Hyuna terperanjat mendengar suara bising di kamarnya. Napasnya terengah. Alarm? untuk sesaat dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali, mengapa ia bisa berada di sebuah ruangan putih yang tampak mewah baginya. Sementara kamarnya adalah warna pink. Juga bunyi alarm itu. Dia merasa tidak menghidupkan alarm ketika akan berangkat tidur semalam. Ingatannya berangsur membaik, ya, ini kamar yang semalam diberikan seseorang kepadanya. Tetapi jam berapa ini? Hyuna mengedarkan pandangannya. Sebuah jam dinding besar menempel di tembok, tepat di depannya. Baru jam tiga pagi, mengapa aku harus bangun? Jam berapa semalam aku tidur? Rasanya masih mengantuk sekali. Ah, mata Hyuna membentur laptop di meja. Dia langsung ingat, saat dia membuka laptop semalam, jam sudah menunjukkan angka 01:11 menit. Itu artinya dia baru tidur tidak lebih dari dua jam. Hyuna bangkit dari ranjangnya, mencari sumber suara yang berasal dari laci meja belajarnya. Ia membuka laci. Kedua matanya terbelalak mendapati apa y
"Bagaimana tidurmu, Ayara?" "Tuan Muda," Ayara langsung menghentikan gerakan tangannya, begitu menyadari Arlo datang. Sekeranjang sampah daun berhasil ia kumpulkan. "Kamu menikmatinya?" Sejenak Arlo melirik keranjang daun, kemudian kembali menatap Ayara. "Ya," balas Ayara, meskipun dia semalam tidak benar-benar nyenyak. Yah lumayan meskipun cuma tidur selama dua jam-an. "Hari ini kamu mulai bekerja untukku," kata Arlo lagi. "Saya mengerti, Tuan," balas Ayara, "lalu bagaimana dengan permintaan saya?" "Permintaan? Belum ada sejarahnya di sini, seorang pelayan mengajukan permintaan." Mendengar itu kedua mata Ayara terbelalak, apakah Nawang Nehan berdusta? Bukankah dia berjanji akan mengabulkan permintaanku? "Ikut denganku!" ajak Arlo. Ayara bergeming. Hatinya terasa hancur berkeping. Akan kah ia menjadi budak Arlo Raynar seumur hidupnya, dan melupakan cita-citanya? Ataukah akan mengajukan banding kepada Nawang Nehan? Atau bakal kabur dari rumah tersebut, dan menjadikan paman dan bi
Sudah terlambat. Ayara tidak semangat lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dari rumah Nawang menuju jalan raya saja membutuhkan waktu tidak kurang dari lima belas menit untuk sampai, karena dia hanya berjalan kaki atau berlari. Belum lagi menunggu bis yang dapat membawanya ke depan kampus datang. Setidaknya butuh lima belas menit lagi, bahkan bisa lebih dari itu. Sedangkan waktunya tinggal satu jam kurang. Kalau sedang beruntung sih bisa sepuluh menit sudah ada bis lewat, kalau lagi apes, bisa satu jam baru bisa naik.“Kelinci Liar,” panggil Cashel, merasa kasihan melihat Ayara menekuk wajah sambil berjalan. Matanya sempat bersitatap dengan Arlo yang tampak biasa saja.“Dasar manusia salju tak punya hati! Tunggu aku di sini, akan kubuat perhitungan denganmu!” teriak Cashel, mengancam Arlo. Kemudian dia menarik tangan Ayara untuk lari bersamanya. Arlo hanya menatap keduanya tanpa ekspresi.“Aku sudah mau kehabisan tenaga,” kata Ayara. “juga percuma, karena pasti akan terlambat,”“Kamu ti
Gistara merasa heran dengan Ayara, mengapa dia terlihat begitu buru-buru mengemas barang-barangnya begitu kuliah selesai. Padahal sebelumnya Ayara selalu santai, bahkan sering mengajaknya mengobrol dulu di kantin, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon akasia, yang ada di halaman kampus.“Ponselmu ke mana? Kamu bahkan tidak pernah membaca pesan whatsappku.” Kata Gistara. Ayara menatap wajah sahabatnya lekat-lekat.“Maafkan aku, Tara, bahkan mungkin, aku tidak akan pernah bisa lagi menemanimu jalan-jalan dan sebagainya, seperti dulu,” kata Ayara, seraya mengamankan tasnya di punggung. Keduanya melangkah beriring keluar ruangan.“Kenapa?” protes Gistara, tidak terima.“Aku mendapat pekerjaan,”“Hah? Kerjaan? Kerjaan apa? Buat apa lagi? Sedangkan kamu sudah peroleh uang yang lumayan banyak dari …”“Sssst…” Ayara langsung membekap mulut Gistara sebelum gadis itu menyeselesaikan kalimatnya. Lalu memberinya kode, bahwa ada sesorang yang sedang berjalan ke arah mereka.“Apa kabar, Ayara,” o
Sudah tiga jam! Ayara tersentak ketika membuka kedua matanya, tubuhnya langsung berjingkat duduk. Seorang pria sedang duduk di kursi belajarnya. Laptopnya juga menyala di depan pria tersebut. Ayara diberi waktu satu jam untuk istirahat, dan berbenah diri sejak pulang dari kampus. Tetapi dia justru tertidur dan baru bangun tiga jam kemudian. Mengapa Arlo Raynar tidak membangunkannya?“Kenapa Tuan Muda ada di sini?” tanya Ayara. Dalam hati merutuki, sungguh tidak beradab tuannya itu, masuk kamar gadis tanpa mengetuk pintu. Namun Ayara masih bisa bersukur karena pakaiannya tidak ada yang tersingkap, meskipun setengah tubuhnya, tepatnya bagian pantat ke kaki, masih bergelantungan di luar kasur dengan tubuh telentang.“Tempat ini milikku, jadi aku bebas keluar masuk kapan pun aku mau,” jawab Arlo tanpa menoleh.“Tetapi Tuan menyuruh saya menempatinya.”"Bukan berarti tempat ini resmi menjadi milikmu.""Saya tahu."“Lalu?”“Ada saya di sini, tidak seharusnya Tuan sembarangan masuk seperti i
Di langit, rembulan yang semula tampak mulai meremang, dengan sinarnya yang terkalahkan oleh sinar lampu di bumi, semakin hilang pesona. Awan datang menutupi cahayanya. Wujudnya yang tinggal separuh semakin tidak terlihat. Beberapa lampu taman yang sudah dipadamkan, berhasil membuat suasana tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Ayara dan Rhys Victor mungkin hanya dua orang yang masih berada di luar kamar, selain dua security yang berjaga di pintu gerbang utama, dan dua lagi di pintu gerbang kedua.Ayara berusaha mencari celah, bagaimana agar bisa terlepas dari Rhys Victor yang semakin mendekat ke tubuhnya. Bahkan beberapa langkah lagi ke belakang, tubuh Ayara bisa mencebur ke genangan air mancur di belakangnya.Melihat Ayara sudah terjebak dalam kuasanya, Rhys Victor semakin senang. Senyumnya yang setengah mesum, membuat bulu kuduk Ayara meremang.“Kamu pernah menolakku sekali, dan aku sudah memperingatkanmu untuk itu. Aku penasaran apa yang bisa kamu lakukan sekarang?” kata Rhys deng
Kamar Ayara masih sama. Seperti yang ia tinggalkan satu bulan yang lalu. Tentu saja, tidak ada yang bisa masuk ke sana, kecuali jika ada yang mau mendobrak pintunya. Ayara menguncinya, dan menitipkan satu kuncinya kepada sahabatnya, Gistara. Sedangkan satu lagi kunci yang dia bawa, dia lemparkan ke belukar dekat parit di kebun karet, saat akan berangkat ke rumah Nawang Nehan. Hal ini sengaja dia lakukan karena dia tidak ingin privasinya diinjak-injak.Ayara sengaja membuang kunci kamarnya agar tidak dirampas oleh pihak Arlo, maupun pamannya.Hari ini, saat Arlo mengijinkannya untuk pulang ke rumah Dihyan. Ayara terpaksa harus mencari kunci tersebut lebih dulu, karena tidak memungkinkan menghubungi dan pergi ke rumah Gistara, lebih dulu. Bisa-bisa Arlo akan mengiranya sebagai usaha kabur lagi. Dia bisa sampai di rumah tersebut pun harus mengalami sedikit perdebatan dulu dengannya tadi pagi, saat keduanya berada di meja makan.“Saya akan berangkat setelah ini, Tuan.” kata Ayara tadi pag
Di kamarnya Ayara merasa gelisah. Sudah sepuluh menit berlalu, panggilan balik yang ia tunggu belum juga ada tanda-tanda masuk. Perasaannya tidak enak. Hatinya mengatakan seseorang yang dia amanahi banyak rahasianya, orang yang paling ia sayangi saat ini, sedang ada dalam masalah. Sahabat sekaligus orang yang paling dekat dalam hidupnya membutuhkan bantuan.Sepuluh menit menanti, bagi Ayara adalah waktu yang sudah sangat panjang. Ia tidak bisa diam, dan hanya menanti kabar. Dia harus keluar. Peduli setan dengan peraturan Arlo, Ayara harus keluar dari sana.Tanpa berpikir panjang, Ayara langsung menghentak tubuhnya untuk bangkit. Ia langsung membuka pintu, menutupnya kembali dan berlari ke pintu gerbang. Persetan dengan peraturan Arlo, maupun kediaman Nawang Nehan, Ayara memutuskan. Dia siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi selanjutnya."Mau ke mana, Nona?" Tanya satpam di gerbang kedua saat melihat Ayara berjalan ke arah luar."Saya ada urusan mendesak, tolong ijinkan saya ke
Seorang pelayan yang sejak tadi menguping di depan pintu kamar Rhys Victor, langsung terperangah. Jadi benar kecurigaan, Among?Pria bodoh itu..., senyap. Hanya ada suara ketukan beberapa kali dari dalam kamar. Gadis pelayan itu menduga, itu pasti suara benturan gelas Rhys saat diletakkan di meja. Pelayan mematikan ponselnya. Kemudian memasukkan benda pipih itu ke dalam saku rahasianya, yang paling aman dari jangkuan.Pelayan itu mengetuk pintu.“Tuan, apakah Anda membuthkan bantuan?” Senyap, tidak ada jawaban. Pelayan itu tersenyum.Dasar penjahat! Kamu akan menuai buah perbuatanmu sendiri!Dua hari yang lalu, sebelum ia dikirim menjadi pelayan di penginapan ini, ia sedang kebingungan karena tidak memiliki tujuan jelas. Tidak memiliki uang dan tempat tinggal.Tiba-tiba seseorang memanggil namanya dengan lembut. Saat dia menoleh, di depannya seseorang yang sangat dia kenali. Orang yang seketika membuatnya tersenyum bahagia, karena mengira akan memiliki harapan untuk bertemu dengan sos
Menyaksikan sahabatnya hanya diam dalam keadaan tertuduh, Yudha merasa heran. Segera didekatinya Cashel dengan penuh tanya, “Kamu tidak ingin mencegahnya, Cashel?”Cashel tidak menjawab, sebagai gantinya, pria itu justru berbalik arah dan masuk ke rumah Yudha. Lalu duduk di kursi, dan meminta Yudha menjauh darinya. Cashel ingin sendirian. Hatinya terlalu sakit, untuk mencerna kenyataan.***Di dalam hutan, Ayara tidak berhasil menemukan jejak Arlo. Dia hanya menemukan, semak yang berantakan, dan patah di mana-mana. Ia bisa menyimpulkan, itu bekas perkelahian. Ada darah di mana-mana.Tidak bisa menemukan Arlo di dalam hutan, Ayara keluar dari sana. Dia sampai di sebuah pedesaan yang ramai dengan banyak orang yang melakukan aktivitas.Seperti kehidupan di pedesaan umumnya, ada yang pergi ke pasar untuk menjual hasil panen mereka. Ada juga yang membawa peralatan bercocok tanam di ladang.Ayara melangkah dengan kecepatan di atas rata-rata. Sesekali bertanya, di mana ada penginapan. Banyak
"Aku juga membutuhkanmu, Ayara. Sangat."Ayara bergeming. Andai saja bisa, dia ingin membagi tubuhnya, untuk Arlo dan Cashel.***Arlo menerima telepon dari Among saat sedang berdua dengan Ayara. Walaupun sangat ingin bisa lebih lama bersama dengan gadis yang lama ia cari, dan baru dipertemukan itu, ia terpaksa pamit untuk pergi. Ada hal penting yang harus mereka lakukan."Jangan ke mana-mana, aku akan menjemputmu setelah ini," pinta Arlo kepada Ayara. Ayara tidak menjawab, karena hatinya tahu sekali, dia harus bersama Cashel, meskipun sangat ingin kembali bersama Arlo.Cashel tidak memiliki siapa siapa lagi selain dia. Sedangkan Arlo, masih memiliki ayah yang sangat menyayanginya. Memiliki banyak anak buah, dan teman. Meskipun Ayara tidak pernah melihat Arlo bersama temannya, selain Among. Arlo juga masih memiliki semua kemewahan hidupnya. Bahkan pelayan kamar yang baru, jika pria itu menginginkan. Sedangkan Cashel, bahkan kartu ATMnya pun dibekukan. Ke depannya Cashel harus berjuang
Ayara duduk di atas potongan pohon kelapa sawit tidak jauh dari rumah Yudha. Kedua matanya menatap kalung yang menggantung di tangannya. Benda yang selama belasan tahun menemani hidupnya. Sisa kenangan masa lalunya. Usianya baru empat tahun saat itu. Dia sedang bermain dengan teman-teman di dekat rumahnya, ketika sebuah mobil melintas dan hampir menabraknya. Mobil itu tidak tahu jika ada anak kecil yang sedang menyeberang di jalurnya. Untungnya, ada tangan kecil lainnya yang menarik tubuh anak itu, sehingga anak itupun selamat. "Anak kecil kenapa kamu mainan di jalan sendirian," tanya penolongnya, yang tidak lain adalah anak lelaki, berusia sekitar sepuluh tahunan. "Tadi aku sama teman-teman, Kak. Tapi mereka larinya cepat sekali," jawab anak itu lugu. "Ah gitu…, ayo Kakak antar, di mana rumahmu?" "Tidak. Ibu bilang aku tidak boleh ikut orang asing," "Hahaha, kakak bukan orang asing, tetapi kakak adalah penolongmu." jawab anak lelaki itu. Anak kecil itu menatapnya. "Apakah Kaka
"Aku harus pergi," ucap Birdella seraya membalikkan tubuhnya, lalu meninggalkan Arlo yang menatapnya tanpa ekspresi. Arlo sangat paham, gadis itu berusaha menghindari pertanyaannya. Tingkahnya memang seperti itu dari dulu. Lucu dan menggemaskan. Namun Arlo tidak pernah tertarik untuk menggodanya. Seperti yang dilakukan Cashel dan banyak orang terdekatnya.Arlo melanjutkan langkah. Mengabaikan Among yang tersenyum menyaksikan tingkah Birdella."Gadis itu benar-benar polos," gumam Among."Tidak. Dia menyimpan rahasia," balas Arlo."Maksud, Tuan?""Mari kita lihat nanti, apa yang sudah dilakukan gadis yang katamu polos itu." Among tidak menjawab apa-apa lagi. Ia dengan sigap mengikuti langkah Arlo menuju kediamannya."Jadi bagaimana rencana kita selanjutnya, Tuan?""Kirimkan dua intel terbaik kepadaku, setelah itu kita pergi mencari Hyuna Sada.""Apa? Bukankah Hyuna sudah meninggal, Tuan?""Tidak, yang meninggal adalah Gistara, sahabat Hyuna Sada." Arlo menjawab dengan mantap. Langkahnya
Among mulai gelisah. Sudah satu jam Arlo mengunci diri di dalam kamar Ayara. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan bossnya sejak dia mengabdi kepadanya, selama hampir dua puluh tahun. Among dapat merasakan, Arlo seperti merasa kehilangan atas kepergian Ayara. Kali ini Among yakin sekali, perasaan Arlo bukan lagi sekadar antara majikan dan pelayannya. Namun dia masih tetap menahan diri untuk memastikan itu. Ragu, tangan Among mengawang, hendak mengetuk pintu, tetapi takut mengganggu.Di dalam kamar Ayara, tangan dan tubuh Arlo bergetar hebat. Pandangannya membulat demi melihat apa yang dia temukan di bawah bantal Ayara. Tadinya dia hanya penasaran dengan pisau kecil yang dilihatnya di samping bantal. Arlo ingin memastikan, benda yang selalu terselip di rambut Ayara itu sekuat apa. Selama ini Arlo bukan tidak tahu, Ayara selalu membawa senjata tersebut ke mana-mana. Bahkan ketika masuk rumah dan kamarnya. Tetapi Arlo tidak melarang, dan tidak pernah menyinggung hal itu. Bagi dia, itu buka
"Kita mau ke mana, Cashel?" Ayara memeluk erat pinggang Cashel yang menyetir motor dengan kecepatan maksimal. Mereka sudah empat jam perjalanan, dan sudah jauh meninggalkan desa. Dua kota juga sudah mereka lintasi. Hanya berhenti sebentar untuk membeli makanan dan minuman."Kenapa? Kamu capek?""Tidak. Kamu yang seharusnya istirahat," balas Ayara."Aku masih sanggup," balas Cashel, "kita juga belum boleh berhenti, karena polisi pasti sudah menyebarkan informasi ke beberapa kota terdekat."Ayara mengangguk, dalam hati ia merasa sedih karena harus melibatkan Cashel dalam masalahnya. Sementara Cashel sendiri memiliki masalah yang lumayan berat berkaitan masa depan hidupnya.Malam semakin merayap. Ayara dan Cashel berhenti di sebuah rumah sederhana di pinggiran hutan. Tubuh keduanya sudah sangat letih, ketika seorang pria dengan perawakan tinggi besar menyambut keduanya. Itu adalah salah seorang sahabat Cashel yang dulu pernah peroleh bantuan darinya. Malam itu mereka menginap di rumah te
Cashel benar-benar merasa geram ketika melihat motor dan mobilnya telah dirantai dengan kuat di garasi miliknya. Dia tidak pernah menyangka Nawang Nehan ayahnya benar-benar tega melakukan ancamannya. Bahkan di saat duka kehilangan ibunya belum hilang dari hati Cashel.Ditariknya rantai itu dengan penuh kemarahan, namun benda itu sama sekali tidak bergerak."Siapa yang melakukan ini?" Teriaknya. Penjaga Gerbang Dalam tergopoh mendekati."Siapa yang melakukan ini?" ulang Cashel seraya meraih kerah baju penjaga yang mendekatinya."Saya sungguh tidak tahu, Tuan," jawab penjaga dengan napas tersengal."Bagaimana kamu tidak tahu, sedangkan kamu yang berjaga di sini?" Cashel melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Penjaga terjatuh beberapa langkah ke belakang."Maafkan saya, Tuan, saya sungguh tidak tahu," gumamnya sekali lagi, seraya menggeleng pelan.Sama sekali tak terlintas di benak Cashel, ayahnya yang selama ini bersikap lembut kepadanya dan kepada semua anak-anaknya, kini bisa sejahat
PART 35. Misteri Kematian Hyuna Sada Ayara melepas tatapan penuh kebencian kepada Arlo. Hatinya sungguh terluka, pria itu sama sekali tidak pernah bisa menghargai perjuangannya, yang sudah berusaha totalitas melayaninya. Dia tidak pernah menyangka, ternyata selama ini Arlo hanya memandangnya tidak lebih dari seorang budak belian jaman dahulu kala. Yang tidak mengapa dimiliki dan dilepas kapanpun dia mau. Sekuat tenaga Ayara menahan air matanya, agar tidak menetes di depan pria, yang mulai detik itu, akan dia anggap sebagai musuh terbesarnya. Selamanya. Ayara berjalan mengikuti langkah polisi, yang membawanya dengan kedua tangan diborgol. Tak dipedulikannya bisik-bisik beberapa pelayan yang melihat kejadian tersebut. Saat mereka hampir keluar dari Gerbang Dalam, sebuah suara memanggil nama Ayara. Mereka berhenti sebentar, untuk memberi kesempatan sosok yang memanggil itu mendekat. “Apa yang terjadi?” Gemetar suara itu bertanya. Dia tidak percaya anak yang dulu dia rawat dan besarka