Rachel kini di kampus. Namun sebelum ke kampus tadi, Rachel meminta Hansel yang menjemputnya mengantarnya ke grosir pakaian -- milik keluarganya. Rachel mengambil beberapa baju kaos dan kemeja lalu membawanya ke kampus. Seperti biasa, jika Rachel kekurangan uang dari ayahnya, dulu, Rachel akan mencuri beberapa pakaian di grosir kemudian menjualnya pada teman-temannya dengan harga dua kali lipat. Cih, Rachel jual murah? No. Rachel mah mata duitan. Sebenarnya dia bisa meminta uang pada ayahnya atau pamannya, namun dia segan karena dia sudah bersuami. Dia juga tadi berniat meminjam uang pada Hansel, tapi harga diri suaminya … ah, memalukan. Dia masih punya uang. Hanya saja tertinggal di rumah Kaivan. Dan … itu jauh, bisa-bisa Rachel yang masih harus ke kang Poto copy dulu, terlambat menemui dosennya. "Anjing! Revisi lagi. Biadap memang dosen itu!" umpat Rachel sembari berjalan di koridor kampus. Dia telah selesai bimbingan dan dia revisi lagi. "Anying!! Argkkkk … sial sial sial! Diba
"Hu'um. Aku tadi habis …-" ucapan Rachel berhenti saat menyadari sosok lain dalam mobil suaminya. Ada seorang pemuda duduk di bangku belakang. Rachel menoleh syok dan horor pada pria itu. "Hai …." "Kau!"Pria itu menyapa sedangkan Rachel terlihat panik dan juga kaget secara bersamaan. Dia menatap lamat wajah pemuda tersebut kemudian menatap baju kaos yang pemuda tersebut kenakan. Itu baju yang Rachel jual tadi. Lalu Rachel menatap suaminya, melogo dengan air muka yang masih kaget. "Dia siapa, Bang-- Mas?" tanya Rachel dengan wajah kaku dan air muka konyol. "Anak kita," jawab Kaivan dengan santai, membuat Rachel memekik kaget. "What?!"***Sampainya di rumah mewah milik Kaivan, dia menyuruh istrinya dan juga seseorang yang spesial dalam mobilnya tadi untuk ke ruangannya. Setalah keduanya di ruangan Kaivan, pria itu langsung menjelaskan siapa pemuda tadi. Dia juga mengenalkan keduanya. "Ichi, ini Jake Aleron Kendall. Dia akan menjadi putra kita." Kaivan berucap datar, tanpa men
"Sepupu Mas mengambil uang yang Mas berikan tadi pagi padaku. Uangku tertinggal semua di sini, jadi aku tidak punya uang selain itu. Tapi dia sudah mengambil semuanya. Aku tidak mungkin meminta uang pada Pak Hansel. Trus aku ke grosir dan mengambil beberapa baju untuk aku jual, supaya bisa bayar hutang Poto copy dan ongkos pulang," sungut Rachel, menundukkan kepala dengan melirik takut-takut pada suaminya. "Humm." Kaivan berdehem pelan. "Pergi dan beristirahatlah," tambahnya dengan aura yang sudah berubah mengerikan. Rachel mengangguk patuh, memilih beranjak dari sana sembari berjalan dengan langkah lesu dan murung. Dia merasa jika Kaivan tidak berpihak padanya. Tentu saja! Rachel kesannya mengadu domba suaminya dengan keluarga suaminya sendiri. Ketika diambang pintu, Rachel tiba-tiba berhenti. Dia menoleh ke arah Kaivan. "Itu …-"Kaivan tiba-tiba menoleh padanya, membuat Rachel cukup takut dan kaget juga. Namun, dia ingin mengatakan sesuatu. Jadi dia tetap bertahan di sana. Hanya
"Maksudmu mengadu domba, apa?" Kaivan melipat tangan di dada, menatap dingin ke arah Rachel dan itu membuat Rachel semakin tak nyaman di tempatnya. Rachel memilih mematikan laptop, menghadap seluruhnya ke arah suaminya yang masih duduk di atas meja belajar Rachel. "Aku tidak ingin Mas mengiraku mengadu domba antara Mas dan Nenek Mas. Yang tadi ku katakan di ruangan Mas, itu semuanya sesuai apa yang kurasakan. Dan jika Mas Kaivan tidak percaya padaku, itu hak Mas." Xena menjelaskan dengan nada pelan dan murung, takut-takut menatap Kaivan karena tatapan tajam pria itu yang menghunus dari balik topengnya. Melihat Kaivan hanya diam, Rachel memilih menundukkan kepala. Dia semakin sedih -- meremas tangannya sendiri, takut Kaivan memarahinya. Namun yang terjadi tak seburuk yang Rachel bayangkan. Tiba-tiba saja Kaivan mengulurkan tangan, mengangkat dagu Rachel kemudian ….Bibir pria itu-- yang tak tertutup topeng-- menempel di bibir Rachel. Deg deg deg deg Jantung Rachel tak terbendung,
"Mama ada di fakultas mana?"Rachel berhenti melangkah, langsung menoleh ke arah Jake dengan air muka malas dan tatapan sayup -- benar-benar menahan diri untuk tak meledak pada pria bertubuh besar dan lebih tinggi darinya ini. "Jangan panggil aku Mama. Aku Rachel, Rachel Queensha. Paham?!" jelas Rachel kesal sembari melotot horor pada Jake. Jake menganggukkan kepala. "Aku paham, Mama." "Argkkkk!!" Rachel menggeram tertahan, menengadah dengan wajah memerah padam. "Tsaaaaahhhh …," teriaknya kemudian -- memasang kuda-kuda ketika Ultraman mengeluarkan jurus handalannya. Jake menyengir lebar, pria dengan wajah lempeng bercampur dingin tersebut malah merasa gelik dengan tingkah Mama barunya ini. Ah, Papanya tak salah pilih. Mama barunya ini sangat lucu dan absurd-nya sangat menghibur. Natural! "Jangan panggil aku Mama!" geram Rachel mendekat ke arah Jake, melotot horor sembari menatap kesal pada Jake. "Papa bilang aku harus memanggil Mama baru dengan sebutan Mama," jawab Jake dengan
"Mama baru, tenangkan dirimu."Mereka terus ribut, hingga tiba-tiba Kaivan datang -- tiba-tiba pulang dari kantor walau ini belum jam pulang bekerja. Wajah pria itu marah dan bercampur dingin, maniknya menggelap dan matanya sangat tajam dari balik topengnya tersebut. "Ada keributan apa ini?" Suara dingin Kaivan mengalun, menciptakan keheningan di ruangan tersebut. Rachel dan Jake langsung menundukkan kepala, takut jika mereka dimarahi oleh Kaivan. Namun, berbeda dengan Parah dan juga Evelyn. Keduanya langsung mendekati Kaivan, masing-masing dari mereka memeluk lengan Kaivan dan mulai mengeluarkan sandiwara juga. "Sayang, Nenek datang kemari untuk berkunjung. Tapi istri gembel kamu ini sangat tak sopan pada Nenek. Dia memaki-maki Nenek dan juga berani menyebut Nenek binatang. Setelah perusahaan Papa kamu resmi jadi milik kamu, Nenek mohon kamu ceraikan gembel ini," ketus Parah pada akhir kalimatnya. "Iya, Kak Kaivan. Dia sangat tak sopan pada Nenek dan aku. Bahkan dia mengusir kam
Tanpa buang buang waktu, Kaivan menempelkan bibirnya di atas bibir Rachel. Dia melahapnya dengan rakus sembari tangannya yang meraba undukan tersebut dengan tak sabaran. "Ummfff … aghk …." Kaivan kaget dan langsung menjauhkan tangannya dari atas tubuh Rachel. Sedangkan Rachel, dia mengerjab beberapa kali -- membuka mata dengan langsung menatap lurus ke arah Kaivan yang terdiam di tempatnya. Namun setelah itu Rachel kembali menutup mata; melanjutkan tidurnya dengan nyenyak dan pulas. Kaivan mengusap wajah dengan kasar, dia juga menghela nafas kemudian menatap intens ke arah istrinya yang tertidur pulas. "Fuck! Apa yang aku lakukan barusan?!"***"Ini kopi Mas Kaivan." Rachel meletakkan secangkir kopi di depan Kaivan. Dia berada di kamar, lebih tepatnya ruang kerja Kaivan yang hanya berbatas rak dengan kamar. Tadi-- bangun-bangun Kaivan sudah ada di sebelah Rachel. Hal konyolnya adalah pria itu langsung meminta dibuatkan kopi. Bayangkan bagaimana syok-nya Rachel yang baru bangun?!
Ceklek' Rachel yang sedang sibuk merevisi skripsinya, spontan menoleh ke arah pintu kamar ketika mendengar pintu di buka. Ternyata suaminya -- Kaivan Rafindra Kendall -- yang masuk. Pria itu masuk dengan membawa tumpukan pekerjaan dan juga laptop. Dia menoleh ke arah Rachel kemudian tiba-tiba saja dia berjalan melangkah ke arah perempuan tersebut. Tuk'Kaivan meletakkan pekerjaannya di sebelah tumpukan skripsi Rachel. Dia lalu berjalan dari sana untuk mengambil kursi, setelahnya kembali duduk di sebelah Rachel -- membuat perempuan tersebut bingung setengah mati dan merasa gugup luar biasa. Ke--kenapa Kaivan ke sini dan duduk di sebelahnya? Biasanya Kaivan berkerja di ruangannya. "Regal Edison." Tiba-tiba saja suara dingin Kaivan terdengar, mengalun dengan rendah dan serak. Terkesan seksi tetapi lebih dominan mengerikan bagi Rachel. "Dia siapa?" "Hah?" Rachel melogo dan bengong, menoleh gugup dan takut-takut ke arah Kaivan. "Siapa Regal Edison?" tanya Kaivan, menoleh ke arah R
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny