"Maksudmu mengadu domba, apa?" Kaivan melipat tangan di dada, menatap dingin ke arah Rachel dan itu membuat Rachel semakin tak nyaman di tempatnya. Rachel memilih mematikan laptop, menghadap seluruhnya ke arah suaminya yang masih duduk di atas meja belajar Rachel. "Aku tidak ingin Mas mengiraku mengadu domba antara Mas dan Nenek Mas. Yang tadi ku katakan di ruangan Mas, itu semuanya sesuai apa yang kurasakan. Dan jika Mas Kaivan tidak percaya padaku, itu hak Mas." Xena menjelaskan dengan nada pelan dan murung, takut-takut menatap Kaivan karena tatapan tajam pria itu yang menghunus dari balik topengnya. Melihat Kaivan hanya diam, Rachel memilih menundukkan kepala. Dia semakin sedih -- meremas tangannya sendiri, takut Kaivan memarahinya. Namun yang terjadi tak seburuk yang Rachel bayangkan. Tiba-tiba saja Kaivan mengulurkan tangan, mengangkat dagu Rachel kemudian ….Bibir pria itu-- yang tak tertutup topeng-- menempel di bibir Rachel. Deg deg deg deg Jantung Rachel tak terbendung,
"Mama ada di fakultas mana?"Rachel berhenti melangkah, langsung menoleh ke arah Jake dengan air muka malas dan tatapan sayup -- benar-benar menahan diri untuk tak meledak pada pria bertubuh besar dan lebih tinggi darinya ini. "Jangan panggil aku Mama. Aku Rachel, Rachel Queensha. Paham?!" jelas Rachel kesal sembari melotot horor pada Jake. Jake menganggukkan kepala. "Aku paham, Mama." "Argkkkk!!" Rachel menggeram tertahan, menengadah dengan wajah memerah padam. "Tsaaaaahhhh …," teriaknya kemudian -- memasang kuda-kuda ketika Ultraman mengeluarkan jurus handalannya. Jake menyengir lebar, pria dengan wajah lempeng bercampur dingin tersebut malah merasa gelik dengan tingkah Mama barunya ini. Ah, Papanya tak salah pilih. Mama barunya ini sangat lucu dan absurd-nya sangat menghibur. Natural! "Jangan panggil aku Mama!" geram Rachel mendekat ke arah Jake, melotot horor sembari menatap kesal pada Jake. "Papa bilang aku harus memanggil Mama baru dengan sebutan Mama," jawab Jake dengan
"Mama baru, tenangkan dirimu."Mereka terus ribut, hingga tiba-tiba Kaivan datang -- tiba-tiba pulang dari kantor walau ini belum jam pulang bekerja. Wajah pria itu marah dan bercampur dingin, maniknya menggelap dan matanya sangat tajam dari balik topengnya tersebut. "Ada keributan apa ini?" Suara dingin Kaivan mengalun, menciptakan keheningan di ruangan tersebut. Rachel dan Jake langsung menundukkan kepala, takut jika mereka dimarahi oleh Kaivan. Namun, berbeda dengan Parah dan juga Evelyn. Keduanya langsung mendekati Kaivan, masing-masing dari mereka memeluk lengan Kaivan dan mulai mengeluarkan sandiwara juga. "Sayang, Nenek datang kemari untuk berkunjung. Tapi istri gembel kamu ini sangat tak sopan pada Nenek. Dia memaki-maki Nenek dan juga berani menyebut Nenek binatang. Setelah perusahaan Papa kamu resmi jadi milik kamu, Nenek mohon kamu ceraikan gembel ini," ketus Parah pada akhir kalimatnya. "Iya, Kak Kaivan. Dia sangat tak sopan pada Nenek dan aku. Bahkan dia mengusir kam
Tanpa buang buang waktu, Kaivan menempelkan bibirnya di atas bibir Rachel. Dia melahapnya dengan rakus sembari tangannya yang meraba undukan tersebut dengan tak sabaran. "Ummfff … aghk …." Kaivan kaget dan langsung menjauhkan tangannya dari atas tubuh Rachel. Sedangkan Rachel, dia mengerjab beberapa kali -- membuka mata dengan langsung menatap lurus ke arah Kaivan yang terdiam di tempatnya. Namun setelah itu Rachel kembali menutup mata; melanjutkan tidurnya dengan nyenyak dan pulas. Kaivan mengusap wajah dengan kasar, dia juga menghela nafas kemudian menatap intens ke arah istrinya yang tertidur pulas. "Fuck! Apa yang aku lakukan barusan?!"***"Ini kopi Mas Kaivan." Rachel meletakkan secangkir kopi di depan Kaivan. Dia berada di kamar, lebih tepatnya ruang kerja Kaivan yang hanya berbatas rak dengan kamar. Tadi-- bangun-bangun Kaivan sudah ada di sebelah Rachel. Hal konyolnya adalah pria itu langsung meminta dibuatkan kopi. Bayangkan bagaimana syok-nya Rachel yang baru bangun?!
Ceklek' Rachel yang sedang sibuk merevisi skripsinya, spontan menoleh ke arah pintu kamar ketika mendengar pintu di buka. Ternyata suaminya -- Kaivan Rafindra Kendall -- yang masuk. Pria itu masuk dengan membawa tumpukan pekerjaan dan juga laptop. Dia menoleh ke arah Rachel kemudian tiba-tiba saja dia berjalan melangkah ke arah perempuan tersebut. Tuk'Kaivan meletakkan pekerjaannya di sebelah tumpukan skripsi Rachel. Dia lalu berjalan dari sana untuk mengambil kursi, setelahnya kembali duduk di sebelah Rachel -- membuat perempuan tersebut bingung setengah mati dan merasa gugup luar biasa. Ke--kenapa Kaivan ke sini dan duduk di sebelahnya? Biasanya Kaivan berkerja di ruangannya. "Regal Edison." Tiba-tiba saja suara dingin Kaivan terdengar, mengalun dengan rendah dan serak. Terkesan seksi tetapi lebih dominan mengerikan bagi Rachel. "Dia siapa?" "Hah?" Rachel melogo dan bengong, menoleh gugup dan takut-takut ke arah Kaivan. "Siapa Regal Edison?" tanya Kaivan, menoleh ke arah R
"Mana kue kotak bintang lima-nya, Nyet?" tanya Rachel, menghela nafas sembari menatap boring ke arah Denny. Katakan demi sesuap kue dalam kotak yang katanya dari hotel bintang lima, Rachel, Alsya dan juga Denny benar-benar mengikuti seminar yang sudah setengah jalan di mulai. Mereka duduk di barisan tengah dengan wajah yang terpasang sama-sama bosan. "Sabar, Baby." Denny merangkul pundak Rachel. "Biasanya pembagian sembako itu di sesi terakhir. Ya kali di bagi sekarang. Yang ada kita makan plus brisik, tanpa dengar materi.""Sabar kuncinya." Alsya menambahi. Rachel mendengkus pelan, memilih menyingkirkan tangan Denny dari pundaknya sembari bersedekap di dada. Tiba-tiba saja pipinya ditempelkan sesuatu yang terasa dingin. Hal tersebut membuat Rachel tersentak kaget dan juga reflek menoleh ke arah sebelahnya, mendapati minuman kaleng dingin yang ditempel ke pipinya lalu seorang pelaku yang tak lain adalah Regal. Regal tersenyum tipis, menarik minuman tersebut dan membuka penutupny
"Mendadak kau memanggilku Pak. Kenapa?" bisiknya dingin. Rachel semakin menegang dan ketakutan. Nafas beraroma mint pria ini menerpa kulit pipinya-- memberikan sensasi dingin yang menembus hingga ke dalam kulit pipi Rachel. "Tidak tahu. Dan-- tolong biarkan aku keluar, Pak--Mas Kaivan," cicit Rachel, menoleh sejenak ke belakang dan bergerak tak nyaman -- dengan pelan berupaya menolak sentuhan Kaivan di lehernya. Rachel tidak menyukai posisi ini dan dia sangat takut diapa-apai oleh pria tampan berstatus suaminya ini. "Kau boleh keluar." Kaivan berbisik pelan, membuat Rachel kembali merinding disko dan semakin membeku di tempat. Kaivan mengatakan dia boleh keluar. Tetapi kenapa pria ini tak melepas tangannya yang ada di perut Rachel? Ayolah, Rachel benar-benar takut! "Tapi jika kau keluar dari sini, itu sama artinya kau juga keluar dari rumah ini, Ichi," tambah Kaivan, membuat Rachel tertohok dan semakin pucat pias di tempat. "Keluar dari sini, sama saja kau sepakat berhenti menja
Kaivan memasuki kamar dan mendapati jika Rachel masih sibuk di meja belajarnya. Ini sudah jam setengah satu dini hari, dan Rachel-nya masih terjaga. Kaivan berjalan mendekati Rachel, berdiri tepat dibelakang perempuan tersebut dengan menatap ke arah layar laptop. Rachel tengah merevisi skripsinya. "Cik, issss apa lagi yang salah sih?!" Terdengar jika Rachel menggeram marah, bahkan perempuan ini memukul cukup kuat pada papan ketik. Tuk'Kaivan tiba-tiba mengulurkan tangan, menutup laptop istrinya tersebut dan membuat Rachel menoleh kaget bercampur panik ke arahnya. "Tidur," dingin Kaivan, meraih pergelangan tangan Rachel kemudian menyentaknya cukup kuat agar perempuan ini berdiri. "Mas Kaivan, revisiku belum selesai. Besok aku ada jadwal bimbingan jam sepuluh tiga puluh," cicit Rachel, menarik tangannya dari Kaivan dan menolak untuk diajak tidur. "Kau tidak mendengarkan perintahku, Ichi?!" geram Kaivan, memperingati Rachel supaya perempuan ini mendengarnya dan patuh padanya. Rac
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny