"Tawarkan."Mata Naumi seketika membulat sempurna, menatap Jake dengan air muka kaget dan cengang bercampur konyol. "Aa-- maksudnya aku menawarkan a--apa, Pak?" "Shit!" umpat Jake, kesal dan setengah marah. Setelah itu dia beranjak dari sana, meninggalkan Naumi yang masih memasang air muka konyol bercampur syok. "Aku salah apa?" gumam Naumi pelan dan lirih. Dia meraih handphonenya dan memeriksa pesan dari Candra tersebut. Naumi berniat menghapus pesan dari pria itu, takut Jake semakin marah dan salah paham padanya. Namun sebelum dia melakukannya, ternyata nomor Candra telah di blok dan pesan mereka juga sudah dihapus– mungkin oleh Jake, ketika memeriksa HP Naumi tadi. ***"Kau sedang apa, Sweetheart?" tanya Kaivan, tersenyum tipis ke arah Rachel sembari menatap istrinya tersebut dengan sorot geli. Rachel sedang di depan cermin, tengah mengelus perutnya yang sudah buncit– di mana baju sweater yang dia kenakan ia naikkan ke atas perut buncitnya. "Perutku sudah mulai membesar, Mas,"
Sesampainya di hotel, Jake langsung membawa Naumi ke arah ranjang– dia mendorong Naumi ke atas ranjang dan langsung menindihnya. "Kau ingin punya anak bukan?" tanya Jake dengan suara serak dan rendah, mendapat anggukan polos dari Naumi. "Sebelum kita mendapatkan bayi, ada namanya sebuah proses panjang. Kau tahu prosesnya apa?"Naumi menganggukkan kepala. "Ta--tahu, Pak. Me--melakukan hubungan suami istri," jawab Naumi gugup dan lirih, pipinya memerah dan tatapannya gelisah. Naumi canggung berada di posisi dan situasi ini. Terlebih tatapan Jake seperti seekor serigala kelaparan yang tengah menemukan mangsanya. Tuk'Lagi-lagi diluar prediksi Naumi, bukannya mengangguk setuju dengan jawaban Naumi, Jake malah menyentil keningnya dengan cukup kuat. Itu membuat Naumi gagal melambung tinggi dan gagal berharap. Dia memilih mengusap jidat sembari menatap muram ke arah Jake. Jawabannya salah yah?!"Salah." Jake menjawab dengan nada lempeng. "Yang kau sebut itu usaha, bukan sebuah proses dari
Matanya seketika membelalak dan raut mukanya berubah takut dan panik. Jantung Naumi berdebar kencang, tubuhnya panas dingin karena perasaan cemas dan takut yang menyelingkupi diri. "Halo, Naumi sayang. Kita berjumpa lagi," ujar seseorang tersebut sembari memperlihatkan seringai licik pada Naumi. Candra Sanjaya, kakak tirinya yang pernah berniat melecehkannya dengan memberikan obat perangsang pada minuman Naumi. "To--tolong lepaskan aku!" cicit Naumi, menarik tangannya dari Candra secara cepat dan kuat. Naumi berusaha untuk tak terlihat takut pada pria ini, tetapi Naumi tidak bisa untuk mengendalikan diri. Bayang-bayang saat pria ini memaksanya untuk meminum obat perangsang sembari mengelus pundak dan paha Naumi secara sensual terus saja mengiyang dalam kepala. Naumi takut! Dan rasanya masih sama ketika saat kejadian tersebut berlangsung. Naumi spontan menoleh ke arah Jake, berniat meminta pertolongan pada Jake atau berharap Jake menoleh ke arahnya. Namun, pria itu sudah tak di sa
"Buka bajuku," potong Jake dengan cepat, membuat Naumi menganga dan menatap konyol ke arah Jake. "Kenapa, Pak?" tanya Naumi gugup, masih melototkan mata karena tak percaya dengan perkataan Jake. Yah, kenapa dia harus membuka baju dari pria ini?"Dadaku sakit. Oleskan sesuatu ke sini," ucap Jake memerintah, sembari menepuk pelan dada kanannya–isyarat agar Naumi mengoleskan minyak kayu putih atau apapun ke sana. "Ba--baik." Naumi membuka dengan perlahan kancing kemeja Jake kemudian melepasnya dengan sangat hati-hati. Pipinya mulai memerah, menatap dada bidang dan kokoh milik sang suami. Belum lagi roti sobek pria ini. Behh, sangat menggoda! "Tunggu sebentar, Pak. A--aku ambilkan minyak kayu putih." Naumi ingin segera beranjak dari sana, namun tangannya lebih dulu ditahan oleh Jake. "Cium." Jake berkata dengan nada alpha ton, menatap datar namun penuh peringatan ke arah Naumi. "Obatnya adalah bibirmu.""Hah? Ngaco …," ucap Naumi dengan nada syok dan spontan. "Kau bilang apa, humm?!"
"Ya … Mas kok punya tas ginian? Ini kan punya perempuan. Jangan-jangan ini punya selingkuhan kamu lagi! Wah … Bang Kai bosan hidup yah?!" ucap Rachel dengan nada setengah menggeram marah, melotot horor ke arah sang suami. Bukannya takut atau terpancing amarah karena ucapan Rachel, Kaivan malah tertawa pelan. Rachel menakutkan ketika marah? Tidak! Dia menggemaskan di mata Kaivan. "Selingkuh apa, Ichi Sweetheart?" Kaivan menarik pergelangan tangan Rachel, membuat istrinya tersebut jatuh ke atas pangkuannya. Dia menangkup pipi Rachel secara lembut lalu mengecup mesra bibir perempuan itu–seketika membuat Rachel tersenyum malu-malu dengan pipi merona serta panas. "Hanya kau satu-satunya wanita yang mau menerimaku dengan kondisi wajahku seperti ini," tambah Kaivan, mencubit hidup Rachel pelan. "Banyak kali, Mas," ucap Rachel kesal. "Orang aku kemarin diberitahu Denny kalau ada staf baru yang deketin Mas. Siapa? Siapa? Siapa?" "Dia mengincar uangku, bukan aku, Sweetheart," ucap Kaivan r
"Cik, kapan wanita itu datang? Aku sudah menunggu satu detik di sini," gerutu Hansel, menoleh ke sana kemari untuk memastikan. Dia baru datang ke salah satu cafe tempat kencan buta yang diberikan tuannya padanya.Sayangnya, tak ada wanita yang duduk di meja yang telah tertera di kartu kencan buta Hansel. Shit! Wanita itu belum datang artinya. Dan-- ini menyebalkan karena Hansel benci menunggu. "Jika wanita itu tidak cantik, tidak wangi, tidak bersih dan tidak pintar. Aku akan memaki-makinya. Sialan! Dia membuat seorang Hansel menunggu lama," ucap Hansel, menggerutu sendiri di tempat. Dia duduk lalu memilih sibuk dengan ponselnya– sembari menunggu wanita yang akan berkenalan dengannya. Namun, ada yang menarik perhatian Hansel. Meja yang tak jauh darinya– di mana seorang pria berpenampilan rapi tiba-tiba memukul meja dengan kuat, lalu dia meraih piring cake dan menimpuk cake tersebut ke wajah wanita yang duduk satu meja dengannya. "Gadis cupu sepertimu jangan bermimpi bisa menikah de
"Perjanjian pernikahan kita. Tandatangani, Nona," ucap Hansel sembari memberikan sebuah kertas berisi surat perjanjian yang sudah Hansel tanda tangani. "Kupastikan kau tidak bisa menolak tawaranku, Nona."Hansel duduk di sopa, ruang tengah penthouse-nya. Dia melonggarkan dasi, sembari menatap Kasya dengan sorot mata yang sulit diartikan. Perempuan itu mengerjabkan mata beberapa kali, memilih menjauhkan pandangannya dari Hansel kemudian memilih membaca kontrak tersebut. 'Ya, Tuhan. Pak Hansel sangat tampan dan … ke--kenapa dia membuka kemejanya? Aku panik!' batin Kasya sembari membaca poin poin pada perjanjian tersebut. Di mana perjanjian tersebut hanya ada lima poin. Pertama, Kasya dan Hansel menikah hanya untuk memenuhi kepentingan masing-masing. Oleh karena itu, baik Kasya maupun Hansel tak boleh mencampuri urusan pasangan setelah pernikahan. Kedua, meskipun tidak boleh mencampuri urusan pasangan, tetapi pasangan (Kasya) tak boleh berselingkuh. Ketiga, hidup Kasya akan ditanggung
William telah di rumah mewah tuannya dengan membawa Azka. Begitu juga dengan Hansel, datang dengan membawa Kasya. Denny dan Alsya ada juga hadir di sana, serta orang tua Rachel yang sengaja Kaivan undang karena ingin menunjukkan calon istri William dan Hansel pada mereka. Tak lupa pada Jake, Naumi dan Nick. Mereka juga datang karena ingin bertemu dengan calon istri dari sang kepercayaan Kaivan. "Wah … bagus sekali rumah Bos Kak William ini. Besar dan-- mewah!" celutuk Azka sembari celingak-celinguk menoleh ke sana kemari. Rumah ini lebih besar dari rumah Kakaknya dan lebih mewah jua. Wiliam menoleh ke arah Azka, tiba-tiba dia merangkul pundak perempuan itu kemudian membisikkan sesuatu di telinga Azka. "Jaga sikapmu selama kita di sini. Jangan banyak bicara dan jangan cerewet!" peringatnya, berbisik dengan nada tegas dan serius. Tak lupa dia melayangkan tatapan tajam, supaya gadis disebelahnya tersebut menurut padanya. Dengan gugup dan canggung, Azka menganggukkan kepala. Diam-diam
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny