Seketika wajah Sofia merona. Dia tersipu malu saat William mengatakannya.
"Lantas tujuan kamu ke sini tadi apa?"
"Nyonya Jill Anne menyuruh Tuan, untuk tidur di kamar Tuan William sendiri."
"Keterlaluan dia. Apa Nyonya Beatrix sudah tidur?"
"Maafkan saya Tuan. Saya belum ke lantai tiga."
Sejenak William mengamati wanita itu darai tempat dia duduk. Dia memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki.
"Kau cukup menarik, Sofia. Apalagi bentuk tubuhmu sangat indah."
Sofia Malvin yang dipuji, menundukkan kepala. Dia tahu siapa sosok William. Esmo menceritakan keburukan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. Dia pun tak memberikan reaksi sama sekali.
"Kenapa kau diam Sofia?"
"Saya tak tahu harus bilang apa, Tuan. Makanya saya diam."
"Hemmm ... pribadi yang menarik."
Sofia memberanikan diri untuk memohon ijin.
"Apa masih ada yang Tuan perlukan?"
"Kau buru-buru mau ke mana?"
"Ma-
Pelayan itu menghampirinya."Bukankah Nyonya ingin dekat dengan kekuasaan?""Apa maksud kalimat itu Ester?"Dari arah jendela, Beatrix yang menoleh sekilas padanya. Dia sangat menikmati pemandang di luar kastil yang mengarah pantai. Deburan ombak yang menabrak batu karang. Memberikan magis tersendiri."Boleh saya masuk?""Masuklah!""Di kastil ini, kekuasaan sebenarnya berada pada Nyonya Jill Anne. Dia yang mampu menyelamatkan Tuan dari kebangkrutan saat itu. Bahkan kastil ini sudah hampir terjual.""Lalu?""Nyonya Jill Anne yang menyerahkan semua harta kekayaan yang dimilikinya, untuk menutup semua kerugian dari usaha Tuan William. Nyonya Jill Ane pun berhasil mengelola semua usaha hingga sukses, seperti sekarang. Jadi Nyonya bisa simpulkan sendiri, siapa sebenarnya pemilik penguasa kastil ini?""Dan menurut kamu, kenapa William mengajak aku ke kastil ini?" Kali ini Beatrix memandang wajah pelayannya lamat-lamat.
Kembali Jill Anne menyeringai. Seolah kini tengah mentertawakan Beatrix yang termakan api cemburu."Yang cemburu itu sekarang adalah kamu, Floy! Bukan aku!" Seraya tergelak. "Aku sudah mempan dengan hal seperti ini. Apalagi semenjak kedatangan kamu."Beatrix membenarkan duduknya yang serasa tak nyaman."Sekarang kau bisa menjawabku, Beatrix Floy. Berada di kubu aku atau William?""Kau ingin memusuhi suami kamu sendiri? Kau ingin berbuat licik padanya?"Jill Anne hanya terpaku dengan pandangan yang lurus. Menatap tajam Beatrix Floy. Tak ada sepatah kata yang terucap. Membuat Beatrix merasa rikuh dengan sorot matanya."Apa ... kau tak takut bila aku mengatakan ucapan kamu ini, Jill?""Katakan saja! Aku menunggu hal itu. Tapi, bila suatu saat kau membutuhkan bantuan dari ku. Jangan harap aku akan menoleh padamu.""Kau mengancamku?""Terserah kau mengartikannya seperti apa, Floy!" tegas Jill Anne.Terdengar suar
Mendapat pertanyaan itu William hanya tersenyum dingin. Sorot matanya tajam memandang Laurice yang salah tingkah. Rahang yang kokoh dengan jambang yang menghiasi wajahnya. Membuat William terlihat tampan dan macho."Bisa kah tak membicarakan wanita lain saat aku bersamamu, Lady Laurice?"Wanita cantik berambut merah itu tersipu. Dia memalingkan muka dengan rasa tersipu. Sembari tertunduk."Kamu sangat cantik, Laurice.""Apa begini cara kau merayu setiap wanitamu?""Kau tak menyukainya?"Kembali Laurice tertunduk. Pipinya merona kemerahan. Terdengar alunan music yang mengalun lembut. William mengulurkan tangannya."Maukah kau berdansa denganku?""Berdansa? Di ruangan ini?""Kenapa? Hanya ada kita, bukan?"Dengan malu-malu akhirnya Laurice pun mengikuti ajakan William untuk berdansa. Awalnya ragu dan enggan. Namun ternyata William sangat pandai merayu dan membuat hatinya melambung. Hingga dia melup
Tepat di ruang utama. Telah hadir Beatrix Floy yang sudah diberitahu kedatangan Laurice oleh William."Hai, kita bertemu lagi, Nyonya Beatrix Floy.""Kau bisa memanggilku dengan Floy!" sahut Beatrix Floy ketus."Ohhh, baik Floy. Kuharap kita bisa berteman dengan baik.""Jangan harap!" Suaranya terdengar tegas bercampur ketus. Dia terus berjalan menuju ruang pribadi William."Floy di manakah Jill Anne?"Namun tak ada jawaban yang terlontar. Amarah bergemuruh dalam dada Beatrix saat ini. Sedang Jill Anne dari lantai dua tengah melihat ke arah mereka. Sengaja dia tidak turun. Dari dua sudut bibirnya senyum licik mengmbang."Kau bisa rasakan perasaanmu saat ini, Floy. Apa kau masih bersikukuh dengan pendirianmu?"Jill Anne kembali masuk kamar. Bergegas Sofia menghampirinya."Apa Nyonya tidak turun?"Dia menggeleng."Untuk apa aku turun, Sofia. Hanya akan menurunkan egoku saja.""Apa itu juga istri Tuan W
"Kenapa kau menolaknya? Anggap aku tak ada. Dan tak mengetahuinya. Lakukan semua yang ingin kau lakukan bersama William. Tapi dengan satu syarat, Sofia!" "A-apa itu, Nyonya?" "Kau harus melaporkan semua dan mengikuti apa yang aku bilang!" Sofia tertunduk kebingungan. Dia tak tahu harus menjawab apa. Di hadapannya berdiri seorang sosok wanita yang dia kagumi dan segani. "Mengapa Nyonya mempunyai pemikiran seperti itu?" Jill Anne hanya menarik napas panjang. Lalu berjalan menjauhi Sofia. Dia memandang pemandangan laut yang terlihat indah dari jendela kamarnya. "Cinta itu awalnya seindah laut biru yang aku lihat sekarang, Sofia. Ternyata aku tak menyadari jika laut itu pun rentan badai. Saat dihempaskan oleh angin dan terjangan hujan petir. Yang ada hanya sebuah ketakutan. Aku saat ini bukan takut kehilangan seseorang, Sofia. Yang paling aku takutkan kalau cintaku telah berpaling. Dan, itu telah terjadi." "Ta-tapi, Nyonya. Saya me
Gerak tangan William cepat. Menarik pinggang ramping sang istri hingga merapat ke dalam dekapannya."Lepaskan tangan kamu, William!" sentak Jill Anne.William pun membungkuk. Bibirnya menempel di telinga Jill Anne. Seraya berbisik, "Kau masih istriku! Dan, kau harus mengikuti semua apa mauku, Jill Anne!""Apa maksud kamu, William? Apa kau masih belum puas mengumpulkan para wanitamu itu?""Kenapa kau sulit mengakui kalau mereka juga istriku, Jill?""Mau ... sampai kapan kau begini?!" sentak Jill Anne lantang.Sorot matanya nyalang. Menatap sepasang mata elang milik William.Hembusan napasnya terdengar kencang. Menahan gelora amarah yang terpendam.Dan tanpa terasa, Jill Anne tak mampu menahan air matanya menetes di hadapan William. Masih dalam dekapan William. Jemari tangannya mengusap lembut pipi Jill Anne."Kau masih menangis untukku?""Ini tangisan kebencian untukmu!" teriak Jill Anne, seraya mendorong tubuh William kua
William berjalan menuju kamar pribadinya. Yang berada bersebelahan dengan ruang kerja. Sejenak dia menghempaskan tubuhnya yang jangkung dan kekar. Perlahan William melepaskan kemaja dan jas.Terlihat dada yang bidang berbulu cukup lebat. Saat hendak melepas celana. Seseorang memeluknya dari arah belakang. Membuat William terkejut."Laurice?"William tampak terkejut dengan kehadiran wanita cantik itu."Aku rindu kamu William. Kenapa kamu tak mendatangi aku ke kamar?""Baru saja aku datang.""Tapi, aku lihat kamu ada di kamar Jill Anne. Iya 'kan?""Kamu cemburu?""Iya, William. Aku seorang yang posesif. Kamu 'kan tau itu."Lelaki tampan itu berbalik. Dia memegang kedua bahu Laurice. Menatapnya tajam tanpa jeda."Dari awal aku sudah mengatakan semua padamu Laurice. Aku tak akan pernah bisa puas hanya dengan satu wanita saja.""Kenapa baru sekarang? Kau mengumpulkan wanita di kastil kamu? Aku tahu pernika
"Benar-benar sialan kau JIll Anne!" gerutu Beatrix Floy.Dengan langkah kesal akhirnya dia mengikuti mereka. Di ruangan yang mewah dan megah. Para pelayan sudah siap berdiri di posisinya masing-masing."Dia, juga kau ajak duduk satu meja?" tanya Beatrix masih tak percaya dengan apa yang telah diciptakan oleh Jill Anne.Wanita itu hanya tersenyum dingin, membalas pertanyaannya. Tak lama kemudian. Terdengar derap langkah yang keras menuju arah ruangan ini.Tepat di ambang pintu. Tampak William dan Laurice berdiri mengarahkan pandangannya pada mereka satu persatu."Mari kita duduk Laurice!""Ayo, Sayang."Kemesraan yang mereka tunjukkan membuat Jill Anne membuang muka. Sedangkan Beatrix terus menatap tajam pada Laurice yang juga memandang ke arahnya.William terperanjat dengan kehadiran Sofia. Yang duduk bersebalahan Jill Anne. Sorot matanya tajam tanpa jeda memandangi Sofia yang terlihat sedikit berubah. Cantik dan masih mu
"Memangnya apa yang bisa aku lakukan?""Kamu ikuti prosedur mereka. Kami ingin tahu sampai sejauh mana William terjerat. Kasus ini saksinya hanya kamu, Sherley!""Tapi, aku tak melihat penembaknya. Bahkan sosok posturnya aku mulai sedikit lupa."Sampai Sherley teringat pada seseorang, si pemberi surat dari Angle White."Aku baru ingat!""Apa?" Jill meanatap tajam."Aku jadi ingat sama sosok si pengantar surat. Menurut aku perawakannya mirip penembak itu, cuman aku masih ragu.""Kamu jangan asal menebak, Sherley. Akan sangat berbahaya buat kamu. Sebaiknya kita fokus pada William."Sherley tertegun sejenak.'Kenapa Jill mengalihkan pembicaraan ini? Apa dia sudah punya rencana lain?"Buru-buru Sherley mendekati dan menarik lengannya sedikit menjauh dari Laurice dan Beatrix."Ada apa Jill?""Maksud kamu?""Apa yang kamu sembunyikan dari aku? Aku sangat tahu kamu, pasti kamu sedang mere
Tiba-tiba .... "Tidak salah sama sekali!" sahut Beatrix yang sudah berdiri di ambang pintu. Mmebuat mereka bertiga tersentak. "Kamu ... menguping?" sentak Jill geram. Dengan tenang dan santai, Beatrix menutup pintu kamar. "Tenanglah, Jill. Kalau dalam hal ini, aku sepakat denganmu. Kapan niat itu akan kamu lakukan?" Jill masih terlihat tegang dengan kedatangan Beatrix, hal yang tidak dia duga sebelumnya. "Percayalah sama aku. Tidak mungkin aku akan bocorkan perihal ini. Karena semenjak kejadian menyakitkan itu, aku membencinya." Sepertinya Jill bisa mempercayai Beatrix. "Baiklah kalau begitu. Kita akan menunggu apa yang akan dilakukan Lady Rose. Apa benar dia mampu membuat William benar-benar mengusir kita dari sini." "Dan pastinya menceraikan kamu, Jill," sahut Laurice. "Kalau itu sampai terjadi, kita akan keluar tanpa apa pun. Ingat juga, keluarga Lady rose suaranya masih didengar pihak kerajaan,
"Mungkin, ada baiknya kamu ikuti saran dari surat itu. Siapa tahu Abel benar-benar mencintai kamu?"Sherley hanya tersenyum masam."Entahlah? Aku pun tidak bernapsu untuk mendapat cinta dari siapa pun.""Termasuk William? Tampaknya kamu telah tergoda padanya.""Dia terlalu banyak memiliki wanita. Sulit untuk bisa setia. Aku tak mau dan tak ingin hidup seperti kamu, Jill. Menderita!"Jill Anne hanya menyeringai dengan mengangkat sudut bibirnya."Itu William sudah menemui mereka. Aku hanya ingin kamu segera bebas dari permasalahan ini."Dari arah atas, terdengar suara Laurice memanggil mereka."Jill!"Kedua wanita menghentikan langkah, dan melihat pada Laurice yang berlari kecil mendekat."Ada apa ini?""William ada tamu dari para penyidik mengenai kasus penembakan Darriel.""Apa?! Ta-tapi tidak mungkin 'kan William melakukannya?""Semoga speerti itu, Lau. Kenapa? Kamu speertinya sangat ke
"Masih menduga?""Iya, karena belum terbukti apa pun. Mereka sama sekali tidak memiliki bukti tentang keterlibatan kamu.""Aku memang tidak melakukannya, Sherley!" tegas William.Jill Anne yang mendengar percakapan mereka menghampiri."Kalau aku boleh saran padamu. Sebaiknya kamu kasih ijin pada mereka, karena memang kamu bukan pelakunya. Jika kamu mempersulit, pasti mereka merasa benar atas dugaan selama ini."Sejenak William memikirkan perkataan Jill, tanpa berpikir panjang lagi. Sherley melirik padanya. Seolah mempertanyakan, saran Jill Anne yang bisa semakin menjebak William."Baiklah kalau begitu saran kamu, Jill. Aku yakin kamu masih peduli padaku.""William, tunggu!" Lady Rose mendekat. "Saran Jill itu gila! Buat apa kamu mengikuti mereka. Kamu 'kan punya kuasa.""Ahhh ... para bangsawan itu, mana ada yang peduli denganku, Rose. Mereka hanya memandang Jill Anne, yang pintar dan berduit, dari pada diriku!"
Sepertinya William sudah tidak sabar menghadapi Sherley, yang menurutnya terus mengelak. Tangan kanan bergerak mencengkram lengan kiri Sherley kuat-kuat. Sampai membuatnya tersentak, karena sakit. "William!" sentak Jill Anne. "Tidak perlu kamu kasar begitu padanya!" "Wowww, kalian juga saling membela seperti ini? Ini hal yang sangat menarik, Jill," celetuk Lady Rose dengan senyum yang masam. Dalam waktu bersamaan, Jill Anne mendekati wanita itu. Dia mendorong kuat tubuhnya sampai hampir terjungkal. "Sekali lagi kamu ikut campur urusan kami, aku bungkam sendiri mulut kamu!" bentak Jill. Namun, ancaman itu semakin membuat Lady Rose tertawa. "Silakan kalau berani kau Jill Anne!" Sudut bibirnya menyungging, seakan mengajak Jill Anne untuk terus melanjutkan pertengkaran di antara mereka. Kesal dengan sikap Lady Rose, yang semakin mengejek. Tak segan Jill Anne menerjang tubuhnya, hingga kedua wanita bangsawan itu terhempas ke lantai.
Tiba-tiba,"Jill ... Jill!"Sontak Ester dan Jill berbalik dan memperhatikan sosok Sherley yang tersengal-sengal."Apa ... ada kejadian baru?""A-ada Nyonya. Sekarang juga Tuan William sedang menunggu Nyonya Sherley." Tampak Ester benar-benar khawatir."Kenapa dia mencari aku?" Sherley terlihat tegang."Hemmm ... kamu harus berhati-hati, Sherley. Aku takut kalau William mencurigai kamu soal ini.""Baik, Jill. Ester, di mana William menunggu aku?""Di lantai bawah, Nyonya.""Baik aku akan ke sana juga."Bergegas Sherley menuruni beberapa anak tangga. Dia tak ingin sampai William tahu ini adalah perbuatan dirinya. Melihat keaaan yang smekain runyam, Jill pun mengekori Sherley."Sherley, tunggu!"Wanita itu hanya menoleh dan meneruskan langkahnya."Ada apa, Jill?""Berhati-hatilah, William saat ini sedang didukung oleh Lady Rose. Dia sangat berbahaya, dan mampu membalikkan keadaan de
"Maksudnya?""Dia ingin memeriksa seluruh isi kamar. Dalam isi surat ini juga dijelaskan kalau aku menyimpan bukti untuk kasus pembunuhan.""Pembunuhan?" Kedua matanya melotot, seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi. "Kamu ... bicara serius?""Iya, Rose. Dalam surat ini sangat jelas mengetakannya.""Ta-tapi, William?" Rose manatap tajam pada lelaki tampan itu. "Bagaimana bisa mereka ingin mencari barang bukti di dalam kamar kamu? Pasti ada seseorang yang memang sengaja menjebak kamu, William.""Kita akan lihat nanti, Rose."William terlihat tenang."Ester!" teriak William kencang.Wanita berkulit hitam, berlari mendekat."Iya, Tuan. Ada apa?""Di mana Sherley?""Nyonya Sherley, sepertinya masih tidur di kamar.""Panggil dan suruh kemari, cepat!""Ba-baik, Tuan."Bergegas Ester keluar kamar, dan menuju lantai dua. Dia berjalan cepat menapaki beberapa anak tangga. Sampai
"Baiklah, apa kamu akan langsung pulang?""Iya, setelah ini Abel. Bolehkah?" Lelaki itu hanya manggut-manggut.Selesai menemani Abel makan, Sherley pun berpamitan hendak pulang."Terima kasih atas semua bantuan kamu. Kuharap kamu bisa membantu aku terbebas dari ini semua.""Iya, Cantik. Aku akan upayakan semuanya.""OKe, aku pulang ke kastil. Aku tidak mau ada dugaan dari William, kalau aku yang melakukan pelaporan semua ini." Abel hanya manggut-manggut.Sheerley pun segera naik kereta yang telah menjemput dirinya. Tangannya melambai pada Abel dengan senyum lebar mengarah padanya."Tolong kamu percepat keretanya!""Baik, Nyonya."Tapak kuda mulai berlari kencang. Sherley berharap bahwa kedatangannya tidak membuat curiga William dan juga yang lain._Kastil Lily Edward_Salah seorang pelayan menyampaikan pada Ester jika ada seorang tamu."Tamu dari mana?""Ini suratnya, Ester."
"Berarti semua aman 'kan?""I-iya, aman semuanya."Abel menghempaskan tubuhnya di sebelah Sherley."Mereka baru saja berangkat ke kastil. Kita lihat nanti hasilnya bagaimana.""Apa ... menurut kamu semua ini akan lancar? Jujur, aku takut Abel."Lelaki kharismatik itu, menyudutkan pandangannya hingga membuat matanya menyipit."Kamu takut apa?""Pastinya kamu tahu, siapa seorang William ini?""Hemmmm, karena itu saja?""Iya, karena hal ini saja sudah membuat kepalaku pusing. Aku tinggal satu atap dengannya, dia yang memberikan penghidupan buat aku. Andai dirimu menjadi aku bagaimana?""Aku mengerti yang kamu rasakan ini, Sherley. Kalau memang kamu bukan seperti yang dituduhkan, kurasa kamu tenang saja. Tidak perlu mengkhawatirkan tentang William.""Apa, menurut kamu tahu bahwa aku yang memberikan bukti-bukti itu?"Abel Griffin menghela napas panjang."Iya! Kurasa cepat atau lambat pasti akan men