Panggilan tidak terjawab. Sesaat setelah melihat nama pemanggil, Ravin termangu dengan benak yang berputar. Menebak-nebak asal siapa pria bernama Tigor itu. Ia menilik ke arah pintu kamar mandi yang masih tertutup. Sepertinya Belva masih membutuhkan waktu untuk berganti pakaian.
Namun, saat akan beranjak, ponsel sang istri kembali menyala. Kali ini sebuah pesan masuk dari nama yang sama. Ravin melirik singkat dan sempat membaca sebagian pesan itu.
Tigor : Dua jam lagi aku tiba di Bali. Aku akan langsung menuju lokasi.
Ravin mengeryit. Sepertinya pria itu telah melakukan janji temu dengan istrinya. Tak lama kemudian, Belva yang baru selesai berganti pakaian langsung keluar dan kembali terkejut saat melihat Ravin masih berada di dalam kamarnya.
“Loh, kamu masih di sini?” tanya Belva seraya mengeringkan rambutnya.
Ravin tak langsung menjawab. Sejenak ia memperhatikan istrinya yang pagi ini terlihat lebih segar dan cantik. Mengenakan blouse hitam dan celana jeans dengan rambut coklatnya yang masih basah. Ia tertegun.
“Aku sedang melihat-lihat saja kamar ini. Semenjak pindah, aku paling jarang mengunjungi tempat ini. Memastikan saja kalau semuanya masih tampak baik.” Ravin mencari-cari alasan. Ia tidak terus terang bahwa alasan yang membuatnya masih terpaku adalah saat ponsel istrinya bergetar karena panggilan dari seorang pria.
Belva mengerucutkan bibir. Kemudian pandangannya seolah menyelidik pada sang suami.
“Kamar kamu masih baik-baik aja, kok. Emangnya bakal aku rusak-rusakin gitu seluruh properti di tempat ini, pake di pantau segala!” ketus Belva. Saat melihat istrinya seperti itu, justru membuat Ravin tiba-tiba sangat bergairah.
“Bukan gitu. Hm ... by the way, kok kamu keramas? memangnya habis ngapain?” Spontan Ravin bertanya seperti itu. Mengalihkan pembicaraan.
Belva menghentikan aktivitas mengeringkan rambutnya. Kemudian menoleh penuh tanya pada Ravin yang tiba-tiba bersikap sangat aneh.
“Pertanyaan macam apa itu? emangnya ada yang salah kalau aku keramas pagi-pagi?” Belva bertanya balik.
Ravin tertawa kecil kemudian melangkah ke arah Belva. Senyuman manis terukir di wajah rupawan itu.
“Sejak dulu kamu sangat menggemaskan kalau sedang marah, Belva. Tiba-tiba aku merindukan masa-masa itu!” ujarnya dengan lembut.
Belva semakin terheran. Kesambet setan apa Ravin tiba-tiba menjadi begitu hangat dan sok romantis? lebih tepatnya terkesan gombal.
“Kamu kenapa, Rav? kamu ... baik-baik aja, kan?” Belva menaruh punggung tangan di dahi Ravin. Mengecek barangkali saja suaminya itu sedang sakit.
Namun, dengan cepat Ravin meraih tangan Belva. Sentuhan yang lembut dan hangat itu menciptakan desiran aneh dalam diri Belva. Ia susah payah menelan ludah saat Ravin begitu erat menggenggam jemarinya. Semenjak mereka menikah, terhitung hanya satu kali tangannya disentuh oleh Ravin. Itu pun saat penyematan cincin. Setelahnya semua tampak biasa saja. Ravin cenderung cuek dan dingin.
“Kamu cantik, Belva.” Ravin mengecup telapak tangan istri mudanya. Sementara Belva semakin terheran. Dan, sontak menarik tangannya.
“Bukankah katanya tadi ada yang ingin kamu sampaikan sama aku?” Belva berdeham kecil kemudian tak ingin berbasa-basi. “Ayo, katakan! karena aku juga tidak punya waktu banyak.”
Seketika, Ravin kembali tersadar. Sesaat ia memang terpukau dengan pesona istri mudanya itu. Namun, ia teringat akan janjinya pada Alana. Yaitu untuk tidak memberikan kesempatan untuk Belva mengisi hatinya.
“Hm, iya. Sebenarnya hari ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Ravin mengusap hidung. Menghilangkan kecanggungan.
“Suatu tempat? ke mana?” tanya Belva.
“Rumah barumu. Aku sudah menyiapkannya. Tapi sekarang masih tahap pembangunan. Mungkin sekitar dua bulan lagi akan rampung. Paling tidak, kamu harus melihat dulu. Barangkali ada request darimu,” ujar Ravin.
Belva terdiam beberapa detik. Hari ini rencananya ia akan bertemu dengan seseorang.
“Kenapa gak bilang dari kemarin?”
Ravin menatap serius. “Kenapa? hari ini kamu gak bisa dan mau bertemu orang lain?”
Tepat sasaran. Ravin berhasil membuat Belva lagi-lagi termangu dan bertanya-tanya. Darimana dia tahu?
“Iya. Aku ada janji sama seseorang!” jawab Belva lugas. Ekspresinya pun begitu serius namun santai.
“Dengan Tigor?” Ravin bertanya spontan. Membuat Belva melebarkan mata.
Belva langsung menoleh pada ponselnya yang masih tergeletak di atas nakas. Sudah bisa menebak, pasti Ravin sempat melihat ponselnya.
“Iya.” Belva berkata jujur.
“Siapa dia?” tanya Ravin serius.
“Managerku!” kata Belva. Ravin menaikkan alis seolah merespon kata “Oh”.
Kemudian Belva kembali bertanya, “Ada apa?”
Ravin bergeming. Sebenarnya tidak masalah kalau saja pria itu hanya rekan kerjanya. Toh, selama ini Ravin memang tidak banyak tahu tentang latar belakang karir Belva.
“Kamu ada projek di tempat ini atau gimana?” tanya Ravin lagi.
“Iya.” Belva mengangguk. Dari tadi ia hanya menjawab singkat.
“Ya sudah. Kalau kamu sibuk, kita bisa pergi lain kali saja!” ujar Ravin. Ia tersenyum kemudian beranjak keluar. Tak lama, ia kembali berbalik badan.
“Oh ya, pulangnya jangan kemalaman. Kalau bisa maksimal jam 4 sore kamu sudah kembali ke rumah. Aku gak suka wanita yang keluyuran malam-malam!” seru Ravin serius.
Setelah sang suami pergi dan menghilang dari pandangan, Belva hanya menggeleng pelan. Siap Ravin memang sangat aneh.
“Tadi dia dingin, tiba-tiba jadi hangat, sampe cium-cium segala. Terus jadi dingin lagi. Ihh...” Belva bergidik geli membayangkan tingkah Ravin barusan. Apalagi ia kembali teringat kejadian tadi malam saat mendengar aktivitas suami istri di kamar utama itu.
“Tidak sudi aku berbagi badan! itu sangat menjijikan.” Belva mengesah lelah. Berhubungan intim dengan Ravin seperti hal yang menggelikan saat ini. Rasanya ia sudah tidak peduli dengan ikatan pernikahan itu.
Dua jam kemudian. Belva sudah menunggu kedatangan Tigor di sebuah kafe besar di dekat pantai. Sembari menunggu, Belva mendapatkan sebuah telepon. Cepat-cepat ia melihat layar ponsel dan seketika matanya melebar saat Oma Tarra tengah membuat panggilan video dengannya.
“Astaga. Oma! duh, pasti dia mau cerewetin aku!” gumam Belva. Ia tiba-tiba menjadi sangat gelisah. Menimbang-nimbang akan menjawab atau tidak. Terlebih pasti neneknya itu akan menanyakan keberadaan Ravin.
Dengan ragu, Belva akhirnya menjawab panggilan. Ia menarik napas dalam dan memasang senyuman yang merekah.
“Hai, Oma.” Layar menampilkan seorang wanita tua yang tersenyum lebar.
“Hallo, sayang. Gimana bulan madunya? seru, kan? Oh iya, Ravin mana? kok gak ada?”
Benar saja. Itu yang paling pertama ditanya oleh neneknya. Duh, Belva bingung mau menjawab apa.
Ia hanya tersenyum dan tertawa. “Seru banget kok, Oma. Ravin lagi ke toilet. Oma lagi ngapain?”
“Oma lagi di perkebunan. Biasalah, sedang mengurus surat-surat untuk pergantian nama ahli waris.” Oma Tarra menyipitkan mata, saat melihat seseorang di belakang Belva. Kemudian wanita tua itu tersenyum semringah.
“Hai, Ravin...”
Sontak, Belva melebarkan mata dan melihat dari layar ponsel dibelakangnya sudah ada Ravin tengah berdiri dan melambai ke arah Oma.
Belva terkejut dan spontan menutup layar ponsel tetapi panggilan video tetap berlangsung. Ia memelotot ke arah Ravin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang.
“Kok kamu di sini?” bisiknya.
Respon Ravin hanya tersenyum. Membuat Belva semakin terheran dengan sikap pria aneh dan dingin itu.
“Belva ....” Oma Tarra memanggil lagi. Belva langsung kembali mengarahkan ponsel untuk melakukan panggilan video.
“Oma ganggu kalian ya?” kata wanita tua itu.
“Oh, nggak ....”
“Mohon maaf, Oma. Sebenarnya sih benar mengganggu, hehe!” Ravin langsung menyambar. Senyuman jenaka pun terpancar diwajahnya. Membuat Oma Tarra terkekeh di seberang panggilan.
“Oke, oke, Oma mengerti. Baiklah, lanjutkan saja bulan madunya ya. Oma hanya ingin memastikan keadaan kalian saja, kok.”
Belva hanya tersenyum dan mengangguk. Setelah berbasa-basi, panggilan telepon pun berakhir.
“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Belva menoleh dengan tatapan kesal pada suaminya. “Apa kamu membuntuti aku?”
Ravin menyeringai kecil. Kemudian dengan santai berujar, “Aku hanya sudah menduga hal ini akan terjadi. Oma pasti akan menanyakan aku! kamu beruntung, karena kebetulan aku benar-benar ada di sini!”
Belva mendengus kesal. Tidak terlalu peduli alasan Ravin benar atau tidak. Tetapi menurut instingnya, pria itu pasti sengaja mengikutinya ke tempat ini.
“Memangnya kamu gak kerja?” tanya Belva.
“Aku big bos! aku bisa bekerja di mana saja,” jawab Ravin.
Dari arah lain, Tigor rupanya sudah datang sejak Belva menerima panggilan video dari neneknya. Tak lama kemudian, Ravin langsung menghampiri Belva dan dari pandangan jarak jauh terlihat mereka itu sangat serasi dan bahagia.
Tigor memilih duduk di tempat lain. Menunggu sampai Ravin beranjak. Atau mungkin Belva sebenarnya memang mengajak suaminya?
Tigor tidak mau menerka-nerka. Ia langsung mengirimkan sebuah pesan singkat pada Belva.
Kamu bawa suamimu, kah?
Notifikasi pesan berbunyi. Belva yang sedang gusar karena kedatangan Ravin secara tiba-tiba langsung melihat pesan itu. Matanya membulat, pasti Tigor sudah tiba di tempat itu.Ia mengedarkan pandangan ke segala arah. Sampai di ujung sebuah meja dekat jendela kaca besar, ia melihat seorang pria tampan dengan setelan kasualnya sedang mengangkat tangan dan melambai ke arahnya. Itulah Tigor.Beva pun tersenyum dan memberikan kode agar Tigor ke tempatnya. Kemudian, Ravin pun menoleh ke arah Tigor lalu menyipitkan mata dan berekspresi datar.“Kenapa dia duduk di sana?” tanya Ravin.“Gak tau!” balas Belva.“Dia benar managermu atau ....” Ravin menyelidik. Membuat Belva menatapnya dengan sengit.“Atau apa? kamu akan mengira aku selingkuh?” Belva geram. Mengerti arah pikiran suaminya.“Kalau dia memang orang terdekatmu, kenapa harus duduk jauh dari kita? harusnya ya hampiri saja kita di sini!” kata Ravin santai.Belva terdiam dengan ekspresi yang sangat muak. Malas berdebat dengan suaminya. Ke
Belva mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Entahlah, aku seperti terjerat selama-lamanya!”“Apa kamu punya rencana? Maksudku apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Tigor lagi.Hening beberapa saat, hanya terdengar suara deburan ombak dan angin yang bertiup lembut.“Aku ingin lebih sibuk. Aku tidak ingin banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi, kita harus membuka cabang besar di sini. Aku akan membuat boutique sekaligus membuka kelas desainer. Keduanya harus berbeda tempat. Supaya aku tidak stay di satu tempat saja,” jelas Belva.Tigor mengangguk mengerti. “Itu gampang. Aku akan bantu mengurus segala keperluannya. Bahkan, jika kamu izinkan, aku akan memulainya besok!”“Baguslah.” Belva menghela napas lega dan tersenyum. “Setelah urusan butik selesai, aku mau kita juga mengadakan event besar seperti di Jakarta dua tahun lalu. Kalau perlu lebih besar lagi. Kali ini kita bisa mengundang dan mengajak kerja sama dari rekan di Australia.”“Okay. Ide bagus! kebetulan sekali untuk i
Suasana mendadak hening. Belva termangu saat Tigor malah bertanya seperti itu. Namun, tak lama kemudian pria itu pun tergelak. Melihat ekspresi Belva yang menurutnya sangat lucu.“Tegang amat, Neng!” kata Tigor sambil terus tertawa.Sementara Belva langsung meninju pelan lengan pria itu. Menyebalkan sekali ketika Tigor susah sekali di ajak bicara serius.“Aku serius, Tigor! kamu senang banget becanda.” Belva menggerutu.“Ya nggak dong, Bel. Gini-gini aku masih normal kali!” ujar Tigor yang kali ini membuat Belva tersenyum.“Syukurlah...” Belva menghela napas lega. Kemudian kembali bertanya, “Tapi kamu pernah pacaran gak, sih?”Sejenak Tigor menerawang. Memperlambat waktu dan membuat Belva kembali penasaran.“Ah, aku tuh sebenarnya paling males kalau bahas masa lalu. Karena gak ada yang menarik dari kisah aku itu!” seru Tigor. Membuat bahu Belva merosot.“Setiap orang pasti punya kisah yang menarik. Udah jatahnya setiap orang punya!” timpal Belva yang sok tau. Ia hanya ingin terus mema
Belva menghela napas. Karena malas berdebat, jadilah ia mengakhiri kesenangannya hari ini.“Ya sudah, antar aku pulang!” kata Belva.Tigor hanya tersenyum kemudian mereka beranjak dari pantai. Mereka bergegas menuju area parkir mobil.Belva di antar oleh Tigor untuk pulang. Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Ravin. Ia hanya menilik sesaat, membiarkan ponselnya terus berdering hingga panggilan tidak terjawab.“Kenapa gak di angkat?” tanya Tigor.“Paling juga marah-marah dia!” jawab Belva.“Dia khawatir kali sama kamu!” kata Tigor. Dia hanya terus berusaha mengingatkan Belva akan statusnya saat ini.“Kan ada istri tuanya. Tanpa aku juga dia pasti baik-baik aja!” ketus Belva.“Bukan itu ... dia pasti mencemaskan kamu, Belva. Bagaimanapun kan sekarang kamu itu istrinya. Sudah menjadi tanggung jawabnya!” seru Tigor.&ld
Kalimat itu tanpa disengaja tiba-tiba membuat hati Alana sakit. Sejenak ia termangu dan menoleh ke arah dapur. Melihat madunya yang sedang bersenda gurau dengan asyik bersama ART.“Ya sudah, kalau begitu pergilah! lagipula kemarin kita sudah bersama bukan?” Alana berusaha menerima dan bersikap wajar.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Ravin, memastikan.“Tidak apa. Pergilah! kalau begitu, aku mau langsung beristirahat saja, Mas.” Alana tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu dengan sedikit memaksa. Membuat Ravin menggeser posisi dengan cepat.“Alana, tunggu!” Ravin menahan pintu yang hendak tertutup.“Ya, Mas?” sahut Alana. Nada suaranya pun terdengar lemah. Sepertinya dia kecewa.“Kamu gak marah kan sama aku?” tanya Ravin.Alana menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Andai aku marah, aku gak punya hak untuk melarangmu bersama istri muda. Ini
Perasaannya semakin resah tak karuan. Terkadang menyesali keadaan ini. Mengapa juga ia harus teringat orang lain, sementara dirinya telah menjadi seorang istri. “Stop, Alana. Aku harus kuat! biarkan Mas Ravin berbahagia dengan istri mudanya. Ikhlaskan keadaan bahwa saat ini Ravin bukan hanya milikku. Dan, satu lagi, jangan pernah mengingat masa lalu lagi!” Alana terisak kecil. Berbicara pada dirinya sendiri. Rasanya masih begitu sulit untuk mengikhlaskan. Sementara dalam keterpurukan, bayang-bayang masa lalu justru mulai merongrong. Menciptakan desiran aneh dalam tubuhnya. Terbesit rasa rindu akan seseorang. “Oh Tuhan ... tolong hempaskan dia dalam benakku! aku dan Titan sudah lama berakhir. Tapi kenapa kalau aku sedang kecewa pada Ravin, bayang-bayang pria itu selalu muncul dalam pikiranku?” Alana menjadi gusar. Ia seperti berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat merindukan sosok pria lain tanpa disadari. Membuat gejolak hasrat itu kembali me
Ravin menjeda sesaat ucapannya.“Semua ini aku lakukan, semata-mata hanya ingin kita bisa sama-sama menjaga harga diri. Sebagai suami maupun istri. Agar tidak ada yang terlalu mendominasi atau merasa tertindas. Aku menghargai keputusanmu untuk tak aku sentuh, kamu pun harus menghargai perintah dan aturan sebagai istriku.”Belva tertegun. Ravin memang selalu tegas dalam mengambil sikap. Jiwa kepemimpinannya tak usah diragukan lagi. Sikap wibawa dan kebijaksanaan Ravin itulah yang dulu sempat membuat Belva menyukai pria itu.“Terimakasih, Rav. Kamu sudah mengerti dengan baik. Aku akan menjaga rahasiamu dengan baik di hadapan keluarga besar. Tapi kembali lagi, sebagai imbalannya, aku tidak ingin kamu menyentuhku!” pungkas Belva.“Baiklah. Kamu bukan madu yang manis untukku!” Ravin berujar pelan. Membuat Belva tersenyum tipis.“Anggap saja begitu.”Di tengah-tengah perbincangan. Ponsel Belva bergetar. Ravin pun menilik sedikit dan menangkap sebuah nama yang tertera di layar ponsel istri m
Alana terdiam. Wajahnya menunduk lemah, kemudian kembali berbaring dengan ekspresi sedih.“Kamu kan sudah tau aku gimana?” katanya dengan lemah.“Tapi kan aku gak ke mana-mana, Alana. Kamu bisa meminta itu jika kamu mau!” ujar Ravin.“Bagaimana bisa? sementara kamu sedang asyik bersama istri muda. Aku gak mungkin mengacaukan itu!” balas Alana.“Come on, Alana. Maafkan aku, tapi ... kamu jangan keseringan melakukan itu sendirian, karena aku jadi merasa tidak berguna sebagai suami. Katakan saja kapanpun kamu inginkan!” ujar Ravin sembari mengusap lembut wajah sang istri.“Tapi aku gak mau mengganggu waktumu dengan Belva.” Alana terisak. Akhir-akhir ini ia menjadi sangat sensitif.Ravin mendekap erat sang istri tercinta. Merasa terharu karena meski memiliki daya hasrat yang berlebih, tetapi Alana selalu bisa menjaga diri dan tetap merelakan suaminya bersama wanita lain. Yang membuatnya menjadi tersiksa sendiri.“Maafkan aku, sayang. Sebagai permohonan maaf, apa yang kamu inginkan hari in
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r