Alana terdiam. Wajahnya menunduk lemah, kemudian kembali berbaring dengan ekspresi sedih.“Kamu kan sudah tau aku gimana?” katanya dengan lemah.“Tapi kan aku gak ke mana-mana, Alana. Kamu bisa meminta itu jika kamu mau!” ujar Ravin.“Bagaimana bisa? sementara kamu sedang asyik bersama istri muda. Aku gak mungkin mengacaukan itu!” balas Alana.“Come on, Alana. Maafkan aku, tapi ... kamu jangan keseringan melakukan itu sendirian, karena aku jadi merasa tidak berguna sebagai suami. Katakan saja kapanpun kamu inginkan!” ujar Ravin sembari mengusap lembut wajah sang istri.“Tapi aku gak mau mengganggu waktumu dengan Belva.” Alana terisak. Akhir-akhir ini ia menjadi sangat sensitif.Ravin mendekap erat sang istri tercinta. Merasa terharu karena meski memiliki daya hasrat yang berlebih, tetapi Alana selalu bisa menjaga diri dan tetap merelakan suaminya bersama wanita lain. Yang membuatnya menjadi tersiksa sendiri.“Maafkan aku, sayang. Sebagai permohonan maaf, apa yang kamu inginkan hari in
“Waw, kalau nanti sudah melahirkan apa kamu mengizinkan istrimu untuk kembali berkarir?” tanya Belva pada Ravin.Sejenak Ravin berpikir. Sebenarnya malas untuk menjawab hal seperti itu. Sementara Alana pun tampak penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh suaminya.“Tetep gak boleh. Lebih baik fokus mengurus anak di rumah!” seru Ravin.Terlihat jelas ekspresi Alana pun menjadi datar cenderung sedih.Belva tersenyum tipis. Menurutnya alasan macam itu? bukankah di luar sana juga banyak wanita yang sudah menikah, mengandung bahkan sudah memiliki beberapa anak dan masih tetap bisa berkarir hingga sukses?“Kalau begitu, kenapa Belva kamu izinkan untuk kerja?” Alana protes.Ravin menghela napas. Menoleh pada istrinya yang tiba-tiba merajuk.“Belva kan punya tanggung jawab besar dalam bisnisnya. Gak mungkin tiba-tiba dia harus vakum atau meninggalkan pekerjaannya gitu aja,” ujar Ravin santai.“Lagipula kamu kan semenjak hamil jadi lebih banyak kecapean, dan memang lebih baik banyak b
Tigor menatap lurus Belva yang bertanya-tanya. Tatapannya begitu meneduhkan. Senyuman manis itu selalu membuat wanita manapun pasti akan takluk dengan pria seperti Tigor.“Sudah aku bilang, mudah untuk aku tau hal itu.” Tigor menjeda sesaat ucapannya. Matanya langsung teralihkan menatap pemandangan sawah yang terbentang luas dan tersusun rapi di antara perbukitan.“Karena kalau kamu bahagia dengan suamimu, gak mungkin kamu melihatku di tempat semalam, dan mengirim pesan padaku.” Tigor kembali menatap Belva yang terdiam.Ucapannya seperti hal yan tersirat. Artinya, jika tadi malam Belva tidur dan bersenang-senang dengan Ravin, tidak mungkin Belva memiliki kesempatan untuk mengirim pesan pada pria lain.Belva masih terdiam dengan hatinya yang berdesir nyeri. Mengapa di tengah-tengah kesedihan, justru orang lain yang lebih mengerti dirinya.“Aku gak tau harus berbuat apa. Rasanya aku ingin sekali terlepas dari belenggu yang menyedihkan ini, Tigor.” Belva melipat bibir yang bergetar menah
Belva pun sempat bertanya-tanya dalam benaknya. Ada apa dengan Tigor. Apa dia marah padanya atau kesal karena kedatangan Ravin dan Alana?Sementara itu, Alana hanya menyeringai kecil menatap kepergian Belva dan Tigor.“Mereka lebih dekat dari yang aku bayangkan, ya?” katanya dengan nada yang ketus.“Wajar. Namanya manager!” balas Ravin.“Gimana kalau mereka ada main sesuatu?” Alana selalu ahli dalam mengompori.“Belva dan Tigor bukan orang seperti itu!” ucap Ravin tegas.“Kenapa kamu begitu yakin?” tanya Alana menyelidik.“Aku kenal Belva dari kecil. Aku tau perangai dan moralnya. Dia wanita baik-baik!” kata Ravin. Membuat hati Alana sedikit cemburu. Ia sangat yakin dengan ucapannya. Apalagi semenjak menikah Belva tidak mau disentuh. Bahkan oleh suaminya sendiri.“Itu kan Belva, kalau managernya kan kamu gak tau seperti apa sikapnya,” timpal Ala
