“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar.
“Mental pengecut!”
Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja.
Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan.
“Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, tetap saja rasa kecewa terlalu dalam, sulit untuk dilupakan dalam waktu hitungan hari.
Jelita hanya ingin penjelasan, ia ingin alasan atas satu kata dari pesan Kevin, yang membuat dadanya sesak hingga kini. Namun, tak ada balasan. Kevin meninggalkannya seolah tak pernah ada alasan untuk rasa di hati itu yang mungkin berubah. Lelaki itu seolah lupa pada kenangan yang selama ini mewarnai hubungan mereka. Semua ia simpulkan hanya dalam sekejap, hanya dalam satu kata. Putus.
Berulang kali Jelita coba bertanya.
“Kenapa?”
“Apa salahku?”
“Kenapa mendadak?”
“Kamu becanda, kan?” Jelita mengirimkan pesan suara pada nomor Kevin. Saat itu ia berharap Kevin datang tepat waktu. Atau Kevin datang saat Arjuna belum menyambut tangan penghulu untuk ijab kabul. Namun ternyata lelaki itu benar-benar tak hadir, bahkan ketika saksi mengatakan kalimat sah.
“Ini terlampau sakit. Kenapa terlalu lambat memberitahuku bahwa kau pengecut. Kenapa tak dari dulu?”
Voice note. Pesan. Tak ada balasan untuk sekadar menjelaskan. Pesan-pesan yang tak kunjung centang biru meskipun berulang kali Jelita memeriksanya, hingga esok harinya, hingga kemarin setelah ia dan Arjuna telah sah menjadi suami istri. Kevin tak ada. Ia seperti hilang ditelan bumi. Bahkan nomor ponsel dan seluruh sosial medianya tak lagi aktif.
Jelita masih menangis di bangku taman. Sesekali ia menatap langit yang terlihat cerah, mencoba mendamaikan hati dengan alam yang indah. Mencoba percaya bahwa tak selamanya langit akan mendung. Nyatanya di bawah langit cerah pun ia masih menangis.
Gadis yang memakai celana kulot itu menoleh saat sebuah tangan menyodorkan tisu untuknya. Jelita tersenyum miring, lalu menatap Sarah dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
“Mau nangis berapa lama?” tanya Sarah yang langsung duduk di samping Jelita.
“Mungkin hingga aku bisa mendengar alasannya, atau hingga aku bisa mematahkan rahangnya.” Jelita menjawab. Mencoba memperlihatkan sisi kuatnya. Namun, sayangnya Sarah tak bisa melihat itu. Yang terlihat hanya pendar luka dari mata itu.
Keduanya terdiam. Sarah mencoba memberi jeda agar Jelita puas menangis dan merasa tenang setelahnya. Sedangkan Jelita masih terisak meski berkali-kali menghapus air di pipi itu dengan tisu yang diberikan Sarah.
“Apa yang terjadi?” tanya Sarah saat dirasa Jelita mulai tenang. Ia tak ingin membuka luka yang mungkin tengah menganga di hati Jelita, tapi sebagai seorang teman ia merasa harus tahu agar bisa memberikan solusi atas kesedihannya. Mereka sudah terbiasa untuk itu, saling berbagi cerita dan bahagia.
“Kamu lagi marahan sama Kevin?” Kembali Sarah bertanya karena tak mendapat jawaban dari Jelita.
Saat Jelita berlari beberapa menit yang lalu, Sarah menebak bahwa Jelita dan Kevin sedang bertengkar. Namun, Sarah tak yakin karena mereka baru saja menikah. Seharusnya bukan bertengkar, tapi menyatukan rasa dalam bulan-bulan awal pernikahan.
Jelita menghela napas berat. Ia mulai menceritakan segalanya. “Aku gak jadi nikah sama Kevin.”
Sarah membelalakkan mata mendengar pengakuan Jelita. Ia sama sekali tak menyangka akhir dari cinta dua temannya. Ya, Jelita dan Kevin layak disebut sebagai pasangan serasi dan baik dengan semua orang. Bahkan mereka sering membuat iri jomlo-jomlo di kantor karena kedekatannya.
“Pengecut itu kabur pas hari akad.” Jelita menatap Sarah yang tampak terkejut di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali hampir tumpah.
“Bagaimana bisa?” tanya Sarah tak percaya.
Jelita mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia membuka aplikasi hijau itu dan menunjukkan pesan terakhir dari Kevin. Pesan dari nomor yang kini telah tak terlihat profilnya. Beberapa hari setelah menikah, Jelita kembali memeriksa ponselnya, dan semua akses Kevin diblokir.
Saat itu, untuk kedua kali Jelita membanting ponselnya. Ia tahu, Kevin harusnya tak lagi bertakhta di hatinya. Namun, tahu rasanya ditinggalkan saat hari pernikahan? Itu rasanya seperti menyerahkan harga diri, lalu diinjak dengan sengaja. Rasanya seperti dibawa ke angkasa, tapi nyatanya ditenggelamkan ke dasar samudera, ditolak tak ada harganya.
Kembali Sarah membelalakkan mata membaca isi pesan singkat yang terlalu menyakitkan untuk Jelita. Gadis seusia Jelita itu menggelengkan kepala sambil meringis, tak menyangka Kevin yang berwajah manis ternyata punya jiwa pengecut seperti itu.
Sarah memejamkan mata, bisa ia rasakan bagaimana sakit dan kecewa Jelita atas perbuatan lelaki itu. Mungkin lelaki itu pikir pernikahan hal gampang yang bisa diputuskan dan memberi keputusan dalam waktu singkat. Kevin, damn you!
“Tamunya gimana? Papa mama kamu gimana? Gak kebayang malunya mereka dengan para tamu.”
Sarah bangun dari duduknya. Ia berdiri menghadap Jelita sambil tangan itu dikepalkan. Mungkin jika Kevin di sana, bisa dipastikan wajah tampannya akan hancur. Perempuan memang tak sekuat lelaki, tapi mereka bisa diluar kendali ketika berhubungan dengan hati.
“Aku nikah sama Arjuna.”
Sarah masih fokus mendengar Jelita, ia merasa sedikit lega, karena setidaknya Jelita selamat dari tuduhan dan rasa malu yang dititipkan Kevin.
“Syukurlah ...,” ucap Sarah tampak lega.
“Tapi aku tak mencintainya, Sarah.” Jelita menatap wajah Sarah dengan air mata yang kembali mengalir di pipi. Ia merasa sesak setiap kali melihat Arjuna. Entah Arjuna atau Kevin, dua lelaki itu sama-sama menyisakan luka di hati Jelita.
Sarah menatap Jelita dengan raut wajah bingung. “Hei, bukankah cinta perlu untuk terbiasa?”
Jelita menggeleng. Itu tak semudah yang Sarah pikirkan.
“Mungkin sampai kapan pun aku tak bisa mencintainya.” Jelita menunduk. Raut wajahnya terlalu hancur untuk kembali menatap Sarah.
Orang bilang, tak ada mantan teman dalam hidup. Namun, dalam kehidupan Jelita, ada, Arjuna orangnya. Mereka pernah dekat sebagai teman masa kecil hingga SMA, lalu sekarang seolah tak ada kenangan indah yang tersisa. Hanya ada luka dan kecewa yang kerap datang mengunjungi Jelita. Kadang saat mengingat Aldi, kadang saat mengingat Arjuna sendiri. Kenapa lelaki itu tega menyisakan kecewa terdalam di hatinya?
“Dia pembunuh, bagiku Arjuna pembunuh.” Jelita terisak.
Sementara Sarah menarik kepala Jelita, lalu disandarkan di bahunya. Berharap ia bisa mentransfer sedikit kekuatan untuk temannya.
Sejenak keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kadang hanya isakan Jelita yang menengahi. Atau suara bising kendaraan yang sedikit meriuhkan suasana. Sarah membelai kepala Jelita yang ditutupi jilbab itu.
“Lalu, kenapa kamu menerima Arjuna?” tanya Sarah.
Jelita mengangkat kepalanya dari bahu nyaman temannya. Tatapannya kosong menatap gadis di depannya. Ia juga sering mempertanyakan pada diri sendiri, kenapa ia menerima Arjuna.
Bukan! Tapi, tepatnya kenapa hanya Arjuna yang bersedia menikahinya.
“Karena hanya Arjuna yang bersedia. Kenapa harus dia, Sarah? Kenapa bukan satu saja,” Jelita membentuk satu Jari untuk menegaskan pada Sarah. Menegaskan satu orang saja yang mau menikahinya selain Arjuna. “Orang baik yang tak kukenali sebelumnya. Kenapa?” Jelita terus mencerca dengan pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya hanya bisa ditanyakan pada pemilik takdir, bukan Sarah.
“Kenapa, Sarah? Kenapa dari sekian banyak lelaki di dunia ini, hanya Arjuna yang menawarkan pertolongan. Segitu tak layakkah aku dinikahi? Hingga Kevin tiba-tiba pergi, dan Arjuna mengambil alih semuanya.” Suara Jelita timbul tenggelam, karena isak tangisnya lebih banyak terdengar. Gadis itu bahkan berkali-kali menunduk, manatap rumput hijau di kakinya berpijak. Ia coba kendalikan diri, tapi amarah dalam hatinya tak terkendali.
“Atau ini memang rencana Arjuna dari awal? Katakan padaku, Sarah.”
Kadang terbesit dugaan seperti itu untuk Arjuna. Ya, kepercayaan yang telah retak kerap kali menimbulkan keraguan di lain kali.
“Kamu terlalu lelah, Lita.” Sarah kembali membelai kepala Jelita, menyandarkan di bahunya. Membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya entah berapa lama.
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih
Bab 14 *Arjuna masih duduk di balik pintu kamar Jelita. Ia masih mendengar Isak tangis di dalam sana. Malam ini ia harus mengatakan semuanya, didengarkan atau tidak, ia harus akhiri kesimpulan salah dari Jelita. “Maaf untuk semua kekecewaan yang pernah kulakukan. Salahku karena menuruti keinginan Aldi, bukan yang memulai mengajaknya balapan. Dia yang punya ide gila itu.” Arjuna berkata pelan, ia tahu di dalam sana Jelita pasti bisa mendengarnya. Kembali ingatan itu hadir di memori Arjuna. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar ulang. Seandainya ia tahu Aldi pergi dengan cara seperti itu, ia tak akan bersikap egois dan kekanakan, bahkan berniat pun tak akan. “Kamu suka sama Jelita, kan?” Pertanyaan Aldi sukses membuat Arjuna terdiam. Pertanyaan yang ingin ia sembunyikan jawabannya, tapi kadang ada sisi hati ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Ada saat di mana hatinya ingin berteriak dan mengatakan bahwa benar ia menyukai Jelita. Sejak dulu, dari dulu. Lalu,
Part 15 * Aldi mengangguk pada Arjuna, menandakan mereka akan memulai balapan di jalanan hitam yang tak berujung. Arjuna membalas anggukan, lalu menutup kaca helmnya sebelum menancap gas menyusul Aldi yang telah lebih dulu menarik gas. Dua anak lelaki berseragam putih abu-abu itu melintasi jalan raya, saling beradu kecepatan hingga beberapa kali mendapat cacian dari para pengguna jalan. Keduanya sama keras kepala, sama tak peduli pada umpatan yang dilontarkan mereka yang merasa terganggu. Untung saja, Aldi tak memilih jalan utama, karena tahu mungkin satu menit saja mereka akan berakhir di kantor polisi. Dua motor itu saling mengejar, kadang Aldi di depan, kadang Arjuna berhasil mengalahkan jarak. Kini, Aldi yang tertinggal di belakang, membuatnya kembali manancap gas secara brutal hingga bisa menyeimbangi posisi Arjuna. “Aku yang lebih dulu sampai di finish.” Aldi berkata setengah berteriak, saat ia bisa menyajarkan posisinya di samping Arjuna. Sementara Arjuna menoleh, ia bisa
Bab 16*Pagi. Jelita membuka mata karena terdengar adzan subuh berkumandang dari ponselnya. Gadis itu membalikkan badan dan melihat Arjuna di sampingnya. Suami yang masih dengan setengah hati bisa ia terima dalam kehidupannya. Entah. Dari sudut mana pun Jelita melihat, Arjuna hanya terlihat seperti temannya. Teman masa kecil yang kebaikannya tak ada yang bisa menggantikan. Hanya saja waktu pernah mencekat mereka pada kesalahpahaman, hingga yang tersisa hanya benci dan kerenggangan.Gadis itu memejamkan mata, terlalu sesak memikirkan kondisi hati dan perasaannya. Lalu, mata itu kembali terbuka bersamaan dengan helaan napas lelahnya. Kembali ingatan itu hadir di memorinya. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar.Jelita membuka pintu kamar, setelah duduk di bawahnya beberapa menit tenggelam dalam tangisan. Tempat yang beberapa saat lalu menjadi sandaran untuknya dan Arjuna. Tempat yang beberapa saat lalu ia tumpahkan tangisnya atas masa lalu yang ia rasa tak adil
Bab 32*Matahari pagi di kota Makassar terlihat begitu cerah. Jelita memicingkan mata saat ia terjaga karena sinar mentari yang menembus melalui kaca jendela. Ia berpikir, pasti Arjuna yang menyibak gordennya. Namun, saat Jelita membalikkan badan, gadis itu tak menemukan sang suami di sampingnya Setelah disidang oleh kedua orangtuanya, mereka tidur di rumah Jelita. “Kami diam, bukan berarti nggak tau apa yang terjadi dalam pernikahan kalian. Dingin bahkan mungkin beku dalam hatimu, Jelita. Papa harap, esok lusa jika badai itu datang lagi, tak ada yang diam, Arjuna. Juga tak ada yang berlari dari masalah. Papa harap kalian bisa saling menyelesaikan, bukan saling menghindar.” Raihan menatap Jelita dan Arjuna bergantian. Bukan hanya setelah menikah dengan Jelita, tapi sebelumnya Arjuna bahkan sudah menganggap Raihan seperti ayah kandungnya. Tepatnya setelah lelaki itu kehilangan seorang figur ayah dalam hidupnya. Keduanya hanya mengangguk. Lalu, mereka sama-sama mengusap air mata di
Bab 31*Hari yang cerah setelah semalaman diguyur hujan. Makassar terlihat elegan dengan segala bangunan mewah. Perpaduan pantai, sunrise dan udara segar menjadi hal yang paling menyegarkan mata.Malam itu Arjuna dan Jelita beristirahat dengan tenang. Meskipun Arjuna sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan ibunya dan orangtua Jelita esok. Ia hanya merasa hubungan keduanya mulai membaik, tapi tetap saja ia tak sanggup membayangkan wajah terluka kedua orangtuanya.“Mama pasti kecewa banget ya.” Jelita berucap lirih. Wajahnya tertunduk tak sanggup menatap Arjuna saat ia mengatakan hari ini akan ke rumah ibunya.“Kita jelaskan semua, Lita. Kita hadapi sama-sama.” Arjuna menggenggam tangan sang istri, membelainya lembut lalu sejenak mengecupnya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Jelita tak menolak seperti biasanya. Tak juga memperlihatkan raut wajah tak suka saat ia melakukan itu.Ah, Arjuna bahkan mendengar kemarin ia mengucapkan tentang cinta di telinganya. Arjuna sudah bangun dari l
Bab 30*“Mama?” Arjuna dan Jelita saling menatap saat melihat ibunya duduk di sofa menghadap jendela. Duduk seolah memang telah menunggu keduanya sejak tadi.“Mama kenapa di sini?” tanya Arjuna pada sang ibu yang masih duduk dengan wajah dinginnya.“Mama yang harusnya tanya, Juna. Kalian pulang nggak bilang-bilang? Terus ngapain hujan-hujanan kayak gini.”Melisa bangkit dari duduknya, meninggalkan pemandangan gerimis yang masih terlihat di luar sana. Perempuan itu berdiri menghadap anak dan menantunya. Perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik itu menunjuk keadaan dua anaknya itu. Keadaan yang menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tak bisa berbohong. Tak bisa mengelak atas apa yang selama ini telah terjadi.Semua pekerja di hotel, Melisa tak bisa menjamin kepercayaannya. Namun, selama mereka bekerja, mereka tak pernah curang dana selalu mengikuti perintah dari perempuan itu.“Bu, saya mendengar dari resepsionis kalau Arjuna sedang di hotel. Mereka bilang, istrinya juga di s
Bab 29*Jam di ponsel telah menunjukkan pukul sembilan malam. Arjuna menatap bubur yang telah dingin itu terletak di atas nakas. Bubur yang sama sekali tak ingin disentuhnya. Setelah Jelita pergi, Arjuna hanya duduk di pinggir ranjang, tepatnya setelah menunaikan shalat isya. Lelaki itu bangkit, mengitari seluruh ruangan, lalu duduk lagi di sisi ranjang. Ia merasa sedang tak baik-baik saja.Pikirannya terlalu kalut saat ini. Entah, ia pun tak menyangka melakukan itu pada Jelita. Dan, setelah gadis itu tak lagi di hadapannya, bukan kelegaan yang ia dapatkan, melainkan resah dan perasaan galau memenuhi hatinya.Arjuna mengusap wajahnya dengan kasar. Di luar hujan turun begitu lebatnya. Semesta yang tadi baik-baik saja dengan cerahnya senja, tiba-tiba menurunkan hujan yang membasahi bumi, mendung secara tiba-tiba menggelayut di atas langit.Arjuna menyerah pada egonya, pada kemarahannya. Ia tak bisa memperkirakan ke mana Jelita akan pergi setelah diusirnya. Lelaki itu coba menghubungi
Bab 28*Sambil menunggu Arjuna siuman. Jelita membereskan apa saja yang berantakan di kamar itu. Perjalanan jauh sebenarnya membuat tubuh itu lelah dan ingin terbaring sebentar saja. Namun, ia tak ingin jika saat ia bangun nanti Arjuna pergi lagi darinya. Ia tak ingin lelaki itu menghindarinya lagi. Jelita harus menuntaskan semua kesalahannya sekarang.Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Jelita melangkahkan kakinya menuju sisi jendela. Ia menyibak gorden jendela kaca besar itu agar bisa menikmati keindahan dan seni alam yang dipuja setiap orang. Gadis itu duduk di sofa kecil di dekat jendela itu. Ia tersenyum perih melihat warna merah jingga yang menyilaukan matanya. Indah. Namun, keindahan apa pun tak menghibur hatinya jika ia belum mendapatkan maaf dari Arjuna.Jelita tersenyum sinis seorang diri, mengingat kenangan yang pernah ia lalu bersama Arjuna dan Aldi di pantai itu. Terlalu banyak kenangan manis yang memaksanya untuk mengingat hal itu. Namun, apa pun itu, ia tetap tak bi
Bab 27*Pukul delapan pagi, Jelita sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ia tak ingin ketinggalan pesawat yang akan mengudara ke Makassar. Sesuai dengan jadwal keberangkatan yang tertera, Jelita akan terbang pukul sembilan pagi. Satu jam sebelum itu, Jelita sudah ada di Bandara. Gadis itu benar-benar tak ingin ketinggalan. Andai saja semalam masih tersisa tiket yang akan berangkat ke sana, mungkin pagi ini Jelita sudah bertemu dengan Arjuna.Jelita memang tak tahu pasti di mana Arjuna sekarang. Namun, Jelita yakin Arjuna kemungkinan besar berada di Makassar. Tempat di mana ia selalu berlari jika pikirannya sedang kacau. Tempat lelaki itu menginap berhari-hari jika ia sedang tak suka pulang ke rumah karena ada ayahnya.Malam di mana Arjuna pergi dan tak menemani tidurnya, Jelita meringkuk sendirian dalam gelap. Meneguk rasa sakit dalam pekatnya malam tanpa cahaya, karena cahaya itu sendiri sebenarnya adalah Arjuna. Lelaki itu yang membuatnya nyaman dan tak merasa takut saat di samping
Bab 26*Jelita meninggalkan Kevin untuk memilih Arjuna. Berulang kali gadis itu mendengar Kevin memanggil namanya, tapi tak ia hiraukan. Jelita tak ingin membuat hatinya kembali ragu untuk pilihan yang salah. Jelita tak ingin salah untuk kedua kali.Jelita tak bisa membayangkan wajah kecewa orangtuanya jika ia memilih pergi bersama Kevin. Ia tak bisa lupa pada dosa atas perlakuannya pada Arjuna. Jelita tak bisa membayangkan akan menjadi perempuan seburuk apa jika ia berpaling dari itu semua.Kevin masih berdiri di depan cafe. Jelita bisa melihat tubuh itu dari balik spionnya. Gadis itu terus melaju hingga bayangan Kevin mengecil dan hilang saat ia berbelok menuju jalan raya.*Beberapa menit mengemudi, Jelita tiba di rumah. Ia membuka pintu dan tak melihat Arjuna berada di rumah. Padahal hari ini Minggu, dan saat Jelita keluar tadi, Arjuna masih di kamarnya. Jelita ingin berbicara dengan suaminya. Ia ingin mengatakan semua kesalahannya dan meminta maaf atas semua yang terjadi di bel
Bab 25*“Jelita, masih adakah kesempatan untuk kita?” Kevin kembali bertanya di setiap pertemuannya dengan Jelita.“Jika kau tak bahagia, apa yang bisa dipertahankan dari ikatan itu?”Jelita masih diam. Ia sungguh tak bisa memastikan keadaan hatinya. Ia tak mau Kevin pergi lagi dari hidupnya. Namun, di sisi lain, gadis itu merasa telah begitu jauh mengkhianati Arjuna, dan itu membuatnya sesak atas rasa bersalah. Jelita merasa telah menjadi gadis paling buruk untuk Arjuna, sementara hatinya ingin tetap bersama Kevin.“Jelita, kamu belum menjawab pertanyaanku.” Kevin berkata setelah beberapa saat menjeda.“Yang mana?” tanya Jelita tak mengerti. Ia tak mengerti karena begitu banyak pertanyaan yang diutarakan oleh Kevin dalam beberapa waktu ini.“Nyaman sama siapa? Aku atau suamimu?”Jelita menatap wajah Kevin yang penuh harapan itu. Benar, seperti yang lelaki itu katakan. Bahwa ia dan Arjuna tak mungkin bisa hidup layaknya pasangan lain. Bukan karena Arjuna tak mampu memberikan cinta ya
Bab 24*Pagi hari setelah sarapan bersama, Arjuna dan Jelita pergi ke tempat kerja masing-masing. Keduanya sibuk dengan pekerjaan yang begitu padat. Keduanya terlihat baik-baik saja, lebih tepatnya Jelita merasa bahwa Arjuna baik-baik saja, dan ia tak ambil pusing atas hubungannya dengan Kevin, karena Jelita pandai menyembunyikannya, dan Arjuna tak pernah menaruh curiga.Seringnya setelah pulang kerja, Jelita dan Kevin akan jalan bersama. Kadang hanya makan, atau duduk di bangku taman menikmati sore yang indah.Sejak pertemuan itu, keduanya semakin intens. Jelita sering menerima video call dari Kevin saat di rumah dan jauh dari pengawasan Arjuna. Bahkan senyum itu terkembang saat membalas chat demi chat Kevin sebelum gadis itu tertidur di kamar Arjuna. Seperti sore itu, keduanya kembali jalan bersama. Kevin seolah mengulang kembali kenangan pada tempat-tempat yang pernah didatanginya bersama Jelita dulu. Mereka memang tak punya banyak waktu, karena Kevin mengerti kapan Jelita harus