"Selamat pagi!"Masih pagi dan keberadaan mantan kekasihnya itu telah berhasil membuat mood Alana memburuk. Dia menghela nafas kasar, kedepannya dia akan sering bertemu dengan manusia ini, jadi Alana harus mulai membiasakan diri. Sebuah senyum dia paksakan untuk terbit, "apa yang membawa tuan Saddam yang terhormat bertandang kemari pagi- pagi begini?" ucapnya.Saddam menaikkan sebelah alisnya lalu berjalan mendekati meja, meletakkan satu cup large kopi. Mendorongnya perlahan diatas meja hingga berada tepat di depan sang wanita."Ini kompensasi dariku, kemunculanku disini mungkin membuatmu tidak nyaman," balasnya.Alana kembali mengernyit heran, "tidak perlu repot- repot membawakan kopi kalau kamu sendiri sudah tahu penyebab buruknya suasana adalah keberadaanmu itu sendiri," pungkas Alana.Saddam menarik tangannya, kembali menyelipkan keduanya di dalam saku tanpa terpengaruh oleh ucapan sarkas Alana. Dia menyunggingkan satu senyuman kecil."Tapi itu tidak terelakkan. Kamu harus menah
"Aku rasa dia sudah mulai curiga."Seorang wanita menghembuskan asap dari lintingan yang diapit dua jemarinya. Rambutnya dicepol asal, hanya mengenakan tank top dan celana pendek super santai yang membalut tubuh sintalnya. Tubuhnya kini bersandar penuh pada tembok dibelakangnya. Netranya tenang menanggapi laporan dari laki- laki berpenampilan klimis yang baru saja masuk kedalam kamarnya. "Ck, kamu pasti gegabah!" tuduhnya.Si lelaki nampak gusar, dia menarik dasinya hingga terlepas secara paksa. Dengan kasar merebahkan diri diatas ranjang single tanpa peduli bahwa pembungkus kasur ikut tertarik dan berantakan. Wanita dengan kulit pucat itu melirik sekilas lelaki yang tadinya masuk dengan setelan rapi itu. Dia bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju jendela, membukanya sehingga udara penuh polusi itu ikut hinggap memenuhi pernafasannya. Namun setidaknya itu masih lebih baik daripada harus terus menerus mengurung diri dalam ruangan pengap ini.Pandangannya menerawang, memperhatik
Satu cangkir kopi mendarat diatas meja kerja lengkap dengan kepulan asapnya. Alana meliriknya sekilas sembari menyajikan senyum kecil kearah si pembuat kopi yang tengah mengusak lembut pucuk kepalanya. "Makasih, mas!" ucapnya tanpa suara sembari kembali lagi fokus pada laptop dihadapannya yang sudah mencuri fokusnya selama kurang lebih tiga puluh menit. Menampakkan wajah para perwakilan perusahaan baik dalam maupun luar negeri. Alana saat ini tengah mengikuti konferensi secara virtual yang masih berlangsung hingga diluar jam kerja. Karena sudah tak banyak lagi yang perlu Alana presentasikan, ditambah lagi sempat ada jeda dua jam, Alana memilih untuk melanjutkan di rumah saja. Lagipula dia tak ingin membuat Rosaline juga ikut lembur bersamanya. Sisa konferensi ini masih bisa dia ikuti sendiri. Arkasa yang masih rapi dengan pakaian kerjanya masih sempat membuat dua cangkir kopi untuk menemani istrinya itu. Dia jelas melihat lingkar kebosanan dan kelelahan di wajah Alana meskipun m
"Aku mau buat kesepakatan!"Nada tegas Alana Diandra Yasmin bergema. Arkasa yang baru saja keluar dari kamar mandi mendapati istrinya sudah menyilangkan tangan sembari duduk di ujung ranjang dengan tatapan tajam menghunus. Bukannya terintimidasi, Arkasa justru terkekeh pelan. Ia mengusak rambutnya yang masih basah, pun bulir air masih mengalir di kulitnya. Lelaki itu muncul dari kamar mandi masih dengan menggunakan celana tanpa atasan. "Kesepakatan apa?" tanyanya sembari bersandar di depan lemari, berhadapan langsung dengan Alana yang sepertinya sedang berada dalam mode maung. "Kita harus buat kesepakatan supaya kamu tidak bisa ciam-cium sembarangan!" ujar Alana dibubuhi satu dengusan kesal diakhir. Kedua alis Arkasa tertaut, "kalau aku menolak, bagaimana?" tantangnya. Alana menatapnya dengan tajam, "aku tidak mau tau. Aku gak suka ya kamu pamer cium atau menyentuhku di depan umum begitu," keluhnya lagi. Konferensi Virtual baru saja usai dan Alana mendapati beberapa rekannya men
Arkasa berjuang keras semalaman. Kepalanya sekarang berdenyut pusing karena memaksakan diri untuk tidur di sofa ruang kerjanya. Semuanya semata- mata dia lakukan untuk menghindari Alana. Bagaimana dia bisa tahan tidur tanpa memeluk Alana jika wanita itu berada disampingnya? Ia melirik jam di meja kerja, hampir semalaman tak bisa tidur. Ia tertawa miris, baru satu hari tidur terpisah dan dera sakit di kepalanya sudah separah ini? Sihir macam apa yang Alana gunakan untuk menjeratnya selama ini? Kalau bukan karena jiwa kompetitifnya yang bergemuruh, Arkasa tak akan mau mengiyakan tantangan menyebalkan dari istrinya ini. Tentu dia tak mau menyakiti dirinya sendiri. Langkahnya belum begitu stabil, namun Arkasa tentu tak mau terlihat lemah. Sebisa mungkin ia tepuk- tepuk wajah dan berusaha mendapatkan kesadaran penuhnya. Saat ia membuka pintu ruang kerja, hal pertama yang dilihatnya adalah istrinya telah siap dan rapi duduk di meja makan sembari melirik fokus tabletnya. "Sudah mau ber
"Kamu gak ada kelas hari ini, Kay?" Arkasa mengusap sudut bibirnya setelah menyeruput tetes terakhir kopi buatannya. Mata elang dibalik kaca mata itu menatap was-was namun tegas seolah meminta konfirmasi.Kayla yang baru saja menyelesaikan sesi pertama wawancara bersama Alana mengangguk kecil. Dibelakangnya terlihat Alana menyusul berjalan masuk dengan cuek seakan tak tertarik akan perbincangan keduanya. Wanita itu dengan sigap merapikan barang- barang dan bersiap untuk berangkat.Arkasa yang tengah merapikan beberapa file dan memasukkannya kedalam tas kerja tak luput ikut menatap mengekori istrinya. Menyadari hal itu, Mikayla mengulas satu senyum misterius."Kenapa? Takut kangen aku kalau gak ketemu di kampus?""Tck!" Arkasa berdecak kasar memandang tak suka kearah Kayla yang memandangnya penuh kemenangan. Alana yang masih sibuk sendiri berlalu menjauhi keduanya. Tak lupa memasang senyum kecil, "aku berangkat duluan!" ucapnya tanpa basa-basi.Ada sesuatu yang terasa hampa. Tak ada
"Kamu pulang lebih awal?!" Arkasa tidak bisa tidak memekik ketika menemukan istrinya telah tiduran santai di kamar di hari yang hendak menjelang petang. Sangat jarang menemukan Alana bersantai di waktu- waktu seperti ini. Ia hampir saja berhambur membelai dan memeluk tubuh Alana kalau saja dia tidak ingat bahwa keduanya sama- sama sedang berada dalam misi. Melihat pakaian santai dan wajah tanpa makeup Alana, jelas wanita itu telah selesai mandi. Arkasa mulai meletakkan tas dan melepaskan kancing teratas kemejanya. Setelah itu duduk di tepi ranjang, menyisakan sedikit jarak diantara keduanya. Mata cantik itu menyipit menatapnya, ada sedikit raut berbeda yang Arkasa tangkap. Kulit mulus tanpa cela namun bibirnya terlihat sedikit pucat. "Sudah makan malam?" tanyanya. Alana menggeleng lemah, cukup untuk menjawab pertanyaan suaminya yang sebenarnya sudah mulai khawatir. "Kamu menginginkan sesuatu?" tanya Arkasa lagi. Dia sungguh menahan diri untuk tidak membelai surai panjang Al
Dering telpon tengah malam mau tak mau membuat Alana membuka matanya secara paksa. Kepalanya masih terasa berat, namun suara ponsel yang mengganggu sama sekali tak bisa dia acuhkan.Dia mengusap layar ponsel, penglihatannya masih cukup buram untuk membaca nomor siapa yang memanggilnya malam-malam begini. Dengan suara sedikit serak Alana menjawab panggilan. "Halo?" Tak ada jawaban. Alana mengernyit heran lalu menilik kembali nomor yang memanggilnya. Jelas nomor itu bukan nomor yang dia kenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya lagi. Masih belum ada jawaban yang membuat Alana berdecak malas. Siapa sih orang usil yang mengganggunya malam-malam begini? Tak ada jawaban, namun panggilan langsung dimatikan sepihak. Alana mendengus kesal, apa-apaan maksudnya? Wanita itu hendak kembali tidur saat satu pesan misterius masuk membuatnya kembali mengeryit heran. 'Hati-hati dengan sesuatu yang dekat. Semakin dekat, semakin dalam dia mampu menusukmu. Kata kuncinya adalah kepercayaan. Dua sisi mengi
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang