“Awalnya aku tidak yakin, tapi aku percaya sepenuhnya pada Alana. Dalam rahimnya adalah benih cinta kami.” Ravin tampak percaya diri.
Sementara Belva hanya mencebikkan bibir. Dalam hatinya Belva pun berbicara, Dasar lebay.
“Baiklah, kalau begitu. Semoga persalinannya lancar, ya.” Hanya itu komentar Belva.
“Terimakasih,” sahut Ravin. “Tapi aku punya sebuah usul, Belva.”
“Apa itu?” tanya Belva.
“Aku berniat, bayi kami ingin aku berikan pada keluargaku dan mengatakan bahwa itu adalah anakmu dan aku!” ujar Ravin, membuat Belva membelalakan mata dengan mulut terbuka.
“Sinting kamu!” umpat Belva.
“Itu satu-satunya cara agar Oma dan Ayahku berhenti meminta cucu sama kita!” kata Ravin.
“Tapi bukan begitu caranya, Ravin. Duh, bisa gak sih kamu itu berpikir cerdas sedikit aja, Rav!” timpal Belva, ia terlihat geram.
“Kamu ngomong sama aku, Rav?” Belva menoleh ke arah teras rumah. Belva menoleh ke kanan dan kiri. Berpikir mungkin saja Ravin sebenarnya berbicara pada Alana.Ravin mengangguk dan tersenyum.“Kamu kan ada penyakit lambung, kalau melewatkan sarapan terus bisa bahaya buat kesehatanmu. Ayo, kita sarapan dulu!” ajak Ravin sembari merangkul istri mudanya itu.Belva mengernyit. Masih bingung dengan sikap Ravin. Kemudian ia menilik ke arah jam tangan. Masih ada waktu jika ia menyempatkan untuk sarapan. Terlebih perutnya pun sudah mulai terasa perih.“Oke, deh.” Belva kembali ke dalam rumah bersama dengan Ravin.Kalau biasanya Belva tak pernah mau sarapan di rumah, karena Tigor pasti sudah menyiapkan sarapan untuknya di butik, tetapi pagi ini perut Belva sudah tidak bisa di ajak toleransi. Pekerjaannya tadi malam sungguh menguras pikiran dan tenaga, jadilah sepagi ini pun perutnya sudah keroncongan tak tertahankan.
Belva melipat bibir, tidak menyangka dengan perbuatan Alana.“Kok dia tega banget sih. Padahal kamu kan sudah mengerahkan seluruh waktu dan diri kamu buat dia! Apa masih kurang?” komentar Belva.“Entahlah. Mungkin di lain sisi karena masalah kejiwaannya yang terganggu!” pikir Ravin. Kemudian ia menjelaskan tentang keadaan Alana yang pernah mengaku merindukan masa lalunya itu.“Terus kata psikiaternya apa? Maksud aku, kenapa dia merasa masih kekurangan kasih sayang dari kamu. Sementara kamu sudah memberikan semuanya, dan dia malah ingat terus sama masa lalunya itu?” tanya Belva.“Kata penjelasan dokter sih, kemungkinan ada trauma di masa kecil yang membuat dia saat bertemu dengan pria yang membuatnya jatuh cinta pertama kali, menjadi terserap hingga ke alam bawah sadar. Aku gak inget penjabaran secara ilmiahnya dibagian otak manusia, tapi yang jelas hal itu akan berdampak pada kehidupan sehari-hari pasien seperti A
“Oh, sorry. Aku cuma mau balikin map kamu yang tertinggal di kursi mobil. Takut dokumen penting!” Ravin menyerahkan sebuah map merah milik Belva.Belva pun jadi salah tingkah. Kenapa juga ia harus terpergok langsung oleh suaminya sendiri.“Terimakasih, Rav.” Belva berjalan ke arah Ravin dan mengambil map-nya.“Aku permisi!” Ravin langsung berbalik badan.Namun, Belva dengan cepat meraih lengan pria itu.“Rav, tunggu! Maaf, aku sama Tigor ....” Belva menjeda ucapannya.“Apakah ini rutinitas pagimu setiap hari?” Ravin segera menyela ucapan Belva.Tigor pun hanya bisa terpaku dan merasa tak enak hati. Diam-diam ia telah menjadi pencuri.“Tidak, kamu salah paham. Aku gak seperti itu! Bisa kita bicara di dalam aja?” Belva mengajak Ravin ke dalam ruangan pribadinya. Karena tidak enak jika sudah ada karyawan yang datang dan melihat perseteruan mereka.
Belva nyaris terperanjat kaget saat Ravin menahan pintu dengan satu tangannya. Tatapan matanya pun sangat nanar, membuat Belva menelan ludah.“Kamu mau apa?” Belva terlihat gugup.Ravin hanya menatap dalam. Sementara Belva masih terus berusaha menutup pintu itu, tetapi tenaganya kalah kuat dengan Ravin.Ravin memasuki kamar mandi, memblokade pintu itu agar Belva dalam kuasanya. Wanita itu mundur perlahan dan Ravin terus mengikuti langkahnya sampai punggung sang istri buntu di tembok. Belva semakin tercekat, rasanya takut sekali melihat suaminya seperti ini.Apalagi dengan dirinya yang hanya mengenakan handuk saja.“Rav, kamu mau apa, sih?” Belva semakin resah dengan suara yang tercekat.Ravin menyunggingkan senyuman. Satu tangannya mulai berani meraih pinggang sang istri. Wajahnya ia dekatkan ke pipi Belva, menciptakan desiran hangat menjalar ke seluruh tubuh.“Aku menginginkanmu!” bisik Ravin denga
“Maafkan aku, Ravin.” Kata Belva, ia pun beranjak dari kasur dan duduk di sebelah suaminya.Kini tubuhnya ia lilit menggunakan bed cover dengan handuk yang masih juga terpasang ditubuhnya.“Jangan pernah ulangi kesalahanmu lagi. Karena jika kamu mengulanginya, saat itu aku tidak akan memberimu ampun untuk mencegah keinginanku!” tandas Ravin yang memberi peringatan.Belva menyeka pipi dan merasa lebih lega saat ini. Ravin pun memilih beranjak dari kamar dan meninggalkan istri mudanya.Belva memejamkan mata dan menghela napas. Hari ini kesalahannya nyaris berakibat fatal. Setelah itu ia segera bergegas memakai pakaian tidur. Sesaat ia kembali teringat saat aktivitas panasnya dengan Ravin, entah mengapa mendadak ia terbayang masa-masa remaja kala itu.Ravin adalah cinta pertama sekaligus ciuman pertamanya kala remaja. Hanya satu kali mereka pernah melakukan itu. Hanya sebatas itu dan tidak lebih. Wajar saja, namanya anak ABG yang sedang dimabuk cinta kala itu.Dan kini mereka melakukanny
“Kenapa mereka membahas soal cinta dan mencintai? Apa pentingnya untuk mereka?” Ravin terus menerka-nerka.Akan tetapi, bukti yang dipegang hanyalah dari percakapan ini. Ia kemudian menyalin seluruh percakapan itu ke ponselnya melalui sebuah sistem rahasia. Sekaligus mencatat nomor kontak Titan ke ponselnya.Keesokan paginya, Ravin sudah bersiap-siap berangkat ke luar kota karena urusan proyek. Alana dengan gesit membantu mempersiapkan kebutuhan suaminya. Belva pun sedang membantu Bi Yola memasak sarapan untuk Ravin.Di dalam kamar utama. Ravin masih sibuk bersiap-siap.“Sayang. Kalau bisa kamu cepat selesaikan pekerjaan kamu di sana, ya!” Alana mendekap suaminya dari belakang. Ravin yang sedang mengancingi kemeja hanya bisa menghela napas.“Waktunya kan sudah di atur. Aku 3 hari di sana! Jaga dirimu baik-baik ya.” Ravin berbalik badan dan mengecup puncak kepala sang istri.Amarahnya sudah mulai memudar. Mengingat rasa penasarannya akan hubungan Alana dengan pria di masa lalunya itu t
“Tadi ciri-ciri orangnya kayak gimana, Pak?” tanya Belva untuk memastikan.“Tinggi, kulitnya bersih, ganteng orangnya. Terus mukanya sih mirip-mirip orang Turki gitu lah, waktu pertama kali dia datang ke sini itu ... dia pake baju kemeja putih yang ketiga kancing atasnya kebuka gitu lah, gaya-gaya model majalah gitu! Hahaha. Pake celana bahan pendek selutut warna cokelat muda.” Papar Pak Santoso sembari terkekeh.Belva semakin tercekat. Tidak salah lagi, out fit lelaki yang dipaparkan oleh Pak Santoso, sama persis dengan yang digunakan Tigor saat mereka berjalan-jalan di pantai, kemudian setelahnya Tigor mengantar pulang Belva kala itu.“Tapi kan, waktu itu Tigor emang bilang sengaja belum pulang? karena khawatir sama keadaan aku. Tapi apa hubungannya dia sama Alana kalau gitu?” Belva bergumam lagi. Mencocokkan informasi dengan kejanggalan hari itu.Kemudian Belva kembali ke kamarnya. Merenungi kembali setiap teka-teki yang tadi belum terpecahkan. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri, m
“Eh, kamu mau ke mana? Masih banyak tamu tuh!” Cindy mengejar Belva.“Kamu aja yang handle tamu dan acara ini ya. Aku mendadak gak enak badan!” kata Belva yang ucapannya tidak bisa dibantah.“Kok tiba-tiba gak enak badan?” Cindy terheran. Sementara Belva hanya terdiam masam.“Oke, oke. Kamu istirahat aja kalau gitu!” Cindy kemudian membiarkan Belva melanjutkan langkahnya.“Cindy, Belva kenapa?” Tigor berlari kecil ke arah Cindy. Pria itu pun ternyata tadi sempat melihat Belva meninggalkan acara.“Katanya gak enak badan.” Cindy menjawab santai.“Dia sakit? Kok gak bilang aku?” Tigor terheran.“Hatinya yang sakit!” ketus Cindy. Membuat Tigor menoleh cepat dan menatap penuh tanda tanya.“Lagian emang kamu siapanya Belva, sampe dia harus laporan sama kamu kalau lagi sakit?” Cindy bertanya penuh menantang.Tigo
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r