Memasang senyum kaku selama hampir empat puluh menit rasanya benar- benar membuat otot wajah terasa sakit. Alana meneguk kembali kopinya yang sudah dingin hanya untuk menghilangkan kecanggungan yang menerpa. Kembali ia memasang senyum manis basa-basi ketika dua orang dan satu manusia jadi-jadian dihadapannya mengutarakan jenis kerjasama yang mereka inginkan untuk projek kali ini. Alana mengangguk sopan mengiyakan permintaan client super VIP-nya itu. Sejujurnya permintaan itu bukanlah hal sulit dan ia sangat yakin timnya lebih dari mampu untuk mengerjakan dengan baik projek kali ini. Hanya saja, dia tak pernah menyangka akan duduk satu meja bersama dengan wanita berusia empat puluhan yang terang- terangan meliriknya sinis sejak tadi. Veronica Delani, wanita yang berstatus sebagai istri sah dari Saddam Giovandra. Alana memang tahu bahwa Veronica dikenal sebagai social butterfly atau justru malah lebih terlihat seperti penjilat kalangan atas. Tapi siapa sangka ternyata
Alana terkesiap kala Arkasa yang entah muncul darimana menarik dan mendekap pinggangnya posesif. Penampilan lelaki itu masih sama seperti tadi pagi saat mengantarnya. Seingatnya tadi setelah mengantarnya, Arkasa langsung melenggang ke kampus karena ada jadwal ajar. Alana mendongak sekilas, mendapati satu senyuman ringan namun berarti terukir di bibir tebal Arkasa. Sorot matanya nampak tenang meskipun satu alisnya yang terangkat bisa jadi mengartikan sesuatu yang berbeda.Bukan hanya Alana, kehadiran Arkasa juga turut mengagetkan baik Rosaline maupun Saddam yang membeku di tempat masing- masing. Meskipun Arkasa masuk dengan senyuman ramah, tapi jelas semua yang berada disana paham apa maksud dari tarikan tersebut."Mas?"Arkasa menoleh sebentar kearah Alana yang memandangnya sedikit bingung. Lebih tepatnya bingung mengapa Arkasa yang tiba- tiba bisa berada disini.Lelaki tiga puluh tahun itu tersenyum kecil sembari mengusap pelan lengan A
"Kenapa kesini?"Memindai suasana luar yang terlihat cukup ramai, Alana menengok kearah Arkasa yang tengah memarkirkan mobil. Lelaki itu mematikan mesin lalu balas melirik Alana, "saya lapar, kita berdua juga baru sarapan roti satu slice tadi pagi," jawabnya datar.Alana tak mau banyak mendebat Arkasa, terutama setelahbantuan lelaki itu. Sungguh, Alana belum bisa melupakan wajah panik Saddam dan cengo Veronica di depan cafe tadi. Karena ia cukup puas dengan hasil kerja Arkasa, kini Alana berniat membayarnya setidaknya dengan mengikuti saja kemana Arkasa membawanya.Keduanya masuk kedalam rumah makan yang cukup sederhana. Arkasa memang lama tinggal di negeri orang, tapi kalau sudah kembali ke tanah air, dia jadi lebih suka makanan-makanan khas disini. Tipikal yang meskipun sultan namun tetap merakyat. Untuk makan sendiri, Arkasa juga bukan tipikal yang pilih-pilih dan harus di resto
"Bikin malu!"Veronica duduk bersila sembari menyilangkan tangan di depan dada di kursi kebesarannya. Tatapannya tajam menghunus kearah suami mudanya yang kini duduk lesu sembari menunduk dihadapannya. Lelaki dengan rambut mulai panjang itu sama sekali tak mampu melontarkan sepatah katapun pada wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Memang benar, seluruh kendali ada pada Veronica."Maaf," lirihnya. Katakanlah Saddam tipikal suami takut istri. Namun dia bisa apa? Kenyataan bahwa lelaki itu memang ada dibawah tekanan istri adalah sesuatu yang tak terelakkan.Veronica yang delapan belas tahun lebih tua darinya itu memang wanita kaya yang telah banyak menyelamatkan hidupnya, terutama dalam bidang finansial. Meskipun Saddam terkenal cerdas dan banyak relasi, hal itu masih belum bisa banyak membantu perekonomiannya. Belum lagi orang tuanya yang meninggalkan milyaran hutang membuatnya kian terdesak. Disaat Alana tengah merintis bisnisnya, g
Alana keluar dari kamar tidurnya dan mendapati kehampaan merayap. Dia menarik nafas dalam bak mengendus, menyadari tak ada aroma kopi ataupun roti bakar disana. Padahal biasanya Arkasa sudah berada di pantry dan duduk santai dengan secangkir kopi yang aromanya akan memenuhi seluruh rumah. Gadis itu melirik jam dinding yang tergantung diatas pintu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ini hari sabtu, mungkin Arkasa sudah berada di Gym ataupun lari keliling kompleks sekarang. Gadis itu mengenakan kaos oversize dan celana pendek santai seperti biasa. Kaki jenjangnya melangkah riang menuju pantry untuk menyiapkan kopi miliknya. Setelah sepekan di Manhattan dan kemarin langsung kembali ke kantor, akhirnya hari ini dia punya waktu istirahat yang cukup. Itu juga yang akhirnya membuat Alana bablas baru bangun pukul sembilan. Tersenyum menghirup aroma kopinya yang menyeruak, Alana baru saja hendak menyeruputnya. Namun suara batuk yang samar- samar terdengar lebih menarik atensi w
Arkasa membuka matanya perlahan, hal pertama yang menyapanya adalah rasa pegal berkat kepala Alana yang menimpa tangannya. Sebenarnya itu salahnya sendiri, guna mencegah Alana keluar dari kamarnya, Arkasa menggenggam kuat tangan Alana hingga gadis itu pasrah dan tetap duduk menemaninya.Menengok jam di nakas, memicing untuk memastikan benar angka yang ditunjuk disana pukul 7. Kembali ia tolehkan pandangannya pada Alana yang masih bernafas teratur, pasti lehernya akan sakit akibat tertidur dengan posisi demikian.Putra sulung Pradipta itu berusaha menegakkan tubuhnya dengan perlahan, bukan karena pusing, tapi karena tak ingin membangunkan Alana yang terlelap. Omong-omong soal pusing, sekarang ini dia sudah merasa lebih segar, tak ada pening dan suhu tubuhnya tak begitu panas lagi.Senyuman kecil terbit di bibir tebalnya, perlahan tangan satunya mengelus lembut puncak kepala dan rambut gadis y
"Kamu gak apa tidur seranjang sama saya?" Alana langsung naik keatas ranjang Arkasa, menarik selimut dan menenggelamkan dirinya disana. Malam ini keduanya harus sekamar karena duo ibu berada tepat di kamar sebelah, ngotot untuk menginap. Meskipun ada dua kamar lagi di lantai atas, mereka tak mungkin tidur terpisah. Bisa-bisa muncul wejangan 1001 malam. "Gak ada masalah. Lagipula waktu di Manhattan juga kita tidur satu ranjang terus, kan?"Gadis itu memutar bola matanya malas. Terkadang, Arkasa yang nampak gagah dan tenang itu selalu mempertanyakan hal yang menurutnya bukanlah hal besar. Tidur di ranjang yang sama misalnya. Arkasa mengerutkan alisnya sebelum tersenyum miring, "bukan," decaknya. Lelaki itu ikut menaiki ranjang dan mengambil posisi tepat disebelah Alana, keduanya telentang memandangi langit-langit langit kamar. "Maksudnya, saya kan masih agak demam. Kamu memangnya gak takut ketularan?" Agak malu s
Alana menggigiti kuku jarinya cemas. Sementara dua kaki jenjangnya mondar-mandir gusar di dalam kamar mandi berukuran cukup besar yang untuk pertama kali dia gunakan. Gadis itu kembali menelaah tampilan dirinya di cermin, wajah bangun —ralat wajah tidak bisa tidurnya akibat banyak pikiran semalaman. Bagaimana tidak? setelah melemparkan sebuah kalimat menantang pada suaminya, Alana mendapati pancaran panas tersorot dari netra Arkasa. Jujur saja dia masih terus berdebar bahkan hingga kini jika mengingat bagaimana tangan besar Arkasa yang kemarin merambat naik dari pinggangnya menuju punggung memberi sengatan luar biasa. Belum lagi bisikan sialan yang membuatnya terus meremang hingga kini. Semuanya masih terekam jelas dalam benak wanita dua puluh delapan tahun itu. Bagaimana Arkasa memerangkapnya dalam pelukan ditengah selembar selimut dan membisikkan kata-kata yang berdampak besar pada ketenangan batinnya. "Saya pastikan untuk mendapatkan apa yang meman
Semua orang yang berada dalam perhelatan sederhana namun meriah malam ini jelas melihat binar kebahagiaan di wajah pasangan luar biasa itu, Arkasa Dean Pradipta dan istrinya Alana Diandra Yasmin. Ketika mereka menikah empat tahun lalu, seluruh kota membicarakan kombinasi luar biasa tersebut. Bagaimana tidak? Arkasa Dean Pradipta memang sudah digadang- gadang menjadi pewaris utama dan punya latar belakang yang bersih luar biasa. Tidak pernah ada media yang mengendus kedekatannya dengan gadis manapun. Padahal ada banyak sekali keluarga kaya dari kalangan pengusaha atau bahkan politisi yang berusaha menjadikannya sebagai menantu mereka. Nyatanya, keluarga Pradipta tak pernah terjebak ataupun berusaha menjodohkan Arkasa dengan siapapun. Sebab lelaki itu tinggal diluar negeri selama bertahun- tahun, orang- orang berpikir dia mungkin memiliki seorang kekasih disana. Sampai akhirnya dia kembali ke Indonesia dan langsung dikabarkan meminang Alana Diandra Yasmin, putri tunggal salah seorang a
"Sudahlah, pengantin baru tidak perlu diajak! Mereka pasti belum bangun," Tuan Pradipta menarik lengan istrinya yang hendak melangkah keluar pendopo. Seolah menjadi tradisi mereka, jikalau sedang berkumpul begini keluarga itu akan makan bersama. Namun menyadari situasi saat ini, besar kemungkinan Adara dan Bayu bahkan belum bangkit dari ranjang. Nyonya Pradipta terkikik saat aru menyadari bahwa telah ada beragam perubahan dalam tubuh keluarga itu. Kini sudah melingkar Tuan dan Nyonya utama Pradipta, Alana, Arkasa,dan tak lupa bayi mungil yang sibuk di meja bayi. Kehadirannya tentu bak sihir yang membuat suasana disini menjadi semakin ceria. Terbukti dari tawa gemas yang sangat jarang muncul dari Tuan Tua Pradipta. "Sandi semalam rewel tidak, nak?" Tanya Mama Tiana.Alana sibuk membersihkan sisa susu di sudut bibir putranya, ia tersenyum kecil pada mertuanya yang baru saja bertanya."Aman kok, ma. Dia sempat bangun sekali namun setelah diberi susu langsung tidur lagi," jawab Alana s
Jika memang sudah garis yang ditentukan tuhan, maka terjadilah. Mungkin itu juga yang terjadi pada kisah Adara. Setelah penghianatan dan kesalah pahaman di masa lalu, ada banyak sekali jalan yang pada akhirnya kembali mempertemukannya dengan Bayu. Sekalipun Adara telah berusaha menolak berulang kali, kegigihan Bayu pada akhirnya berbuah manis. Bayu bahkan berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Tuan Pradipta setelah sebelumnya sempat bersitegang. Semua itu tidak terjadi secara instan, ada proses panjang yang melatarbelakangi semuanya. Alana tak banyak ikut campur dengan kisah cinta bersemi kembali antara Adara dengan Bayu. Dia ingat tiga bulan lalu saat Adara ke rumahnya untuk seperti biasa bermain bersama Sandi. Bedanya, hari itu Adara membawa serta Bayu ke hadapannya dan Arkasa. Seolah berusaha mendapatkan restu dari Alana dan Arkasa lebih dahulu sebelum akhirnya kembali mengais restu dari orang tua. Alana dan Arkasa sepakat untuk tidak banyak mengambil andil. Mereka membiarkan
"Astaga Mas Arka!"Alana menggeleng- gelengkan kepalanya tak habis pikir. Dia baru saja selesai menyiapkan setelan pakaian untuk keluarga kecilnya ketika menyadari bahwa dua jagoannya belum juga keluar dari kamar mandi setelah hampir tiga puluh menit. "Mas! Sudah selesai belum?""Sepuluh menit lagi, Al!"Ibu satu anak itu berdecak sembari berkacak pinggang. Sebelumnya juga Arkasa sudah memberikan jawaban yang sama, namun sampai sekarang mereka berdua tidak kunjung keluar kamar mandi. Dari luar saja Alana sudah bisa mendengar riuh tawa dua jagoannya itu berpadu dengan suara air, putranya bahkan sampai cekikikan senang. Alana memang memberikan mandat pada sang suami untuk memandikan Sandi selagi dia menyiapkan pakaian dan beberapa keperluan untuk dibawa. Namun sepertinya dia lupa bahwa setiap kali Arkasa dan putranya itu bersatu pasti akan ada keriuhan dari kekompakan nakalnya mereka."Lho, belum selesai mandinya?"Alana setengah melotot saat membuka pintu kamar mandi. Menemukan bahwa
"Baju yang biru aja deh, Al! Lebih lucu! Eh tapi yang kuning kelihatan lebih mencolok! Duh, yang mana ya?"Adara saat ini turut membantu atau lebih tepatnya merecoki Alana di rumahnya. Dia sedari tadi bingung sendiri menentukan baju mana yang akan digunakan Arsena hari ini. Padahal seluruh baju yang dipilih merupakan hadiah dari Adara. Saking banyaknya, Adara sendiri jadi bingung mau memilih yang mana untuk dipakai ponakannya itu hari ini.Alana hanya bisa menggeleng- gelengkan kepala karena tingkah adik ipar sekaligus sahabatnya itu. Dia sudah selesai mengoleskan telon dan lain- lain di tubuh putranya, namun Adara yang sedari tadi kekeuh ingin memilihkan baju justru masih bingung sampai mengeluarkan semua pakaian di atas tempat tidur."Yang mana aja, Dar! Kita kan lagi gak mau kemana- mana juga. Kenapa kamu jadi rumit begitu??"Alana melangkah melewati kebingungan Adara sembari mengambil satu stel pakaian berwarna biru cerah disebelah sahabatnya. Melihat Alana menentukan pilihan memb
Alana Point of View "Makan dulu yuk, Al!" Mas Arka muncul dari balik pintu sembari tersenyum teduh kearahku. Aku yang baru saja meletakkan Arsena di ranjang bayi hanya membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Dia merangkul bahuku hangat sembari menggiring menuju ruang makan. Ini sudah pukul sebelas malam. Keluarga kami baru saja pamit kembali ke rumah masing- masing setelah hampir seharian bermain bersama disini. Tadinya mama, bunda, dan Adara mau tinggal, namun kompak aku dan Mas Arkasa larang. Kami tahu, kalau mereka semalaman disini pasti akan ikut begadang dan lelah. Mama dan Bunda sudah terus berada di rumah sakit selama aku dirawat disana, sementara Adara benar- benar baru saja sampai setelah sekian belas jam penerbangan. Akan lebih baik jika mereka istirahat dengan nyaman malam ini. Banyak sekali ilmu yang kudapat dari mereka yang tentu sudah lebih berpengalaman. Mama dan bunda terutama banyak memberikan wejangan dan tips tentang dasar- dasar merawat bayi. Sebelumnya a
Beberapa manusia dengan pakaian serba hitam mulai berjalan menjauhi pusara. Aneka karangan bunga turut menghiasi disana. Suasana haru juga terasa karena sedari tadi terdengar isakan tangis di beberapa sudut. Dibawah langit cerah yang tak begitu terik, seorang laki- laki bertubuh atletis meletakkan karangan bunganya. Duduk bersimpuh menatap pusara yang benar- benar baru ini. Dia menundukkan kepalanya, memberikan doa dan sebuah penghormatan terakhir untuk yang berada dibawah batu nisan. "Aku harap, kamu dapat beristirahat dengan tenang." Ia meletakkan buket bunga putih menemani karangan yang lainnya juga. Tubuh jangkungnya sempat tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan dengan jemari lentik menekan bahunya. Arkasa menengadah menatap kaget sosok yang kini tersenyum kecil kearahnya. "Aku juga ingin mengucapkan salam perpisahan kepadanya." Meskipun ada banyak yang berkecamuk di kepala, Arkasa membiarkan wanita disebelahnya untuk mulai bersimpuh. Menyentuh nisan dan tersenyum
Masih percaya kekuatan takdir?Katanya, tidak semua yang kita inginkan bisa didapatkan dalam hidup ini. Bahkan ketika manusia mengklaim telah melakukan beragam usaha hingga titik darah penghabisan. Jika memang bukan itu jalan yang digariskan, maka tak akan tercapai jua.Di satu sisi, kalimat tak ada hasil yang menghianati proses juga masih relevan. Banyak orang yang harus melewati beragam kesulitan dan rintangan untuk mencapai tujuannya. Waktu yang diperlukan pun tidak main- main. Namun pada akhirnya dia juga mencapai hasil akhir yang indah. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan rencana awalnya.Namun yang menjadi benang merahnya sekarang adalah seberapa realistis tujuan yang ingin manusia capai? Sekalipun telah berusaha dengan keras, apakah cara yang digunakan memang cara yang benar dan sudah seharusnya?Hidup itu mudah dan juga sekaligus sulit. Manusia dituntut untuk tidak mudah menyerah, namun juga diminta untuk tetap realistis. Sejatinya, tak ada usaha yang sia- sia. Kadangkala ki
Derap langkah flatshoes mahal itu menyerbu lorong dengan tergesa. Ditengah keramaian yang cukup padat, wanita parubaya itu membelah lorong buru- buru. Bau khas rumah sakit menemaninya sepanjang perjalanan hingga akhirnya sampai dalam sebuah lorong yang lebih sepi. Diatasnya tertulis ruangan utama khusus VVIP.Nyonya Pradipta masuk kedalam ruangan tanpa bisa membendung kekhawatiran yang nampak jelas di wajahnya. Segera setelah ia menerima kabar mengenai kejadian naas tersebut, dia langsung mengambil penerbangan tercepat untuk kembali ke kota asalnya. Dia berhambur memeluk suaminya yang sudah lebih dulu berdiri cemas di depan pintu bersama dengan besannya. Ayah dan bunda Alana jelas nampak terpukul akibat kejadian yang begitu tiba- tiba ini. Nampak juga Arta yang Rosaline mondar- mandir panik sembari sesekali menerima telepon entah dari siapa."Bagaimana keadaan mereka?" Sebagai satu- satunya yang masih bisa menampakkan sedikit ketenangan, Tuan Pradipta membelai punggung istrinya yang