Dewi menengok jam dinding. Jika ia memusatkan perhatiannya pada Odetta, bisa dipastikan Dewi akan terlambat masuk kantor. Kalau sudah begitu, gajinya bisa terkena potongan. Jangan sampai, pikirnya. Oleh karena itu, ia berusaha mengabaikan saja rengekan anak pertamanya itu.
Rupanya Odetta tidak menyerah karena sekarang anak perempuannya itu menarik-narik ujung kimononya.
“Mama harus kerja, Odet!” tegur Dewi.
Bukannya mengerti situasi Dewi yang sedang terburu-buru, Odetta semakin mengguncang-guncang tubuhnya. Tidak cukup sampai di situ, anak pertamanya itu kemudian berteriak memanggil-manggilnya tanpa henti.
Teriakan itu rupanya membangunkan Romeo. Anak laki-laki Dewi pun ikut-ikutan merengek seperti kakaknya. Lama-lama pelan, tetapi beberapa detik kemudian bertambah keras.
“Mamaaaa,” panggil Odetta dengan nada suara yang terseret-seret.
Dewi kehilangan sabar, “Odetta!” hentaknya. “Mama sudah bilang Mama harus kerja! Biar dapat duit. Sekolah itu perlu duit. Kalau nggak ada, kamu malah nggak bisa sekolah! Kamu terpaksa ngamen di jalan! Mau begitu?”
Suasana hening. Dewi juga membatu. Perasaan bersalah lalu mengalir di sekujur tubuhnya. Ini yang pertama kali Dewi membentak anaknya. Ia buru-buru membungkukkan badan dan berhadap-hadapan dengan Odetta. Dewi yakin, anaknya itu pun tidak menyangka akan dimarahi seperti tadi. Mata Odetta berkaca-kaca. Sudah ada setetes air mata yang siap bergulir di pipi anak perempuannya itu. Hati Dewi ikut merasa perih. Ia ingin merengkuh anaknya itu dalam pelukan.
Namun, mendadak jeritan tangis menggema di kamar tidur mereka. Air mata sudah mengalir deras di pipi Odetta. Suara tangisannya berganti-ganti antara isakan dan raungan. Mulut anak perempuan itu menganga lebar menciptakan jerit tangis yang semakin membahana. Tangis pada bayi ternyata menular. Selain Odetta, Romeo pun tidak mau kalah menunjukkan aksinya mengeluarkan tangis yang meraung-raung. Oleh sebab bingung harus mengurus anaknya yang mana terlebih dahulu, Dewi urung memeluk Odetta.
Dewi menoleh ke arah tempat tidur. Dengan segala kenyaringan yang dapat menulikan telinga pendengarnya itu, Anton tetap terlelap. Dewi mendesah dan mendaratkan bokongnya di lantai. Ia benar-benar mati akal.
***
Tidak berapa kemudian, pintu kamar mereka terbuka. Dewi menengok sosok yang melangkahkan kaki menghampirinya. Ia terkesiap. Namun, kakinya terlalu berat untuk bangkit dan berdiri.
“Oalah, ini kenapa ramai betul?”
Ibu Mertua. Dewi menundukkan kepalanya. Ia menyesali drama pagi ini harus melibatkan ibu dari suaminya itu. Ia juga menyayangkan kenapa Odetta malah memperbesar volume tangisnya demi menarik perhatian Sang Nenek. Romeo pun tidak mau berbaik hatinya dengan ikut-ikutan menangis sekencang mungkin. Dewi semakin membungkukkan badan mencoba bersembunyi dari pandangan menghakimi Ibu Mertua.
Ibu Mertua meraih jemari Odetta dan menggendongnya. “Kenapa Neng Geulis? Euleuh euleuh,” hibur nenek dari anak-anaknya itu.
Tangis Odetta mereda karena mendapatkan simpati dari Sang Nenek. Sekarang, hanya isak saja yang terdengar dari mulut anak perempuannya itu.
“Sini sama Oma. Siapa yang bikin eneng cantik ini menangis? Euleuh euleuh.” Ibu Mertua menggoyang-goyangkan Odetta yang menempel dalam gendongannya.
“Aku nggak bisa gendong dua-duanya,” kata Ibu Mertua dengan nada sinis yang Dewi yakin ditujukan untuk dirinya.
Dewi hanya mendongak dan menatap Ibu Mertua.
“Gendong Romeo biar nggak nangis! Kamu belum kasih susu?”
Cepat-cepat Dewi berdiri.
“Odetta juga belum makan, kan?” tanya Ibu Mertua sambil melirik tajam ke arahnya.
Dewi tahu kalimat-kalimat yang dilontarkan Ibu Mertua itu sebagai sindiran untuk menyalahkan ketidakbecusan Dewi sebagai ibu. Ia ingin membantah tapi bibirnya terasa kelu.
“Kamu ini sudah jadi ibu, bukannya berbakti pada suami, lah kok anak sendiri nggak diurus,” celoteh Ibu Mertua sambil melangkahkan kaki ke luar kamar. Ketika Ibu Mertua benar-benar berlalu dari pandangan, barulah Dewi dapat bebas bernapas. Cepat-cepat ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Kemudian, ia mendekati boks bayi dan menatap bayi mungilnya. Tangis Romeo belum juga reda. Tapi untungnya, sekarang tidak semengerikan tadi.
Instingnya mengatakan Dewi harus segera menenangkan bayinya itu. Namun, syaraf dalam otaknya masih belum menyambung dengan keinginan hatinya tersebut. Ia pun berganti-gantian melihat Romeo dan Anton sehingga Dewi putuskan untuk membiarkan Romeo. Ia berharap tangisan bayi itu dapat membangunkan si babi pemalas yang masih tidur. Sebentar saja kok, tidak akan lama-lama, batinnya karena terselip kekhawatiran kalau pilihannya itu akan mengganggu kenyamanan Romeo.
Sejujurnya, Dewi khawatir kalau Anton tetap terlelap sampai Romeo kehabisan energi dari tangisnya yang tidak berhenti-henti. Untunglah, jeda tiga menit kemudian, Anton membuka mata. Suaminya itu bangun dari kasur sambil mengucek mata. Dewi memalingkan wajah sewaktu Anton menatapnya tatkala menghampiri boks bayi.
“Anak Papa kenapa?” lembut suara suaminya saat mengangkat dan menggendong Romeo. Dari mulutnya yang Dewi yakin berbau busuk itu, Anton menyanyikan lagu “Nina Bobo”. Ajaib! Tidak butuh waktu lama, mata Romeo tampak berat dan lama-lama tertutup. Dengan hati-hati, Anton meletakkan bayinya kembali ke dalam boks.
Menyaksikan itu, berulang kali Dewi mengutuk kalau dunia ini tidak adil dalam hati. Bagaimana mungkin, Anton yang sedari tadi tidak mengindahkan keributan yang terjadi di kamar itu dengan mata seperti terkena lem UHU, dengan gampangnya dapat mengendalikan situasi dengan baik? Cukup beberapa menit dalam gendongan Anton, Romeo dapat kembali tertidur.
“Mau ke mana?” Anton bertanya.
“Mau nongkrong di kafe,” jawab Dewi sekenanya seraya mencari baju kerjanya di lemari. Ia melepaskan kimononya untuk berganti pakaian. Dewi tidak menyadari kalau mata Anton tidak lepas memperhatikan gerak-geriknya. Mendadak, Dewi merasakan pinggangnya dipeluk dari belakang.
“Nggak buru-buru kan, Ma?”
Semua pasangan suami istri pasti tahu kalau kalimat itu adalah rayuan suami untuk meminta jatah. Dewi tidak ingin meladeni permintaan Anton. Ia sudah mandi dan berdandan. Jadi, akan sangat repot kalau ia harus mengulangi aktivitas itu lagi. Selain itu, ia tidak mau membuang-buang waktu yang dapat mengakibatkan dirinya terlambat masuk kerja.
Dewi menepis tangan Anton, “Harus berangkat!”
Bukannya mengurungkan niat, Anton mengalungkan tangan ke pinggang Dewi dan semakin mempererat pelukannya itu. Suaminya itu menghunjami Dewi dengan kecupan-kecupan singkat di lehernya. Dewi menjauhkan lehernya dari serangan nafsu suaminya itu.
“Please,” bujuk Anton lagi. “Bakti pada suami, lho ini.”
Dalam pandangan masyarakat patriarki, istri wajib mematuhi apapun perintah suami. Jika tidak, dianggap tidak berbakti dan secepat itu akan dicap istri durhaka.
Dewi membalikkan badan dan meneliti suaminya. Rambut ikal laki-laki itu kusut masai. Bibir Anton tampak penuh dengan sedikit liur yang menempel. Mata sayu laki-laki itu jauh dari kesan ganteng. Ia menghindari kontak mata dengan suaminya itu. Ah, apa yang ia lihat dari pria ini saat menikahinya dulu?
Anton sejatinya adalah mimpi buruk bagi para wanita yang mendambakan kehidupan pernikahan. Dahulu ia tidak mengerti. Sebagai wanita muda yang romantis, ia tentu mendambakan hubungan asmara yang mulus-mulus saja. Kencan, berpacaran, berjodoh, menikah, memiliki anak, dan hidup bahagia selamanya. Tidak tahunya, takdir punya selera humor yang tinggi. Perjalanan asmaranya harus berliku-liku tanpa sesuai dengan urutan yang diidam-idamkan tadi. Akhirnya, Dewi pun terjebak dalam ikatan pernikahan dengan laki-laki itu.
Dewi mencoba mengelak saat tangan Anton memulai aktivitas tempat tidur. Ia tahu betul kalau laki-laki itu berusaha keras membangkitkan hasratnya. Pasalnya, laki-laki itu mengeluarkan bisikan penuh rayu di telinganya. Sentuhan laki-laki itu mengelus-elus bahunya. Rayuan mendayu-dayu yang dilancarkan Anton dirasakan Dewi sebagai romantisisme palsu saja.
Hatinya menolak ketika Anton mencium bibirnya. Huek, rasanya seperti mencium asbak yang penuh puntung dan abu rokok. Suaminya itu baru saja bangun tidur dan sama-sekali belum sikat gigi. Karena Anton seorang perokok, siapa yang bisa mengetahui persis berapa batang rokok yang ia hisap sebelum tidur tadi malam? Menjijikkan!
Jika Dewi menghindari cumbu rayu suaminya, permainan ini akan berlangsung lama. Segala daya upaya akan dilakukan Anton demi mendapatkan keinginannya. Dewi menimbang-nimbang karena ia tidak mau terlambat ke kantor. Tapi, apa ia bersedia melakukannya dengan terpaksa?
***
Setelah beberapa saat mengalami pergulatan batin, Dewi akhirnya menerima begitu saja kehendak Anton. Ia merespon aksi suaminya itu seadanya saja, tanpa antusiasme tinggi seperti yang dimiliki Anton. Ketika Dewi berbaring telentang dengan Anton berada di atas tubuhnya, ia membuka mata dan menyaksikan pemandangan paling mengerikan yang pernah ia lihat. Wajah Anton terpejam dengan keringat yang bercucuran. Dewi mendesahkan semangat palsu agar semua ini cepat selesai. Matanya terpejam rapat-rapat mencoba mengenyahkan pemandangan buruk tersebut. Bagaimana bisa dulu ia pernah menganggap laki-laki yang ada di hadapannya sekarang ini adalah jodohnya? *** Pagi itu, di sebuah kompleks perumahan yang berada di pinggiran Jakarta, penghuninya masing-masing sibuk bersiap-siap untuk menjalani hari. Tapi, tidak demikian halnya di kamar yang berada di satu rumah yang mungil dan sederhana. Pukul 6.30 WIB! Seorang wanita berparas cantik dan berpipi tirus mematikan bunyi alarm dari telepon selulernya.
Pukul delapan pagi dan Cherry sudah tiba di gedung tempatnya bekerja. Bukan hal yang aneh bagi gadis itu karena memang ia suka. Menunggu lift yang akan mengantarnya ke lantai perusahaannya beralamat, Cherry melirik penampilannya di cermin. Walaupun pakaian yang ia kenakan adalah bekas semalam, Cherry masih tetap memesona. Itu berkat riasan wajah yang ia pastikan menonjolkan kelebihan-kelebihannya.Seorang laki-laki tersenyum kepadanya seraya mengambil posisi di samping Cherry. Gadis itu melirik, lalu tidak mengindahkannya. Mata pria itu mengingatkannya kepada Dika. Lengkapnya Dika Irandi, pria ke-13 yang berkasih-kasihan dengannya. Laki-laki yang ditinggalnya tadi merupakan harapan Cherry akan suatu hubungan asmara yang membara. Rupanya, gagal.Sama seperti pria-pria yang pernah dekat dengan Cherry sebelumnya, Dika tidak mampu memberikan hubungan yang panas dan menghanyutkan. Apaan tuh dikit-dikit bertanya, ‘Suka nggak dibeginikan?’ atau ‘Siap-siap, ya’, Cherry menggeleng-gelengkan ke
Mendengar dering telepon, Maria mengangkatnya dan langsung berkata, “Delia, Yazid, and Partners. May I help you?” Ternyata atasannya, Delia yang menelepon. Maria mendengarkan sambil menuliskan perintah-perintah yang dilontarkan bosnya tersebut di secarik kertas. Tidak terdengar kata apa pun selain kata, “Iya” dan gumaman “He eh” dari Maria. Sesekali, wajahnya berkernyit tanda tidak nyaman berkomunikasi dengan Delia. Ketika akhirnya Maria meletakkan gagang telepon di tempatnya semula, ia langsung menghembuskan napas lega. Seraya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 09.15 WIB, ia membaca daftar tugas yang harus ia kerjakan hari ini. - Ambil baju di laundry. - Tulis surat perjanjian kerjasama dengan Mr. Gordy. - Telepon Pak Yazid dan atur ulang rapat. - Sepulang kerja nanti tolong belikan pensil 2B untuk Nazmi. Huft, baru membaca empat daftar tersebut, Maria sudah kehilangan semangat bekerja. Padahal masih ada sepuluh perintah lagi yang harus segera ia kerjakan. Ia melirik ja
Cherry memandang penyanyi perempuan yang duduk di depannya. Inilah akibatnya mengambil undangan permintaan wawancara secara sembarangan. Cherry terpaksa harus mendengarkan celoteh penyanyi baru yang ada di hadapannya saat itu.Ruangan tempat Cherry melaksanakan tugasnya merupakan ruang khusus yang disediakan pihak perusahaan musik untuk melakukan sesi wawancara dengan artis-artis orbitan mereka. Di sana ada sofa dua dudukan, satu kursi, dan seperangkat alat musik akustik. Pada dindingnya, dipajang poster beberapa musisi terkenal. Cherry mengenali semua penyanyi yang ada di sana.Sang penyanyi yang diwawancara oleh Cherry mengenakan crop top yang menurutnya tampak kedodoran. Ia yakin baju itu adalah pinjaman. Dalam industri musik, penyanyi baru tidak memiliki anggaran khusus untuk penampilan, sehingga wajar kalau mereka tidak tampak glamor.Pihak label musik tadi menyatakan kalau jatah untuk wawancara dan sesi foto untuk Melody adalah sebanyak satu jam. Ini baru berjalan sepuluh menit,
Cherry menyesap air mineral yang ia pesan dan merasakan dingin menukik ke ubun-ubun kepalanya. Sepertinya harus mengurangi minum minuman dingin-dingin, nih, pikir Cherry. Di sebelahnya ada Nay yang duduk sambil menyelupkan roti ke dalam sup makaroni yang tersaji. Sahabatnya itu tampak ogah-ogahan menikmati menu yang ia pesan tadi dari Kafe Starlite.“Lo belum cerita kok bisa ya tiba-tiba ke Jakarta?” tanya Cherry. Begitulah ia. Sebaik rasa penasaran hinggap di kepala, ia tidak akan bisa melepaskannya dari usaha mencari tahu.“Bukannya datang ke Jakarta itu biasa? Apalagi lo, Dewi, dan Maria kan sudah tinggal di sini?”Cherry mengamati temannya itu lekat-lekat. “Believe me, Nay! Untuk ukuran lo yang anti sama Jakarta, itu bikin kita takjub.” Ia duduk lebih dekat dengan Nay dan membisikkan, “Nay, lo cuma bawa ransel.”Nay terdiam dan menjatuhkan roti ke dalam sup makaroninya. Cherry meneliti air muka
Cherry ingin menertawakan pertanyaan Maria itu. Tapi, ia batal tertawa. Pasalnya, kalau ia pikir-pikir, ia sendiri tidak tahu apa jawaban yang tepat untuk itu. “Kalau panduannya majalah metropolitan, yang bisa bikin kita merasakan the big O.” “Lo pernah dong, Cher?” Nay bertanya. Nah, ini kenapa ia tidak tahu jawabannya. Ia bukanlah wanita kuno yang tidak pernah bercinta dengan pacar-pacarnya. Tapi, apa tepatnya orgasme yang digembar-gemborkan oleh berbagai media itu, ia tidak tahu. “Kayak gimana, sih? Yang rasanya berdenyut-denyut itu bukan, sih?” katanya asal-asalan. “Katanya sih, saat merasakannya, aliran napas dan jantung kita berhenti sepersekian detik,” sambung Nay. “Rasanya aliran darah mengalir naik terus ke kepala sementara badan kita seperti dialiri aliran listrik ringan yang membuat jantung kita menyerap perasaan bahagia?” Semua orang memandang Maria yang setelah berdiam diri cukup lama jika mereka membicarakan topik
Cherry terbelalak melihat siapa yang ada di luar yang menuntutnya membuka jendela. Dika Irandi. Cowok yang tadi pagi ia tinggalkan diam-diam. Cowok yang rencananya akan ia putuskan satu atau dua hari ke depan. Cowok yang tidak mampu memuaskannya di tempat tidur. “Buka saja, Cher! Nggak enak kalau tetangga sampai ke luar melihat ribut-ribut gini,” suruh Nay. Cherry menurut. Ia menurunkan kaca jendela. Hanya setengahnya saja. Ia menghindari kemungkinan laki-laki bertindak nekad dengan mencekik lehernya. “Cherry, kenapa?” Gadis itu memalingkan wajah. Inilah salah satu kesulitan dalam berkomitmen. Waktu hubungan itu harus berakhir. Cherry tidak piawai menyusun kata-kata perpisahan sehingga cara yang terbaik menurutnya adalah dengan pergi saja dan mengabaikan yang lainnya. Rupanya, lajang nomor tiga belas di sampingnya itu tidak dapat membaca petunjuk yang ia layangkan tadi pagi. “Aku tadi telepon kamu berulang kali. Tapi nggak diangkat.” “
Seraya mendesah, Dewi menatap Odetta dengan permohonan maaf. Dewi mengangkat bayi Romeo dari boks bayi. Untungnya ketika digendong sebentar, bayi Romeo langsung menghentikan tangisnya. Jika tidak, Ibu Mertua pasti akan segera menghambur ke kamar mereka dan seperti biasa mengomelinya tentang ketidakbecusan Dewi sebagai seorang ibu. Setelah menggantikan popok basah bayinya, Dewi langsung menyerahkan Romeo kepada Anton. Ia tidak mau berlama-lama lagi di rumah ini. Hari ini, sepulang bekerja, ia berencana mencari rumah kontrakan agar bisa segera pergi dari rumah ini. Bisa terbebas dari Anton yang tidak bisa memberinya apa-apa kecuali kemiskinan. Ia mencari Odetta yang duduk meringkuk di sofa di ruang tamu. Ia menunduk dan memeluk Odetta tanpa berkata-kata. Ia berharap putrinya mengerti. Ia akan menjemput mereka saat keadaan sudah membaik. Ia janji! “Dewi….” Anton menggenggam tangan istrinya tersebut. Dewi menepisnya. Setelah mengecup kening Romeo sekilas,
“Masnya nggak tahu apa-apa,” lapor Maria.Jantung Cherry berdegup kencang. Kekhawatirannya terhadap Nay semakin bertambah. Ia ingat meninggalkan sahabatnya itu di sana. Di parkiran. Mereka berpisah cuma karena Cherry terlampau egois hanya mementingkan nafsunya untuk bertemu laki-laki.Ia menyesali tindakannya yang bodoh. Seberapa sering Nay bertemu dengan mendatanginya ke Jakarta? Tidak cukup sering. Itupun ia malah mengabaikan sahabatnya itu. Dan, sekarang akibat perbuatannya, mereka tidak tahu Nay ada di mana. Cherry berpacu dengan waktu. Ia tidak mau terlambat. Ia tidak mau menyesal.“Ayo, Maria. Kita harus ke rumahku!” kata gadis itu seraya memesan taksi.***Ini bukan kali pertama Maria datang ke rumah Cherry. Ia ingat diundang ke sini pada saat gadis itu pertama kali menempati rumah itu. Dulu, tidak ada banyak perabotan ada di sana. Sekarang, kediaman Cherry itu laksana stok foto yang menggambarkan desain interior di m
Taksi yang ditumpangi Cherry memasuki sebuah gedung tinggi yang berlokasi di Sudirman. Sebaik kendaraan itu berhenti, ia pun turun. Kaos pink dan rok abu-abu selutut yang ia pakai sungguh kontras di antara para karyawan yang mengenakan setelan professional. Namun, situasi itu tidak membuatnya merasa terintimidasi. Ia tahu kalau beberapa karyawan pria pasti menelan ludah mengamati penampilannya.Cherry memiliki trik khusus untuk menjaga kepercayaan dirinya di hadapan publik. Tanamkan diri kalau dirinya adalah sosok yang lebih berharga dibandingkan orang-orang asing itu.Ini bukan tentang masalah cantik atau jelek. Soalnya, ada juga mereka yang wajahnya terpahat seperti ukiran perupa Yunani namun tidak memancarkan kepercayaan diri yang hakiki. Jatuhnya, tetap terlihat biasa di mata orang awam.Aura kepercayaan diri Cherry terus mengikuti sewaktu gadis itu menaiki lift dan keluar di lantai sembilan. Lantai itu merupakan lokasi perusahaan tempat Maria bekerja. Di de
Tidak banyak pengunjung di kafe Sara’s Pan, bahkan bisa dibilang hanya Cherry dan Farid yang ada di sana. Oleh karena itu, keduanya bebas memilih tempat duduk.Cherry tentu saja langsung mendatangi meja yang paling sudut dan tersembunyi dari penglihatan. Ia langsung memesan kopi Americano. Cherry perlu asupan kafein demi membangkitkan semangatnya. Maklum, tadi malam ia kurang tidur.“Tadi malam menyenangkan, ya.”Cherry tahu kalau kalimat itu bukan pertanyaan. Ia yakin Farid mengingat momen ketika mereka berada di kamar kos laki-laki itu tadi malam. Oleh karenanya, ia nyengir-nyengir sendiri.“Mau diulangi?” tanya Cherry dengan nada menggoda.Farid tersenyum. Di mata Cherry, senyum pria itu adalah yang paling indah sedunia.Pembicaraan mereka terhenti karena pelayan kafe membawakan pesanan mereka. Kopi Americano untuk Cherry, sedangkan Farid memesan kopi gula aren dan camilan pisang goreng.&ldqu
Regita meletakkan kuas yang sedang ia gunakan. Nay yang melihat itu mengira perempuan itu tidak suka dengan pertanyaannya. Ia ingin meralatnya cepat-cepat.Tapi, belum sempat ia mengutarakan revisi pertanyaannya, tahu-tahu, Regita sudah berkata, “Aku dan suami sebenarnya saling mencintai. Kami bercerai baik-baik. Aku bahkan masih berteman dengannya. Sampai sekarang.”“Terus?” tanya Nay bertambah bingung. Jika tidak ada masalah, mengapa keduanya harus bercerai? Apalagi jika pengakuan Regita benar bahwa keduanya saling mencintai.“Kami nggak bisa membayangkan masa depan kami bersama-sama.”“Kenapa? Katanya sama-sama cinta.”“Ada bentuk cinta yang lain. Cinta itu punya banyak sisi, salah satunya yang aku miliki terhadap mantan suamiku itu.”Nay tersentak. Kata-kata itu mirip dengan yang pernah ia ucapkan dulu. Satu lagi fakta yang membuatnya tercengang. Bukan karena sesuatu yang buruk,
Pada kanvas, terlukis sebuah gambar yang sangat indah. Lukisannya berupa sosok perempuan yang seolah-olah tidak nyata. Namun, sosok itu tampak begitu suci dan damai. Warna-warna yang mengelilingi sosok itu begitu beragam. Nay bahkan tidak pernah mengenali jenis warna yang terlukis di sana.“Wow,” celetuk Nay tanpa sadar.“Suka?” tanya Regita yang telah berdiri di samping Nay, sama-sama menatap lukisan di hadapan mereka.Nay serta-merta mengangguk.“Tapi belum selesai,” kata Regita.Nay menoleh ke arah wanita itu. “Lo yang lukis?” tanyanya.Sekarang, giliran Regita yang mengangguk.Nay masih menatap wanita itu, ini kali dengan penuh kekaguman.“Bagi anak kecil yang nggak mengerti jahatnya dunia, satu-satunya pelarian aku waktu itu yaaah lewat menggambar.”Kata-kata Nay membuatnya menundukkan kepala. Apa yang paling sedih dari seorang anak yang dilahirkan ke dunia
Cherry membuka pintu rumahnya yang sudah ia tinggali selama hampir empat tahun itu. Rumahnya kecil saja. Ruang-ruangnya berukuran mungil dan sederhana. Namun, semua itu sudah mencukupi kebutuhannya. Tapi, apakah hidup seperti ini yang ia mau? Terbersit pertanyaan itu dalam benaknya.Cherry melemparkan tasnya asal-asalan ke atas sofa ruang tamu. Ia melirik baju atasannya yang sebagian sudah terbuka. Itu membuatnya teringat kepada Farid. Langkahnya cepat menuju tempat tidur. Cermin setinggi badan menjadi sasarannya.Dengan saksama, Cherry memeriksa pantulannya di kaca. Tubuhnya cukup tinggi untuk standard perempuan Indonesia. Meskipun tidak memenuhi kriteria seorang peragawati, tidak juga mengintimidasi kaum laki-laki. Rambutnya sengaja dipanjangkan karena ia tahu kaum pria kebanyakan menyukai yang seperti itu. Lekuk badannya juga tidak malu-maluin, Lemaknya menempel di bagian-bagian yang tepat, terutama pada dadanya. Tidak ada pria yang tidak tergoda dengan aset yang ia
Nay terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya itu. Kalimat itu mirip yang dikatakan oleh Cherry dulu. Di tempat yang sama pula, ujarnya dalam hati seraya melihat sekelilingnya.“Nggak perlu takut. Meskipun malam hari, ada saja wisatawan yang datang ke sini, untuk tur museum malam hari,” ucap Regita.Apa yang dikatakan oleh perempuan itu betul. Di sebelah kiri, ada beberapa orang yang berjalan beriringan mengikuti instruksi satu orang yang Nay duga adalah pemandu tur tersebut.“Jadi, tempat ini?” tanya Regita.Nay sendiri tidak tahu. Jangan salah sangka. Bukannya ia tidak hapal lokasi tempatnya berada saat itu. Ia hanya tidak mengerti mengapa ia membawa perempuan yang baru dikenalnya itu ke sini.“Gue pernah ke sini bersama Cherry.”Alih-alih mempertanyakan tujuannya datang ke tempat itu, Regita berkata, “Pasti momen itu spesial banget, ya.”Nay mengangguk. Tampak jelas kalau be
Nay keluar dari minimarket dengan membawa dua buah botol minuman. Ia memberikan salah satunya kepada Cherry yang duduk di lantai selasar minimarket itu.Nay memperhatikan sahabatnya yang meneguk minuman itu sampai tandas. Penampilan Cherry jauh dari biasanya. Tidak ada riasan di wajahnya. Padahal, Cherry selalu tampil dengan peralatan kosmetik sejak temannya itu bisa berdandan. Pakaian yang dikenakan gadis itu juga jauh dari gaya sehari-hari Cherry. Sahabatnya itu hanya mengenakan kaos polo dan celana bahan.“Mau pulang?” tanya Nay.“Nggak bisa,” kata Cherry lirih.“Oke, ikut gue.”Tanpa banyak berkata-kata, Cherry menurutinya.Nay sendiri tidak tahu hendak membawa sahabatnya itu ke mana. Ia bukan orang Jakarta. Ia juga tidak menetap di kota metropolitan itu. Bagaimana bisa ia menemukan tempat yang asyik untuk Cherry menjelaskan apa yang terjadi dengannya?Keduanya berjalan kaki dalam diam. Nay yang
Regita Amelia sudah melewati usia kepala tiga. Tepatnya, 38 tahun. Tidak seperti perempuan lainnya, tidak ada keluarga yang memaksanya untuk menikah. Bukan karena keluarganya berpikiran modern, melainkan karena Regita sudah meninggalkan rumah sejak berusia 17 tahun. Jadi, tidak ada keinginan keluarga yang harus ia turuti.Pengalaman hidupnya sesuai dengan usia yang ia miliki. Banyak. Tidak semuanya menyenangkan. Lebih seringnya, Regita harus berkutat dengan cara dan strategi untuk bertahan hidup. Bayangkan saja, apa yang harus dilakukan oleh anak berusia tujuh belas tahun untuk bertahan hidup?Namun, kerasnya pengalaman hidup Regita membuatnya menjadi pribadi yang peka dan sensitif, terutama terhadap mereka yang memiliki pengalaman hidup yang tidak menyenangkan.Ketika melihat Nay di Kafe Starlite, perhatian Regita langsung tertuju kepada gadis itu. Mata Nay terlihat kelam. Padahal, di sekeliling perempuan itu ada dua orang temannya. Dari pengamatan Regita, Nay