“Atau terkadang memang begitu menurut perhitungan medis. Usia kehamilan dan pernikahan kadang tidak bisa di pukul rata. Apalagi patokan perhitungannya itu adalah saat hari pertama haid terakhir. Tapi untuk detailnya aku juga tidak terlalu paham.” sambung Belva.Tigor masih tampak berpikir. Kecepatan mobil pun ia kurangi.“Aku juga pernah dengar soal perhitungan medis itu. Tapi ... kalau dilihat dari kasus Ravin dan Alana, sepertinya memang kehamilan itu sudah terjadi sebelum mereka menikah.” Tigor berujar serius.Belva membuang napas pelan dan berkata, “Aku gak peduli. Mau hamil sebelum atau setelah menikah, itu urusan mereka.”“Memangnya kenapa? kamu dari tadi kelihatan kayak gusar sekali, Tigor?” tanya Belva.Yang ditanya malah melamun dengan benaknya yang tiba-tiba menjadi penuh. Belva menepuk bahu Tigor dan membuatnya mengerjapkan mata.“Hei, malah bengong? hati-hati loh kamu lagi nye
“Jangankan mengucapkan, aku melihat namamu bersatu dengan Arav saja sudah hampir membuat jantungku berhenti berdetak. Aku seperti mati, Belva!” seru Tigor.“Tapi, ternyata bayang-bayang kebahagiaanmu itu tak seindah yang aku duga. Arav di ringkus polisi, kalian ternyata berpisah. Dan terakhir kabar kematian Arav yang membuat aku kembali menghubungimu, aku lebih terkejut lagi saat mendengar kamu ternyata menikah lagi. dan tanpa disadari hal itulah yang membuat kita kembali bertemu!” sambung Tigor.Belva menunduk lemah. Di balik diamnya Tigor tentang kisah cintanya, ternyata ia menjadi salah satu ceritanya.“Jangan berpikir aku bahagia atas perpisahan kamu dengan Arav. Justru, niatku bertemu denganmu karena aku juga sangat sedih melihat kamu menderita, apalagi dengan fakta kamu menikah lagi dengan pria lain yang jelas tidak kamu cintai!” Tigor menoleh dan menggenggam jemari Belva.Belva pun menoleh. Matanya berembun denga
“Apa lagi yang kamu pikirkan, sayang?” tanya Tigor. Semenjak ia mengungkapkan perasaannya, tak segan-segan lagi untuknya memanggil Belva dengan sebutan ‘Baby, sayang, my dear’ dan sebutan-sebutan lainnya yang menunjukkan bahwa ia mencintai wanita itu.Belva pun tak keberatan dengan panggilan-panggilan yang disematkan oleh Tigor. Toh, lambat laun sepertinya ia pun sangat nyaman dan mulai membuka hati untuk pria rupawan itu.“Sedih aja pas lagi teleponan sama Oma, aku lihat Ravin sama Alana. Sedih bukan karena cemburu atau gimana, tapi lebih pada perasaan yang menyayangkan keadaan. Andaikan orang tua kami mengerti artinya cinta dan menghargai pilihan anak-anak mereka, pasti kami gak akan menderita begini,” ujar Belva.Sorot matanya penuh kesedihan.“Ravin itu bahagia dan kelihatan cinta banget sama Alana. Apalagi beberapa bulan lagi mereka akan punya anak. Sementara kehadiran aku di sana, benar-ben
“Ya. Jadi, kita harus bersiap-siap!” kata Ravin.Belva langsung teringat akan Oma Tarra. Bagaimana kalau mereka datang bersamaan? Dan, ini sangat mendadak.“Memangnya apa rencana kamu, Rav?” tanya Belva, saat ini mereka akhirnya duduk bersama di ruang makan. Bersama dengan Alana juga.“Kamu harus pindah ke kamar utama. Alana pindah ke kamar kamu di lantai dua,” ujar Ravin.“Gimana kalau ayahmu melihat Alana, apalagi dalam kondisi yang sedang hamil? apa gak akan membuat dia kaget dan bertanya-tanya?” tanya Belva santai.Ravin tampak berpikir sejenak. Sangat beresiko jika Alana berada dalam satu atap dengan mereka.“Aku di hotel aja, Mas. Menurutku itu lebih aman, kalian juga bisa lebih leluasa saat bertemu orang tua!” usul Alana.“Ide yang bagus.” Komentar Belva.“Tapi ... kamu gak apa-apa kalau sementara waktu sendirian di hotel dulu?” Ravin tampak kurang yakin. Pasalnya beberapa hal selalu terjadi saat Alana harus ditinggal sendirian.“Gak apa-apa, kok. Untuk waktu satu atau dua hari
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r