"Kenapa kau bersedih menikah denganku?"
"Loh?" Rachel reflek menoleh kaget pada pria bertopeng di depannya. Dia mengerjabkan mata beberapa kali sembari melogo keheranan. "Itu … harusnya aku yang tanya, Tuan. Kenapa Tuan ini menikahiku? Padahal aku ini kan masih kuliah dan terlalu muda untuk anda. Lagian tampang aku pas-pasan dan …-" Rachel menoleh ke arah dadanya, "rata," lanjutnya dengan mencicit pelan.Kaivan menoleh ke arah dada perempuan itu, kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika Rachel kembali mendongak.Tidak rata. Menonjol dan mungkin pas digenggaman Kaivan.'Holyshit! Apa yang aku pikirkan?!' Kaivan mengerjab beberapa kali, lalu kembali menatap perempuan yang telah sah menjadi istrinya ini."Aku menikahimu karena ayahmu punya hutang padaku." Kaivan menjawab tanpa beban. Dia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, bersedekap di dada dengan menatap datar pada Rachel yang masih berdiri."Jadi aku penebus hutang, Tuan?" tanya Rachel dengan air muka syok dan tak terima. Padahal ayahnya juga sudah menjelaskan ini, namun rasanya tetap tak terima saja jika Kaivan mengatakan hal tadi."Humm." Kaivan berdehem pelan."Kenapa bukan Melisa saja? Kan seharusnya dia?""Aku tidak suka bekas." Kaivan membuka arloji lalu meletakkannya di atas nakas. Suaranya memang santai dan mengalun stabil, akan tetapi kata-katanya tajam dan menusuk. "Dan jangan protes lagi. Harusnya ayahmu sudah menjelaskan semuanya.""Yasudah. Kalau begitu jangan tanya juga kenapa aku mau menikah dengan Tuan. Pasti Tuan juga sudah tahu. Aku terpaksa! Tuan mengancam Ayahku dengan menghancurkan bisnis keluarga. Mamaku kan sedang di rumah sakit, butuh biaya banyak untuk berobat. Kalau Tuan menghancurkan bisnis kami, uang berobat Mama apa? Jadi aku terpaksa. Terpaksa sekali!" cerocos Rachel. Meski takut pada sosok di depannya ini, tetapi untuk urusan mencerocos Rachel tetap berani.Yeah, dia memang banyak bicara."Anak yang berbakti, heh?!" ejek Kaivan. Dia tiba-tiba berdiri, kembali berhadapan dengan Rachel-- dengan jarak yang sangat dekat.Rachel sendiri tak bisa kemana-mana, di belakangnya ada nakas dan lagipula tubuhnya terasa kaku dan gugup jika berada di jarak yang sedekat ini dengan Kaivan.Rachel membelalak kaget ketika Kaivan secara tiba-tiba melingkarkan tangan di pinggang Rachel. Dia syok!"Meskipun kau terpaksa menikah denganku, aku tidak peduli, Nona Rachel Queenza. Kau tetap istriku dan kau harus patuh padaku. Jika tidak-- bukan hanya bisnis keluargamu yang hancur, ibumu juga bisa dalam bahaya," bisik Kaivan dengan penuh ancaman-- tepat di daun telinga Rachel.Tanpa peduli respon perempuan itu, Kaivan langsung meninggalkan Rachel. Dia masuk dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri. Rachel sendiri, dia mematung di tempat dengan jantung yang berdebar kuat. "Aku pikir wajahnya saja yang buruk, ternyata hatinya juga cacat. Monster!" gumam Rachel, mengerjab beberapa kali untuk menyembunyikan air matanya. Kenapa harus mamanya dibawa-bawa dalam masalah ini? Kaivan kejam sekali!***"Wanita jorok!" gumam Kaivan ketika melihat Rachel sudah tertidur di ranjang-- masih mengenakan gaun nikah dan belum membersihkan riasan diwajahnya juga. "Kopernya bahkan belum ia bereskan. Cik." Kaivan menarik koper perempuan itu kemudian membawanya dalam wardrobe room.Brak'Dia menendangnya dengan kasar, kesal bercampur marah. Wanita apa yang ia nikahi ini?!"Jika bukan karena mendesak, aku tidak akan menikahi wanita sinting itu," gerutu Kaivan dengan menghampiri koper yang ia tendang tadi.Dia memilih membereskan pakaian dalam koper tersebut-- memasukkannya dalam lemari dengan rapi. Yeah, setidaknya perempuan itu tak mengatainya buruk rupa seperti wanita lainnya.Dia mengambil baju ganti serta dalaman perempuan itu kemudian keluar dari sana."Hah." Kaivan menghela nafas, menatap wajah polos Rachel yang terlelap. Dia memang menikah untuk suatu tujuan-- bukan untuk punya istri yang mengurus dirinya atau mendapat keturunan juga. Namun …-"Aku seperti mengasuh bayi." Kaivan bergumam pelan, membuka topengnya-- memperlihatkan wajah tampan dan sangat mempesona, terpahat begitu rapi dan tanpa cela.Luka bakar atau bekas luka sama sekali tak ada, seolah omongan orang tentang wajahnya hanyalah mitos belakang.Yah, wajahnya memang sudah membaik-- lima tahun yang lalu setelah tiga bulan dari kecelakaan. Tentu saja, hanya luka terbakar biasa. Dengan treatment dari dokter, wajahnya sudah kembali membaik.Namun tidak dengan percintaannya. Ucapan perempuan itu bahkan membekas hingga sampai sekarang-- membuat Kaivan trauma dengan mencintai dan wanita. Akan tetapi …"Aku menikah dengan anak kecil yang bahkan tak bisa mengurus dirinya sendiri." Kaivan mengambil pembersih wajah. Kemudian dia membersihkan make up Rachel. Setelah itu dia melucuti gaun yang melekat di tubuh perempuan itu.Untuk hal itu dia mematikan lampu. Bagaimanapun dia tidak meminta izin untuk melihatnya, dia menghargai dan tak ingin mencuri-curi pandang juga."Agkhh …." Tiba-tiba Rachel merintih.Kaivan menatap tangannya dan langsung menariknya. Sial, tentu saja perempuan ini merintih. Tangannya salah pegang."Fuck!" umpat Kaivan dengan meneguk saliva. 'Kenyal sekali.' batin Kaivan yang sudah panas dingin sendiri. Dia buru-buru memakaikan piyama Rachel. Lalu setelah itu dia tiba-tiba ke kamar mandi.Brak'Rachel seketika membuka mata, membelalak horor dalam cahaya remang sembari reflek memegang buah dadanya yang sempat dipegang oleh Kaivan."Di--dia niatnya apa?" Rachel tak bisa berpikir baik. Awalnya dia terbangun ketika Kaivan membersihkan wajahnya. Di cukup kaget namun menolak bangun. Ketika lampu di matikan dan pria itu melucuti gaunnya-- Rachel ditelanjangi! Itu membuat Rachel semakin panas dingin, takut dan ingin pingsan.Tetapi … pria itu memasang kembali pakaian di tubuh Rachel. Artinya Kaivan hanya ingin mengganti bajunya, bukan enak-enak yang seperti Rachel takutkan. Lalu tiba-tiba tangan pria itu meraba-raba saat ingin mengancing piyama. Oke, mungkin karena gelap."Tapi dia meremasnya. Kalau sengaja ngapain diremas?" Rachel benar-benar syok sekarang. Mungkin jika Rachel tak bersuara, Kaivan pasti masih melakukan itu pada dadanya.Ceklek'Mendengar suara pintu, Rachel buru-buru menutup mata. Sedangkan Kaivan, dia berjalan ke ranjang dan membaringkan tubuhnya di sana. Dia menoleh sejenak pada perempuan yang berbaring di sebelahnya."Cik." Kaivan berdecak dan memilih menarik Rachel dalam pelukannya. "Setidaknya dia berfungsi menjadi guling priabadiku," gumam Kaivan dengan pelan sembari menutup mata.Bersaman dengan Rachel yang membuka mata dan mendongak ke arah arah Kaivan. 'Guling pribadi? Enak saja!' batin Rachel.Namun hanya dalam batin karena kenyataannya dia juga tak berani protes.Deg'Jantung Rachel tiba-tiba berdebar kencang. Dia bagi sadar jika Kaivan tak memaki topeng dan wajah pria pria itu …-'Aku tidak bisa lihat dengan jelas. Luka bakarnya ada di mana yah?' batin Rachel. 'Tapi dari siluet wajahnya, dia tampan. Astaga, bukan tampan melainkan sangat tampan. Aku sudah curiga dari awal sih karena sebelah wajahnya saja tampan. Apalagi seluruh. Trus luka bakar, memangnya siapa yang peduli. Cuma bekas saja juga. Harusnya dia tak menutupinya dan membiarkan siapapun melihatnya. Apa dia insecure yah?'***Kaivan bangun lebih pagi,tentunya untuk menghindari Rachel melihat wajahnya. Setelah rapi dengan tuxedo mahalnya, dia keluar dari wardrobe room.Dia cukup kaget karena tak menemukan Rachel di ranjang. "Pagi juga dia bangun," gumam Kaivan dengan berjalan ke arah meja rias. Dia duduk di sana sembari mengenakan arloji. Namun pandangannya teralihkan ketika melihat sebuah tas dan sebuah flashdisk.Kaivan mengambil benda kecil tersebut kemudian membawanya dari sana. Setelah melakukan sesuatu pada benda kecil itu, Kaivan kembali dalam kamar dan menemukan Rachel yang sudah rapi. Kaivan dengan santai meletakkan flashdisk tadi di tempat semula."Ichi."Rachel yang sedang mengenakan kaos kaki unyu-unyu favoritnya, menoleh seketika pada Kaivan. Kemudian dia celingak-celinguk, setelah itu kembali menatap Kaivan dengan wajah bingung dan gugup.Oke, masalah tadi malam dia-- sebenarnya dia tak bisa melupakannya. Tetapi dia berusaha untuk bersikap santai dan biasa saja. Entah Kaivan sengaja atau tidak, yang jelas Rachel berusaha untuk tak menyinggungnya. Dia malu bercampur takut juga!"Tuan memanggilku?" tanya Rachel dengan suara gugup. 'Astaga, kenapa kejadian tadi malam nggak bisa hilang dari pikiran aku?! Aku gugup lah! Mana nih pria bertopeng nggak merasa bersalah dan biasa saja lagi.'"Humm, kemari."Rachel dengan patuh menghampiri suaminya. Entahlah, dia juga heran kenapa dia mau-mau saja. Mungkin karena efek takut pada Kaivan."Tuan, Ichi siapa?" tanya Rachel memberanikan diri. Sudah dua katakan, meskipun dia takut tapi untuk urusan mencerocos dia tak akan bisa berhenti. Kecuali dia sudah benar-benar di puncak rasa takut."Kau.""Namaku Rachel, Tuan. Bukan Ichi." Rachel mencicit pelan, menunduk tetapi terus mencuri pandang pada wajah suaminya yang setengah ditutupi oleh topeng."Terserahku." Kaivan bersedekap angkuh, menaikkan sebelah alis sembari menatap datar pada perempuan cantik di depannya. "Ingat! Aku suamimu dan kau harus patuh padaku," tambahnya dengan suara dingin yang begitu menusuk hingga ke tulang-tulang Rachel-- membuat Rachel menunduk dalam dan meneguk saliva karena takut.Aura Kaivan sangat menyeramkan dan mendominasi diri Rachel. Itu membuat Rachel menggigil dan juga takut. "I--iya, Tuan." Rachel mengangguk pelan dengan meremas jemarinya sendiri. Pria bertopeng ini sangat menakutkan bagi Rachel!"Pertama, berhenti memanggilku Tuan. Kau istriku, bukan pelayanku."Rachel mengangguk patuh."Kedua, kau boleh melakukan apapun di rumah ini. Tetapi tidak dengan penasaran dengan luka di wajahku. Jangan pernah menyinggungnya atau kau akan tahu akibatnya."Suara Kaivan yang dingin terasa begitu mengancam bagi Rachel."Ketiga, kau sudah resmi menjadi seorang istri. Jadi berperilaku lah layaknya seorang perempuan yang bersuami. Jangan sampai kau dekat dengan pria di luaran sana! Aku tidak suka wanita jalang, paham?!"Rachel menganggukkan kepala dengan cepat dan kuat. 'Astaga, jalang juga tidak mau menerimaku sebagai bagian dari komplotan mereka. Aku dekil lah.'"Ini." Kaivan meraih tangan Rachel kemudian meletakkan sejumlah uang dan debit card di sana. "Jika kurang, minta padaku lagi.""Wahhh …." Rachel menatap berbinar pada uang pemberian Kaivan. "Kalau begini, Ayah tidak perlu lagi membayar UKT semester depan. Ini cukup.""Kau bilang apa?" Kaivan tiba-tiba menatap tajam dan tak suka pada Rachel. "Menurutmu, apakah wanita yang sudah menikah, biaya hidupnya tetap ditanggung oleh ayahnya?""Kau bilang apa?" Kaivan tiba-tiba menatap tajam dan tak suka pada Rachel. "Menurutmu apa wanita yang sudah menikah, biaya hidupnya tetap ditanggung oleh ayahnya?"Rachel mengerjab beberapa kali. "Tidak," jawabnya ragu sembari mendongak dan menatap takut-takut pada Kaivan. "Jika begitu, kenapa kau masih mengharap nafkah dari ayahmu? Apa nafkah dariku meragukan?"Rachel kembali menggelengkan kepala. Dia mengerjab beberapa kali. Tatapan Kaivan padanya seperti menuntut penjelasan-- seolah gelengan kepala Rachel tak menjawab apapun bagi Kaivan. "Aku tidak tahu kalau penebus hutang dikasih dan dapat uang."Kaivan menaikkan sebelah alis, menatap Rachel dengan tatapan datar. Dia kemudian memilih berdiri dari tempat ia duduk. Dia tiba-tiba terkekeh pelan-- nadanya cukup meremehkan dan juga menyinggung. "You stupid." Kaivan berkomentar pelan, tetapi kekehannya semakin renyah. Harusnya Rachel tersinggung dan marah karena dikatai bodoh, tetapi yang ada dia malah cengang dan terpesona oleh ke
"Tuan jatuh cinta pandang pertama pada Nona?" Kaivan menatap Hansel, tangan kanannya sekaligus sekretarisnya juga. Pria ini adalah orang yang menyatakan Kaivan untuk menikah dengan salah satu putri Abimanyu. Kebetulan saat itu keluarga Abimanyu punya hutang yang cukup besar pada Kaivan. Jadi karena sudah sangat mendesak dan tidak punya wanita yang bisa ia nikahi, jadilah Hansel menyarankan agar Kaivan menggertak serta mengancam keluarga Abimanyu agar mereka memberikan putri mereka untuk Kaivan nikahi. Putri paling tua yang belum menikah yang dipilih untuk menikah dengannya. Namun, karena tahu Kaivan punya wajah buruk rupa, jadilah wanita itu berusaha menolak menikah dengan Kaivan. Salah satunya dengan berpura-pura hamil. Kaivan tahu itu, tetapi dia tak mempermasalahkannya. Toh, dia mendapatkan ganti yang jauh lebih baik dari Melisa. "Aku tidak jatuh cinta pada perempuan itu. Aku membenci wanita. Mereka makhluk pemandang fisik dan gila-gila harta." Kaivan berucap acuh, sibuk denga
"Tidak jelas sekali. Revisi? Salahnya di mana coba? Cik."Walau mengeluh begitu, Rachel tetap merevisi surat tersebut. Setelahnya dia kembali menemui Kaivan, agar bisa diizinkan keluar. Kali ini dia menemui pria itu di ruang tengah. Kaivan sedang bersantai di sana-- Televisi menyala tetapi pria itu malah fokus pada tablet mahal di tangannya. Hah, karena terhalang topeng jadi Rachel tak bisa melihat bagaimana ekspresi Kaivan. Padahal dia penasaran!"Pak." Rachel memanggil pelan. Ketika Kaivan menoleh padanya, Rachel langsung memberikan surat yang telah ia revisi tersebut pada Kaivan. "I--ini suratnya.""Humm." Kaivan meraih surat tersebut, tetapi malah meletakkannya begitu saja di atas meja. Dia juga mematikan tablet mahalnya dan meletakkannya di atas surat tersebut--menutupi surat tersebut dari penglihatan siapapun. Setelah itu dia berdiri dan langsung menarik Rachel dari sana. "Tuan--Pak … bagaimana dengan surat dan aku--aku ingin keluar dengan …-" Rachel terbata-bata, jalannya ter
"Wanita kucel ini … siapa, Kaivan?" Parah Kendall, nenek dari Kaivan tersebut berucap dengan nada dingin sembari menatap Rachel dari ujung kepala hingga ujung kaki. Decakan tak suka beberapa kali terlontar dari mulutnya-- menyinggung perasan Rachel dan juga membuat Rachel cukup tak nyaman juga. Hah, apa yang Rachel takutkan terjadi juga. Keluarga suaminya tak menyukainya. "Rachel Queenza Kendall, istriku." Kaivan menjawab, suaranya lebih dingin dari Parah dan aura mengerikan juga menguar dari tubuhnya. "Jelek sekali!" sarkas Parah dengan terus melayangkan tatapan tak suka pada Rachel. Ucapannya tersebut mengundang gelak tawa bagi anak-cucunya yang memang berkumpul untuk menyambut Kaivan. Percayalah, itu sangat menyakitkan bagi Rachel. Seumur hidup ini pertama kalinya Rachel diperlakukan tak layak--dihina-hina. Dia malu dan sakit hati sekali. "Diam!" Suara bentakan Kaivan mengalun kuat, semua orang di sana langsung diam dan seketika juga suasana menjadi horor dan hening. Bukan h
Bug'Tiba-tiba Kaivan mendadak berhenti melangkah, Rachel yang kurang fokus-- berjalan lotoy dibelakang Kaivan, pada akhirnya menabrak punggung lebar Kaivan. "Auuu …." Rachel memekik sakit, mengusap kasar keningnya sendiri sembari menatap penuh tanda tanya pada Kaivan yang tiba-tiba berhenti melangkah -- sekarang malah menatap Rachel dengan tajam, entah maksud pria ini apa. "Pertama, berhenti memanggilku Abang. Kedua, jadi menurutmu suami istri itu tidur berpisah, heh?" Karena takut dengan aura pria dingin di depannya ini, Rachel reflek meneguk saliva dengan susah payah dan bergerak mundur beberapa langkah untuk memberi jarak dengan Kaivan yang punya tatapan membunuh ini. Astaga, Rachel merasa tatapan Kaivan ini seperti pedang yang siap mencincang halus tubuh Rachel. Menakutkan!"Ba--baik, Bang Kai." "Kau--" Kaivan mengatupkan rahang sembari menatap semakin tajam ke arah Rachel. Sedangkan Rachel, dia menutup mulut -- matanya membulat horor dengan air muka panik luar biasa. Dia t
"Ini uang untukmu dan jika ada keperluan lain kau bisa menggunakan kartu ini. Simpan dengan baik dan manfaatkan dengan baik juga." Kaivan memberikan sejumlah uang pada Rachel, menyodorkan tangannya kemudian saat Rachel telah mengambil uang tersebut. Rachel meraih tangan suaminya, menyalimnya dan mencium punggung tangannya juga. Dia tersenyum manis sembari dengan bayang-bayang makanan dalam kepalanya. Uuu … uangnya banyak sekali dan dia bisa poya-poya di kantin fakultasnya. "Langsung pulang ke rumah kita. Jangan kemari," peringat Kaivan -- Rachel menganggukkan kepala. "Siap, Bang -- Mas Kaivan ma-maksudku," jawab Rachel dengan terburu-buru meralat panggilannya pada suaminya ini. Piyuuhhh … hampir saja dia memanggil suaminya dengan Bang Kai lagi. Hampir! Kaivan hanya menatap datar pada istrinya, setelah itu dia beranjak dari sana tanpa mengatakan apapun lagi. Dia diikuti oleh William dan juga Hansel yang sudah seperti pengawal pribadinya. Namun, bisa dikatakan juga begitu karena sel
Rachel kini di kampus. Namun sebelum ke kampus tadi, Rachel meminta Hansel yang menjemputnya mengantarnya ke grosir pakaian -- milik keluarganya. Rachel mengambil beberapa baju kaos dan kemeja lalu membawanya ke kampus. Seperti biasa, jika Rachel kekurangan uang dari ayahnya, dulu, Rachel akan mencuri beberapa pakaian di grosir kemudian menjualnya pada teman-temannya dengan harga dua kali lipat. Cih, Rachel jual murah? No. Rachel mah mata duitan. Sebenarnya dia bisa meminta uang pada ayahnya atau pamannya, namun dia segan karena dia sudah bersuami. Dia juga tadi berniat meminjam uang pada Hansel, tapi harga diri suaminya … ah, memalukan. Dia masih punya uang. Hanya saja tertinggal di rumah Kaivan. Dan … itu jauh, bisa-bisa Rachel yang masih harus ke kang Poto copy dulu, terlambat menemui dosennya. "Anjing! Revisi lagi. Biadap memang dosen itu!" umpat Rachel sembari berjalan di koridor kampus. Dia telah selesai bimbingan dan dia revisi lagi. "Anying!! Argkkkk … sial sial sial! Diba
"Hu'um. Aku tadi habis …-" ucapan Rachel berhenti saat menyadari sosok lain dalam mobil suaminya. Ada seorang pemuda duduk di bangku belakang. Rachel menoleh syok dan horor pada pria itu. "Hai …." "Kau!"Pria itu menyapa sedangkan Rachel terlihat panik dan juga kaget secara bersamaan. Dia menatap lamat wajah pemuda tersebut kemudian menatap baju kaos yang pemuda tersebut kenakan. Itu baju yang Rachel jual tadi. Lalu Rachel menatap suaminya, melogo dengan air muka yang masih kaget. "Dia siapa, Bang-- Mas?" tanya Rachel dengan wajah kaku dan air muka konyol. "Anak kita," jawab Kaivan dengan santai, membuat Rachel memekik kaget. "What?!"***Sampainya di rumah mewah milik Kaivan, dia menyuruh istrinya dan juga seseorang yang spesial dalam mobilnya tadi untuk ke ruangannya. Setalah keduanya di ruangan Kaivan, pria itu langsung menjelaskan siapa pemuda tadi. Dia juga mengenalkan keduanya. "Ichi, ini Jake Aleron Kendall. Dia akan menjadi putra kita." Kaivan berucap datar, tanpa men
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Ada ribut apa ini?" tanya Kaivan yang tiba-tiba muncul di sana dengan Jake, William dan Hansel. Seketika itu juga mendadak ruangan itu terdiam. Tak ada suara sedikitpun di sana. "Diam?" Kaivan menatap bingung pada istri dan anak-anaknya. "Ah, tidak apa-apa, Mas. Hanya permasalahan anak-anak saja," jawab Rachel sembari tersenyum manis ke arah suaminya tersebut, "ouh iya, Mas ingin kopi kan? Tunggu, aku buatkan," tambah Rachel sembari berniat beranjak dari sana. Namun, langkahnya tiba-tiba tertahan. Tangannya dicekal oleh sang suami. "Ma--Mas," cicit Rachel pelan, menatap cekalan suaminya di pergelangan tangan kemudian beralih menatap Kaivan dengan air muka murung. "Kau tidak pandai berbohong, Ichi. Katakan, apa yang terjadi?!" tanya Kaivan pelan, berdesis dan berbisik pelan. Dia menatap penuh peringatan pada Rachel– tak suka jika istrinya ini menyembunyikan sesuatu darinya. "Jangan di sini," bisik Rachel pada Kaivan, kemudian dia melepas cekalan suaminya lalu beranjak dari sana.
Adera dengan santai mendorong kepala Yohan, agar menjauh dari wajahnya. "Jangan kedekatan juga, Cok," ucapnya santai. Setelah itu tanpa peduli dengan pandangan siapapun di sana, Adera mendekati Alden kemudian tanpa ba bi bu dia langsung menendang kuat perut pria itu. "Kamu!""Ade!"Adera mengabaikan mereka semua, menatap dingin ke arah Alden dengan tangan terkepal kuat. "Lo siapa ngancem-ngancem gue?!" ketus Adera. "Kak." Alden menoleh ke arah Kakaknya, meminta bantuan agar dia diselamatkan dari amukan Adera. Sial! Dia kita Adera takut dengan ancamannya. Untungnya Gisella memihak padanya, membantu Alden berdiri– di mana Alden sempat tersungkur karena tendangan Adera di perutnya. "Kamu siapa sih? Datang-datang nendang Alden," marah Gisella, berniat menampar Adera namun dengan santai Adera menangkis dan menghempas kasar tangan perempuan itu. "Adera," peringat Danial pada adiknya. "Kau kenapa lagi? Kenapa …-" "Diam, Kak," potong Adera cepat, meraih pergelangan tangan Dayana kemudia
Sreettt'Suara gesekan kursi dengan lantai terdengar, itu berlangsung tepat di sebelah Adera– membuat perempuan manis tersebut menoleh ke arah sebelah, walau hanya singkat dan cepat. Air muka Adera berubah kaku bercampur masam. Sial! Davin duduk di sebelahnya. 'Sialan! Sialan! Aku lupa kalau dia bakalan nginap di sini selama dua minggu. Anjir, ngapain dia duduk di sebelahku sih? Dari banyaknya kursi kosong di sini. Sebelah Dayana juga masih kosong.' batin Adera, mendadak tidak tenang karena Davin duduk di sebelahnya. Saat ini mereka akan makan malam bersama. Seperti biasa, Adera selalu duduk di sebelah Kakaknya-- Danial, di mana Danial duduk bersebelahan dengan Papa mereka yang duduk di kepala meja. Sedangkan Mama mereka serta Dayana duduk di seberang Danial dan Adera. Namun, ada satu tambahan orang di sini. Davin! "Rumahmu dan rumah Uncle tidak ada bedanya, jadi makan yang banyak," ucap Kaivan pada anak dari teman dekatnya dalam dunia bisnis. "Tentu, Uncle," jawab Davin sembari t
Seketika itu juga sontak Adera mendongak dengan air muka cengang-- hanya karena mendengar nama pria yang sangat-sangat dia hindari tersebut. Matanya langsung membelalak, pucat pias ketika melihat pria yang dia hindari tersebut ternyata memang ada di kamarnya– berada di sebelah Kakaknya. "Bagaimana, Humm?" tanya Danial, kembali untuk memastikan. Tangannya masih di atas kepala sang adik, mengelus pucuk kepala Adera dengan acak dan gemas. Ah, ekspresi kaget adiknya ini sangat menggemaskan. "Mama menyuruh kemari. Mama melarang Kakak membeli sepatu. Kata Mama kau punya banyak," lanjutnya. "Ya sudah," jawab Adera kikuk, menoleh cepat ke arah HP dan memilih melanjutkan game-nya. "Thanks, Sweety." Danial mengacak surai adiknya secara gemas, beranjak dari sana menuju wardrobe room sang adik. Sedangkan Davin, dia masih diam di tempatnya– menatap sebuah kotak coklat yang ia berikan pada Adera dengan tatapan sedang. Coklat pemberiannya dimakan oleh gadis ini dan sudah habis setengah. Gadis-ny