“Apa lagi yang kamu pikirkan, sayang?” tanya Tigor. Semenjak ia mengungkapkan perasaannya, tak segan-segan lagi untuknya memanggil Belva dengan sebutan ‘Baby, sayang, my dear’ dan sebutan-sebutan lainnya yang menunjukkan bahwa ia mencintai wanita itu.
Belva pun tak keberatan dengan panggilan-panggilan yang disematkan oleh Tigor. Toh, lambat laun sepertinya ia pun sangat nyaman dan mulai membuka hati untuk pria rupawan itu.
“Sedih aja pas lagi teleponan sama Oma, aku lihat Ravin sama Alana. Sedih bukan karena cemburu atau gimana, tapi lebih pada perasaan yang menyayangkan keadaan. Andaikan orang tua kami mengerti artinya cinta dan menghargai pilihan anak-anak mereka, pasti kami gak akan menderita begini,” ujar Belva.
Sorot matanya penuh kesedihan.
“Ravin itu bahagia dan kelihatan cinta banget sama Alana. Apalagi beberapa bulan lagi mereka akan punya anak. Sementara kehadiran aku di sana, benar-ben
“Ya. Jadi, kita harus bersiap-siap!” kata Ravin.Belva langsung teringat akan Oma Tarra. Bagaimana kalau mereka datang bersamaan? Dan, ini sangat mendadak.“Memangnya apa rencana kamu, Rav?” tanya Belva, saat ini mereka akhirnya duduk bersama di ruang makan. Bersama dengan Alana juga.“Kamu harus pindah ke kamar utama. Alana pindah ke kamar kamu di lantai dua,” ujar Ravin.“Gimana kalau ayahmu melihat Alana, apalagi dalam kondisi yang sedang hamil? apa gak akan membuat dia kaget dan bertanya-tanya?” tanya Belva santai.Ravin tampak berpikir sejenak. Sangat beresiko jika Alana berada dalam satu atap dengan mereka.“Aku di hotel aja, Mas. Menurutku itu lebih aman, kalian juga bisa lebih leluasa saat bertemu orang tua!” usul Alana.“Ide yang bagus.” Komentar Belva.“Tapi ... kamu gak apa-apa kalau sementara waktu sendirian di hotel dulu?” Ravin tampak kurang yakin. Pasalnya beberapa hal selalu terjadi saat Alana harus ditinggal sendirian.“Gak apa-apa, kok. Untuk waktu satu atau dua hari
Mengingat ruang tamu berada tak jauh dari tangga utama menuju lantai dua, dan dari arah kamar utama pun bisa langsung terhubung ke ruang tamu, jadilah Belva mengikuti arahan Bi Yola. Meminimilasir rasa curiga dari orang tua mereka.Rumah Ravin memiliki dua akses anak tangga untuk menuju lantai dua. Pertama ada di dekat ruang tamu, dan kedua berada di sebelah dapur.“Oke, oke, ide bagus. Aku balik lagi ke ruang tamu deh kalau gitu. Pokoknya hati-hati ya, Bi. Barang-barang aku juga gak banyak, kok. Rata-rata masih rapih dalam koper, paling baju-baju sama barang-barang di kamar mandi aja!” ujar Belva.“Baik, Nyonya.”Kemudian Belva langsung membuatkan minuman dan cemilan, lalu mengantarkannya ke ruang tamu.Sementara di dalam kamar utama, Ravin masih mengatur napas dan berusaha mengendalikan diri untuk menahan Alana agar tidak keluar dari kamar.“Ada apa, Mas? Kok pake kunci pintu segala? Siapa yang bertamu malam-malam begini?” tanya Alana. Ia terlihat sangat kebingungan.“Ada ayahku dan
“Oh ya, kok bisa Oma mimpi begitu?” tanya Belva, ia mulai kembali tegang.“Nggak ngerti. Pokoknya Oma lihat kamu nangis dan ditinggal pergi sama Ravin di kamar seperti ini. Terus, kamu pergi ke pinggiran pantai dan kamu malah bahagia banget sama lelaki lain. Duh, aneh banget mimpi Oma itu!” Oma Tarra bergidik ngeri.Sementara Belva hanya terdiam. Lidahnya kelu untuk berkata-kata. Pasalnya apa yang di alami Oma Tarra dalam mimpi, persis sekali dengan apa yang di alami Belva dalam kenyataannya.“Kamu benar baik-baik saja kan, Nak? kamu bahagia menikah dengan Ravin, kan?” tanya Oma Tarra serius.Belva menelan ludah, kemudian tersenyum.“Aku baik-baik aja, Oma. Aku bahagia, sangat bahagia!” kata Belva. Lidah dan hati memang terkadang terpaksa tak sejalan.Oma tersenyum manis. Matanya pun berembun dengan bibir yang sedikit bergetar.“Oma percaya pada Ravin. Dia adalah lelaki yang sangat tepat untuk menjadi pendampingmu. Dia pasti akan selalu membahagiakanmu!” seru Oma.Andai Oma tau, kalau
