“Eh, kamu mau ke mana? Masih banyak tamu tuh!” Cindy mengejar Belva.
“Kamu aja yang handle tamu dan acara ini ya. Aku mendadak gak enak badan!” kata Belva yang ucapannya tidak bisa dibantah.
“Kok tiba-tiba gak enak badan?” Cindy terheran. Sementara Belva hanya terdiam masam.
“Oke, oke. Kamu istirahat aja kalau gitu!” Cindy kemudian membiarkan Belva melanjutkan langkahnya.
“Cindy, Belva kenapa?” Tigor berlari kecil ke arah Cindy. Pria itu pun ternyata tadi sempat melihat Belva meninggalkan acara.
“Katanya gak enak badan.” Cindy menjawab santai.
“Dia sakit? Kok gak bilang aku?” Tigor terheran.
“Hatinya yang sakit!” ketus Cindy. Membuat Tigor menoleh cepat dan menatap penuh tanda tanya.
“Lagian emang kamu siapanya Belva, sampe dia harus laporan sama kamu kalau lagi sakit?” Cindy bertanya penuh menantang.
Tigo
Sesampainya di ruangan memang tidak ada siapa-siapa di sana. Tigor pun teringat satu hal, ibunya sedari tadi pun tak nampak di mana-mana. Padahal malam semakin larut. Harusnya Maria berpamitan untuk kembali ke hotel, karena wanita paruh baya itu tidak bisa berlama-lama dalam sebuah acara apalagi sampai larut malam.Di lain tempat, Alana sedang ditangani di ruang UGD. Belva dan Maria terlihat sangat panik. Meskipun tadi sempat saling mencela, tetapi Maria tidak setega itu melihat Alana mendadak kesakitan.Tidak lama kemudian, dokter pun keluar dari ruangan dan memberitahukan bagaimana kondisi Alana.“Dia mengalami pecah ketuban. Tetapi dari hasil pemeriksaan oleh dokter kandungan, robekan pada selaput ketuban tidak terlalu parah, keadaan bayinya juga masih baik-baik saja. Hanya Bu Alana mengalami syok akibat kontraksi sementara.” Jelas Dokter.Belva dan Maria menghela napas lega.“Boleh aku menemuinya, Dok?” tanya Belva.
Mendadak Belva sangat berantusias dan tidak sabar ingin pulang. Lalu menjalankan misi pertamanya. Pesan-pesan dan panggilan tak terjawab dari Cindy dan Tigor sudah tak terhitung lagi, saat ini urusan pekerjaan seperti dikesampingkan dulu oleh Belva. Ia percaya saja bahwa kinerja manager dan sekretarisnya itu tak perlu diragukan lagi.Akhirnya ia tidak menggubris sama sekali panggilan dan pesan dari Cindy dan Tigor. Kedua rekannya itu pasti semakin dibuat panik olehnya.“Maaf Bu Maria tadi asisten di rumah telepon. Oh ya, jadi Alana itu salah satu model gaun pengantin rancangan Bu Maria juga?” ujar Belva melanjutkan basa-basi. Meski ia belum mendengar pernyataan terakhir dari Maria.“Iya. Katanya dia juga finalis model dari kamu ya, Bel?” tanya Maria.“Iya betul, Bu. Oh ya, cuma itu sih yang mau aku tanyakan. Dan aku juga mau bilang terimakasih banget karena udah bantuin aku bawa Alana ke rumah sakit.” Belva tersenyum hangat.“Iya sama-sama. Ibu juga khawatir banget, oh iya, kamu udah
Pria di bawah sana hanya bisa membeku tak bisa berkata-kata. Sementara Belva langsung menutup kembali gorden kamar. Tubuhnya sangat lemas saat ini, jika itu memang Tigor, mengapa selama ini dia tidak pernah mengatakan apa-apa?Lagi dan lagi, Belva tidak bisa menemukan malam yang tenang. Ia pasti terjaga malam ini. Saat ini pun ia tidak tau harus pada siapa bersandar. Mengeluhkan segala keresahan yang menghimpit hidupnya belakangan ini.“Kenapa kalian semua begitu jahat padaku!” Belva berteriak di dalam kamarnya. Bahkan melempar sebuah vas bunga hingga menciptakan kegaduhan.Ia sangat kecewa, karena kembali merasa dibohongi. Merasa begitu bodoh karena secepat itu ia memberikan hati pada Tigor, tanpa tahu seperti apa kisahnya di masa lalu. Meskipun sudah mengenal lama, tetapi tidak menjamin seseorang itu layak untuk terus di sisinya.Suara pintu di ketuk. Membuat Belva menyeka pipi dan menarik napas dalam-dalam.“Permisi, Nyonya. Apa kita jadi berangkat ke rumah sakit?” tanya Bi Yola. S
Mata Ravin membulat. Saat melihat nomor itu ternyata sama. Belva ternyata tidak berbohong apalagi bergurau.“Aku benar kan?” Belva menatap serius. Hatinya semakin terasa nyeri.“Bagaimana mungkin? Jujur saja ... aku masih tidak percaya ini!” gumam Ravin yang kini merasa sangat gusar.“Kalau kamu masih tidak yakin, ada satu bukti lagi yang pastinya akan memperkuat semua dugaan!” ucap Belva yang teringat sesuatu.Ravin pun menoleh dan mengernyit menatap Belva. “Apa yang kamu pikirkan?”“Cctv!” ucap Belva. “Cctv di sebelah rumah yang kamu pindahkan ke kamar utama! Di sana pasti ada jejak yang tertinggal, bukan?”Ravin melebarkan mata. Bagaimana ia bisa lupa, itu ide yang bagus. Saat itu juga Ravin langsung membuka sebuah sistem yang terhubung langsung pada cctv tersebut di layar laptop. Kemudian dengan tangan yang bergerak lincah tak sabar ingin memutar rekaman pada setiap
Tigor menelan ludah membuat jakunnya naik turun dengan berat. Soal kejadian semalam tidak mungkin sirna begitu saja.“Bel, aku bisa jelasin semuanya. Asal kamu mau mendengarkan cerita aku!” ucap Tigor yang penuh harap.“Jadi benar, kalau kamu itu adalah Titan mantan Alana?” Belva menatap lurus pria itu. “Dan, Alana adalah wanita yang kamu ceritakan di pantai waktu itu? Dia sempat menjadi calon istrimu?” Belva memberondong pertanyaan.Tigor memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.“Ya. Tapi izinkan aku untuk menjelaskan semuanya!” Tigor memohon.Hening beberapa saat. Suasana di antara mereka tidak sehangat yang sudah-sudah. Di tempat itu, mereka pernah memantik api asmara untuk pertama kalinya, di tempat itu juga mereka saat ini harus bersitegang karena sebuah fakta besar.Belva pun menghela napas pelan. Ia memang membutuhkan sebuah penjelasan, namun sangat gengsi untuk menerima penjelasan
“Jelas salah karena pertama kamu sudah menjadi istri orang! Kedua, kita sudah tidak ada apa-apa lagi, dan aku tidak mencintaimu lagi!” pekik Tigor.Alana terdiam beberapa detik. Terkadang hasrat berlebihannya selalu saja timbul sewaktu-waktu, apalagi ketika yang di rindukan ada di depan matanya.“Tapi aku merindukanmu, Titan!” keluh Alana.“Rindu itu ada karena penyakitmu itu! Kamu sebenarnya tidak benar-benar merindukanku!” ucap Tigor.“Kenapa kamu bicara begitu?” protes Alana.“Kamu seperti ini karena suamimu sedang tidak ada di sisimu! Dan sebagai pelampiasannya kamu beralih padaku! Kamu memang seharusnya berobat, Alana. Hal itu pasti akan mengganggu rumah tanggamu!” tegas Tigor. Segitu ia masih bisa menahan emosi dan tidak bersikap kasar.“Apa yang kamu lakukan saat ini bukan menunjukkan rasa rindu dan cinta yang tulus, melainkan hanya hawa nafsu akibat penyakit yang kamu
Ia pun jadi teringat, saat ia akan menikah dengan Arav, Tigor sempat tak memberi kabar apa-apa. Pikirnya mungkin saat itu Tigor tengah sibuk, ternyata jauh dari dugaannya ternyata Tigor menghilang karena patah hati.“Lalu ... apa lagi yang terjadi? Kamu pasti mabuk berat, kan?” tanya Belva penasaran.Tigor mengangguk lemah dan mengusap wajah dengan gusar. “Ya. Itu membuatku kehilangan sebagian kesadaran. Tapi aku ingat sesuatu, saat itu aku mendadak sangat merindukanmu, sangat menginginkan kebersamaan denganmu dan menenggelamkan kita ke dasar lautan cinta.”“Sampai besok paginya, aku terbangun dan sudah berada di dalam kamar hotel. Kamu tau apa yang pertama kali aku lihat ketika terbangun?” Tigor menoleh pada Belva yang menggelengkan kepala.“Aku terbaring tanpa sehelai benang. Di sebelahku ... ada Alana, yang juga dalam keadaan sama! Jelas aku sangat syok! Aku sempat memutar ingatan apa yang telah terjadi itu, sa
“Tapi apa yang akan Tigor lakukan setelah ini ya?” pikir Cindy. “Apa kamu pernah bertanya apa yang dia inginkan?”Belva menggeleng kepala ragu. Ia tidak pernah bertanya apa yang akan di lakukan oleh Tigor setelah semua ini.“Aku gak tau! Rasanya ... mungkin dia juga bukan jodohku. Dan, mungkin selama ini perasaanku sama dia juga keliru!” Belva menatap kosong dan jauh. Ia mulai mengerti perasaannya sendiri.“Kamu gak benar-benar mencintai dia kalau begitu!” Komentar Cindy. “Mungkin kamu merasa perasaan kamu itu tumbuh karena cuma Tigor yang selalu ada di sisi kamu menemani kamu tapi soal hati, kamu sebenarnya belum sedalam itu sama dia!”“Atau mungkin hati aku udah mati kali, terkubur sama Arav!” kekeh Belva. Mengasihani perasaannya sendiri.“Eh, omong-omong kayaknya nasib percintaan kamu gak pernah mulus ya, Bel. Kamu selalu aja ketemu sama laki-laki yang bermasalah. Mau
Tigor terdiam beberapa detik. Cindy bisa melihat ada air mata yang membasahi pipi pria itu. Tigor bangkit dari tempat tidur dan berjalan sempoyongan ke arah pintu.“Mama ....” Tigor bergumam lirih, tak lama ia terkulai di atas lantai dan kehilangan kesadaran.Cindy bergegas menghubungi pihak keamanan untuk membatunya membawa Tigor ke layanan kesehatan.“Dia mabuk berat. Tapi tidak perlu khawatir, kami sudah memberikan terapi yang tepat untuk pasien. Hanya saja dalam waktu beberapa jam, dia masih harus tertidur.” Dokter menjelaskan keadaan Tigor.Cindy bersandar lelah di kursi tunggu. Dia memberi kabar pada Aisyah mengenai keadaan Tigor. Tetapi berharap agar Aisyah tidak memberitahu hal ini pada Maria. Khawatir akan memperburuk keadaan.Wanita cantik itu bahkan tak mengerti, mengapa dia bisa dihadapkan dengan situasi yang sangat rumit ini. Dia berada ditengah-tengah kisah cinta yang beragam. Belva dan Rizwan yang kini tengah
Di sela-sela perjalanan, untuk pertama kalinya Tigor merasakan patah hati yang lebih dalam. Ini lebih menyakitkan daripada melihat Belva menikah dengan pria lain. Pikirnya, Belva hanya menikah sebagai status, dan kesuciannya tak akan pernah dia berikan.Namun, kenyataan tak semanis itu. Kali ini Belva menikah sungguhan karena landasan cinta. Bukan hanya cinta saja, melainkan karena satu keimanan. Tigor tak pernah berpikir, Belva akhirnya mengandung benih pria lain. Ini amat sangat menyakitkan.Tigor menatap pantulan dirinya di dalam kamar apartement. Bahkan di pipinya pun masih tergambar jelas telapak tangan Cindy yang menamparnya semalam. Wanita yang dulu mendukung hubungannya dengan Belva, kini malah menorehkan rasa sakit di pipinya.“Arrgggghhh!!” Tigor berteriak kencang di dalam kamar. Hatinya remuk dan hancur. Setelah ini, dia tidak tahu dengan cara apa menyatukan kembali serpihan hatinya yang berserakan itu.***Kabar kehamilan Be
“Tigor?” Belva termangu. Sementara pria itu malah duduk santai sembari melipat kaki dan tersenyum erotis menatapnya.“Hai, sayang. Long time no see!” Tigor beranjak dari sofa dan berjalan ke arah Belva.Belva menelan ludah dan masih tak menyangka, pria itu kembali juga hari ini.“Ke mana aja kamu? Ninggalin kerjaan gitu aja. Gak bertanggung jawab!” ketus Belva sembari berjalan ke arah meja kerja untuk merapikan tas dan barang bawaannya.“Sengaja. Biar dapat hukuman dari kamu!” Tigor meraih tangan Belva tanpa ragu dan dengan gerakan cepat Belva menghentakkan genggaman itu.“Jangan kurang ajar!! Kamu gak pantas melakukan itu ini! Keterlaluan!” Belva menatap tajam.“Kenapa, Bel? Kamu mau mengelak apa lagi? Jelas, yang kamu lakukan hari ini adalah bukti bahwa kamu masih mencintai aku, kan?” Pria tampan itu menatap serius.Sementara Belva mendelik jengkel. &ld
Sampai waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore. Belva pun berpamitan. Dia menyetir mobil sendiri menuju hotel.Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Belva melirik sekilas, kemudian matanya melebar saat melihat orang yang dicari-cari tengah menghubungi.Tigor is calling...Cepat-cepat Belva menepikan mobilnya di bahu jalan, dan gegas menjawab panggilan itu.“Kamu ke mana aja, Tigor?” Belva langsung berujar tegas.Tak ada jawaban.“Hallo? Tigor?”“Hai, Belva.” Suara pria itu terdengar santai sekali.“Kamu nggak usah sok misterius mendadak ilang-ilangan kayak gini, Tigor. Kamu kekanak-kanakan tau nggak! Ninggalin kerjaan dan nyusahin kita semua!” Belva mengomel kesal.“Kamu yang udah buat aku kayak gini, Belva. Apa salah kalau aku pergi!” Pria di seberang panggilan itu tertawa kecil. “Ah, tapi aku berhasil. Ternyata ... kamu gak benar-benar ning
Sejenak Rizwan berpikir. Sebenarnya ini adalah ide yang bagus juga. Hitung-hitung sebagai bulan madu mereka yang sempat tertunda.“Aku mau temanin kamu. Tapi aku harus izin dulu sama kiyai Rahman. Karena pasti kita di sana dalam waktu yang tidak sebentar kan?” ujar Rizwan.Belva tersenyum manis dan melingkarkan tangan di leher suaminya. Kini semakin lama sepasang suami istri itu kian lekat dan romantis. Sudah tidak canggung lagi dalam menunjukkan cinta dan sayangnya.“Beliau pasti mengizinkan kamu, Mas. Lagian ... ini kan sudah masuk minggu ke tiga pernikahan kita, tapi kita belum pernah pergi berdua. Maksudnya seperti berbulan madu.” Belva merona sendiri mengatakannya.Rizwan pun menciup pipi sang istri dan berkata, “Baiklah, permaisuriku. Kita akan sekalian honeymoon. Meskipun setiap malam setelah pernikahan kita ini, rasanya seperti bulan madu terus bagi aku.”Keduanya merona dalam pelukan mesra. Setiap malam
Tempat itu menjadi saksi dari bersatunya sebuah cinta yang halal. Seorang istri telah menjadi hak penuh untuk suaminya. Akhirnya apa yang dulu sangat dijaga, kini waktunya untuk dijelajahi. Apa yang dulu sempat haram di pandang, kini menjadi nilai ibadah untuk dilakukan.Beberapa waktu kemudian, mereka terbaring lelah bersebelahan. Merasakan pelepasan yang sangat sulit dilukiskan bagaimana rasanya. Hanya bisa saling pandang dalam senyuman yang penuh cinta. Mereka sudah cukup dewasa untuk mengartikan kenikmatan itu. Yang jelas, setelah ini hanya ada harapan-harapan baik juga benih-benih cinta yang akan selalu mereka tanam.“Mau mandi bareng?” Rizwan mengulurkan tangan. Mengajak sang istri untuk sama-sama membersihkan tubuh.Belva mangangguk malu-malu. Semua yang mereka lakukan malam ini, adalah pengalaman pertama yang sangat menyenangkan. Rizwan pun memberitahu bagaimana cara mandi dan bersuci dengan benar. Bagi Belva, ini pengetahuan yang baru dan se
Ada gelenyar aneh dalam debaran hati mereka masing-masing. Belva tak pernah merasakan desiran yang sangat memanjakan dalam hatinya ketika bibir manis pria itu menyentuh jemarinya untuk pertama kali.Sejenak, hanya keheningan di antara keduanya. Saling menatap penuh makna.“Jangan menatap aku begitu, Rizwan. Aku ... malu.” Belva menunduk. Menyembunyikan rona kemerahan di wajah cantiknya.Rizwan tersenyum manis. Jemarinya menyentuh dagu sang istri agar wajah itu kembali terangkat dan menatapnya.“Aku kan sudah bilang, jangan panggil nama.” Suara bariton pria itu semakin sensual di telinga.Belva tersenyum gugup. Padahal belum ada satu menit suaminya memberikan permintaan, tetapi rasa canggung mengalahkan ingatannya.“Oh ... i-iya. Maaf, aku lupa, Riz. Eh, M-Mas....” Sebisa mungkin Belva membunuh rasa gugupnya. Mencoba tetap tenang di hadapan sang suami.Belva memang tidak memiliki pengalaman terlalu j
Sementara itu, Laila tampak termenung di tengah-tengah kebahagiaan itu. Meskipun dia merasa bahagia juga, tetapi di sisi lain hatinya, terbesit sebuah rasa gelisah yang tak menentu. Benaknya teringat dengan seorang pria yang jauh di sana. Bertanya dalam hati, apakah pria itu baik-baik saja? Apalagi setelah mengetahui kenyataan ini.“Abi, Umi, aku mau langsung pamitan aja ya.” Laila menghampiri orang tuanya dan berniat untuk berpamitan.Kiyai Rahman dan istrinya tampak bingung. “Loh, cepat sekali, Nak? Katanya kamu libur?”“Iya, tapi kerjaanku ternyata masih banyak, Abi. Ada kendala tekhnis yang gak bisa aku biarkan.” Laila beralasan. Namun, sebetulnya alasannya cukup masuk akal. Beberapa menit tadi, salah satu pegawai memang menghubungi Laila dan memberi informasi tentang sebuah kendala kecil di kantornya.“Ya sudah, kalau urusan kerjaan, kita tidak bisa menghalangi. Nanti Abi antar kamu ke Bandara ya,” ujar
“Wah, nantangin nih ceritanya?” Ravin menatap kembali. Ekspresi wajahnya masih terkesan mengejek.Laila tersenyum tipis dan menimpali. “Siapa yang nantangin? Aku cuma mau membuktikan omongan aku aja!”“Baiklah, sekarang coba katakan, sejauh apa pengetahuan dan proyek yang sudah kamu jalani?” tanya Ravin masih tak ingin kalah.Laila melirik ke arah Givari yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya. Kemudian gadis itu membuang napas pelan.Sebenarnya Ravin pun tak bermaksud meragukan kinerja dan masa depan Laila. Tentu saja aslinya dia paham betul gadis seperti apa Laila itu. Hanya saja, Ravin sejak dulu senang menggoda dan meledek.“Dua bulan lalu, aku baru aja menyelesaikan dua projek yang sangat menyenangkan!” kata Laila sembari tersenyum bangga.Ravin menaikkan sebelah alis dan berkata, “Oh ya? Projek apa tuh?”“Butiknya Mbak Belva dan toko buku punya Mas Rizwan!&r