Mendengar seluruh cerita tentang kesaksian Bi Yola dalam perbincangan Ravin dan Alana, membuat Belva tak tahu harus berkomentar apa.
“Saya juga tidak menginginkan pernikahan ini, Bi. Itu sebabnya aku sendiri yang meminta Ravin untuk kembali ke tempat istri tuanya.” Belva menghela napas, kemudian menyandarkan punggung di sandaran kursi.
“Tapi, soal hubungan Ravin dan Alana yang ditentang keluarga, jujur saja aku baru tau,” sambung Belva. “Memangnya apa yang salah dari Alana? dia kan cantik, model, kalau gak salah anak seorang pengusaha juga! kenapa keluarga Ravin menolak wanita seperti Alana?”
“Balik lagi ke tradisi dan standar yang sudah ditetapkan sama keluarga Tuan Ravin, Nyonya. Mereka kan menginginkan keturunan ningrat juga. Jaman sekarang kan banyak orang kaya, pengusaha, tetapi silsilah keluarganya tidak ada yang berdarah biru.” Bi Yola menjelaskan.
“Ah, lebay banget ya. Padahal kan nikah ya nikah aja. Ngapain pake liat silsilah segala! Selagi orang itu baik dan sama-sama cinta ngapain juga pake pasang standar segala. Persis Oma Tarra!” gerutu Belva kesal.
“Namanya tradisi, Nyonya. Hanya orang terdahulu yang mengerti betapa pentingnya arti sebuah tradisi, budaya, standar tinggi, serta sebuah janji. Orang-orang terdahulu, pantang yang namanya ingkar janji. Hutang budi sekecil apa pun tetap harus dibayar!” ujar Bi Yola. Tampaknya ia memang lebih paham.
“Dalam hal ini kan, Ayah Tuan Ravin itu berhutang budi pada Ayah Nyonya Belva. Jasanya besar, loh. Kalau menurut kita, itu biasa aja. Tapi bagi mereka yang merasakan mungkin akan sangat luar bisa,” sambung Bi Yola.
Belva hanya bergeming dan fokus mendengarkan.
“Kalau soal Nyonya Alana, saya pernah dengar sekali percakapan di telepon antara Tuan Ravin dan Ayahnya, kalau wanita pilihan Tuan Ravin itu meski seorang model, anak pengusaha, tetapi belum tentu bisa menjalankan tradisi-tradisi keluarga. Dari sikap, cara pandang, pasti jauh berbeda. Apalagi ... katanya asal usul keluarga Nyonya Alana itu sebenarnya hanya dari keluarga biasa saja. Malah ibunya itu dulunya ya kayak saya ini, cuma pembantu!” Bi Yola terkikik.
“Sudah jelas kan, mana mungkin keluarga Tuan Ravin yang ningrat dan berdarah biru mau mencampur garis keturunan dengan anak pembantu?” kata Bi Yola.
Belva menghela napas panjang. Teringat juga dengan ceramah dari neneknya. Yang selalu mengatakan, “Si Arav itu cuma anak kuli bangunan. Gak ada keturunan sepadan dengan kita. Jangan ngaco kamu mau menghancurkan garis keturunan! walaupun dia punya usaha besar, tetap Oma gak akan setuju! kamu itu sudah di takdirkan menikah dengan Ravin.”
Terngiang betul ucapan itu. Belva benar-benar lelah sebenarnya. Ia selalu berpikir, lagipula siapa yang memilih untuk dilahirkan dari keluarga seperti apa? entah bangsawan, ningrat, anak pembantu, anak kuli bangunan, menurut pandangan Belva semua sama saja. Cinta tidak memandang itu.
Akan tetapi perintah yang dituakan selalu saja tak bisa dibantah. Apalagi kalau sudah sakit-sakitan.
“Saya gak tau harus berbuat apa, Bi. Mau kabur juga buat apa? ke lubang semut pun Oma pasti bisa menemukan aku. Keluarga Ravin pun gak akan pernah melepaskan aku!” keluh Belva.
“Ya sudah, jalankan saja. Mungkin takdir kalian memang harusnya bersatu. Terkadang kita mengelak dan menjauh sejauh apa pun, kalau orang itu sudah digariskan menjadi milik kita, maka tetap akan kembali dipertemukan. Seperti yang di alami Nyonya Belva dan Tuan Ravin.” Bi Yola tersenyum.
Belva hanya menunduk lemah. Pandangannya kosong dan terlihat begitu lelah.
“Saran Bibi, jangan terlalu membenci. Kita tidak pernah tau ke depannya akan seperti apa, barangkali yang dulunya cinta terus jadi benci kemudian bisa balik lagi menjadi cinta!” katanya sembari tersenyum lebar. Menyindir Belva.
Setelah berbincang-bincang panjang. Akhirnya Belva kembali ke kamar, merenungi nasib lagi. Sempat terngiang ucapan Bi Yola yang terakhir.
“Aku gak benci sama Ravin. Tapi, dia emang tipe lelaki yang menyebalkan aja!” gumam Belva.
***
Pagi-pagi sekitar jam 8. Ravin sudah terlihat begitu rapih, meminta agar asisten rumah tangganya itu mau menemani Alana untuk melakukan cek rutin kehamilan.
“Bi, saya minta tolong temanin Alana ke dokter ya. Saya ada keperluan di proyek!” pinta Ravin.
“Baik, Tuan,” sahut Bi Yola.
“Oh ya, udah jam segini Belva belum turun juga. Dia udah bangun belum?” tanya Ravin.
“Hm ... saya kurang tau, Tuan. Saya baru aja mau ke kamarnya.”
“Ya udah, Alana kayaknya udah rapih tuh. Biar saya aja yang temuin Belva.” Ravin langsung menaiki tangga menuju kamar istri mudanya.
Ravin mengetuk pintu. Sampai beberapa menit, tak ada sahutan. Kemudian ia kembali mengetuk tetap tak ada sahutan. Lalu, Ravin menekan handle pintu dan ternyata tidak di kunci.
“Belva ...” panggil Ravin saat sudah memasuki kamar itu. Sepertinya yang dicari tak ada di mana kamar.
Tak lama Belva keluar dari kamar mandi yang terletak di dalam kamar. Ia baru saja selesai membersihkan diri dan masih mengenakan handuk yang hanya menutupi sebagian tubuhnya.
“Ravin!!” Belva terperanjat saat melihat suaminya sudah berada didalam kamar. Cepat-cepat ia masuk lagi ke dalam kamar mandi.
Ravin sempat termangu melihat Belva yang hanya mengenakan handuk. Ia menelan ludah dengan berat.
“Ma-maaf, Bel. Aku ketuk pintu dari tadi tapi gak ada sahutan. Pintu juga gak dikunci, aku kira kamu gak ada.”
Di dalam sana, Belva mencoba mengatur napas. Sangat syok dengan kejadian barusan. Ia juga tadi lupa mengunci pintu kamar.
“Nggak apa. Ya udah, kamu keluar sana, aku mau pake baju!” seru Belva dari dalam kamar mandi.
“Oke. Setelah itu, aku tunggu kamu dalam lima menit di meja makan. Ada yang mau aku sampaikan!” kata Ravin.
Belva memelotot dan bergumam. “Mana ada pake baju cuma lima menit!”
“Aku turun dalam waktu 10 menit!” ujar Belva.
Ravin menghela napas dan menjawab. “Baiklah, cepat!”
Tak ada sahutan lagi dari dalam sana. Ravin yakin Belva sudah mengerti. Kemudian ia hendak beranjak dari kamar itu, tetapi tak lama ponsel Belva yang tergeletak di atas nakas bergetar. Langkah Ravin terhenti dan tiba-tiba menjadi resah.
“Telepon dari siapa, ya? jangan-jangan Oma Tarra?” gumam Ravin. Ia gelisah karena mencemaskan rahasianya. Ia takut kalau Belva diam-diam ternyata sudah mengatakan semuanya.
“Ah, tapi kalau dia buka mulut, harusnya Ayah sudah menghubungiku berkali-kali, tapi sejak kemarin hingga hari ini, semuanya baik-baik aja.” Ravin menebak-nebak sendiri.
Ponsel Belva terus bergetar. Sempat mati, kemudian bergetar lagi. Sepertinya ada panggilan penting.
Tanpa ragu, Ravin kembali melangkah mendekat ke arah nakas dan melihat siapa yang membuat panggilan pada istri mudanya itu.
Tigor Calling...
“Siapa Tigor?” Ravin menyipit saat melihat sebuah nama yang tampak asing.
Panggilan tidak terjawab. Sesaat setelah melihat nama pemanggil, Ravin termangu dengan benak yang berputar. Menebak-nebak asal siapa pria bernama Tigor itu. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya Belva masih membutuhkan waktu untuk berganti pakaian.Namun, saat akan beranjak, ponsel sang istri kembali menyala. Kali ini sebuah pesan masuk dari nama yang sama. Ravin melirik singkat dan sempat membaca sebagian pesan itu.Tigor : Dua jam lagi aku tiba di Bali. Aku akan langsung menuju lokasi.Ravin mengeryit. Sepertinya pria itu telah melakukan janji temu dengan istrinya. Tak lama kemudian, Belva yang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dan kembali terkejut saat melihat Ravin masih berada di dalam kamarnya.“Loh, kamu masih di sini?” tanya Belva seraya mengeringkan rambutnya.Ravin tak langsung menjawab. Sejenak ia memperhatikan istrinya yang pagi ini terlihat lebih segar dan cantik. Mengenakan blouse hitam dan celana jeans dengan rambut coklatnya y
Notifikasi pesan berbunyi. Belva yang sedang gusar karena kedatangan Ravin secara tiba-tiba langsung melihat pesan itu. Matanya membulat, pasti Tigor sudah tiba di tempat itu.Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Sampai di ujung sebuah meja dekat jendela kaca besar, ia melihat seorang pria tampan dengan setelan kasualnya sedang mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. Itulah Tigor.Beva pun tersenyum dan memberikan kode agar Tigor ke tempatnya. Kemudian, Ravin pun menoleh ke arah Tigor lalu menyipitkan mata dan berekspresi datar.“Kenapa dia duduk di sana?” tanya Ravin.“Gak tau!” balas Belva.“Dia benar managermu atau ....” Ravin menyelidik. Membuat Belva menatapnya dengan sengit.“Atau apa? kamu akan mengira aku selingkuh?” Belva geram. Mengerti arah pikiran suaminya.“Kalau dia memang orang terdekatmu, kenapa harus duduk jauh dari kita? harusnya ya hampiri saja kita di sini!” kata Ravin santai.Belva terdiam dengan ekspresi yang sangat muak. Malas berdebat dengan suaminya. Ke
Belva mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Entahlah, aku seperti terjerat selama-lamanya!”“Apa kamu punya rencana? Maksudku apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Tigor lagi.Hening beberapa saat, hanya terdengar suara deburan ombak dan angin yang bertiup lembut.“Aku ingin lebih sibuk. Aku tidak ingin banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi, kita harus membuka cabang besar di sini. Aku akan membuat boutique sekaligus membuka kelas desainer. Keduanya harus berbeda tempat. Supaya aku tidak stay di satu tempat saja,” jelas Belva.Tigor mengangguk mengerti. “Itu gampang. Aku akan bantu mengurus segala keperluannya. Bahkan, jika kamu izinkan, aku akan memulainya besok!”“Baguslah.” Belva menghela napas lega dan tersenyum. “Setelah urusan butik selesai, aku mau kita juga mengadakan event besar seperti di Jakarta dua tahun lalu. Kalau perlu lebih besar lagi. Kali ini kita bisa mengundang dan mengajak kerja sama dari rekan di Australia.”“Okay. Ide bagus! kebetulan sekali untuk i
Suasana mendadak hening. Belva termangu saat Tigor malah bertanya seperti itu. Namun, tak lama kemudian pria itu pun tergelak. Melihat ekspresi Belva yang menurutnya sangat lucu.“Tegang amat, Neng!” kata Tigor sambil terus tertawa.Sementara Belva langsung meninju pelan lengan pria itu. Menyebalkan sekali ketika Tigor susah sekali di ajak bicara serius.“Aku serius, Tigor! kamu senang banget becanda.” Belva menggerutu.“Ya nggak dong, Bel. Gini-gini aku masih normal kali!” ujar Tigor yang kali ini membuat Belva tersenyum.“Syukurlah...” Belva menghela napas lega. Kemudian kembali bertanya, “Tapi kamu pernah pacaran gak, sih?”Sejenak Tigor menerawang. Memperlambat waktu dan membuat Belva kembali penasaran.“Ah, aku tuh sebenarnya paling males kalau bahas masa lalu. Karena gak ada yang menarik dari kisah aku itu!” seru Tigor. Membuat bahu Belva merosot.“Setiap orang pasti punya kisah yang menarik. Udah jatahnya setiap orang punya!” timpal Belva yang sok tau. Ia hanya ingin terus mema