Ravin tercekat. Antara ingin marah dan mengatakan yang sebenarnya. Tapi tidak mungkin itu terjadi. Saat ini ia benar-benar terpaku.“Ravin, kamu jangan pernah main-main soal hubungan! kamu keturunan baik-baik. Jangan pernah mempermainkan tradisi keluarga dan leluhurmu!” sambung Givari. Ia seperti sudah membaca gelagat aneh dari putranya.“Ayah menikahkan kamu dengan Belva, karena wanita itu jelas asal usulnya. Sementara wanita yang kamu puja itu, tak lebih dari seorang wanita jalang murahan! apa kamu sejahat itu ingin menghancurkan kepercayaan keluarga? lantas, dimana harga diri dan rasa hormat yang kamu pahami itu?” Givari mulai geram.Dadanya pun mendadak merasakan nyeri dan sesak. Tentu saja penyakit jantungnya bisa saja kumat kapanpun kalau mendengar sesuatu yang mengganggu hati dan pikiran.Ravin menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang dan mengendalikan diri.“Ayah, tenanglah! itu hanya ada dalam pikiran Ayah saja. Aku ... dan Alana sudah berakhir. Aku tidak bermaksud mem
“Tapi kan kita gak sering kok, Oma,” ucap Belva. Dan disetujui dengan anggukkan kepala oleh Ravin.Sementara wanita tua itu hanya bereskpresi datar dan kembali berujar.“Bukan masalah sering atau tidaknya. Tapi ... berdasarkan pengalaman yang Oma lihat sejak dulu, kalau pasangan suami istri pisah kamar, tidak serumah, bahkan sampai tidak berhubungan badan dalam waktu 40 hari, itu sudah menjadi pertanda buruk dari sebuah pernikahan. Lebih buruknya akan ada badai yang bisa memisahkan keduanya!” papar Oma Tarra.Mitos atau fakta jaman dulu, memang selalu dipercaya oleh kebanyakan orang. Terlebih biasanya semua itu memainkan emosional dan keyakinan.Ravin dan Belva saling menatap. Rasanya ucapan orang tua itu seperti sedang menggambarkan keadaan mereka yang sebenar-benarnya.“Kita baik-baik saja, Oma. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan!” seru Ravin. Berharap perbincangan membosankan itu segera diakhiri.“Semoga saja selalu seperti itu, entah kenapa perasaan Oma malah tidak tenang sekali y
“Jaga ucapanmu!!” tandas Belva dan melotot.“Tapi itu fakta kan? kadang aku gak terima kamu dilambungkan terlalu tinggi oleh keluarga Ravin sementara apa yang kita perbuat itu sama saja. Sama-sama lari mencari kebahagiaan!” balas Alana.“Aku dipandang rendahan, sementara kamu bak ratu yang berharga. Tanpa mereka sadari, ratu yang dipuja-puja itu tak lebih seperti wanita rendahan yang menghabiskan waktunya bersama pria lain ketimbang suaminya! katanya kamu berakhlak dan bermoral, tetapi menolak melayani suami! apakah masih pantas jika disebut wanita terhormat sampai lupa kewajiban?”Bibir Belva bergetar menahan amarah. Rasanya ingin sekali mencabik-cabik wajah perempuan dihadapannya. Semakin lama, perangai asli Alana semakin terlihat jelas. Belva tak habis pikir dengan itu.Ravin nyaris menarik lengan Alana dan siap memarahinya. Tetapi dengan cepat, Belva mengangkat tangan untuk menghentikan langkah Ravin.Belva m
“Belva tidak minta apa-apa selain aku tidak menyentuhnya!” jawab Ravin.“Alana, tolonglah. Mengerti keadaan ini! Aku dan Belva benar-benar sedang terhimpit keadaan. Jangan lakukan sesuatu yang dapat membuat Belva bersedih dan kecewa lagi. Karena aku gak bisa tebak apa yang akan dia lakukan kalau sampe dia benar-benar kecewa sama kita!” Ravin memohon.“Kamu takut kalau Belva mengatakan hal yang sebenarnya sama keluargamu?” kata Alana. Ravin hanya menunduk dan mengangguk lemah.Alana membuang napas perlahan. Kalau sampai itu terjadi, tentu saja semuanya akan berantakan. Bahkan ia sendiri pun akan terancam berpisah dengan Ravin.Alana duduk disebelah Ravin. Ia mengusap lembut punggung suaminya.“Mas, maafkan aku! Aku ngerti posisi kalian, tapi ... aku juga gak mau memberikan anakku ini untuk diakui menjadi anak kandung Belva.” Alana mengusap perutnya. Gerakan lembut dan kecil mulai terasa dari dalam peru
Ravin menatap penuh penyesalan melihat pemandangan dihalaman belakang rumah itu. Ia tentu saja mendengar semua perbincangan Belva dengan seorang pria yang tak lain adalah Tigor.Hatinya merasakan sebuah desiran yang aneh. Rasanya bercampur aduk antara bersalah, sedih juga cemburu. Mungkin rasa cemburu itu hadir karena semestinya Belva lebih dekat dengan dirinya, ketimbang pria lain.Namun, apa boleh buat? Apa yang terjadi pada Belva saat ini juga tak lain karena kesalahan Ravin. Yang sejak awal tak pernah berterus terang soal hubungannya dengan Alana.“Aku benar-benar bodoh. Aku selalu menorehkan luka dihatimu, sementara pria itu yang selalu menjadi penawar rasa sakitmu, Belva.” Ravin bergumam sendirian.Sebelumnya, setelah memastikan Alana tertidur pulas, Ravin beranjak dari kamar untuk mencari udara segar. Atau mungkin tujuannya keluar dari kamar memang untuk mencari keberadaan Belva.Setelah dicari-cari ke segala tempat, rupanya Belv
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r