Suasana mendadak hening. Belva termangu saat Tigor malah bertanya seperti itu. Namun, tak lama kemudian pria itu pun tergelak. Melihat ekspresi Belva yang menurutnya sangat lucu.“Tegang amat, Neng!” kata Tigor sambil terus tertawa.Sementara Belva langsung meninju pelan lengan pria itu. Menyebalkan sekali ketika Tigor susah sekali di ajak bicara serius.“Aku serius, Tigor! kamu senang banget becanda.” Belva menggerutu.“Ya nggak dong, Bel. Gini-gini aku masih normal kali!” ujar Tigor yang kali ini membuat Belva tersenyum.“Syukurlah...” Belva menghela napas lega. Kemudian kembali bertanya, “Tapi kamu pernah pacaran gak, sih?”Sejenak Tigor menerawang. Memperlambat waktu dan membuat Belva kembali penasaran.“Ah, aku tuh sebenarnya paling males kalau bahas masa lalu. Karena gak ada yang menarik dari kisah aku itu!” seru Tigor. Membuat bahu Belva merosot.“Setiap orang pasti punya kisah yang menarik. Udah jatahnya setiap orang punya!” timpal Belva yang sok tau. Ia hanya ingin terus mema
Belva menghela napas. Karena malas berdebat, jadilah ia mengakhiri kesenangannya hari ini.“Ya sudah, antar aku pulang!” kata Belva.Tigor hanya tersenyum kemudian mereka beranjak dari pantai. Mereka bergegas menuju area parkir mobil.Belva di antar oleh Tigor untuk pulang. Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Ravin. Ia hanya menilik sesaat, membiarkan ponselnya terus berdering hingga panggilan tidak terjawab.“Kenapa gak di angkat?” tanya Tigor.“Paling juga marah-marah dia!” jawab Belva.“Dia khawatir kali sama kamu!” kata Tigor. Dia hanya terus berusaha mengingatkan Belva akan statusnya saat ini.“Kan ada istri tuanya. Tanpa aku juga dia pasti baik-baik aja!” ketus Belva.“Bukan itu ... dia pasti mencemaskan kamu, Belva. Bagaimanapun kan sekarang kamu itu istrinya. Sudah menjadi tanggung jawabnya!” seru Tigor.&ld
Kalimat itu tanpa disengaja tiba-tiba membuat hati Alana sakit. Sejenak ia termangu dan menoleh ke arah dapur. Melihat madunya yang sedang bersenda gurau dengan asyik bersama ART.“Ya sudah, kalau begitu pergilah! lagipula kemarin kita sudah bersama bukan?” Alana berusaha menerima dan bersikap wajar.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Ravin, memastikan.“Tidak apa. Pergilah! kalau begitu, aku mau langsung beristirahat saja, Mas.” Alana tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu dengan sedikit memaksa. Membuat Ravin menggeser posisi dengan cepat.“Alana, tunggu!” Ravin menahan pintu yang hendak tertutup.“Ya, Mas?” sahut Alana. Nada suaranya pun terdengar lemah. Sepertinya dia kecewa.“Kamu gak marah kan sama aku?” tanya Ravin.Alana menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Andai aku marah, aku gak punya hak untuk melarangmu bersama istri muda. Ini
Perasaannya semakin resah tak karuan. Terkadang menyesali keadaan ini. Mengapa juga ia harus teringat orang lain, sementara dirinya telah menjadi seorang istri. “Stop, Alana. Aku harus kuat! biarkan Mas Ravin berbahagia dengan istri mudanya. Ikhlaskan keadaan bahwa saat ini Ravin bukan hanya milikku. Dan, satu lagi, jangan pernah mengingat masa lalu lagi!” Alana terisak kecil. Berbicara pada dirinya sendiri. Rasanya masih begitu sulit untuk mengikhlaskan. Sementara dalam keterpurukan, bayang-bayang masa lalu justru mulai merongrong. Menciptakan desiran aneh dalam tubuhnya. Terbesit rasa rindu akan seseorang. “Oh Tuhan ... tolong hempaskan dia dalam benakku! aku dan Titan sudah lama berakhir. Tapi kenapa kalau aku sedang kecewa pada Ravin, bayang-bayang pria itu selalu muncul dalam pikiranku?” Alana menjadi gusar. Ia seperti berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat merindukan sosok pria lain tanpa disadari. Membuat gejolak hasrat itu kembali me
Ravin menjeda sesaat ucapannya.“Semua ini aku lakukan, semata-mata hanya ingin kita bisa sama-sama menjaga harga diri. Sebagai suami maupun istri. Agar tidak ada yang terlalu mendominasi atau merasa tertindas. Aku menghargai keputusanmu untuk tak aku sentuh, kamu pun harus menghargai perintah dan aturan sebagai istriku.”Belva tertegun. Ravin memang selalu tegas dalam mengambil sikap. Jiwa kepemimpinannya tak usah diragukan lagi. Sikap wibawa dan kebijaksanaan Ravin itulah yang dulu sempat membuat Belva menyukai pria itu.“Terimakasih, Rav. Kamu sudah mengerti dengan baik. Aku akan menjaga rahasiamu dengan baik di hadapan keluarga besar. Tapi kembali lagi, sebagai imbalannya, aku tidak ingin kamu menyentuhku!” pungkas Belva.“Baiklah. Kamu bukan madu yang manis untukku!” Ravin berujar pelan. Membuat Belva tersenyum tipis.“Anggap saja begitu.”Di tengah-tengah perbincangan. Ponsel Belva bergetar. Ravin pun menilik sedikit dan menangkap sebuah nama yang tertera di layar ponsel istri m
Alana terdiam. Wajahnya menunduk lemah, kemudian kembali berbaring dengan ekspresi sedih.“Kamu kan sudah tau aku gimana?” katanya dengan lemah.“Tapi kan aku gak ke mana-mana, Alana. Kamu bisa meminta itu jika kamu mau!” ujar Ravin.“Bagaimana bisa? sementara kamu sedang asyik bersama istri muda. Aku gak mungkin mengacaukan itu!” balas Alana.“Come on, Alana. Maafkan aku, tapi ... kamu jangan keseringan melakukan itu sendirian, karena aku jadi merasa tidak berguna sebagai suami. Katakan saja kapanpun kamu inginkan!” ujar Ravin sembari mengusap lembut wajah sang istri.“Tapi aku gak mau mengganggu waktumu dengan Belva.” Alana terisak. Akhir-akhir ini ia menjadi sangat sensitif.Ravin mendekap erat sang istri tercinta. Merasa terharu karena meski memiliki daya hasrat yang berlebih, tetapi Alana selalu bisa menjaga diri dan tetap merelakan suaminya bersama wanita lain. Yang membuatnya menjadi tersiksa sendiri.“Maafkan aku, sayang. Sebagai permohonan maaf, apa yang kamu inginkan hari in
“Waw, kalau nanti sudah melahirkan apa kamu mengizinkan istrimu untuk kembali berkarir?” tanya Belva pada Ravin.Sejenak Ravin berpikir. Sebenarnya malas untuk menjawab hal seperti itu. Sementara Alana pun tampak penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh suaminya.“Tetep gak boleh. Lebih baik fokus mengurus anak di rumah!” seru Ravin.Terlihat jelas ekspresi Alana pun menjadi datar cenderung sedih.Belva tersenyum tipis. Menurutnya alasan macam itu? bukankah di luar sana juga banyak wanita yang sudah menikah, mengandung bahkan sudah memiliki beberapa anak dan masih tetap bisa berkarir hingga sukses?“Kalau begitu, kenapa Belva kamu izinkan untuk kerja?” Alana protes.Ravin menghela napas. Menoleh pada istrinya yang tiba-tiba merajuk.“Belva kan punya tanggung jawab besar dalam bisnisnya. Gak mungkin tiba-tiba dia harus vakum atau meninggalkan pekerjaannya gitu aja,” ujar Ravin santai.“Lagipula kamu kan semenjak hamil jadi lebih banyak kecapean, dan memang lebih baik banyak b
Tigor menatap lurus Belva yang bertanya-tanya. Tatapannya begitu meneduhkan. Senyuman manis itu selalu membuat wanita manapun pasti akan takluk dengan pria seperti Tigor.“Sudah aku bilang, mudah untuk aku tau hal itu.” Tigor menjeda sesaat ucapannya. Matanya langsung teralihkan menatap pemandangan sawah yang terbentang luas dan tersusun rapi di antara perbukitan.“Karena kalau kamu bahagia dengan suamimu, gak mungkin kamu melihatku di tempat semalam, dan mengirim pesan padaku.” Tigor kembali menatap Belva yang terdiam.Ucapannya seperti hal yan tersirat. Artinya, jika tadi malam Belva tidur dan bersenang-senang dengan Ravin, tidak mungkin Belva memiliki kesempatan untuk mengirim pesan pada pria lain.Belva masih terdiam dengan hatinya yang berdesir nyeri. Mengapa di tengah-tengah kesedihan, justru orang lain yang lebih mengerti dirinya.“Aku gak tau harus berbuat apa. Rasanya aku ingin sekali terlepas dari belenggu yang menyedihkan ini, Tigor.” Belva melipat bibir yang bergetar menah
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r