Belva menghela napas. Karena malas berdebat, jadilah ia mengakhiri kesenangannya hari ini.“Ya sudah, antar aku pulang!” kata Belva.Tigor hanya tersenyum kemudian mereka beranjak dari pantai. Mereka bergegas menuju area parkir mobil.Belva di antar oleh Tigor untuk pulang. Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Ravin. Ia hanya menilik sesaat, membiarkan ponselnya terus berdering hingga panggilan tidak terjawab.“Kenapa gak di angkat?” tanya Tigor.“Paling juga marah-marah dia!” jawab Belva.“Dia khawatir kali sama kamu!” kata Tigor. Dia hanya terus berusaha mengingatkan Belva akan statusnya saat ini.“Kan ada istri tuanya. Tanpa aku juga dia pasti baik-baik aja!” ketus Belva.“Bukan itu ... dia pasti mencemaskan kamu, Belva. Bagaimanapun kan sekarang kamu itu istrinya. Sudah menjadi tanggung jawabnya!” seru Tigor.&ld
Kalimat itu tanpa disengaja tiba-tiba membuat hati Alana sakit. Sejenak ia termangu dan menoleh ke arah dapur. Melihat madunya yang sedang bersenda gurau dengan asyik bersama ART.“Ya sudah, kalau begitu pergilah! lagipula kemarin kita sudah bersama bukan?” Alana berusaha menerima dan bersikap wajar.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Ravin, memastikan.“Tidak apa. Pergilah! kalau begitu, aku mau langsung beristirahat saja, Mas.” Alana tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu dengan sedikit memaksa. Membuat Ravin menggeser posisi dengan cepat.“Alana, tunggu!” Ravin menahan pintu yang hendak tertutup.“Ya, Mas?” sahut Alana. Nada suaranya pun terdengar lemah. Sepertinya dia kecewa.“Kamu gak marah kan sama aku?” tanya Ravin.Alana menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Andai aku marah, aku gak punya hak untuk melarangmu bersama istri muda. Ini
Perasaannya semakin resah tak karuan. Terkadang menyesali keadaan ini. Mengapa juga ia harus teringat orang lain, sementara dirinya telah menjadi seorang istri. “Stop, Alana. Aku harus kuat! biarkan Mas Ravin berbahagia dengan istri mudanya. Ikhlaskan keadaan bahwa saat ini Ravin bukan hanya milikku. Dan, satu lagi, jangan pernah mengingat masa lalu lagi!” Alana terisak kecil. Berbicara pada dirinya sendiri. Rasanya masih begitu sulit untuk mengikhlaskan. Sementara dalam keterpurukan, bayang-bayang masa lalu justru mulai merongrong. Menciptakan desiran aneh dalam tubuhnya. Terbesit rasa rindu akan seseorang. “Oh Tuhan ... tolong hempaskan dia dalam benakku! aku dan Titan sudah lama berakhir. Tapi kenapa kalau aku sedang kecewa pada Ravin, bayang-bayang pria itu selalu muncul dalam pikiranku?” Alana menjadi gusar. Ia seperti berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat merindukan sosok pria lain tanpa disadari. Membuat gejolak hasrat itu kembali me
Ravin menjeda sesaat ucapannya.“Semua ini aku lakukan, semata-mata hanya ingin kita bisa sama-sama menjaga harga diri. Sebagai suami maupun istri. Agar tidak ada yang terlalu mendominasi atau merasa tertindas. Aku menghargai keputusanmu untuk tak aku sentuh, kamu pun harus menghargai perintah dan aturan sebagai istriku.”Belva tertegun. Ravin memang selalu tegas dalam mengambil sikap. Jiwa kepemimpinannya tak usah diragukan lagi. Sikap wibawa dan kebijaksanaan Ravin itulah yang dulu sempat membuat Belva menyukai pria itu.“Terimakasih, Rav. Kamu sudah mengerti dengan baik. Aku akan menjaga rahasiamu dengan baik di hadapan keluarga besar. Tapi kembali lagi, sebagai imbalannya, aku tidak ingin kamu menyentuhku!” pungkas Belva.“Baiklah. Kamu bukan madu yang manis untukku!” Ravin berujar pelan. Membuat Belva tersenyum tipis.“Anggap saja begitu.”Di tengah-tengah perbincangan. Ponsel Belva bergetar. Ravin pun menilik sedikit dan menangkap sebuah nama yang tertera di layar ponsel istri m
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r