun William mengabaikannya. Dia mengusap lembut leher sang istri dan mengecupnya. Sontak membuat Jill Anne berbalik. Lalu mendorong William."Apa-apaan kau ini
Mendengar kalimat yang menyakitkan dari Jill Anne. Membuat dia semakin keras menghentakkan kepuasannya atas tubuh sang istri. Yang tak memberikan respon atas kehangatan yang dia berikan."Hentikan William!" teriak Jill Anne dengan terisak.Namun teriakan Jill Anne tak dihiraukannya. Setelah puas menikmati tubuh istrinya. William berlalu begitu saja. Hingga dia menghentikan langkahnya di ambang pintu."Apa kau akan pergi ke pesta Jenderal Benjamin Elmar?"Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Jill Anne."Kalau kau tak menjawab. Aku anggap kau tak mau pergi. Jadi, aku akan mengajak Beatrix."Jill Anne masih meringkuk di atas kasur. Menyelimuti dirinya sendiri dan mengabaikan semua perkataan William.Tanpa hati William pun pergi meninggalkan kamar Jill Anne. Dia menaiki beberapa anak tangga menuju lantai tiga.Tok tok tok!"Beatrix!"Tak lama dia menunggu terdengar suara pintu berderit. Seraut wajah cantik muncul
William!" teriak seorang wanita seumuran Jill, kurang lebih 37 tahun.Mereka berdua berhenti. William dan Beatrix menoleh ke arahnya. Seorang wanita yang cukup cantik dan sangat berkelas. Dia berjalan mendekati mereka dengan tatapan tertuju pada Beatrix Floy."Di mana Jill?""Dia tidak ikut. Kau bisa lihat sendiri 'kan Elena.""Lalu, wanita ini?"Segera Beatrix Floy mengulurkan tangan. "Beatrix Floy, anda cukup memanggil saya Floy!"Elena pun menyambut uluran tangan Beatrix. Namun dari gurat di wajahnya, sangat terlihat jelas banyak pertanyaan yang tertuju pada wanita cantik di hadapnnya."Si-siapa dia William?"William hanya tersenyum dingin. Dia menarik lengan Beatrix untuk mengikutinya."Kenapa kau tak jawab pertanyaan wanita tadi?""Dia teman dekat Jill Anne. Paling besok dia sudah tahu tentang kita.""Ohhh!" Bibir Beatrix membulat sensual.Lalu William berbisik, "Kau bisa tinggalkan
"Panggil aku Nyonya Floy saja, Lady Laurice.""Apakah Nyonya istri Tuan William?"Sesaat keduanya terdiam. Beatrix tak menjawab, begitu juga dengan William."Kalian kok malah diam?"William langsung mengajak Laurice untuk mengambil beberapa makanan. Sampai Elena menghampiri mereka."Lady Laurice?""Nyonya Elena. Senangnya bisa bertemu di sini."Mereka berdua berpelukan hangat. Mengabaikan Beatrix yang berdiri di sebelah William. Dia pun berbisik, "Aku ingin pulang!""Acara belum selesai, Beatrix.""Tapi di sini kamu abaikan aku. Bahkan tak mau mengakui aku sebagai 'istri' kamu!""Aku tak ingin kamu dicemooh. Makanya aku tak memperkenalkan dirimu sebagai istri.""Hemmm ...!"Beatrix dengan kesal sedikit menjauh. Namun tatap matanya terus mengarah pada William yang begitu intens mengajak bicara Laurice. Wanita berambut merah. Sepanas senyumannya yang begitu menggoda William.
Tiba-tiba ...."Laurice!"Sontak dia berbalik."Siapa lelaki tampan tadi?"Tiba-tiba Magdalena sudah berdiri di belakang Laurice."Ohhh, Bibi. Dia Tuan William Edward.""Pemilik kasil Edward Lily?""Bibi tau dia?""Aku mengenal dekat istrinya, Jill Anne. Wanita terhormat dan terpandang dengan kecerdasan dia sebagai pebisnis.""Sehebat itu kah istrinya?"Magdalena mengangguk. Lalu keduanya berjalan masuk rumah."Tapi, kenapa William mempunyai wanita lain?""Benarkah?" Wanita tua itu terperanjat."Iya, Bi. Bahkan ke pesta Tuan Jenderal tadi, William bersama wanita itu.""Pasti gundiknya. Memang tabiat William kurang baik. Dia suka bermain wanita."Laurice langsung terdiam. Dia mengerutkan keningnya. Masih teringat ajakan William padanya untuk makan malam besok."Kenapa kamu diam, Laurice?""Aku hanya memikirkan William dan wanita yang dia ajak tadi, Bi. Dia bila
Seketika wajah Sofia merona. Dia tersipu malu saat William mengatakannya. "Lantas tujuan kamu ke sini tadi apa?" "Nyonya Jill Anne menyuruh Tuan, untuk tidur di kamar Tuan William sendiri." "Keterlaluan dia. Apa Nyonya Beatrix sudah tidur?" "Maafkan saya Tuan. Saya belum ke lantai tiga." Sejenak William mengamati wanita itu darai tempat dia duduk. Dia memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki. "Kau cukup menarik, Sofia. Apalagi bentuk tubuhmu sangat indah." Sofia Malvin yang dipuji, menundukkan kepala. Dia tahu siapa sosok William. Esmo menceritakan keburukan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. Dia pun tak memberikan reaksi sama sekali. "Kenapa kau diam Sofia?" "Saya tak tahu harus bilang apa, Tuan. Makanya saya diam." "Hemmm ... pribadi yang menarik." Sofia memberanikan diri untuk memohon ijin. "Apa masih ada yang Tuan perlukan?" "Kau buru-buru mau ke mana?" "Ma-
Pelayan itu menghampirinya."Bukankah Nyonya ingin dekat dengan kekuasaan?""Apa maksud kalimat itu Ester?"Dari arah jendela, Beatrix yang menoleh sekilas padanya. Dia sangat menikmati pemandang di luar kastil yang mengarah pantai. Deburan ombak yang menabrak batu karang. Memberikan magis tersendiri."Boleh saya masuk?""Masuklah!""Di kastil ini, kekuasaan sebenarnya berada pada Nyonya Jill Anne. Dia yang mampu menyelamatkan Tuan dari kebangkrutan saat itu. Bahkan kastil ini sudah hampir terjual.""Lalu?""Nyonya Jill Anne yang menyerahkan semua harta kekayaan yang dimilikinya, untuk menutup semua kerugian dari usaha Tuan William. Nyonya Jill Ane pun berhasil mengelola semua usaha hingga sukses, seperti sekarang. Jadi Nyonya bisa simpulkan sendiri, siapa sebenarnya pemilik penguasa kastil ini?""Dan menurut kamu, kenapa William mengajak aku ke kastil ini?" Kali ini Beatrix memandang wajah pelayannya lamat-lamat.
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men