Dering telpon tengah malam mau tak mau membuat Alana membuka matanya secara paksa. Kepalanya masih terasa berat, namun suara ponsel yang mengganggu sama sekali tak bisa dia acuhkan.Dia mengusap layar ponsel, penglihatannya masih cukup buram untuk membaca nomor siapa yang memanggilnya malam-malam begini. Dengan suara sedikit serak Alana menjawab panggilan. "Halo?" Tak ada jawaban. Alana mengernyit heran lalu menilik kembali nomor yang memanggilnya. Jelas nomor itu bukan nomor yang dia kenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya lagi. Masih belum ada jawaban yang membuat Alana berdecak malas. Siapa sih orang usil yang mengganggunya malam-malam begini? Tak ada jawaban, namun panggilan langsung dimatikan sepihak. Alana mendengus kesal, apa-apaan maksudnya? Wanita itu hendak kembali tidur saat satu pesan misterius masuk membuatnya kembali mengeryit heran. 'Hati-hati dengan sesuatu yang dekat. Semakin dekat, semakin dalam dia mampu menusukmu. Kata kuncinya adalah kepercayaan. Dua sisi mengi
"Kamu yakin mau tetap berangkat kerja hari ini?" Arkasa tidak bisa tidak khawatir ketika melihat Alana yang sudah siap dengan pakaian kerjanya duduk di meja makan. Pagi tadi dia dengan jelas menangkap seberapa pucatnya wajah sang istri meskipun kini sudah ditutupi sempurna oleh makeup. Namun tetap saja, sorot layu di matanya masih cukup kentara. Alana memaksakan seutas tarikan di bibir, melirik suaminya yang kini membawa gelas kearahnya. "Aku sudah membaik," balasnya singkat. Arkasa menyodorkan segelas air hangat, mendorong Alana untuk meminumnya hingga tuntas. Baru setelah itu dia menyodorkan bubur yang masih mengepul. "Terimakasih," senyuman Alana mengembang meskipun masih samar. Dia menghargai bentuk perhatian, terutama bagaimana suaminya itu berusaha bangun pagi membuatkannya sarapan dan sekarang dengan cekatan memotong beberapa macam buah untuknya. Lengan kemejanya digulung sebatas siku, menampakkan urat di lengan kekarnya yang lincah mengupas dan memotong buah. Di
Alana mengulas senyum puas ketika Rosaline untuk kesekian kalinya berhasil menyelesaikan misinya. Laporan Rosaline pagi ini memang sesuai dengan dugaannya. Wanita serbabisa itu telah berhasil menemukan pemilik nomor asing yang kemarin malam 'iseng' mengganggunya.Ini hanyalah masalah kecil. Dalam sekejap Rosaline berhasil menemukan pemilik nomornya. Siapa mereka yang berusaha main- main dengannya?"Itu dikirim dari ponsel yang sama dengan milik nona Mikayla. Aku rasa dia benar- benar teledor soal ini," ujar Rosaline.Alana mengangguk paham. Gadis muda itu pasti punya tujuan terselubung dengan berusaha main- main dengannya. Tapi mengapa dia begitu tidak hati- hati? Apa menurutnya, Alana sebodoh itu?Dia merubah rautnya menjadi lebih dingin, temperamennya yang mulia menguar secara alami. Alana bangkit dari kursi kebesarannya lalu menjentikkan jarinya untuk mengirim pesan pada Mikayla. Wanita dua puluh delapan tahun ini tak suka basa- basi, jadi dia akan langsung saja menuju pada intinya
"Aku punya penawarnya disini. Terlambat lima menit dan kamu akan pergi dari dunia ini," Alana berjalan santai. Pandangannya bengis terpaku pada wanita muda yang fitur wajahnya manis namun meringis dengan mata merah itu."Apa yang berusaha kamu lakukan? Arkasa dan keluarganya pasti membencimu jika tahu tindakanmu ini!" Mikayla merongrong. Nampaknya dia benar- benar tak bisa lagi menahan kekesalannya terhadap kejutan dari Alana.Alana nampak tak terpengaruh, sebaliknya dia justru berjongkok dengan jarak aman, "aku tidak peduli dengan hal itu," ucapnya acuh. Jemari rampingnya memainkan plastik yang berisi satu kapsul itu dengan seringaian menyeramkan terpampang di wajahnya. Mikayla merasakan dadanya sesak dan menggeliat panik, kini dia memohon dibawah kaki Alana. "Aku akan lakukan apapun asal mbak bersedia memberi penawar itu padaku," mohonnya. Biar bagaimanapun, sekarang ini nyawanya adalah yang terpenting. Mikayla tidak bisa mati seperti ini.Alana berdecih meskipun dia sebenarnya se
Alana telah mengacuhkan belasan panggilan Arkasa. Dia sengaja mengaktifkan mode senyap dan bersiul mengerjakan hal- hal yang memang seharusnya dia prioritaskan. Alana sangat tahu apa yang sedang terjadi dan menikmati setiap detiknya. Rosaline masuk kedalam ruangan membawa selembar kertas bertuliskan alamat rumah sakit ternama. Begitu dia menyerahkannya pada Alana, wanita dengan temperamen dingin nan memukau itu tersenyum miring. "Sebenarnya aku tak mengharapkan ini, namun ternyata terkaanku benar, ya?" Alana merapikan tas kecilnya, sudah saatnya dia kembali dan masuk lagi melengkapi drama yang Mikayla telah ciptakan sendiri. "Bu Alana perlu saya antarkan saja?" tanya Rosaline. Alana menggeleng, "tidak perlu. Aku sudah cukup sehat sekarang. Apalagi aku tengah bersemangat," ujarnya. Rosaline mengangguk hormat lalu mengantarkan Alana keluar dari ruangannya. Alana mantap melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Semua skenario yang dia rancang hari ini terasa sempurna dan sebe
Alana masih mengulum tawanya sendiri. Setelah mengunci pintu, ia melihat sekeliling dengan cermat. Mematikan lampunya sebentar dan mendeteksi apakah ada alat mencurigakan lain yang dipasang. Tak menemukan apapun, Alana menyalakan kembali lampunya dan tertawa kecil. Sungguh, melihat wajah konyol yang Mikayla suguhkan tadi membuatnya terhibur. Wanita muda itu sepertinya memang terlalu banyak mengkonsumsi drama sehingga berpikir semuanya bisa semudah itu. Sebenarnya Alana masih bisa mentolerir jika Mikayla hanya sebatas membencinya karena memiliki Arkasa. Siapapun jelas tahu tatapan macam apa yang wanita muda itu tampilkan ketika bertemu Arkasa. Itu bukan hal yang aneh menurutnya.Sayang sekali, Mikayla mulai melewati batas dan Alana bukan orang sabar yang bisa berbaik hati melewatkan hal itu. Semua harus dibayar sepadan. Meskipun masih terlalu dini, bukankah mengungkap secepat mungkin adalah jalan terbaik untuk mencegah kemungkinan lebih buruk di masa depan?Alana tak tahu apa yang A
Alana memekik kaget saat ia menemukan sahabatnya bersimbah darah di dekat tangga. Wanita itu tak bisa menyembunyikan kepanikan dan berhambur mendekati tubuh tak sadarkan diri milik sahabatnya itu. Dia berusaha menggapai kesadaran Adara. Mata itu tertutup dan kondisinya yang mengenaskan membuat Alana histeris. Untung saja tadi dia telah memanggil bantuan darurat dan sekarang orang- orang itu telah mengelilinginya. Mereka mengangkat tubuh bersimbah darah itu. Alana menggenggam tangan sahabatnya dengan histeris. Dia berada di mobil yang sama dengan Adara yang tak sadarkan diri menuju rumah sakit. Di tengah tangisnya, dia baru sadar bahwa panggilan Arkasa masih tersambung. "Kami menuju Rumah Sakit Pelita. Aku takut ini akan berhubungan dengan janinnya, haruskah kita memberitahu ayah dan mama?" tanyanya gemetar. Arkasa tak kalah panik. Terutama karena dia mendengar bagaimana histerisnya Alana dan kegaduhan disekitar mereka. "Tunggu aku disana. Tetap jaga Adara!" titah Arkasa yang pa
Satu-satunya hal yang bisa Alana lakukan di depan cermin tolet adalah menangis. Dia merasakan kepedihan mendalam. Meskipun dia bersyukur sahabatnya bisa diselamatkan, Alana tak tahu apa yang bisa dia katakan nantinya ketika Adara sadar. Terlebih dia sangat tahu bagaimana selama ini Adara menyayangi janinnya itu.Sejak lama memang Adara menantikan kesempatan menjadi seorang ibu. Namun mengapa semua diambil begitu cepat?Dia mengganti pakaiannya dengan kemeja santai milik Arkasa. Sementara suaminya itu masih sibuk mengurus administrasi.Mereka memang belum memberitahu hal ini pada orang tua di rumah. Namun Alana jelas sadar bahwa ini tak akan bisa disembunyikan lebih lama lagi. Tuan Pradipta memiliki lebih dari separuh saham disini yang menjadikannya pemegang saham terbesar. Bagaimanapun, dia yakin informasi ini akan terdengar ke telinga tuan Pradipta dengan sendirinya.Setelah berusaha menetralkan emosinya, Alana keluar dari toilet dan berencana kembali menuju ruangan Adara.Menemukan